Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
Clarissa G.S.
"Skripsi ini membahas tentang Analisis Praktik Transfer Pricing Dalam Produk Digital Pada PT KLM. Penelitian ini dilakukan karena adanya koreksi terhadap transaksi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada PT KLM. Koreksi tersebut akan dilakukan karena adanya perbedaan penggunaan metode yang dilakukan oleh PT KLM dengan metode yang diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Transaksi yang dilakukan oleh PT KLM dengan KLM Ltd adalah transaksi produk digital, yang dilakukan dengan media elektronik. Metode yang digunakan oleh PT KLM adalah metode Transactional Net Margin Method (TNMM) atas transaksi PT KLM dengan KLM Ltd. Direktorat Jenderal Pajak tidak menyetujui transfer pricing dokumentasi yang dilakukan oleh PT KLM.
Transaksi perdagangan konvensional dengan transaksi perdagangan melalui media elektronik merupakan hal yang berbeda. Berdasarkan perjanjian antara PT KLM dengan KLM Ltd klasifikasi transaksi atas PT KLM dengan KLM Ltd dapat dikategorikan sebagai royalti. Agar memperoleh kepastian hukum atas penggunaan metode tersebut, maka hal-hal yang dilakukan oleh PT KLM yaitu Advance Pricing Agreement.
Perdagangan konvensional dengan perdagangan melalui media elektronik merupakan perdagangan yang berbeda. Most apropriate metode atas transaksi PT KLM dengan KLM Ltd adalah Comparable Uncontrolled Price. Terkait hal ini, PT KLM mengajukan Advance Pricing Agreement untuk memperoleh kepastian atas metode yang terbaik untuk digunakan dalam transaksi ini.
This thesis discusses the Analysis of Transfer Pricing Practices in Digital Products at PT KLM. The research is made, since there was a correction of the transactions has been made by the Directorate General of Taxation to PT KLM. This correction will be made, since there is a difference of the method which been performed by PT KLM with the method approved by the Directorate General of Taxation. The transaction of PT KLM with KLM Ltd. was product digital transaction with electronic media. PT KLM uses Transactional Net Margin Method (TNNM) Transaction with KLM Ltd. Unfortunately, the Directorate General of Taxation does not approve transfer pricing documentation by PT KLM. Conventional trade transactions with trading transactions by electronic media is different. Based on the agreement between PT KLM with KLM Ltd. PT KLM's classification transaction with KLM Ltd., could be categorized as royalty. In order to have legal certainty for the use of this method, therefore PT KLM should be Advance Pricing Agreement. Conventional trade with trading by electronic media is a different trade. Most appropriate method of PT KLM’s transactions with KLM Ltd is Comparable Uncontrolled Price. Related to this, PT KLM files an Advance Pricing Agreement to obtain assurance for the best method on this transaction."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Lisdayanti
"
ABSTRACTPenelitian ini membahas mengenai implementasi Pajak atas impor produk digital serta pengawasannya. Tujuan penelitian adalah menganalisis implementasi pajak atas impor produk digital. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan studi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pajak dalam rangka impor atas produk digital masih sulit untuk diterapkan. Dalam melakukan pengawasan, pihak kepabeanan akan menerapkan tiga cara serta bekerjasama dengan pihak lain terkait transaksi impor produk digital. Kata
ABSTRACTThis research discuss about imposition analysis of implementation tax import on digital goods and its supervision. The purpose of this study is to anlyze the implementation of tax on import digital goods. This research uses qualitative approach using data collection techniques of literature revew and field study. This research shows that the implementation of tax on import digital goods is difficult to implement.. In conducting supervision, Customs will apply three ways and cooperate with other parties related to import transactions of digital products."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S10174
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mochamad Kemal Afiantoro
"
ABSTRAKPerkembangan teknologi saat ini sangat meningkat pesat, yang menimbulkan adanya produk digital yang tidak memiliki bentuk fisik yang ditransaksikan secara lintas batas negara dan banyak dimanfaatkan oleh konsumen akhir dalam transaksi business-to-consumer (B2C). Penelitian ini membahas mengenai sulitnya pengadministrasian prinsip tujuan barang dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia atas transaksi pemanfaatan produk digital dari luar daerah pabean dalam transaksi B2C yang menggunakan mekanisme customer collection/reverse charge. Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan teknik analisis data kualitatif. Perbandingan dengan regulasi Goods and Services Tax (GST) di Australia dijadikan dasar komparasi untuk dapat menentukan desain kebijakan administrasi dalam mengatasi kesulitan pengadministrasian tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa setelah dikomparasikan, regulasi PPN di Indonesia dengan GST di Australia memiliki perbedaan yang signifikan, terutama dalam pengadministrasiannya. Perbedaan tersebut diantaranya dalam hal ketentuan pendaftaran sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk pihak penyedia produk digital dari luar negeri di masing-masing negara agar dapat melakukan pemungutan PPN/GST, definisi yang jelas mengenai termasuk kemana produk digital ini, dan juga tata cara pemungutan dan pelaporan PPN/GST yang terutang atas transaksi ini di Australia yang menekankan kepada supplier collection. Desain kebijakan yang dapat diberikan dari hasil komparasi tersebut adalah dengan membuat mekanisme pendaftaran baru untuk pihak penyedia produk digital dari luar Indonesia agar dapat melakukan pemungutan PPN atas transaksi dari konsumen akhir dengan cara disimplifikasikan mekanisme pendaftaran serta kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakannya.
ABSTRACTThe rapid development of technology nowadays resulting in a product which has no physical form whatsoever called digital product that can be transacted across countries with end users can easily utilize those products via internet in business-to-consumer (B2C) transaction. This research discusses about the difficulty in administrating the collection of Value Added Tax (VAT) in Indonesia in regards with the destination principle for digital product supplies from overseas in B2C transaction that currently using the customer collection/reverse charge mechanism. The methodology used in this research is qualitative approach with qualitative data analysis technique. Regulation comparison between VAT in Indonesia and Goods and Services Tax (GST) in Australia is set to be the basis in determining the policy design to address the difficulty that is mentioned. The result from this research shows that in terms of regulation comparison, there are significant differences in how both countries administer the collection of VAT/GST. Those differences are the provision regarding the registration for foreign suppliers of digital products to collect VAT/GST, clear definition regarding which categories these digital supplies belong to, and the procedures to collect and report the VAT/GST payable in this transaction with Australia using the supplier collection mechanism to administer that. Policy design based on that comparison is that Indonesia needs to create new registration system for foreign suppliers of digital products so they could collect VAT from their end users consumers for this transaction with simplified mechanism for both registration and their fulfilment of tax obligations.
"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Athifa Michel
"M-commerce adalah penggunaan perangkat nirkabel untuk melaksanakan kegiatan komersial, seperti jual-beli, mobile banking, dan pembayaran tagihan. Penelitian-penelitian terdahulu membuktikan bahwa popularitas dari penggunaan m-commerce telah berkembang dan semakin banyak pengguna melakukan transisi dari berbelanja melalui desktop komputer ke perangkat mobile. Kualitas layanan aplikasi mobile perlu diperhatikan untuk mempertahankan jumlah penggunanya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor kualitas layanan apa saja yang paling baik yang sudah diimplementasikan dari aplikasi mobile commerce di Indonesia dari persepsi pengguna. Penelitian ini akan membandingkan kualitas layanan dari dua jenis produk yang dijual pada aplikasi mobile commerce yaitu produk physical dan produk digital dikarenakan perbedaan pada jenis produk akan menimbulkan ekspektasi kualitas layanan yang berbeda bagi pengguna. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner daring terhadap 863 responden, data yang didapatkan diolah dengan metode Entropi. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor kemudahan untuk diakses kapan saja memiliki bobot tertinggi untuk kedua jenis produk. Bobot paling rendah untuk produk physical adalah faktor layanan pengembalian produk dan bobot paling rendah untuk produk digital adalah faktor kecepatan respon dari customer service. Hasil penelitian ini dapat membantu penyedia layanan untuk mengevaluasi layanan produknya guna meningkatkan kualitasnya.
M-commerce is the use of wireless handled devices to conduct commercial transaction online, such as selling, buying, mobile banking, and paying bills. Previous researches had shown that m-commerce has gained a lot of attention and user transition from shopping from computer desktop to mobile device is thriving. Effectivity is an important aspect for m-commerce to retain its customers. This study aims to determine the best factors of mobile service quality that had been implemented in mobile commerce applications based on users’ perspective in Indonesia. This study is going to compare mobile service quality based on product type which is divided as physical product and digital product, the need to compare service quality is because customers have different expectations of service based on the product that they are planning to buy. Using quantitative approach by distributing an online questionnaire for 863 respondents, retrieved data is then analyzed using Entropy method. Results shows that factor ability to be used at any time has the highest score for both physical product and digital product. Factor product return service is the lowest score for physical product and factor fast responsiveness of customer service is the lowest score for digital product. The results from this study can help developers to evaluate their product so they can make improvements to their service quality."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Adam Gabriel Mounir
"Tulisan ini mengkaji konstruksi diskriminasi dalam bentuk othereness antara pembuat aplikasi dengan penyandang disabilitas tunanetra. Selain itu tulisan ini membahas bagaimana tunanetra menghadapi minimnya digital accessibility di Indonesia. Penelitian etnografi ini berusaha untuk melihat bagaimana pembuat aplikasi dengan kepentingannya, meninggalkan digital accessibility dalam product development yang mereka lakukan dan bagaimana tunanetra berimprovisasi dan menkreasikan adaptasi mereka sebisa mungkin untuk tetap menggunakan produk digital yang mereka butuhkan. Tunanetra menkreasikan microactivist affordances dengan infrastruktur material yang ada, sementara jika gagal, orang lain akan datang membantu dengan menkreasikan people as affordances.
This Paper studies the construction of discrimination in the form of otherness between application developers and people with visual impairments. In addition, this article discusses how visually impaired people face the lack of digital accessibility in Indonesia. This ethnographic research seeks to see how application developers with their interests leaves digital accessibility in their product development and how visually impaired people improvise and create adaptations to be able to keep using the digital products they need. Visually impaired people creates microactivist affordances with the available material infrastructure, while if they fail, other people will come to help by creating people as affordances. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Josephine Felicia Putri Bramanto
"Skripsi ini menganalisis bagaimana keabsahan dan eksekusi invoice sebagai jaminan pembiayaan pada produk digital lending yang ditawarkan oleh PT Pegadaian apabila terjadi wanprestasi maupun adanya invoice fiktif berdasarkan metode penelitian doktrinal dan didukung dengan hasil wawancara dengan PT Pegadaian. Pada tahun 2020 lalu, PT Pegadaian meluncurkan produk Pinjaman Modal Produktif berbasis digital lending dengan jaminan invoice. Melalui produk ini, pelaku UMKM yang ingin mendapatkan pinjaman modal usaha, dapat mengajukan pinjaman mulai dari Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) hingga Rp2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dengan jaminan surat penagihan utang (invoice), yang kemudian dibebankan dengan jaminan fidusia. Invoice pada dasarnya merupakan dokumen yang membuktikan adanya hak tagih, sehingga invoice adalah piutang yang dapat dibebankan dengan jaminan gadai maupun jaminan fidusia. Dalam praktiknya, produk Pinjaman Modal Produktif berbasis digital lending, mengacu pada POJK Pembiayaan, UU Perbankan, dan UU JF. Kedudukan invoice sebagai piutang, artinya terdapat transaksi yang belum diselesaikan antara debitur dengan pihak ketiga, sebelum adanya perikatan antara debitur dengan PT Pegadaian. Apabila terdapat wanprestasi antara debitur dengan pihak ketiga, maka menjadi pertanyaan mengenai pihak yang bertanggungjawab terhadap pelunasan utang kepada PT Pegadaian, karena pada dasarnya sumber pembayaran jaminan berasal dari pihak ketiga. Selain itu, terdapat juga risiko apabila wanprestasi dikarenakan adanya invoice fiktif, yang tentunya akan menimbulkan permasalahan pada saat eksekusi.
This thesis analyzes the validity and execution of invoices as collateral for financing digital lending products offered by PT Pegadaian in the event of default or fictitious invoices based on doctrinal research methods and supported by the results of interviews with PT Pegadaian. In 2020, PT Pegadaian launched a digital lending-based Productive Capital Loan product with invoice guarantees. Through this product, MSME players who want to get business capital loans can apply for loans ranging from IDR 10,000,000 (ten million rupiah) to IDR 2,000,000,000 (two billion rupiah) with the guarantee of a debt collection letter (invoice), which is then charged with a fiduciary guarantee. An invoice is basically a document that proves the right to collect, so an invoice is a receivable that can be charged with a pledge or fiduciary guarantee. In practice, Productive Capital Loan products are digital lending based, referring to the POJK on Financing, the Banking Law and the Fiduciary Guarantee Law. The position of the invoice as a receivable means that there is a transaction that has not been completed between the debtor and a third party, before there is an agreement between the debtor and PT Pegadaian. If there is a default between the debtor and a third party, then the question arises regarding the party responsible for repayment of the debt to PT Pegadaian, because basically the source of the guarantee payment comes from a third party. Apart from that, there is also a risk if the default is due to a fictitious invoice, which of course will cause problems during execution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library