Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eppy
"Hubungan antara peningkatan kadar interleukin-6 dan protein C reaktif dengan kebocoran plasma pada penderita infeksi dengue dewasa masih belum jelas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar IL-6 dan protein C reaktif antara kelompok infeksi dengue dengan dan tanpa kebocoran plasma. Penelitian dilakukan secara potong lintang terhadap data sekunder dari penderita infeksi dengue dewasa yang dirawat di RSCM dan RSUP Persahabatan antara 1 Maret 2014 - 1 April 2015. Jumlah total sampel adalah 44 orang, terdiri dari 24 orang dengan kebocoran plasma dan 20 orang tanpa kebocoran plasma. Kadar IL-6 pada kelompok dengan dan tanpa kebocoran plasma masing-masing pada hari ke-3 dan ke-5 demam adalah 8,56 vs 3,80 (p = 0,069) pg/mL dan 4,30 vs 2,76 pg/mL (p = 0,025), sedangkan untuk protein C reaktif adalah 10,1 vs 6,8 mg/L (p = 0,014) dan 5,0 vs 2,9 mg/L (p = 0,048).
Kadar IL-6 hari ke-3 dan ke-5 demam pada kelompok dengan kebocoran plasma adalah 8,56 vs 4,30 pg/mL (p = 0,037) dan pada kelompok tanpa kebocoran plasma adalah 3,80 vs 2,76 pg/mL (p = 0,005). Kadar protein C reaktif hari ke-3 dan ke-5 demam pada kelompok dengan kebocoran plasma adalah 10,1 vs 5,0 mg/L (p = 0,0001) dan pada kelompok tanpa kebocoran plasma adalah 6,8 vs 2,9 mg/L (p = 0,0001). Tidak ada perbedaan kadar IL-6 pada hari ke-3 demam di antara kedua kelom-pok, sedangkan pada hari ke-5 demam kadarnya lebih tinggi pada kelompok dengan kebocoran plasma. Kadar protein C reaktif hari ke-3 dan ke-5 demam lebih tinggi pada kelompok dengan kebocoran plasma. Kadar IL-6 dan protein C reaktif hari ke-3 lebih tinggi dibandingkan hari ke-5 demam pada kedua kelompok.

There is stiil unclear association between the elevation of interleukin-6 and C-reactive protein levels with plasma leakage in adult dengue infection patients. The study aims to determine differences in the levels of interleukin-6 and C-reactive protein among groups of dengue infection with and without plasma leakage. This is a cross-sectional study of secondary data from adult patients with dengue infection were treated at Cipto Mangunkusumo and Persahabatan Hospital between March 1, 2014 until April 1, 2015. The total number of samples were 44 people, consisting of 24 people with plasma leakage and 20 people without plasma leakage. Median levels of interleukin-6 for groups with and without plasma leakage each for the 3rd and the 5th day of fever were 8.56 vs 3.80 pg/mL(p = 0.069) and 4.30 vs 2.76 pg/mL (p = 0.025), whereas for C-reactive protein were 10.1 vs 6.8 mg/L ( p = 0.014) and 5.0 vs 2.9 mg/L (p = 0.048).
Median levels of interleukin-6 on the 3rd and the 5th day of fever in the group with plasma leakage were 8.56 vs 4.30 pg/mL (p = 0.037) and in the group without plasma leakage were 3.80 vs 2.76 pg/mL (p = 0.005). Median level of C-reactive protein on the 3rd and 5th day of fever in the group with plasma leakage were 10.1 vs 5.0 mg/L (p = 0.0001) and in the group without plasma leakage were 6.8 vs 2.9 mg/L (p = 0.0001). There was no differences in levels of interleukin-6 on the 3rd day of fever between the two groups, while on the 5th day of fever interleukin-6 levels was higher in the group with plasma leakage. The levels of C-reactive protein on the 3rd and the 5th day of fever were higher in the group with plasma leakage. The level of Interleukin-6 and C-reactive protein on the 3rd day of fever were higher than the 5th day of fever in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adeputri Tanesha Idhayu
"Latar Belakang: Infeksi dengue dan demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Namun pada awal awitan demam terdapat kesulitan dalam membedakan keduanya. Oleh karena itu dibutuhkan modalitas pemeriksaan penunjang yang sederhana untuk membantu diagnosis infeksi dengue dan demam tifoid. C-Reactive Protein (CRP) merupakan alat bantu diagnostik yang terjangkau, cepat dan murah untuk diagnosis penyebab demam akut. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kadar CRP pada demam akut karena infeksi dengue dengan demam tifoid.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien demam akut dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue atau demam tifoid yang dirawat di IGD atau ruang rawat RSCM, RS Pluit dan RS Metropolitan Medical Center Jakarta dalam kurun waktu Januari 2010 sampai dengan Desember 2013. Kadar CRP yg diteliti adalah CRP yang diperiksa 2-5 hari setelah awitan demam. Data penyerta yang dikumpulkan adalah data demografis, data klinis, pemberian antibiotik selama perawatan, leukosit, trombosit, netrofil, LED dan lama perawatan.
Hasil: Sebanyak 188 subjek diikutsertakan pada penelitian ini, terdiri dari 102 pasien dengue dan 86 pasien demam tifoid. Didapatkan median (RIK) CRP pada infeksi dengue adalah 11,65 (16) mg/L dan pada demam tifoid adalah 53 (75) mg/L. Terdapat perbedaan median CRP yang bermakna antara infeksi dengue dan demam tifoid (p <0,001). Pada titik potong persentil 99%, didapatkan hasil kadar CRP infeksi dengue sebesar 45,91 mg/L dan kadar CRP demam tifoid pada level persentil 1% sebesar 8 mg/L.
Simpulan: Terdapat perbedaan kadar CRP pada demam akut karena infeksi dengue dengan demam tifoid. Pada titik potong persentil 99%, kadar CRP >45,91 mg/L merupakan diagnostik CRP untuk demam tifoid, kadar CRP <8 mg/L merupakan diagnostik CRP untuk infeksi dengue. kadar CRP 8-45,91 mg/L merupakan area abu-abu dalam membedakan diagnosis keduanya.

Background: Dengue infection and typhoid fever are endemic disease in Indonesia. But in the early days of onset sometimes it is difficult to distinguish them. A simple modality test is needed to support the diagnosis. C-Reactive Protein (CRP) is an affordable, fast and relatively less expensive diagnostic tool to diagnose the causes of acute fever. This study was aimed to determine the differences of CRP level in the acute febrile caused by dengue infection or typhoid fever.
Methods: A cross sectional study has been conducted among acute febrile patients with diagnosis of dengue fever/dengue hemorrhagic fever or typhoid fever who admitted to the emergency room or hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital, Pluit Hospital, and Metropolitan Medical Center Hospital Jakarta between January 2010 and December 2013. Data obtained from medical records. CRP used in this study was examined at 2-5 days after onset of fever. The other collected data were demographic data, clinical data, use of antibiotics, leukocytes, platelets, neutrophils, ESR, and length of stay in hospital.
Results: 188 subjects met the inclusion criteria; 102 patients with dengue and 86 patients with typhoid fever. Median CRP levels in dengue infection was 11.65 (16) mg/L and in typhoid fever was 53 (75) mg/L. There were significant differences in median CRP levels between dengue infection and typhoid fever (p < 0.001). At the 99% percentile cut-off point, CRP levels for dengue infection was 45.91 mg/L and CRP levels for typhoid fever at 1% percentile was 8 mg / L.
Conclusion: There was significantly different levels of CRP in acute fever due to dengue infection and typhoid fever. At the 99% percentile cut-off point, CRP level >45.91 mg/L was diagnostic for typhoid fever, CRP level <8 mg/L was diagnostic for dengue infection. CRP level between 8 to 45.91 mg/L was a gray area for determinating diagnosis of dengue infection and typhoid fever.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdillah Yasir Wicaksono
"ABSTRACT
Skleroderma (sklerosis sistemik) merupakan penyakit autoimun dengan ciri fibrosis kulit dan organ viseral. Skleroderma menurunkan kualitas hidup penderitanya dan menyebabkan kematian, yang dapat diakibatkan oleh penyakit paru interstisial (ILD) sebagai manifestasi fibrotik pada skleroderma. Pemantauan ILD pada skleroderma memerlukan penilaian penanda inflamasi, termasuk di antaranya adalah laju endap darah (LED) dan kadar protein c-reaktif (CRP) darah, serta penilaian fungsi paru dengan menilai kapasitas vital paksa (KVP). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara LED dan CRP dengan KVP pada pasien skleroderma di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penelitian potong lintang dilakukan dengan mengumpulkan data dari rekam medis pasien tahun 2013-2015. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya korelasi yang signifikan antara LED dengan KVP (r=0,209; p=0,287) dan CRP dengan KVP (r=0,261; p=0,241).
ABSTRACT
Scleroderma (systemic sclerosis) is an autoimmune disease characterized by the fibrosis of skin and visceral organs. Scleroderma affects the quality of life and cause mortality, which may be caused by interstitial lung disease (ILD) as the fibrotic manifestation of scleroderma. Monitoring of ILD in scleroderma requires the evaluation of markers of inflammation, including erythrocyte sedimentation rate (ESR) and CRP level, and also evaluation of lung function by measuring forced vital capacity (FVC). The objective of this study is to determine the correlation of ESR and CRP to FVC in scleroderma patients of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. A cross-sectional study was done by gathering data from medical records of patients from year 2013-2015. The study showed that there is no significant correlation between ESR and FVC (r=0,209; p=0,287 and between CRP and FVC (r=0,261; p=0,241)."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Pranindya Sari
"Pendahuluan: Neutrofil merupakan sel inflamasi yang diyakini berperan pada patogenesis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Telah terdapat bukti korelasi antara hambatan aliran udara pada pasien PPOK dengan kadar neutrofil sputum. Penelitian beberapa tahun terakhir membuktikan nilai rasio neutrofillimfosit (RNL) dan protein C-reaktif (CRP) dari darah perifer berpotensi menjadi petanda inflamasi sistemik, tidak terkecuali PPOK. Beberapa penelitian membuktikan nilai RNL dan CRP lebih tinggi pada pasien dengan PPOK dibanding orang normal. Begitu pula saat kondisi eksaserbasi, nilai RNL dan CRP lebih tinggi daripada kondisi stabil. Selain itu terdapat bukti korelasi antara hasil spirometri dengan nilai RNL dan CRP. Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan sejauh ini menunjukkan bahwa nilai RNL dan CRP dapat menjadi suatu penilaian yang layak diperhatikan dalam PPOK.
Tujuan: Memperoleh data mengenai nilai RNL dan CRP pada pasien PPOK eksaserbasi dan stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.
Metode: Analisis observasional kohort prospektif di RS Persahabatan, Jakarta Indonesia sebanyak 31 sampel dari Juli 2018 hingga Desember 2018. Kami mengikutsertakan 31 pasien PPOK eksaserbasi untuk dilakukan pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan darah dan membandingkan hasil pemeriksaan pasien yang sama pada kondisi stabil.
Hasil: Petanda inflamasi yang diperiksa pada penelitian ini RNL dan CRP keduanya menunjukkan penurunan kadar pada kondisi stabil, bertutut-turut dari 7,95 ± 6,8 menjadi 4,6 ± 5,5 dan 43,4 ± 71 menjadi 12,2 ± 18,5 dengan nilai p < 0,01. Didapatkan pula korelasi negatif yang bermakna antara RNL dan nilai VEP1/KVP pada kondisi eksaserbasi. Nilai CRP menunjukkan korelasi negatif hanya dengan VEP1 pada saat eksaserbasi. Di samping itu, terdapat pula subjek penelitian dengan nilai CRP yang sangat tinggi pada saat eksaserbasi, meninggal dunia dalam kurun waktu dua bulan setelah eksaserbasi.
Kesimpulan: Nilai RNL dan CRP pada subjek dengan PPOK lebih tinggi pada kondisi eksaserbasi dan mungkin dapat menggambarkan status eksaserbasi pada pasien PPOK.

Introductions: Although COPD has been believed to be characterized by respiratory disease, currently limited study conducted to evaluate inflammation markers and exacerbation rate in COPD by noninvasive method. We observed the COPD severity, future exacerbation by using peripheral blood test. We did a prospective cohort study to observe the alteration of Neutrophyl-Lymphocyte Ratio (NLR) and C-reactive protein (CRP) in COPD patients to find any possible correlation with COPD exacerbation status.
Aims: To study the value of NLR and CRP of COPD patients during exacerbation and stable in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods: Starting from July to December 2019, a prospective cohort study was performed with blood and pulmonary function test in 31 COPD patients in two different conditions: during exacerbation and stable. The mean of both inflammation markers was compared and correlated them with pulmonary function test.
Results: Both inflammation markers NLR and CRP value decreased during stable condition (from 7,95 ± 6,8 to 4,6 ± 5,5 and 43,4 ± 71 to 12,2 ± 18,5) with p < 0,01 respectively. In addition, we also found a significant inverse correlation between NLR and FEV1/FVC during exacerbation but not during the stable condition, and CRP showed inverse correlation only with FEV1 during exacerbation. Another interesting finding was subject with very high CRP whose value remained above nomal limit during stable, died within 2 month after exacerbation.
Conclusions: NLR and CRP in COPD patients increased during exacerbation and may reflect lung function and exacerbation status in COPD patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library