Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adhi Yanriko Mastur
"Cuti mengunjungi keluarga bertujuan untuk menghilangkan stigma terhadap narapidana, serta mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana. Cuti mengunjungi keluarga yang dilakukan melalui kunjungan narapidana kepada keluarga narapidana di tempat tinggalnya, merupakan kegiatan rutin yang dapat dilaksanakan setiap tiga bulan bagi narapidana yang memiliki masa pidana minimal 12 bulan. Kegiatan ini biasanya dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk saling tukar informasi atau menumpahkan segala keluh kesah. Dalam kegiatan ini narapidana dapat melakukan kebebasan yang seluas-luasnya selama waktu yang ditentukan.
Hak Cuti Mengunjungi Keluarga dalam proses pemberiannya sangat dipengaruhi oleh pemahaman petugas, narapidana dan masyarakat terhadap keberadaan hak ini. Di samping pemberian hak ini juga sangat ditentukan dari kelancaran pelaksanaan prosedur, pengorganisasian dan fungsi koordinasi inter dan antar unit yang terkait di Lembaga Pemasyarakatan.
Dari temuan hasil penelitian dan pembahasan, ternyata pemberian hak Cuti Mengunjungi Keluarga bagi narapidana telah dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, meskipun dalam pelaksanaannya masih dihadapkan dengan hambatan-hambatan; antara lain menyangkut kurangnya pemahaman terhadap prosedur, masalah pembiayaan, masih ditemukan hambatan sebagai akibat pelanggaran tata tertib dan kurang lengkapnya berkas permohonan ijin dari pihak keluarga serta masih adanya stigma negatif narapidana oleh masyarakat.
Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemberian hak Cuti Mengunjungi Keluarga, diperlukan Iangkah-langkah nyata dalam bentuk peningkatan sosialisasi yang ditujukan kepada petugas dan narapidana sehingga tercipta sinergi dalam pelaksanaannya. Di samping itu pengalokasian anggaran untuk memenuhi kebutuhan administrasi dan operasional sehingga diharapkan hak Cuti Mengunjungi Keluarga dapat dirasakan manfaatnya bagi semua narapidana yang memenuhi persyaratan.

The annual leave to visit family has objective to eliminate stigma against prisoners, as well as to prevent people refusal against ex prisoner. The annual leave to visit family that is executed through prisoner visiting to prisoner's family in their residence represents routine activity which can be conducted every three months for prisoners who has the term of punishment minimally 12 months. This activity usually is utilized by both parties for exchanging information or submitting their feeling. In this activity prisoner can conduct freedom as wide as possible during determined time.
The annual leave to visit family in its granting process is really affected by officer, prisoners and people understandings against the existence of this right. Besides this right granting is also determined from the smoothness of that procedure execution, organizing and intra and inter unit coordination function related to prison institution.
From the result of research and analysis, factually the granting of annual leave right to visit family for prisoner has been implemented in class 1 prison institution Cipinang, although in its execution it was still found obstacles as the cause of rule violence and the lack of permit application document from family parties as well as prison's negative stigma from people.
To increase the effectivity and efficiency of annual leave granting to visit family, it is needed real steps in form of socialization increase shown by officer and prisoners so that it can create synergy in its execution. Besides of that, the allocation of budget for providing annual leave rights to visit family can be felt its benefit for all prisoners who meet requirement.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15192
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Jiwajennie
"Dalam penelitian yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bogor selama Februari ? Mei 2009 ini, pengabaian terhadap hak atas pelayanan kesehatan terhadap tahanan serta narapidana penderita TBC masih ditemukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbentuk deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa orang informan yang terdiri dari petugas maupun narapidana. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan banyak kendala dalam proses pelayanan kesehatan bagi pasien penderita TBC di LP Bogor. Terlambatnya deteksi terhadap kasus TBC paru, rendahnya kualitas kesehatan penghuni, masalah overkapasitas, belum adanya ruang isolasi khusus bagi pasien penderita TBC paru, serta terbatasnya anggaran menjadi kendala yang dihadapi para petugas kesehatan dalam upaya penanggulangan terhadap penyakit TBC paru di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bogor. Namun yang menjadi hambatan dalam upaya penanggulangan terhadap penyebaran penyakit TBC di lingkungan LP Bogor ternyata bukan hanya disebabkan oleh minimnya fasilitas lapas, namun juga disebabkan karena lemahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki baik oleh penghuni, maupun petugas lapas.

In the research conducted at Bogor Penitentiary Class IIA in February - May 2009, negligence towards the inmates? rights to health care, including inmates suffering from TBC, is still found. This research uses descriptive - qualitative approach. Data is gathered through in-depth interview with inmates and wardens. This research finds a lot of hurdles in health care for inmates suffering from TBC in Bogor Penitentiary. Late detection, low general health level, overcapacity, the absence of special isolation unit, and very limited budget are the obstacles for the administrators. But that?s not all. Another contributing factor is the lack of quality in human resources both for the inmates and the wardens."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Julianto Salomo Parluhutan
"ABSTRAK
Di era reformasi, pemilihan umum (pemilu) adalah wujud nyata demokrasi yang memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih dan terkhusus untuk dipilih sebagai hak konstitusional warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Akan tetapi, dalam setiap pemilu hak seseorang untuk dipilih tersebut harus memenuhi persyaratan aturan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukumnya. Hal yang  menjadi perhatian adalah syarat yang ditetapkan tersebut seringkali dipersoalkan konstitusionalitasnya maupun kekuatan mengikatnya akibat bertolak belakang substansi peraturannya secara hierarki perundang-undangan. Permasalahan yang menjadi kajian penulis adalah bagaimana konstitusionalitas hak politik mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon legislatif atau pejabat publik yang dipilih pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan bagaimanakah akibat hukum peraturan yang melanggar hak-hak sipil dan politik warga negara serta melarang mantan narapidana korupsi untuk dapat dipilih dalam pemilihan umum sebagai calon legislatif oleh Komisi Pemilihan Umum terkait dengan hak asasi manusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstitusionalitas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara hierarki melanggar ketentuan yang diatur Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai peraturan yang lebih tinggi. PKPU sebagai aturan pelaksana tidak dapat mengatur ketentuan yang bertentangan daripada yang telah diatur oleh undang-undang. Kekuatan mengikat pasal yang mengatur pembatasan mantan narapidana untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum tetap berlaku, namun harus dimaknai sesuai syarat yang diberikan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Penelitian menunjukkan bahwa alasan mengapa persyaratan mengenai hak mantan narapidana untuk dipilih dalam pemilu senantiasa berulang dilakukan judicial review ialah karena pembentuk undang-undang tidak tegas memasukkan 4 (empat) alasan inkonstitusional bersyarat yang diberikan Mahkamah Konstitusi untuk diatur dalam norma undang-undang, dan pembentuk undang-undang hanya mencantumkan sebagian dari yang dipersyaratkan Mahkamah Konstitusi ke dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sehingga pengujian undang-undang terhadap syarat mantan narapidana untuk ikut serta dalam pemilihan umum akan selalu terulang setiap hendak ada pemilihan umum. Penulis merekomendasikan agar pembentuk undang-undang tegas memasukkan seluruh ketentuan inkonstitusional bersyarat yang dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan menitikberatkan kepada penelitian kepustakaan.

ABSTRACT
In the era of electoral reform is a sign of democracy that is realized with the right of a person to choose and specifically to be chosen as a constitutional right of citizens to participate in government. However, in each election, the right of a person to be elected must fulfill the rule requirements based on legislation as their legal basis. However, the stipulated conditions are often questioned in terms of their constitutionality and binding power due to the contrary of the hierarchical substance of the rules of legislation. The problem that the author studies is What are the legal consequences of PKPU No. 20 of 2018 after the Decision of the Constitutional Court Number 42/PUU-XIII/2015 and how is the constitutionality of the right of former corruption inmates to participate in general elections. The results showed that PKPU No. 20 of 2018 in a hierarchy violates the provisions regulated by law no. 7 of 2017 as a higher regulation. PKPU as an implementing rule cannot regulate contradictory provisions rather than those regulated by law. The constitutionality of the rights of ex-prisoners of corruption, none of the laws and regulations can prevent it considering that the decision of the Constitutional Court Number 42/PUU-XIII/2015 has permitted it. Research shows that the reason why the requirements regarding the rights of ex-prisoners to be elected in elections are repeated in a judicial review because the legislators do not explicitly include 4 conditional unconstitutional reasons given by the Constitutional Court to regulate the law and the legislators only list part of the norm based on the rules given by the Constitutional Court so that when the requirements of the Constitutional Court are only partially included in the norm or in the explanatory section of the law, testing of the law against the conditions of ex-prisoners to participate in general elections will always repeat every period of a large election democracy. This study uses a normative juridical method with a statutory approach and focuses on library research."
2020
T55038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdur Rachman Iswanto
"Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan, melahirkan kebijakan pengetatan pemberian Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang meliputi Hak Pembebasan Bersyarat, Hak Remisi, Hak Asimilasi, Hak Cuti Bersyarat, Hak Cuti Menjelang Bebas kepada narapidana tertentu. Hal tersebut menimbulkan dampak terhadap pelaksanaan pemasyarakatan, Narapidana yang haknya  di perketat enggan mengikuti program pembinaan. Puncaknya timbul kerusuhan di beberapa lembaga pemasyarakatan. Kebijakan pengetatan tersebut bertentangan dengan konsepsi pemasyarakatan sebagaimana di atur di dalam Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang bertujuan untuk membina dan membimbing narapidana bukan lagi sebagai tindakan pembalasan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 harus segera di cabut agar sesuai dengan semangat yang terkandung dalam konsepsi pemasyarakatan dengan memasukkan klausul kepentingan perlindungan dan pengayoman bagi narapidana.

The implementation of Government Regulation No. 99 Year 2012 on the Second Amendment to Government Regulation No. 32 Year1999 on Terms and Procedures for the Implementation of the Right of inmates, confined the policy tightening in granting rights to the prisoners, such as the rights of Conditional Parole, Remission Rights, Rights of Assimilation, rights of Conditional leave, leave rights before the release to certain inmates. The policy generate the impact on the implementation of correctional system, inmates are reluctant to follow the treatment program. The climax of the prisoners responses is riotsin several prisons. The tightening policyis contrary to the conception of correctional as regulated in the Law No.12 Year 1995 on Corrections which  aim to promote and guide the inmate as no longer an act of retaliation. Based on the above the Government Regulation No. 99 Year 2012should be revoked or with drawed as soons possible to conform the spirit embodied in the concept of correction by inserting clauses for the protection of prisoners."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library