Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Athira Khaira Mulyaputri
"Pertengahan abad ke-19 ditandai sebagai inisiasi awal pembangunan fasilitas kesehatan jiwa di Hindia-Belanda. Sensus penduduk tahun 1862 menghasilkan tingginya jumlah penduduk yang menderita gangguan kejiwaan di Pulau Jawa dan Madura sehingga dibutuhkan penanganan khusus. Hal inilah yang menjadi dasar pembangunan rumah sakit jiwa HindiaBelanda pertama dengan penempatan di Buitenzorg. Gambaran kehidupan sosial masyarakat di Rumah Sakit Jiwa Buitenzorg dapat dilihat dari pembagian pasien dan pegawai dalam kelaskelas tertentu. Pasien dibagi menjadi empat tingkatan kelas yang terdiri dari kelas 1, 2, dan 3 untuk orang Eropa dan kelas 4 untuk Pribumi dan Cina. Pada golongan pegawai, kelas sosial dapat terlihat yang membedakan masyarakat berdasarkan ras, jabatan, dan penghasilan. Perbedaan kelas pasien dan pegawai Rumah Sakit Jiwa dapat tercermin pada tinggalan budaya berupa bangunan yang didukung oleh arsip sejarah. Penelitian ini membahas gambaran kehidupan sosial pasien dan pegawai di Rumah Sakit Jiwa Buitenzorg berdasarkan pemikiran Marxisme dengan mengacu pada metode penelitian arkeologi menurut Sharer & Ashmore (2003), yaitu formulasi penelitian, implementasi penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, interpretasi data, dan publikasi hasil penelitian. Penelitian ini mengungkapkan pembagian dua tingkatan kelas sosial masyarakat di Rumah Sakit Jiwa Buitenzorg, yaitu kelas borjuis dan proletar. Pembagian kelas ini didasarkan analisis pada karakteristik bangunan, fasilitas, dan pelayanan yang diperoleh golongan pasien dan pegawai dari masyarakat Eropa, Cina, dan Pribumi.
The middle of the 19th century was marked as the initial initiation of the construction of mental health facilities in the Dutch East Indies. The population census in 1862 resulted in a high number of people suffering from mental disorders in Java and Madura, therefore special treatment was needed. This made the basis for the construction of the first mental hospital in the Dutch East Indies with a placement in Buitenzorg. The social life of people in the Buitenzorg Mental Hospital can be seen from the division of patients and staffs into certain classes. Patients were divided into four classes consisting of class 1, 2, and 3 for Europeans and class 4 for Indigenous and Chinese. For the staffs, social class can be seen which distinguishes people based on race, position, and income. Differences in the class of patients and staffs of the Mental Hospital can be reflected in the cultural remains in the form of buildings that are supported by historical records. This study discusses the description of the social life of patients and employees at the Buitenzorg Psychiatric Hospital based on Marxist thought based on archaeology research method by Sharer & Ashmore (2003), start from research formulation, research implementation, data collection, data processing, data analysis, data interpretation, and publication. This study reveals the division of two levels of social classin the Buitenzorg Mental Hospital, namely the bourgeoisie and proletarian classes. This class division is based on an analysis of the characteristics of the buildings, facilities, and services obtained by the patient and staffs from European, Chinese, and Indigenous communities."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Rizka Wirasatya
"Dalam pembentukan suatu kota sangat penting keberadaan tempat untuk hangout bagi para penduduknya, terutama bagi para remaja yang memang membutuhkan tempat tersebut sebagai sarana hiburan. Kegiatan hangout saat ini sudah menjadi gaya hidup bagi masyarakat perkotaan. Gaya hidup masyarakat modern, khususnya remaja secara perlahan didominasi oleh kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri, maka para remaja ditentukan berdasarkan kemampuan ekonominya dan karakteristik psikografisnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemilihan lokasi hangout remaja baik yang formal maupun yang informal, serta mengetahui pola pemilihan lokasi hangout remaja Kota Depok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan pendekatan secara keruangan untuk menjelaskan data-data yang diperoleh di lapangan dari hasil kuisioner. Hasil penelitian menunjukkan para remaja dengan uang saku yang tinggi dan memiliki gaya hidup hedonis cenderung lebih memilih lokasi hangout formal yang berada di kawasan CBD Kota Depok, yaitu di sepanjang jalan Margonda Raya. Remaja dengan karakteristik tersebut tidak peduli dengan jarak yang ditempuh, walaupun jaraknya tidak dekat, namun karena nyaman dengan suatu tempat maka para remaja tetap memilih lokasi hangout tersebut. Remaja dengan kekuatan ekonomi yang rendah dan memiliki gaya hidup proletar cenderung memilih lokasi hangout yang dekat dengan tempat tinggalnya. Dalam pembentukan suatu kota sangat penting keberadaan tempat untuk hangout bagi para penduduknya, terutama bagi para remaja yang memang membutuhkan tempat tersebut sebagai sarana hiburan. Kegiatan hangout saat ini sudah menjadi gaya hidup bagi masyarakat perkotaan. Gaya hidup masyarakat modern, khususnya remaja secara perlahan didominasi oleh kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri, maka para remaja ditentukan berdasarkan kemampuan ekonominya dan karakteristik psikografisnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemilihan lokasi hangout remaja baik yang formal maupun yang informal, serta mengetahui pola pemilihan lokasi hangout remaja Kota Depok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan pendekatan secara keruangan untuk menjelaskan data-data yang diperoleh di lapangan dari hasil kuisioner. Hasil penelitian menunjukkan para remaja dengan uang saku yang tinggi dan memiliki gaya hidup hedonis cenderung lebih memilih lokasi hangout formal yang berada di kawasan CBD Kota Depok, yaitu di sepanjang jalan Margonda Raya. Remaja dengan karakteristik tersebut tidak peduli dengan jarak yang ditempuh, walaupun jaraknya tidak dekat, namun karena nyaman dengan suatu tempat maka para remaja tetap memilih lokasi hangout tersebut. Remaja dengan kekuatan ekonomi yang rendah dan memiliki gaya hidup proletar cenderung memilih lokasi hangout yang dekat dengan tempat tinggalnya.
In the forming of a city the existence of a place for hangout is very important, especially for teenagers who really need it as a means of entertainment. Hangout activity has now become a lifestyle for urban communities. The lifestyles of modern society, especially adolescents are slowly dominated by the need for self esteem and self actualization, then adolescents are determined on the basis of their demographic characteristic and psycographic characteristic. This study aims to determine the pattern of election of teenagers hangout location either it is formal or informal, and knowing the pattern of teens hangout location selection in Depok City. The method used in this research is descriptive analysis with spatial approach to explain the data obtained in the field from the results of the questionnaire. The results showed that teenagers with high pocket money and hedonistic lifestyle tend to spent their money on formal hangout location in the CBD area of Depok City, which is along Margonda Raya road. Teenagers with these characteristic are not concerned with the distance traveled, although the distance is not close, but because the location is within the preference of them then teenagers still choose the location wherever it is. Teenagers with low economic strength and proletarian lifestyle tend to choose a hangout location close to where they live."
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S68363
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library