Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Darden, Christopher A.
New York: Regan Books , 1996
345.73 DAR c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Martiman Prodjohamidjojo
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
347.01 MAR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Antoro
"Pemberantasan korupsi merupakan prioritas utama penegakan hukum dewasa ini. Kejaksaan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya mewujudkannya. Sesuai peraturan yang berlaku lnstansi Kejaksaan dengan personil Jaksa-Jaksanya mernpunyai tugas yang cukup berat antara lain sebagai Penuntut Umum dan juga sebagai Penyidik perkaraperkara tertentu termasuk perkara korupsi. Atas kewenangan yang dirnil i ki sebagai penyidik perkara korupsi, Jaksa memi liki wewenang khusus yang tertuano dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nornor 20 Tahun 2001, yang isinya yaitu bahwa "Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tarhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukari lain dalam Undang-Undang ini, dan diperjelas dalam penjelasan Pasal 26 menyatakan bahwa "Kewenangan Penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk meiakukan penyadapan (wiretapping)". Dengan adanya kewenangan ini maka Jaksa memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretapping) dalam upaya penanganan perkara korupsi. Dengan kewenangan penyadapan (wiretapping) ini timbul permasalahan yang penting untuk dilakukan penelitian, yaitu tentang legalitas penyadapan (wiretapping) yang dilakukan oleh Jaksa penyidik, tentang kaftan penyadapan (wiretapping) dengan Hak Azasi Manusia, serta tentang nilai pembuktian dart hasil penyadapan dalam persidangan. Dengan permasalahan tersebut dikhawatirkan terjadi ketidak jelasan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi terhambat. Tulisan ini akan meneliti tentang permasalahan yang timbul akibat penyadapan (wiretapping) serta bagaimana mngatasinya, dengan mengemukakan hal-hal pendukung yang dapat memperjelas bagaimana sebenarnya Cara yang harus ditempuh guna mengatasi permasalahan ini dan dengan tulisan ini kita diharapkan akan memperoleh kejelasan tentang permasalahan-permasalahan lain yang timbul akibat kewenangan penyadapan (wiretapping) yang dimilik oleh Jaksa Penyidik.

Corruption Handling is the main priority in law enforcement now a day. Attorney General Office is open of the main essence to put it real. According to the rule, Attorney General Office and its personnel have the heaviest duty such as a prosecutor and also an investigator on s special cases included corruption cases. Based on the authority as an investigator in corruption cases, public attorney have special task in Article 26 Law Number 31 year 1999 which reform by Law Number. 20 Year 2001 Which says : "Investigating, Prosecuting, and Hearing in trial of corruption field based on the criminal procedure, unless it says differently in this Law" and clearance in the explanation of Article 26 which says "The Investigator authority in this article included the authority to wiretapping'. Based on this authority, public attorney can do the wiretapping while handling the Corruption Cases. With this wiretapping authority occurs some problem that important to researched, there are the legality of wiretapping by public attorney as investigator, the relation between wiretapping and Human Rights, and the valve of evidence from the result of wiretapping in the court. With those problems concern to be blur in law enforcement these thesis will discuss the problem occurred from wiretapping and how to solved and explain all those things to make it clearly of how to handling the problem, with this writing hopefully we will have clearness about the other problems which occur from the investigator authority of wiretapping."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19291
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
"Dalam sistem peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini seharusnya dapat bekerja lama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dan sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat. Dalam dua periode berlakunya hukum acara pidana, yaitu sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP, terdapat perbedaan penting dilihat dari aspek penyidikan tindak pidana (baik tindak pidana umum maupun penyidikan tindak pidana khusus) serta kewenangan dari lembaga polisi dan kejaksaan. Terdapat perbedaan pola hubungan antara polisi dan jaksa dalam dua periode tersebut dalam soal penyidikan tindak pidana. Pengkajian terhadap hubungan antarlembaga di atas, khususnya antara polisi dan jaksa, menjadi suatu yang sangat mendesak apabila diingat bahwa ternyata sejak masa penjajahan hingga hari ini antara kedua lembaga penegak hukum di atas masih sering timbul masalah, terutama yang berkorelasi dengan tugas penyidikan, tidak saja penyidikan terhadap tindak pidana khusus tetapi juga tindak pidana umum. Tesis ini meneliti tentang rumusan konseptual mengenai kedudukan, tugas, wewenang dan fungsi kepolisian dan kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, perkembangan hubungan antara polisi dan jaksa pada periode sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP dilihat dari aspek yuridis, sosiologis maupun politis, perbandingan kewenangan penyidikan polisi dan jaksa di Indonesia baik dalam tindak pidana umum maupun dalam tindak pidana khusus, pada periode sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP. Pada masa sebelum KUHAP, keterlibatan serta pengetahuan jaksa dalam penyidikan sangat besar. Disamping itu, tidak diperlukan adanya penghubung seperti prapenuntutan. Hal ini berlangsung terus sampai munculnya keinginan polisi untuk tidak lagi menjadi pihak kedua dalam bidang penyidikan. Polisi ingin menjadi penanggung jawab dalam kepolisian yustisiil atau kepolisian represif, tidak lagi di bawah jaksa. Hal ini memunculkan suatu persaingan profesionalitas antara polisi dan jaksa, sebab pihak jaksa atas alasan sejarah, perbandingan dengan negara lain, serta efektifitas penyidikan dan penuntutan tetap menginginkan memegang peran dalam bidang penyidikan. Dengan KUHAP, semakin jelas adanya pemisahan fungsi antara polisi dan jaksa. Antara mereka dihubungkan dengan suatu bentuk koordinasi fungsional, yaitu pemberitahuan dimulainya penyidikan, pemberitahuan dihentikannya penyidikan, perpanjangan penahanan, serta penyerahan berkas perkara yang jika belum lengkap dilakukan prapenuntutan. Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan dibentuklah koordinasi secara institusional melalui lembaga makehjapol dan lain-lain. Dalam perjalanan, konfigurasi hubungan polisi dan jaksa ternyata menghadapi masalah-masalah yang berakibat tidak dicapainya peradilan pidana yang cepat, sederhana dan biaya ringan serta tidak dicapainya rasa keadilan. Masalah-masalah itu antara lain bolak-baliknya berkas dari polisi ke jaksa dan sebaliknya tanpa waktu yang jelas, tidak selesainya perkara karena berkas yang sudah diserahkan jaksa tidak pernah kembali lagi ke jaksa, penyerahan pemberitahuan dimulainya penyidikan bersamaan dengan berkas perkara sehingga jaksa tidak mengikuti sejak awal, dan sebagainya. Ketentuan yang menghubungkan polisi dan jaksa pada masa KUHAP merupakan suatu penemuan penting yang sebenamya dapat menjembatani dua hal. Pertama, koordinasi fungsional antara polisi dan jaksa yang harus bekerja secara terpadu dalam suatu sistem peradilan pidana; kedua, kesadaran bahwa sebenarnya terdapat masalah antara polisi dan jaksa terutama menyangkut siapa yang berhak menyidik atau siapa yang bertanggung jawab dalam penyidikan atau sejauh mana peranan jaksa dalam bidang penyidikan. Dengan demikian, koordinasi fungsional seperti pemberitahuan dimulainya penyidikan, penghentian penyidikan, perpanjangan penahanan serta lembaga pra-penuntutan merupakan suatu formula kompromi untuk mencapai efektifitas proses peradilan pidana, tetapi dalam konfigurasi penegak hukum yang sudah berbeda dibanding pada masa HER di mana jaksa merupakan magistraat sedangkan polisi help magistraat. Sayangnya, terdapat kerancuan pemahaman serta penafsiran terhadap ketentuan tersebut. Yang muncul dalam praktik kemudian adalah bahwa polisi berada dalam satu kotak sementara jaksa di dalam kotak yang lain (Topo Santoso, Studi Tentang Hubungan Polisi dan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Verdy Firmansyah
"Restorative justice dewasa ini telah diadopsi menjadi suatu bentuk baru dalam upaya penegakan hukum di Indonesia oleh aparat penegak hukum. Secara khusus, metode ini telah diadopsi oleh kepolisian dan kejaksaan selama beberapa tahun terakhir. Pelaksanaan restorative justice ini telah dilandasi oleh payung hukum di masing-masing institusi namun payung hukum tersebut justru menimbulkan kesenjangan di lapangan ketika restorative justice diimplementasikan. Kesenjangan ini dapat diatasi ketika restorative justice dioptimalkan di tingkat kepolisian sehingga implementasi restorative justice antara kepolisian dan kejaksaan menjadi lebih seirama.
Maka, penelitian ini dilaksanakan untuk: (1) mengetahui faktor non-penal yang membuat kepolisian tidak optimal dalam menerapkan restorative justice; dan (2) mengidentifikasi upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki restorative justice di lingkungan Polri dari perspektif faktor non-penal. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan data-data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara dan studi literatur. Seluruh data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan berpedoman pada empat teori yang terdiri dari: (1) Sistem Peradilan Pidana; (2) Crime Control Model dan Due Process Model; (3) Sosiologi Hukum; dan (4) Restorative Justice. Adapun tahapan dalam analisis ini terdiri dari: (1) pengolahan dan persiapan data untuk dianalisis; (2) pembacaan data secara keseluruhan; (3) analisis detail terhadap data yang telah dikumpulkan; (4) mendeskripsikan tatanan, kategori, dan tema yang hendak dianalisis terhadap data yang telah dikumpulkan; (5) menyajikan deskripsi dan tema dalam narasi atau laporan naratif; dan (6) interpretasi atau pemaknaan data.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) tiga faktor non-penal dapat mempengaruhi implementasi restorative justice yang optimal di tingkat penyelidikan-penyidikan yaitu faktor psikologis, faktor ekonomis, dan faktor administratif; dan (2) implementasi restorative justice di lingkungan kepolisian ini dapat diperbaiki dan ditingkatkan melalui inisiatif berupa pendampingan atau edukasi untuk faktor psikologis, mekanisme pengawasan untuk faktor ekonomis, dan fasilitasi keluarga untuk faktor administratif

Restorative justice has recently been adopted into a new form of law enforcement in Indonesia. Specifically, the method has been adopted by the police and the prosecutors within the last several years. The implementation of restorative justice has been based on the legal protection of each institution but, unfortunately, the legal protection has instead triggered the discrepancy in the field as the restorative justice is implemented. The discrepancy may thus be solved when the restorative justice is optimized in the police; thereby, the implementation of restorative justice between the police and the prosecutors can be more harmonious.
Hence, the study is conducted in order to: (1) identify the non-penal factors that have caused the police not optimally implement the restorative justice; and (2) identify the efforts that can be done in order to improve the restorative justice implementation in the jurisdiction of Indonesian National Police from the perspective of non-penal factors. The approach that has been adopted in the study is the qualitative approach and the data for the study have been collected through interview and literature study. All of the data that have been collected are then analyzed with reference to the four theories as follow: (1) Criminal Justice System; (2) Crime Control Model and Due Process Model; (3) Sociology of Law; and (4) Restorative Justice. Then, the stages in the data analysis consist of: (1) data processing and preparation for analysis; (2) data reading in overall; (3) detailed analysis toward the data that have been collected; (4) setting, category and theme description for the analysis toward the data that have been collected; (5) theme and description presentation in the form of narrative or narrative report; and (6) data interpretation.
The results of the study show that: (1) three non-penal factors, namely the psychological factor, the economic factor and the administrative factor, may influence the optimal restorative justice implementation; and (2) the restorative justice implementation in the police department can be improved by using mentoring or education for the psychological factors, monitoring mechanism for the economic factors and family facilitation for the administrative factors.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Sekar Maretta
"ABSTRAK
Tugas karya akhir ini membahas mengenai kinerja Komisi Kejaksaan RI yang tidak efektif dari tahun 2015-2017 sebagai pemicu terjadinya kejahatan negara. Ketidakefektifan ini akan ditinjau menggunakan perspektif kriminologi kritis. Kriminologi kritis akan melihat negara sebagai kelompok yang berkuasa telah membuat aturan instrumental dan melakukan kejahatan. Berdasarkan laporan tahunan pengaduan masyarakat yang diterima oleh Komisi Kejaksaan terdapat 812 laporan pada tahun 2015, 1048 laporan tahun 2016 dan 878 laporan pada tahun 2017. Jumlah laporan pengaduan ini akan penulis analisis untuk melihat efektifitas dari kinerja Komisi Kejaksaan dalam mengawasi pelanggaran jaksa. Penulis akan menggunakan konsep crime triangle untuk menganalisis Komisi Kejaksaan yang memiliki pengawasan tidak mumpuni. Selain itu, penulis juga akan mengaitkan kinerja Komisi Kejaksaan dengan state crime yang berupa crime dan hubungannya dengan masyarakat sebagai korban kejahatan. Tugas karya akhir ini diharapkan dapat menjelaskan signifikansi kelemahan dari Komisi Kejaksaan yang mempengaruhi efektivitas dan kaitannya dengan state crime.

ABSTRACT
The task of this final paper discusses the performance of the Indonesian Prosecutors Office which was ineffective between 2015-2017 as a trigger for the occurrence of state crime. This ineffectiveness will be reviewed using a critical criminology perspective. Critical criminology will see the state as a ruling group making instrumental rules and committing crimes. Based on the annual report of publik complaints received by the Prosecutors Commission, there were 812 reports in 2015, 1048 reports in 2016, and 878 reports in 2017. The number of complaints reports will be analyzed by the author to see the effectiveness of the Prosecutors Commission in monitoring prosecutors violations. The author will use the Crime Triangle to analyze the Prosecutor's Commission that has inadequate supervision. In addition, the author will also link the performance of the Prosecutor's Commission to state crime in the form of crime of omission and its relationship with the society as victims of crime. The task of this final work is expected to explain the significance of the weaknesses of the Prosecutor's Commission that affect its effectiveness and relation to state crime."
2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library