Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sondang Cornelia
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2042
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Semiarto Aji Purwanto
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Melania Meitty Parman
Abstrak :
Moos (1982; Moos & Schaefer, 1986 dalam Sarafino, 1998) mengajukan Teori Krisis, yang mendeskripsikan sebuah variasi dan faktor yang mempengaruhi anak menyesuaikan diri selama krisis, seperti pada saat memiliki sebuah penyakit. Ketiga faktor tersebut adalah fakior penyakit, faktor latar belakang pribadi, dan faktor lingkungan isik dan sosiai. Ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi proses coping anak terhadap leukaemia yang dideritanya. Proses coping itu sendiri diawali dengan penilaian kognitif. Sarafino (1998) mendifinisikan penilaian kognitif sebagai proses mental dimana anak menilai dua faktor, yaitu: apakah tuntutan mengancam kesejahleraan mereka dan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi tuntutan situasi tersebut. Anak menilai apa yang dipertaruhkan, apakah anak berada dalam bahaya atau tidak Hasil penilaian terhadap apa yang diperintahkan memampukan anak untuk melihat apakah transaksi tersebut berhubungan dengan kesejahteraan anak, tidak berbahaya atau memiliki implikasi yang positif dan slresful Sumber daya yang ada untuk memenuhi tuntutan lersebut. Evaluasi pilihan coping dan hambatannya dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya dalam situasi yang serupa, keyakinan umum tentang diri sendiri dan lingkungan, ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh diri sendlri (kekuatan fisik atau kemampuan pemecahan masalah) dan sumber daya lingkungan (dukungan sosiai atau uang). (Wmbel, Benner & Lazams, 1981 dalam Goldberger & Breznitz, 1982) » Leukemia adalah suatu keganasan sistem hematopoietic di dalam sumsum tulang yang berupa proliferasi tidak terkendali atau patologi sehingga sistem hematopoietic yang normal terdesak. (Moeslichan, 2002). Leukemia sering ditemukan pada anak berusia kurang dan 15 tahun. (ACS, 1996; Lazio, 1987; Williams, 1990 dalam Saraiino, 1998) Sama halnya dengan orang dewasa, leukemia menimbulkan stress pada anak-anak, tetapi anak-anak memiliki kemampuan dan tugas perkembangan yang berbeda dengan orang dewasa. Dengan tingkat stressor yang sama, dan kemampuan kognitif dan bahasa untuk memahami leukemia yang berbeda dengan orang dewasa_ leukemia menjadi stressor yang sulit dipahami oleh anak, walaupun bukan berarti tidak mungkin. Dengan keterbatasan kemampuannya, penilaian anak terhadap leukemia menjadi menarik untuk diteliti berbungan dengan proses penyesuaian diri mereka dengan leukemia itu sendiri. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berusaha mendalami pandangan dan pengalaman subyektif anak dalam menghadapi leukemia dan cara orang tua membantu anak menghadapi leukemia yang dideritanya. Wawancara dan observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, Subyek penelitian ini adalah empat orang anak penderita leukemia yang menjalani perawatan jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan orang tuanya,khususnya ibu (Dua orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki). Anak sedang menjalani pengobatan kemoterapi fase maintenance.Usia anak subyek penelitian berkisar antara 9 - 12 tahun. Subyek dalam penelitian ini didiagnosa menderita leukemia pada usia antara 8 sampai 10 tahun. Pemilihan usia 9 - 12 tahun didasarkan pada kemampuan kognilif dan berbahasa anak yang memungkinkan dilakukannya wawancara. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non-probability sampling atau tidak semua anak yang termasuk dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi responden. Sampel diambil dengan teknik pengambilan sampel incidental sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penelitian kognitif subyek tidak ditujukan kepada leukemia itu sendiri tetapi pada sesuatu yang terkait dengan leukemia. Subyek melakukan penelitian kognitif terhadap leukemia dalam kaitannya dengan prosedur medis yang mereka pikir harus mereka lalui, disability yang disebabkan oleh leukemia, sensasi rasa sakit yang leukemia akibatkan dan keterbatasan kegiatan serta makanan-minuman yang dapat mereka nikmati. Subyek lebih memusatkan penilaian kognitif mereka pada rasa sakit dan disability yang langsung mereka alami akibat leukemia dan tidak pada leukemia itu sendiri. Bila dibandingkan dengan leukemia, tampaknya prosedur medis yang terlibat dalam pengobatan leukemia menjadi suatu hal yang lebih stresful, lemtama BMA. Dalam membantu anak menghadapi leukemia yang dideritanya, dan hasil penelitian diketahui bahwa orang tua cenderung untuk lidak memberitahukan kepada anak tentang leukemia yang dideritanya, walaupun akhirnya sikap ini menimbulkan kesulitan bagi orang tua sendiri dalam membantu anak menghadapi leukemianya. Dengan hasil penelitian tersebut muncul suatu bahan diskusi tentang bagaimana anak dengan ketidakadaan penilaian kognitif terhadap leukemianya dapat menyesuaikan diri dengan leukemia itu sendiri, Hal ini kembali merujuk pada Teori Krisis yang menyataken bahwa proses coping diawali dengan penilaian kognitif, dimana salah satu penilaian tersebut adalah penilaian terhadap leukemia yang diderita oleh anak Salah satu kemungkinan penyebab yang memampukan anak menyesuaikan diri terhadap leukemianya adalah kemampuan kognitif anak juga yang masih lerbatas pada saat ini dan di sini, didukung oleh dukungan sosial yang mereka terima. Dari hasil penelitian dan diskusi muncul beberapa saran praktis yang ditujukan untuk orang tua, tim medis dan rumah saklt Saran-saran tersebut secara umum diharapkan dapat memberi ide dalam membantu anak menghadapi leukemia yang dideritanya. Saran metodlogis untuk penelitian lanjulan adalah dengan menambah metode penelitian dengan menggunakan inventori keprbadian dan metode pengambilan data dengan menggunakan hasil karya anak sehubungan dengan leukemia yang dideriianya.
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonard
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang setiap tahun, tidak kurang dari 5.000 remaja ditahan akibat melakukan tindakan kriminalitas, dari yang ringan hingga berat. Lingkungan tahanan merupakan lingkungan yang dipenuhi oleh paparan kekerasan dan keterbatasan. Sementara bagi yang akan dibebaskan atau tahap reentry, situasinya juga memiliki tantangan tersendiri. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang menyebabkan tingginya kerentanan anak didik Lapas terhadap kemunculan distress. Di Amerika, 60.5% remaja yang ditahan dan berada pada tahap reentry mengalami kesehatan mental kronis. Dari jumlah tersebut, sebagian besar mengalami depresi dan gangguan cemas, seperti PTSD. Bentuk distress psikologis yang umum ditemukan adalah kecemasan dan depresi. Distress tinggi dapat menyebabkan beberapa gangguan, seperti perilaku merusak dan kesulitan penyesuaian diri setelah bebas. Oleh karena itu, distress anak didik Lapas tahap reentry perlu mendapatkan intervensi psikologis. Salah satu bentuk intervensi yang efektif adalah Acceptance and Commitment Therapy (ACT). ACT bertujuan mengubah bentuk hubungan individu dengan permasalahannya, bukan lagi memandang sebagai simptom, namun sebagai suatu fenomena psikologis yang wajar dan kemudian mengarahkan tindakan yang dimiliki kepada sesuatu yang sifatnya lebih produktif. Metode Penelitian ini menggunakan one group-before and after study design dan accidental sampling. Intervensi ini dilakukan sebanyak 6 sesi. Hasil Dua partisipan mengalami penurunan tingkat distress psikologi yang diketahui melalui penurunan skor Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25). Semantara satu partisipan lainnya mengalami kenaikan tingkat distress psikologis. Evaluasi kualitatif menunjukkan penurunan tingkat distress psikologis setelah pelaksanaan intervensi. Kesimpulan ACT efektif dalam menurunkan tingkat distress psikologis pada anak didik Lapas Tangerang. Hal ini terbukti terutama melalui pengukuran secara kualitatif.
ABSTRACT
Background Each year, not less than 5,000 teenagers were arrested as a result of criminal acts, from mild to severe. Prison is a high risk environment that is filled by exposure to violence and limitations. As for who at reentry phase or freed soon, the situation also has its own challenges. These things are something that causes high susceptibility to the emergence of distress. In the U.S., 60.5% of adolescents who were arrested and are at the stage of reentry experiencing chronic mental health. Of these, most are experiencing depression and anxiety disorders, such as PTSD. Common Forms of psychological distress are anxiety and depression. High distress can cause several problems, such as conduct behavior and adjustment difficulties after release. Therefore, distress at reentry youth prisoner needs to get psychological intervention. One of intervention that effective to treat psychological distress is Acceptance and Commitment Therapy (ACT). ACT aims to change the shape of the individual's relationship with the problems, no longer looked upon it as a symptom, but as a psychological phenomenon that is reasonable and then direct the actions to something that is more productive. Methods This study used a one-group before and after study design and accidental sampling. The intervention was carried out for 6 sessions. Results Two participants experienced a decrease in the level of psychological distress is known through a reduction in Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL- 25) score. Moreover the other participants experienced an increase psychological distress. Qualitative evaluation showed decreased levels of psychological distress after the implementation of the intervention. Conclusion ACT is an effective intervention in lowering the level of reentry youth prisoner’s psychological distress at Lapas Anak Tangerang. This is evident primarily through qualitative measurements.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T42049
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khadijah Auliaur Rohmaani
Abstrak :
Orang tua memiliki peran penting dalam pencarian bantuan Psikolog untuk menyelesaikan masalah psikologis pada anak. Namun, tidak semua orang tua memiliki intensi dalam mencari bantuan Psikolog. Hal ini disebabkan berbagai faktor, seperti pencarian informasi daring dapat meningkatkan atau menurunkan intensi dalam mencari bantuan. Penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi pencarian bantuan Psikolog masih belum banyak diteliti, terutama pada populasi orang tua di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peran sikap orang tua dalam memediasi hubungan antara pencarian informasi daring dan intensi orang tua dalam mencari bantuan Psikolog. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 217 orang tua yang memiliki anak berusia 4-11 tahun. Hasil penelitian menggunakan analisis mediasi menunjukkan bahwa sikap orang tua memediasi sepenuhnya hubungan antara pencarian informasi daring orang tua dan intensi orang tua dalam mencari bantuan Psikolog untuk masalah pada anak. Pencarian informasi daring dapat mengubah sikap orang tua menjadi lebih positif terhadap bantuan dari Psikolog sehingga meningkatkan intensi orang tua dalam mencari bantuan Psikolog untuk masalah pada anak. Hasil penelitian ini dapat digunakan Psikolog untuk membuat psikoedukasi untuk meningkatkan intensi orang tua mencari bantuan Psikolog untuk masalah pada anak melalui peningkatan informasi yang mampu mengubah sikap orang tua menjadi lebih positif dalam pencarian bantuan Psikolog. ......Parents have an important role in seeking help from psychologists to solve children’s psychological problems. However, not all parents have the intention to seek the help of a psychologist. This is due to various factors, such as online information-seeking can increase or decrease the intention to seek help. Research on the factors that influence the search for psychological help has not been widely studied, especially in the elderly population in Indonesia. The purpose of this study was to determine the role of parental attitudes in mediating the relationship between online information seeking and parents' intention to seek a psychologist's assistance. Participants in this study consisted of 217 parents who had children aged 4-11 years. The results of the study using regression analysis showed that parents’ attitudes toward help-seeking fully mediate the relationship between parents' online behavior and parents' help-seeking intentions from psychologists for children’s problems. Parents' online behavior can change parents' attitudes to be more positive towards psychologists’ help-seeking, thereby increasing parents' help-seeking intention from psychologists for children’s problems. The results of this study can be used by psychologists to create online psychoeducation so that it becomes more common for parents to seek help from psychologists for children’s problems.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library