Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kartika Indah Lestari
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Prolaps Organ panggul POP adalah tonjolan atau penonjolan organ panggul dan segmen yang terkait vagina ke dalam atau melalui vagina.1 POP Sering dijumpai pada wanita dewasa dan usia lanjut.1-3 Umumnya wanita yang menderita POP datang dengan keluhan adanya benjolan pada vaginanya.9,10 Gangguan pada fungsi seksual jarang dikeluhkan, namun dari kepustakaan diketahui bahwa pasien prolaps stage 3-4 terkait dengan sulitnya pencapaian orgasme.13 Sedangkan Roovers dkk melaporkan prevalensi disfungsi seksual sebesar 68 pada pasien POP. Sayangnya, Di Indonesia sendiri penelitian mengenai disfungsi seksual pada penderita POP cukup jarang, bahkan peneliti sendiri belum mendapatkan datanya. Oleh karena itu penting dilakukan penelitian mengenai prevalensi disfungsi seksual pada pasien prolaps organ panggul.Tujuan : Mengetahui prevalensi disfungsi seksual pada penderita prolaps organ panggulMetode: Dengan desain potong lintang, di dua rumah sakit pusat rujukan di Jakarta RSUPN Ciptomangunkusumo dan RSUP Fatmawati . Semua pasien POP yang memenuhi kriteria inklusi mengisi kuesioner indeks fungsi seksual FSFI-19 , kemudian dilakukan analisis data univariat untuk karakteristik data subjek, dan bivariat untuk mengetahui hubungan antara variable dependen dan independen.Hasil: Dari 82 data yang dianalisis, prevalensi disfungsi seksual pada pasien POP mencapai 57,3 . Sedangkan sebagian besar pasien POP juga sudah mengalami menopause dengan prevalensi sebesar 76.8 . Prevalensi disfungsi seksual pada pasien POP yang sudah menopause sebesar 66,7 . Dari hasil analisis bivariat, usia, menopause, obesitas dan stadium prolaps adalah faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian disfungsi seksual pada pasien POP. Variabel usia, merokok, menopause, obesitas dan stadium prolaps, memiliki nilai p 60 dengan OR 8 IK95 2,45- 26,12 , dan obesitas IMT 30 kg/m2 dengan OR 0,30 IK 95 0,09-0,98 .Kata kunci : prolapse organ panggul, disfungsi seksual, fungsi seksual, seksual aktif
ABSTRACT
AbstractBackground Pelvic Organ Prolapse POP is a bulge or protrusion of pelvic organs and related segments into or through the vagina vagina.1 POP often be found in adult women and older people.1 3 Generally, women who suffer from POP present with a lump vaginal .9,10 Disturbances in sexual function rarely complained, but from the literature it is known that patients with stage 3 4 prolapse associated with difficulty in achieving a orgasme.13 While Roovers et al reported the prevalence of sexual dysfunction was 68 in patients with POP. Unfortunately, in Indonesia, research on sexual dysfunction in patients with POP quite rare, even the researchers themselves do not get the data. It is therefore important to do research on the prevalence of sexual dysfunction in patients with pelvic organ prolapse and factors associated with sexual dysfungtion among them.Objective To determine the prevalence of sexual dysfunction in patients with pelvic organ prolapse and factors associated with sexual dysfungtion among them.Methods A cross sectional design, in two referral hospitals in Jakarta RSUPN Ciptomangunkusumo and Fatmawati Hospital All patients who met the inclusion criteria POP fill out a questionnaire of sexual function index FSFI 19 , then performed univariate analysis of data on the characteristics of the data subject, bivariate and multivariate analysis to know the relationship between the dependent and independent variablesResults Of the 82 analyzed data, the prevalence of sexual dysfunction in patients with POP reached 57.3 . While most of the patients had experienced menopause POP also with a prevalence of 76.8 The prevalence of sexual dysfunction in patients who are menopausal POP by 66.7 . From the results of the bivariate analysis, age, menopause, obesity and stage of prolapse is a significant risk factor on the incidence of sexual dysfunction in patients with POP. The variables of age, smoking, menopause, obesity and stage of prolapse, p 60 with an OR 8 IK95 2,45 26.12 , and obesity BMI 30 kg m2 with an OR of 0.30 CI 95 0.09 to 0.98 . Keywords pelvic organ prolapse, sexual dysfunction, sexual function, sexually active
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58898
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Santoso
Abstrak :
ABSTRAK
Prolaps pada dinding anterior vagina terjadi karena kelemahan jaringan ikat dan fasia puboservikalis yang mengakibatkan turunnya kandung kemih yang dikenal sebagai sistokel, sedangkan prolaps dinding posterior mengakibatkan turunnya rektum, dikenal sebagai rektokel. Kemungkinan terjadinya sistokel dan rektokel dikemudian hari dapat diperkirakan dengan mengetahui titik potong optimal hiatus levator ani.Tujuan : Membandingkan derajat sistokel dan rektokel dengan maksimal area hiatal levator AHL saat Valsava.Metode : Analisa data sekunder 90 pasien prolaps uteri Januari 2012 hingga November 2013 di poliklinik Uroginekologi RSCM, Jakarta. Pengukuran ultrasonografi 3D/4D dan pelvic organ prolapse quantification system POP-Q sistokel derajat I-IV dan rektokel derajat I-IV. Dianalisis dengan stata program 20 for windows.Hasil : Perbedaan bermakna sistokel derajat I-II n=25 dengan derajat III-IV n=65 , maksimal AHL dengan perbedaan sebesar 4,33 cm2 p=0,040 . Pada rektokel derajat I-II n=64 dan derajat III-IV n=26 sebesar 3,85 cm2 p=0,130 . Nilai AUC untuk sistokel derajat I-II dengan III-IV adalah 0,607 IK95 0,467 ndash; 0.738 , untuk rektokel adalah 0,603 IK95 0,472 ndash; 0.734 . Titik potong optimal ROC untuk sistokel derajat I-II dengan III-IV dengan sensitivitas dan spesifitas tertinggi adalah 29 cm2 sensitifitas 0.523, spesifitas 0.520 , pada rektokel adalah 30 cm2 sensitifitas 0.538, spesifitas 0.584 .Simpulan : Terdapat hubungan bermakna antara derajat sistokel dengan area hiatal otot levator ani saat valsava, namun tidak terdapat hubungan pada rektokel. Nilai area under curve maksimal area hiatal otot levator ani dalam membedakan sistokel derajat I-II dan III-IV relatif sama dengan rektokel derajat I-II dan III-IV. Titik potong optimal area hiatal otot levator ani dalam membedakan sistokel derajat I-II dan III-IV adalah 29 cm2, sedangkan untuk rektokel adalah 30 cm2 dengan nilai sensitifitas dan spesifitas yang cukup baik.
ABSTRACT
AbstractBackground the anterior vaginal wall prolapse can occur because of the weakness of the connective tissue and fascia pubocervical resulting decline in the bladder, known as cystocele, while the posterior wall prolapse resulting decline in the rectum, known as rectocele. The possibility of cystocele and rectocele in the future can be predicted by knowing the optimal cut point hiatus levator ani.Objective To compare the degree of cystocele and rectocele with a maximum of levator hiatal area AHL during Valsava.Methods Secondary data analysis of 90 patients with uterine prolapse January 2012 to November 2013 in the clinic Uroginekologi RSCM, Jakarta. 3D 4D ultrasound measurement and pelvic organ prolapse system Quantification POP Q stage I IV cystocele and rectocele stage I IV. Analyzed with Stata program 20 for windows.Results significant difference cystocele stage I II n 25 with stage III IV n 65 , the maximum AHL with a difference of 4.33 cm2 p 0.040 . In rectocele stage I II n 64 and stage III IV n 26 of 3.85 cm2 p 0.130 . AUC values for cystocele stage I II with III IV was 0.607 IK95 from 0.467 to 0738 , for rectocele is 0.603 IK95 from 0.472 to 0734 . ROC optimal cut point for cystocele stage I II with III IV with the highest sensitivity and specificity is 29 cm2 0523 sensitivity, specificity 0520 , the rectocele is 30 cm2 0538 sensitivity, specificity 0584 .Conclusion There was a significant relationship between the degree of cystocele with hiatal area levator ani muscles when Valsava, but there is no relationship at rectocele. The value of area under the curve maximum hiatal area of the levator ani muscle in distinguishing cystocele stage I II and III IV are relatively similar to rectocele stage I II and III IV. Optimal cut point hiatal area of the levator ani muscle in distinguishing cystocele stage I II and III IV is 29 cm2, while for rectocele is 30 cm2 with sensitivity and specificity values were quite good.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58935
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhair
Abstrak :
Latar belakang: Prolaps organ panggul merupakan salah satu kondisi fisik yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan disfungsi seksual pada perempuan. Pembedahan rekonstruksi adalah salah satu pilihan yang dapat dilakukan dalam tatalaksana prolaps organ panggul pada perempuan seksual aktif. Dengan adanya perbaikan anatomis dasar panggul setelah pembedahan, diharapkan akan terjadi perbaikan gejala disfungsi seksual yang terjadi sebelum pembedahan. Objektif: Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis adanya perubahan gejala disfungsi seksual yang dinilai dengan kuesioner FSFI-6 Indonesia sebelum dan 3 bulan sesudah pembedahan prolaps organ panggul, serta faktor yang mempengaruhinya. Metode: Kohort prospektif observasional pre-post without control study pada perempuan prolaps organ panggul seksual aktif yang direncanakan untuk pembedahan mulai Maret 2020 hingga Mei 2021 di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Fatmawati Jakarta. Dari 33 pasien yang direncanakan pembedahan rekonstruksi, rerata usia 56.83 ± 7.97 tahun, telah diberikan informed consent dan menyetujui untuk mengikuti penelitian, dilakukan pemeriksaan uroginekologi dan pengisisan kuesioner FSFI-6. Tiga bulan setelah pembedahan, dilakukan pengisisan kuesioner kedua dan pemeriksaan kembali di poli uroginekologi. Terdapat 3 pasien drop out dari penelitian, sehingga jumlah data yang dapat dialanilis adalah 30. Dilakukan analisis data untuk tujuan utama yaitu analisis perubahan skor FSFI setelah pembedahan dan pengaruh dari faktor usia, paritas, indeks massa tubuh, komorbiditas dan derajat prolaps. Sebagai data tambahan dilakukan penilaian perubahan genital hiatus dan total panjang vagina sebelum dan sesudah pembedahan. Hasil: Terdapat perbaikan total skor FSFI-6 sebelum dan sesudah pembedahan prolaps organ panggul yang bermakna dari 15.00±5.42 menjadi 17.90±4.38 dengan rerata perubahan 2.9 (p=0.000). Tidak terdapat pengaruh usia, paritas, IMT, derajat prolaps dan komorbiditas terhadap perubahan total skor FSFI. Rerata perubahan total panjang vagina dari 7.97±0.77 menjadi 6.80±0.87 (p=0.003) dan genital hiatus berkurang dari 5.57 ± 1.0 menjadi 3.28 ± 0.46 (p=0.000). ......Background: Pelvic organ prolapse (POP) have an impact on sexuality. Few studies evaluate the impact of sexual function after POP surgery showed varied difference results. Reconstructive surgery as a choice to recovery anatomical of pelvic floor in POP was expected to improved sexual function. Objective: The aim of this study to evaluate the changes of total sexual function index and all its domain after reconstructive surgery on POP and determine factors associated with this score changing. Methods: This cohort prospective observasional pre-post without control study performed between March 2020 and May 2021 in 33 patients sexually active with POP, mean age 56.83 ± 7.97 years, underwent reconstructive surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital and Fatmawati Hospital in Jakarta. All patients gave informed consent and completed the Female Sexual Function Index (FSFI)-6 Indonesian version’s questionnaire before surgery and underwent urogynaecological examination assessment. Three months after surgery patients repeated the FSFI questionnaire and a clinical check-up. There were 3 patients drop out from study and 30 patients complete the questionnaire. The primary end-point was post-operative sexual function as evaluated by the FSFI, the secondary end-points were determined factors associated whether the sexual function was related to age, parity, body mass index, comorbidity or severity of prolaps. The additional aim of this study was to calculate the change of objective anatomical genital hiatus and total vaginal length that measured with POPQ. Results: Preoperatively, the total FSFI score was 15.00 ± 5.42 and postoperatively 17.90 ± 4.38, giving a significant difference of 2.90 ± 1.04 (p<0.001). The median post-operative scores of all domains showed positive improvements. Twenty two women (76.6%) improved their FSFI-6 score postoperatively, six (20%) had an equal score, and one (3.3%) reported a lower score. There was no significant related factors associated the change of sexual function index to age, parity, body mass index, comorbidity and severity of prolapse in this study. In regards to vaginal anatomy, vaginal length was a lite shortly postoperatively from 7.97±0.77 to 6.80±0.87 (p=0.003), and vaginal caliber was significantly narrowed from 5.57 ± 1.0 to 3.28 ± 0.46 width (p=0.000). Conclusions: Our study results demonstrate that reconstructive surgery of POP resulting an improvement of total score sexual function index.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthonyus Natanael
Abstrak :
Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) didefinisikan sebagai turunnya visera pelvis (uterus, kandung kemih, uretra, dan rektum) dari posisi normal. Otot levator ani merupakan penopang panggul yang berperan penting dalam patogenesis POP. Studi sebelumnya menunjukkan terdapat perbedaan luas area hiatus dan panjang anteroposterior hiatus levator ani pada setiap derajat keparahan POP. Diagnosis POP dapat ditegakkan dengan POP-Q, namun pelaksanannya masih terbatas sehingga dibutuhkan alat pemeriksaan lain untuk skrining pasien. Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan metode consecutive sampling. Peneliti mengidentifikasi subjek POP dengan dan tanpa keluhan benjolan. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan POP-Q, panjang genital hiatus (Gh) dan perineal body (Pb), dan pemeriksaan USG translabial 3D/4D. Data dianalisis menggunakan SPSS Statistics 20 dengan uji T tidak berpasangan untuk membandingkan rerata parameter luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani. Selanjutnya dilakukan analisa ROC untuk mendapatkan nilai titik potong dengan estimasi sensitifitas dan spesifisitas terbaik untuk membedakan prolaps bergejala dan tidak bergejala benjolan. Hasil: Sebanyak 109 subjek ikut serta dalam penelitian ini. Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus (28,9+5,59 vs 19,6+4,63, p < 0,05 saat valsalva, 15,2+4,08 vs 12,5+3,15, p <0,005 saat kontraksi) dan panjang anteroposterior levator ani (8,6+1,06 vs 6,8+1.13, p<0,05) antara kelompok dengan keluhan benjolan dan kelompok tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani untuk membedakan subjek dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan adalah 25,1 cm2 [sensitifitas 84,6%, spesifisitas 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] dan 7,75 cm [sensitifitas 87,2%, spesifisitas 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)]. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus dan panjang anteroposterior levator ani antara kelompok dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas hiatus 25,1 cm dan panjang anteroposterior 7,75 cm memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik untuk membedakan kedua kelompok. ......Introduction: Pelvic organ prolapse (POP) is defined as descent of the pelvic viscera (uterus, bladder, urethra, and rectum) from its normal position. Levator ani muscle is the largest component of pelvic floor that plays an important part in POP pathogenesis. Previous study showed that there was difference in levator hiatus area and anteroposterior length on every grade of POP. The diagnosis of POP can be established from POP-Q tool, however its use is still very limited within its subspecialist practice causing the need of a new screening tool. Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sampling method. We classified POP subject with bulge symptom and without bulge symptom. Subjects that were willing to participate in this study under underwent POP-Q examination and 3D/4D transperineal ultrasonography. Data were analyzed using SPSS Statistics 20 with student’s t-test to compare levator hiatus area and anteroposterior length mean between 2 group. Results: A total of 109 subjects were included in this study. There was a significance difference in levator hiatus area (28.9+5.59 cm2 vs 19.6+4.63 cm2, p < 0/05 during valsalva maneuver, 15.2+4.08 cm2 vs 12.5+3.15 cm2, p <0.05 during contraction) and anteroposterior length (8.6+1.06 c, vs 6.8+1.13 cm, p<0,05) between group with bulge symptom and without bulge symptom. Levator hiatus area and anteroposterior length cutoff to differentiate between subject with and without bulge symtoms was respectively 25,1 cm2 [sensitivity 84,6%, specificity 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] and 7,75 cm [sensitivity 87,2%, specificity 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)]. Conclusion: There was a significant difference in levator hiatus area and anteroposterior length between group with and without bulge symptom. Levator hiatus area cut off at 25,1 cm2 anteroposterior length cut off at 7.75 cm showed good sensitivity and specificity to differentiate between 2 group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Kusumadewi
Abstrak :
Latar Belakang: Prolaps organ panggul (POP) pada wanita menimbulkan morbiditas. Untuk mengurangi angka re-operasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien dibutuhkan peningatan kualitas pelayanan secara terus menerus. Guideline yang saat ini secara luas dipakai dalam penatalaksanaan POP di Indonesia adalah Panduan Penatalaksanaan POP PB HUGI-POGI pada tahun 2013. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui insidensi POP dan melakukan audit kesesuaian pada penatalaksanaan kasus POP di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2016-2018. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain penelitian cross-sectional menggunakan data sekunder. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien POP yang didiagnosis dan mendapat tatalaksana di Polikinik Uroginekologi RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Januari 2016 sampai dengan Desember 2018, diikuti oleh wawancara pasien yang dipilih secara acak tentang follow up pasca operasi. Hasil: Terdapat 252 kasus prolaps organ pelvis di tahun 2016-2018 dengan prevalensi 15,96%. Proporsi kesesuaian anamnesis tatalaskana POP konservatif dan operatif adalah 88,1% dan 82,8%, pemeriksaan fisik 93,1% dan 97,3%, 100% pada informasi pemilihan tatakasana dan informed consent. Kepatuhan follow up 6 bulan dan 12 pasca operasi adalah masing-masing 40,4% dan 26,5%. Ketidakcocokan dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik disebabkan oleh beberapa formulir penilaian yang harus diisi serta formulir penilaian uroginekologi yang tidak terlampir dengan catatan medis pasien. Kesimpulan: Panduan usulan pelayanan asesmen pasien POP dengan penulisan pada formulir asesmen uroginekologi yang telah diperbaharui dan mengintegrasikan ke dalam rekam medik menjadi usulan berdasarkan hasil audit. ......Background: Pelvic organ prolapse (POP) in women causes significant morbidity. In order to reduce the number of re-operations and improve the quality of life of patients, consistent quality of patient care is required. The Executive Board of the Urogynecology Association of the Indonesian Obstetrics & Gynecology Associations 2013 POP guideline is widely used in Indonesia, but compliance to the guidelines needed to be evaluated. This study aimed to investigate the incidence of POP and to audit POP management in Cipto Mangunkusumo General Hospital, Indonesia, in 2016-2018. Method: This was a cross-sectional study on the medical records of POP patients who were diagnosed and treated at the Urogynecology Outpatient Clinic, Cipto Mangunkusumo General Hospital in January 2016 to December 2018, followed by randomly selected patient interview about follow-up discrepancy. Results: There were 252 cases of POP in 2016-2018, with a prevalence of 15.96%. Proportion of conformities in POP management with conservative and operative management was 88.1% and 82.8% in history taking, 93.1% and 97.3% in physical examination, both 100% in examinations and informed consent. Compliance of 6 months and 12 months follow up in operative management was 40.4% and 26.5%, respectively. Mismatches in history taking and physical examination were due to multiple assessment forms that have to be completed as well as unintegrated urogynecology assessment form with patients medical record. Conclusion: Our audit suggests that urogynecology assessment form should be integrated into patients medical records is needed to improve patient care. A patient book should be provided to improve follow-up rates.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendra Saputra
Abstrak :
Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) merupakan suatu permasalahan utama kesehatan dengan risiko seumur hidup pada perempuan yang menjalani paling sedikitnya satu kali intervensi pembedahan prolaps. Retensio urin pasca operasi rekonstruksi prolaps organ panggul disebabkan oleh beberapa faktor mulai dari pemeriksaan hingga penanganan pasca operasi yang berkontribusi terhadap terjadinya retensio urin. Penelitian di RSCM tentang penggunaan kateter 24 jam pada pasien pasca operasi prolapse organ panggul terhadap insiden retensio urin adalah sebesar 29,5%. Penelitian ini akan melakukan perbandingan penggunaan kateter 24 jam yang dibandingkan kateter 48 jam terhadap insiden retensio urin yang nantinya akan menjadi standar baku terbaru di RSCM dan RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Tujuan: Untuk mengetahui mana di antara kateter 24 jam dan 48 jam yang lebih baik untuk mengurangi angka kejadian retensio urin pascaoperasi prolaps organ panggul. Metode: Penelitian diagnosa, uji klinis acak, pengambilan sampel berturut-turut. Perbandingan antara kateter 24 jam dan 48 jam setelah operasi prolaps organ panggul Hasil: Total 54 subjek dalam penelitian ini, 3 subjek (11,1%) di antara 27 subjek dengan kateter 24 jam mengalami retensio urin. 1 subjek (3,7%) di antara 27 subjek dengan kateter 48 jam mengalami retensio urin. Kesimpulan: Penggunaan kateter 48 jam pascaoperasi prolaps organ panggul lebih baik daripada kateter 24 jam dalam mengurangi angka kejadian retensio urin. ......Background: Pelvic organ prolapse (POP) is a major health problem with a lifetime risk in women who undergo at least one prolapse surgical intervention. Postoperative retention of urine pelvic organ prolapse reconstruction is caused by a number of factors ranging from examinations to postoperative clients that contribute to the occurrence of urinary retention. Research at the RSCM about 24- hour catheter use in postoperative pelvic organ prolapse patients for the incidence of urinary retention was 29.5%. This study will compare the use of a 24-hour catheter compared to a 48-hour catheter against the incidence of urinary retention which will later become the latest standard in RSCM and RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Objective: To know which one among 24-hour and 48-hour catheter is better to decrease incidence of urinary retention after pelvic organ prolapse surgery. Methode: Diagnosis research, randomized clinical trial, consecutive sampling. Comparison between 24-hour and 48-hour catheter after pelvic organ prolapse surgery Result: Total 54 subjects in this research, 3 subjects (11.1%) among 27 subjects with 24-hour catheter experienced urinary retention. 1 subject (3.7%) among 27 subjects with 48-hour catheter experienced urinary retention. Conclussion: The application of 48-hour catheter after pelvic organ prolapse surgery is beter than 24-hour catheter to decrease the incidence of urinary retention.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rachmaniyah Fauziah
Abstrak :
ABSTRAK
TUJUAN: Mengetahui prevalensi serta karakteristik yang berhubungan dengan DDP, termasuk kasus POP, IU dan IF di poliklinik rawat jalan RSCM.LATAR BELAKANG: Disfungsi dasar panggul DDP termasuk prolaps organ panggul POP , inkontinensia urin IU dan inkontinensia fekal IF . Prolaps organ panggul prevalensinya semakin meningkat seiring dengan usia. Perubahan pada demografi populasi dunia akan menghasilkan pula dampak yang lebih besar pada perempuan, yang akan meningkatkan kelainan ginekologi salah satunya adalah terhadap permintaan pelayanan kesehatan terkait DDP. Diperkirakan peningkatan jumlah permintaan akan pelayanan DDP pada 30 tahun mendatang akan meningkat sebanyak dua kali lipat dari populasi. Rasa malu dan tidak nyaman pada saat pemeriksaan dasar panggul merupakan batasan yang signifikan bagi perempuan yang datang ke poliklinik.DESAIN DAN METODE: Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang, dengan populasi terjangkau yang dipilih secara konsekutif, berlangsung pada bulan Januari hingga April 2016 di poliklinik rawat jalan ginekologi, uroginekologi dan endokrinologi RSCM. Data diambil dari subjek penelitian menggunakan form penelitian serta dilakukan pemeriksaan dasar panggul menggunakan formulir POP-Q.HASIL: Sebanyak total 197 subjek, didapatkan prevalensi pasien DDP di poliklinik rawat jalan RSCM sebesar 33 . Prevalensi kasus POP adalah 26,4 ; kasus IU sebesar 15,3 serta kasus IF sebesar 2,5 . Dilakukan uji Chi square untuk menilai hubungan antara masing-masing karakteristik dengan kejadian DDP didapatkan kelompok usia > 60 tahun sebanyak 69 kali berisiko terjadinya DDP dan 14 kali pada kelompok usia 40-56 tahun; sebanyak 76 kali risiko terjadinya DDP pada kelompok multiparitas dan 14,2 kali pada primiparitas. Kelompok perempuan dengan persalinan pervaginam mempunyai risiko sebanyak 1,9 kali terjadinya DDP. Kelompok postmenopause mempunyai risiko terjadinya DDP sebesar 18 kali. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DDP ddidapatkan terbesar adalah usia diikuti oleh paritas, suku, cara persalinan dan menopause.KESIMPULAN: Disfungsi dasar panggul mempunyai pengaruh cukup besar terhadap perempuan dan meningkat dengan usia, paritas serta penuaan.
ABSTRACT
AIM To determine the prevalence and characteristics related to pelvic floor dysfunction PFD , including pelvic organ prolapse POP , urinary incontinence UI , and fecal incontinence FI in RSCM outpatient clinic. BACKGROUND Pelvic floor dysfunction including pelvic organ prolapse, urinary incontinence and fecal incontinence. Prevalence of pelvic organ prolapse increasing with age. Changes in the demographics of the world population will generate a greater impact on women, which will increase gynecological disorders which will impact the services demand related to PFD. It is estimated that demand of DDP services in the next 30 years will increased as much as twice of the population. The embarrassment and discomfort during the pelvic floor examination is a significant limitation for those who come to the clinic.DESIGN AND METHODOLOGY A Cross sectional study was conducted in the RSCM outpatient clinic, patients selected using consecutively sampling lasted from January until April 2016 at the gynecology, endocrinology and uroginekologi RSCM outpatient clinic. Data were taken from the study subjects using research form and pelvic floor examination using POP Q form.RESULTS A total of 197 subjects obtained in this study, the prevalence of patients with PFD found 33 . The prevalence of POP was 26.4 UI case of 15.3 and the case of FI of 2.5 . Chi square test performed to assess the relation between individual characteristics and PFD, found women aged 60 years and aged 40 59 years have probability 69 and 14 times respectively to developed PFD.The probability of developing PFD are 76 and 14,2 times in multiparity and primiparity. Woman with vaginal delivery had a change to developed PFD 1,9 times. Postmenopausal woman had a probability 18 times developing PFD. Strongest risk factor in PFD are age parity, race, mode of delivery and postmenopausal women.CONCLUSION Pelvic floor disorder affect a substantial of women and increases with age, parity and aging.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tyas Priyatini
Abstrak :
Disfungsi dasar panggul adalah komplikasi persalinan per vaginam dengan manifestasi utama prolaps organ panggul (POP), inkontinensia urin dan inkontinensia fekal sehingga menurunkan kualitas hidup. Diduga terdapat peran jaringan ikat kolagen dan elastin, namun biopsi berulang memiliki risiko perdarahan, nyeri serta infeksi. Oleh karena itu, dipikirkan produk metabolitkolagen dan elastin serum untuk mewakili kadar kolagen dan elastin di jaringan penunjang dasar panggul. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan penanda serum produk metabolit kolagen dan elastin untuk memprediksi disfungsi dasar panggul setelah persalinan per vaginam. Penelitian tahap pertama menggunakan desain prospektif kohort satu sisi untuk mengukur angka kejadian disfungsi dasar panggul 3 bulan setelah persalinan. Penelitian dilakukan di Poliklinik Obstetri Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo dan Puskesmas di lingkungan DKI Jakarta, selama periode Januari 2015 sampai Juli 2019. Tahap kedua menggunakan desain nested case control untuk menganalisis hubungan penanda serum kolagen dan elastin serta aktivitas MMP-9 pada kehamilan dan setelah persalinan dengan disfungsi dasar panggul. Penanda metabolit kolagen dan elastin (ICTP, desmosin), remodeling kolagen dan elastin (PINP, PIIINP, tropoelastin), serta MMP-9 diukur pada saat hamil, 24–48 jam, dan 6 minggu setelah persalinan. Tiga bulan setelah persalinan, inkontinensia urin, tekanan dan POP dinilai berdasarkan gejala, pemeriksaan POP-Q dan tes batuk. Data luaran sebelum dan sesudah persalinan dianalisis dengan uji t tidak berpasangan dan uji Mann Whitney. Dari 177 calon subjek, 4 subjek dieksklusi dan 113 subjek drop out. Dari 60 subjek yang diinklusi, 38 (63,3%) mengalami POP derajat 2 dan 25 subjek di antaranya (41,7%) mengalami sistokel derajat 2. Tidak ada perbedaan rerata seluruh marker degradasi dan sintesis kolagen 1,3 dan elastin serta MMP-9 antara kelompok POP dan kontrol. Analisis dilakukan dengan analisis kategorik menggunakan titik potong pada variabel yang memiliki AUC > 0.6. Pada hasil analisis bivariat prolaps organ panggul didapatkan hasil yang bermakna adalah yang memiliki nilai variabel p < 0,05 yaitu PINP setelah persalinan dan ICTP setelah persalinan. Setelah itu, dilakukan analisis multivariat dengan mengambil nilai variabel p < 0,25 ditemukan pada biomarker PINP setelah persalinan 106,9 dengan RR = 1,76 (95%CI: 1,14–3,00). Pada hasil analisis bivariat sistokel didapatkan hasil yang bermakna adalah yang memiliki nilai variabel p < 0,05 yaitu PINP kehamilan dan PINP setelah persalinan. Setelah itu, dilakukan analisis multivariat sistokel dengan menggambil nilai variabel p < 0.25 yaitu ditemukan biomarker PINP setelah persalinan 106,9 dengan RR = 2,53 (95%CI: 1,05–6,09). ......Pelvic floor dysfunction is a complication of vaginal delivery with the main manifestations of pelvic organ prolapse (POP), urinary incontinence and fecal incontinence, thereby reducing quality of life. It is suspected that there is a role for collagen and elastin connective tissue, but repeated biopsies carry the risk of bleeding, pain and infection. Therefore, it was considered the metabolic products of serum collagen and elastin to represent the levels of collagen and elastin in the pelvic floor supporting tissues. The aim of this study was to obtain serum markers of collagen and elastin metabolism products to predict pelvic floor dysfunction after vaginal delivery. The first phase of the study used a one-sided prospective cohort design to measure the incidence of pelvic floor dysfunction 3 months after delivery. The study was conducted at the Obstetrics Polyclinic, Department of Obstetrics and Gynecology, FKUI/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and Puskesmas in DKI Jakarta, during the period January 2015 to July 2019. The second phase used a nested case control design to analyze the relationship between serum collagen and elastin markers and MMP-9 activity in pregnancy and after delivery with pelvic floor dysfunction. Markers of collagen and elastin metabolism (ICTP, desmosin), collagen and elastin remodeling (PINP, PIIINP, tropoelastin), and MMP-9 were measured during pregnancy, 24–48 hours, and 6 weeks after delivery. Three months after delivery, urinary incontinence, pressure and POP were assessed on the basis of symptoms, POP-Q examination and cough test. The outcome data before and after delivery were analyzed by unpaired t test and Mann Whitney test. From 177 prospective subjects, 4 subjects were excluded and 113 subjects dropped out. Of the 60 included subjects, 38 (63.3%) had grade 2 POP and 25 (41.7%) had grade 2 cystocele. There was no difference in the mean of all markers of degradation and synthesis of collagen 1,3 and elastin and MMP-9 between the POP and control groups. The analysis was carried out by categorical analysis using cut points on variables that had AUC > 0.6. In the bivariate analysis of pelvic organ prolapse, significant results were obtained which had a variable value of p < 0.05, there were PINP after delivery and ICTP after delivery. After that, multivariate analysis was carried out by taking the variable value p < 0.25 it was found in PINP biomarkers after delivery ≥ 106.9 with RR = 1.76 (95% CI: 1,14–3,00). In the results of bivariate cystocele analysis, significant results were obtained which had a variable value of p < 0.05, there were PINP during pregnancy and PINP after delivery. After that, multivariate analysis of cystocele was carried out by taking the value of the variable p < 0.25, it was found in PINP biomarkers after delivery ≥ 106.9 with RR = 2.53 (95% CI: 1,05–6,09).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adri Dwi Anggayana
Abstrak :
Latar Belakang: Prolaps organ panggul merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita wanita usia lanjut. Salah satu gejala yang diakibatkan dari prolaps organ panggul adalah inkontinensia urin. Inkontinensia urin jenis tekanan merupakan jenis inkontinensia urin terbanyak. Pada beberapa penelitian sebelumnya didapatkan bahwa dengan meningkatnya derajat prolaps organ panggul akan meningkatkan kejadian inkontinensia urin jenis tekanan, akan tetapi hanya terdapat beberapa penelitian yang mendukung hipotesis ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara derajat prolaps kompartemen anterior dengan derajat inkontinensia urin jenis tekanan. Metode: Penelitian ini merupakan analitik observasional berdesain potong lintang menggunakan data dari rekam medis pada wanita dengan prolaps organ panggul dan inkontinensia urin jenis tekanan yang datang ke poli uroginekologi periode Juli 2019 – Mei 2020 di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo. Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah subyek dengan infeksi saluran kemih, riwayat pembedahan di pelvis, riwayat tumor abdomen atau massa di pelvis. Derajat prolaps kompartemen anterior diukur dengan menggunakan titik-Ba dari POP-Q, sedangkan derajat inkontinensia urin jenis tekanan diukur berdasarkan hasil tes pad 1 jam. Hasil:Sebanyak 32 subyek yang masuk dalam penelitian ini. Didapatkan tidak terdapat korelasi antara derajat prolaps kompartemen anterior dengan derajat inkontinensia urin jenis tekanan (r = 0,240, p = 0,182). Inkontinensia urin jenis tekanan yang tersembunyi dapat ditemukan pada prolaps kompartemen anterior derajat III dan IV. Kesimpulan:Meningkatnya derajat prolaps kompartemen anterior tidak diikuti dengan meningkatnya derajat inkontinensia urin jenis tekanan. ......Background:Pelvic organ prolapse is one of the most prevalent health problems in elderly women. One of its main symptoms is urinary incontinence. Stress urinary incontinence (SUI) is the most common type of urinary incontinence. Previous researches had indicated that the degree of anterior prolapse would increase the degree incidence of stress urinary incontinence. However, there are only a few studies supporting this hypothesis. This study aims to investigate the correlation between the degree of anterior compartment prolapse and stress urinary incontinence. Methods:An analytic observational study using cross sectional design by the medical record was done on women with pelvic organ prolapse and stress urinary incontinence that came to urogynecology clinic during the period of July 2019 to May 2020 in Cipto Mangunkusumo Hospital. Subjects with urinary tract infection, history of pelvic surgery, or history of abdominal/pelvic malignancy were excluded. The degree of anterior organ prolapse was measured using POP-Q system (Ba point) while the degree of SUI was measured using 1-hour pad test in grams. Results:A total of 32 subjects were included in the study. There was no correlation observed between the degree of anterior compartment prolapse and SUI degree (r = 0.240, p = 0.182). Occult type of SUI can be found in grade III and IV of anterior compartement prolapse. Conclusion:Higher stress urinary incontinence degree was not found in higher anterior prolapse degree in pelvic organ prolapse patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lestari Mustika Rini
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Avulsi levator ani merupakan lepasnya otot puborektalis dari insersinya pada dinding pelvis. Kejadian ini seringkali terjadi akibat trauma persalinan pervaginam dan dapat menyebabkan gejala uroginekologi beberapa tahun kemudian. Tujuan: Untuk mengetahui proporsi avulsi levator ani menggunakan ultrasonografi 3D/4D dan menentukan faktor-faktor persalinan pervaginam yang berkontribusi pada terjadinya avulsi levator ani diantara pasien dengan gejala prolaps organ panggul. Metode: Studi potong-lintang dilakukan pada pasien dengan gejala prolaps organ panggul di Poliklinik Uroginekologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Secara retrospektif dan prospektif dilakukan pengumpulan data sejak Januari 2012 hingga April 2017 dengan pemeriksaan klinis menggunakan POP-Q dan ultrasonografi 3D/4D transperineal untuk menilai otot levator ani.Hasil: Dari total 127 pasien prolaps organ panggul yang dimasukkan sebagai subjek memiliki median usia 61 26-80 tahun, median paritas 3 0-13 dengan 2 pasien nuligravida dan 2 pasien menjalani persalinan hanya dengan seksio sesarea. Sebanyak 10 subjek 7.9 , IK95 3.1-12.6 terdeteksi adanya avulsi levator ani menggunakan USG 3D/4D transperineal. Diantara kelompok avulsi tersebut dilakukan analisis dengan mengeksklusi 4 pasien tanpa persalinan pervaginam. Dari total 123 pasien, median usia pertama melahirkan adalah 26 18-31 tahun, p=0.156; median jumlah persalinan pervaginam adalah paritas 3 1-9 , p=0.19; riwayat persalinan dengan forsep hanya terdapat 1 kasus 10 , p=0.081; riwayat persalinan dengan vakum 10 , p=0.35, dari total 5 kasus vakum; dan berat lahir bayi terbesar dengan median 3470 3100-3700 gram, p=0.752.Kesimpulan: Proporsi avulsi levator ani pada pasien prolaps organ panggul di Poliklinik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebesar 7.9 . Faktor risko obstetri seperti usia pertama melahirkan, jumlah persalinan pervaginam, riwayat persalinan dengan forsep, riwayat persalinan dengan vakum dan berat lahir bayi terbesar tidak dapat disimpulkan hubungannya dengan terjadinya avulsi levator ani.
ABSTRACT
Background Avulsion of levator ani could arise from detachment of puborectalis muscle form its insertion on the pelvic sidewall. This manifest is a common consequence of vaginal childbirth trauma and could represent urogynecological symptoms many years later. Objective To estimate the proportion of levator ani avulsion using 3D or 4D ultrasound and determine the vaginal birth factors that contribute to levator ani avulsion among the symptomatics of pelvic organ prolapse women. Methods Cross sectional study was conducted among women with symptomatic pelvic organ prolapse in Urogynecology Clinic RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patients were retrospective and prospectively investigated from January 2012 until April 2017 by clinical examination using POP Q system and 3D 4D imaging of levator ani muscle.Results A total 127 women with pelvic organ prolapse were included in this study, median age was 61 26 80 years, median parity was 3 0 13 with 2 patients were nulligravid and 2 patients have giving birth by c section only. There were 10 cases 7.9, IK95 3.1 12.6 levator avulsion by transperineal 3D 4D US exam. In the group of levator avulsion, 4 cases without history vaginal birth were excluded. Of total 123 patients, first age delivery median was 26 18 31 years, p 0.156 vaginal birth parity median was 3 1 9, p 0.19 1 case forceps delivery 10, p 0.081 vacuum delivery 10, p 0.35, from total vacuum history was 5 cases and maximum birthweight median mas 3470 3100 3700 gram, p 0.752.Conclusion Proportion of levator avulsion in women with pelvic organ prolaps at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was 7.9 . First age delivery, vaginal birth parity, forceps delivery, vacuum delivery, dan maximum birth weight as obstetric factors cannot be concluded these association to levator avulsion.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library