Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Matthew Alexander Setiadi
"Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan alasan dibalik peningkatan keasertifan Tiongkok terhadap kritik di bidang olahraga pada masa kepemimpinan Xi Jinping. Tiongkok sebagai negara telah memanfaatkan bidang olahraga sebagai salah satu instrumen kebijakan luar negerinya guna mencapai kepentingan negaranya. Bidang olahraga dimanfaatkan sebagai instrumen kebijakan luar negeri oleh Tiongkok melalui Ping Pong Diplomacy maupun penyelenggara Olimpiade. Akan tetapi, Tiongkok mendapatkan kritik internasional yang konstan, terutama pada isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pemerintahan Xi Jinping meresponsnya dengan lebih asertif melalui tidak hanya menggunakan norma internasional bahwa bidang olahraga tidak boleh dipolitisasi, tetapi juga disertai dengan aksi seperti permintaan maaf secara langsung. Untuk memahami alasan dibalik peningkatan keasertifan Tiongkok, penelitian ini menggunakan analisis kebijakan luar negeri dengan teori realisme neoklasik secara kualitatif. Penelitian ini menunjukan bahwa intensifikasi respons internasional Tiongkok ini karena adanya dorongan faktor sistemik dan faktor domestik serta pentingnya bidang olahraga bagi Tiongkok. Faktor sistemik mempengaruhi intensifikasi respons internasional Tiongkok karena adanya peningkatan rivalitas strategis Tiongkok dengan aktor internasional. Kemudian, faktor domestik ditenagai oleh kekuatan rezim pemerintahan Tiongkok dibawah kepemimpinan Xi Jinping ditenagai oleh kekhawatiran akan legitimasi Partai Komunis Cina. Terakhir, bidang olahraga menjadi sarana untuk melakukan intensifikasi respons internasional karena mampu menarik perhatian internasional dan kebanggaan bagi warga negara Tiongkok.

This thesis aims to explain China’s increasing assertiveness toward international critics of Xi Jinping’s leadership. China has utilized sports as part of its foreign policy instrument to achieve its national interest. China uses sport as a foreign policy instrument through Ping Pong Diplomacy and Olympic host. However, China gains constant criticism from international society, especially on Human Rights violations. China, under Xi Jinping’s leadership, responds more assertive by not only using the international norm that sports should not be politicized but also followed by follow-up action such as actively seeking apologies. To understand the reasoning behind the increasing assertiveness, this research uses foreign policy analysis with neo-classical realism theory and is conducted qualitatively. This research shows China’s increasing assertiveness because of systemic and domestic factors. Systemic factor influences China's assertiveness through China's increasing strategic rivalry. Furthermore, domestic factors fueled by regime insecurities on China Communist Party legitimacy. Lastly, sport becomes a platform to intensify China’s international response because of its ability to attract international attention and social pride."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Kevin
"Pada tahun 2021, Australia mengumumkan keikutsertaannya dalam aliansi AUKUS bersama dengan Amerika Serikat dan Britania Raya. Melalui aliansi ini, Australia akan dipersenjatai dengan kapal selam bertenaga nuklir. Sebuah komitmen yang belum pernah Australia lakukan sebelumnya, baik dalam skema aliansinya maupun penggunaan unsur nuklir. Skripsi ini berusaha mengungkap alasan di balik keputusan Australia untuk ikut serta dalam AUKUS dengan menggunakan teori realisme neoklasik dari Ripsman, Taliaferro, dan Lobell yang menelusuri kebijakan luar negeri dari dua level analisis. Melalui teori tersebut, keputusan Australia untuk ikut serta dalam aliansi AUKUS dapat dilihat sebagai hasil dari stimulus kondisi sistem internasional yang diintervensi oleh kondisi domestik Australia. Kondisi sistem internasional, yaitu ketimpangan kekuatan relatif antara Australia dengan Tiongkok, sinyal ancaman yang jelas dari Tiongkok terhadap Australia, dan kondisi lingkungan strategis Australia yang masih bersifat permisif, menstimulus Australia untuk beraliansi dan melakukan balancing. Kondisi domestik Australia, yang mempersepsikan Tiongkok sebagai ancaman, mempersepsikan Amerika Serikat dan Britania Raya sebagai mitra, memiliki dependensi keamanan dengan Amerika Serikat dan Britania Raya, dan melihat kapal selam bertenaga nuklir sebagai sebuah kebutuhan, mengarahkan Australia untuk ikut serta dalam aliansi AUKUS. Dengan demikian, studi ini menemukan bahwa kondisi sistem internasional dan domestik Australia memiliki peran yang sama pentingnya dalam partisipasi Australia pada aliansi AUKUS.

In 2021, Australia announced its participation in the AUKUS alliance, together with the United States and the United Kingdom. The alliance will equip Australia with nuclear-powered submarines. A commitment that Australia has never made before in terms of the alliance scheme as well as the use of nuclear energy. This study seeks to uncover the reasons behind Australia's participation in AUKUS using neoclassical realism from Ripsman, Taliaferro, and Lobell, which explains foreign policy from two levels of analysis. Through the theory, Australia's decision to participate in the AUKUS alliance is the result of the systemic conditions' stimuli induced by Australia's domestic conditions. The systemic level, which comprises a relative power imbalance between Australia and China, clear threat signals from China towards Australia, and Ausralia's permissive strategic environment, stimulates Australia to alliance and balancing. Australia's domestic condition, which positioned China as a threat, perceived the United States and United Kingdom as allies, had strategic dependence with the United States and United Kingdom, and saw nuclear-powered submarines as a necessity, led Australia to partake in the AUKUS alliance. Thus, this study finds that Australia's systemic and domestic conditions play an equally important role in Australia's participation in the AUKUS alliance."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Abigail Natalia
"Perang AS di Afghanistan diawali oleh peristiwa terorisme 9/11 yang menyerang AS. Sebagai respons, AS melakukan invasi terhadap Afghanistan sebagai tempat bernaung dari organisasi pelaku utama aksi terorisme tersebut, al-Qaeda. Perang tersebut kemudian berlangsung selama hampir 20 tahun hingga AS akhirnya menarik mundur pasukannya secara penuh dari Afghanistan pada tahun 2021, dibawah pemerintahan Joe Biden. Keputusan penarikan mundur ini merupakan bentuk komitmen AS dalam menepati Perjanjian Doha, perjanjian damai AS-Taliban, yang telah ditandatangani oleh AS pada masa pemerintahan Trump. AS tetap memutuskan untuk menarik mundur pasukannya dari Afghanistan meskipun Taliban tidak menunjukkan komitmennya dari Perjanjian Doha. Dengan demikian, penelitian ini berupaya untuk menjelaskan dan menganalisis faktor-faktor yang melandasi keputusan penarikan mundur AS dari Afghanistan pada tahu 2021. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan kerangka teori realisme neoklasik. Argumen utama dari penelitian ini adalah faktor yang melandasi keputusan AS untuk mundur dari Afghanistan ditentukan oleh faktor sistem internasional dan faktor domestik. Pada tingkat sistem internasional, distribusi kekuatan relatif, clarity, dan sifat lingkungan strategis AS menentukan tekanan dari sistem internasional bagi AS. Pada tingkat domestik, keputusan AS dilatarbelakangi oleh persepsi pemimpin, yaitu Joe Biden dan institusi domestik AS. Ketidakpastian yang ditunjukkan oleh variabel sistem internasional kemudian diintervensi oleh variabel domestik sehingga menghasilkan keputusan akhir, yaitu penarikan tentara AS dari Afghanistan secara penuh pada tahun 2021.

The US war in Afghanistan was initiated by the 9/11 terrorist attacks on the US. In response, the US invaded Afghanistan as the home of the main perpetrator organization of the terrorist acts, al-Qaeda. The war then lasted for almost 20 years until the US finally fully withdrew its troops from Afghanistan in 2021, under the Joe Biden administration. The withdrawal decision was a commitment by the US to fulfill the Doha Agreement, the US-Taliban peace deal, which was signed by the US during the Trump administration. The US still decided to withdraw its troops from Afghanistan despite the Taliban's lack of commitment to the Doha Agreement. Thus, this study seeks to explain and analyze the factors underlying the decision to withdraw US troops from Afghanistan in 2021. This study uses a qualitative research methodology with the theoretical framework of neoclassical realism. The main argument of this study is that the factors underlying the US decision to withdraw from Afghanistan are determined by international system factors and domestic factors. At the international system level, the distribution of relative power, clarity, and the nature of the US strategic environment determine the pressure from the international system for the US. At the domestic level, the US decision was motivated by the perception of the leader, Joe Biden, and US domestic institutions. The uncertainty indicated by international system variables is then intervened by domestic variables to produce the final decision, which is the full withdrawal of US troops from Afghanistan in 2021."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Fransiska Indriana Vita Sari
"Pasca Tragedi 9/11, negara-negara di dalam sistem internasional diminta untuk mendukung dan mengadopsi kampanye Global War on Terror dalam merespon ancaman terorisme. Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung kampanye ini. Selain karena terekspos rezim dalam sistem internasional, Indonesia juga mengalami ancaman terorisme dari dalam negeri. Seiring dengan berjalannya waktu, pilihan tindakan Indonesia pun berkembang: dari hanya patuh terhadap rezim kontraterorisme yang berlaku dan menerima bantuan, menjadi aktor yang turut menggerakkan agenda kontraterorisme dalam berbagai forum multilateral. Indonesia bahkan dapat dikatakan sebagai “lead sharper” kebijakan kontraterorisme di Asia Tenggara. Melihat perkembangan Indonesia dalam kebijakan luar negerinya, menarik untuk menilik bagaimana isu kontraterorisme berdinamika dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan: “Apa bentuk kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh Indonesia untuk memenuhi kebutuhan kontraterorisme selama 2001-2019? Apa saja faktor yang mempengaruhi pilihan kebijakan tersebut?” Pertanyaan ini akan coba untuk dijawab dengan menggunakan analisis realisme neoklasik dalam tiga pemerintahan di Indonesia. Dengan menjawab pertanyaan tersebut, diharapkan penelitian ini dapat melacak upaya kontraterorisme yang dilakukan Indonesia selama delapan belas tahun ke belakang dan mampu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan tersebut.

After the 9/11 Tragedy, countries in the international system were asked to support and adopt the Global War on Terror campaign in responding to the threat of terrorism. Indonesia was one of the countries that supported this campaign. Apart from being exposed of the regime in the international system, Indonesia was also facing the threat of terrorism from its domestic sphere. Over time, Indonesia's choice of action has also grown: from only obeying the prevailing counterterrorism regime and receiving assistance, to being an actor who helps move the counterterrorism agenda in various multilateral forums. Indonesia can even be said to be the "lead sharper" of counterterrorism policies in Southeast Asia. Seeing Indonesia's development in its foreign policy, it is interesting to see how the counterterrorism issue is having its dynamic with foreign policy to achieve the country’s goals. Thus, this research seeks to answer the question: “What form of foreign policy was carried out by Indonesia to meet counterterrorism needs during 2001-2019? What were the factors that influenced this policy choice?” These questions will be answered using an analysis of neoclassical realism in Indonesia’s three reign governments. By answering these questions, it is hoped that this research will be able to trace Indonesia's counterterrorism efforts over the past eighteen years and analyze the factors that influenced these choices."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizal Valentino
"Sejak awal pendiriannya di tahun 1948, Israel memiliki hubungan yang konfliktual dengan negara-negara Arab. Hal tersebut berkaitan dengan didirikannya negara tersebut pada wilayah bangsa Arab, yakni Palestina. Kondisi tersebut akhirnya memantik munculnya berbagai isu keamanan di antara Israel dan negara-negara Arab. Ketegangan tersebut terus berlanjut hingga Liga Arab menyodorkan proposal Inisiatif Perdamaian Arab (IPA) di tahun 2002. Proposal tersebut memuat prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi Israel sebelum dapat menormalisasikan hubungannya dengan negara Arab. Di tahun 2020, UEA selaku negara yang turut menandatangani IPA secara mengejutkan menormalisasikan hubungan diplomatiknya dengan Israel melalui Abraham Accords (AA), meski Israel belum memenuhi prasyarat yang tertulis dalam IPA. Dari permasalahan di atas, tulisan ini akan mengupas faktor-faktor yang mendorong UEA untuk mengambil kebijakan demikian. Dengan menggunakan analisis Realisme Neoklasik, penelitian ini berargumen bahwa terdapat dorongan struktural yang kemudian diterjemahkan melalui kondisi domestik UEA, sehingga mendorong terjadinya pengambilan keputusan normalisasi dengan Israel. Tekanan struktural menciptakan kebutuhan bagi UEA untuk berkoalisi dengan Israel selaku sekutu AS, untuk mengamankan diri dari ancaman Iran. Sedangkan kondisi domestik akan memperlihatkan kapasitas rezim MBZ dalam merespons stimulus eksternal. Melalui pertimbangan faktor-faktor di atas, keputusan UEA dapat dilihat sebagai upaya bandwagoning untuk mendapatkan keuntungan berupa insentif ekonomi dan militer dari koalisi AS.

Since its establishment in 1948, Israel has had conflicting relations with Arab countries. This is related to the formation of the state on the territory of the Arab nation, namely Palestine. This condition finally sparked the emergence of various security issues between Israel and Arab countries. These tensions continued until the Arab League presented the Arab Peace Initiative (API) proposal in 2002. The proposal contained prerequisites that Israel had to meet before it could normalize its relations with Arab states. In 2020, the UAE as a signatory to the IPA surprisingly normalized its diplomatic relations with Israel through the Abraham Accords (AA), even though Israel has not yet met the prerequisites written in the IPA. From the problems above, this paper will explore the factors that encourage the UAE to take such a policy. By using Neoclassical Realism analysis, this research argues that there is a structural impetus which is then translated through the UAE's domestic conditions, thus encouraging normalization decision making with Israel. The structural pressures create the need for the UAE to form a coalition with Israel as an ally of the US, to secure itself from the Iranian threat. Meanwhile, domestic conditions will capture the regime capacity to respond structural stimulus. By considering the above factors, the UAE's decision can be seen as a bandwagoning effort to gain economic and military incentives from the US coalition."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hasbih Hasly
"Penelitian ini menganalisis perjanjian kerja sama antara China dan Iran dalam kerangka kebijakan Belt and Road Initiative (BRI). Permasalahan utama yang diangkat adalah bagaimana China memanfaatkan BRI untuk memperkuat posisinya melalui diplomasi energi, khususnya di Iran, meskipun menghadapi tantangan politik dari Amerika Serikat. Kerangka analisis yang digunakan adalah teori Realisme Neoklasik yang menekankan pentingnya persepsi pemimpin negara dalam menentukan kebijakan luar negeri. Metode penelitian yang diterapkan adalah pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data sekunder melalui studi kepustakaan, melibatkan buku, jurnal, dan sumber online terpercaya. Argumen utama dari penelitian ini adalah bahwa diplomasi energi China di bawah BRI merupakan strategi untuk memastikan kestabilan suplai energi sekaligus meningkatkan hegemoni ekonomi di Timur Tengah. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kerjasama China-Iran tidak hanya didorong oleh kebutuhan energi tetapi juga oleh ambisi geopolitik untuk menyaingi pengaruh Amerika Serikat di kawasan tersebut. Kesimpulannya, BRI memainkan peran penting dalam upaya China untuk mengamankan kepentingan nasionalnya melalui diplomasi energi dan memperkuat posisinya di arena internasional.

This research analyzes the cooperation agreement between China and Iran within the framework of the Belt and Road Initiative (BRI) policy. The main issue addressed is how China utilizes BRI to strengthen its position through energy diplomacy, particularly in Iran, despite facing political challenges from the United States. The analytical framework used is Neoclassical Realism theory, which emphasizes the importance of leaders' perceptions in determining foreign policy. The research method applied is a qualitative approach with secondary data collection techniques through literature studies, involving books, journals, and reputable online sources. The main argument of this study is that China's energy diplomacy under BRI is a strategy to ensure energy supply stability while enhancing economic hegemony in the Middle East. The findings show that the China-Iran cooperation is driven not only by energy needs but also by geopolitical ambitions to rival U.S. influence in the region. In conclusion, BRI plays a crucial role in China's efforts to secure its national interests through energy diplomacy and strengthen its position on the international stage."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Katherine Viella Irwanto
"Kunjungan ke Kuil Yasukuni oleh aktor pemerintah Jepang adalah titik perselisihan yang hingga sekarang mengganggu hubungan bilateral dengan Korea Selatan. Sejak tahun 1985, Korea Selatan menyuarakan protes diplomatik untuk mengutarakan kekecewaannya. Hal ini karena bagi Korea Selatan, Yasukuni adalah simbol militerisme dan tradisi penghormatan adalah bentuk ketidakjeraan Jepang atas kejahatan masa perangnya. Namun, apabila ditinjau secara rinci, ada variasi yang cukup prominen di sikap protes dari masa ke masa. Ini adalah sebuah anomali karena sejarah kolonisasi oleh Jepang adalah bagian yang sangat penting dari prosesnation-building Korea Selatan. Tidak hanya itu, pemerintahnya juga berulang kali menegaskan prinsip menegakkan sejarah atas upaya-upaya revisionisme oleh Jepang. Peristiwa ini mengindikasikan ada kalkulasi strategis lain yang menyebabkan protes menjadi variatif. Penelitian ini menerapkan pendekatan Realisme Neoklasik dan menganalisis temuan menggunakan causal-process tracing. Variabel yang digunakan adalah faktor sistemik internasional dan domestik di Korea Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di periode dependensi Korea Selatan terhadap Jepang, faktor sistemik sangat berpengaruh di balik pelemahan protes. Sementara itu, setelah dependensi memudar, faktor domestik yang berperan dominan dalam menyebabkan protes menjadi inkonsisten.

Visits by Japanese officials to the Yasukuni Shrine remains contentious and straining bilateral relations with South Korea. Since 1985 onwards, South Korea has voiced diplomatic protests to express its disappointment. To South Korea, Yasukuni symbolises Japan’s past militarism and, thus, the tradition is seen as Japan’s lack of remorse for its wartime crimes. However, upon a closer excogitation, the protests vary over time. This is an anomaly for Japanese colonisation is a crucial part in South Korea’s nation-building process. Furthermore, the South Korean government repeatedly emphasises a firm principle of upholding the correct understanding of history against Japan’s revision moves. These events indicate an underlying strategic calculation behind the varying protest. This research applies the Neoclassical Realism approach and proceeds the analysis using causal-process tracing method. The variables observed are international systemic and domestic factors in South Korea. The results suggest that during the period of South Korea’s heavy dependency on Japan, international systemic factors were the most influential behind the moderated protests. Meanwhile, after the dependency diminished, domestic factors have continued to play a dominant role in causing the inconsistent protests. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitya Abshar Arham
"Tesis ini menjelaskan mengapa kebijakan luar negeri suatu negara dapat bersifat ambivalen. Analisis yang dibangun dalam tesis ini menggunakan kerangka pemikiran realisme neoklasik untuk menjelaskan kebijakan luar negeri Tiongkok yang ambivalen terhadap Indonesia pada kasus Laut Natuna Utara ditengah eratnya hubungan kedua negara. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Tiongkok tengah mengalami pergeseran. Sejak menjadi Presiden Tiongkok pada tahun 2013, Xi Jinping menyerukan semangat untuk “berjuang meraih prestasi” sehingga menghasilkan kebijakan luar negeri yang lebih asertif. Hal ini dipengaruhi oleh adanya tekanan sistemik yang dihadapi Tiongkok dan orientasi strategis Xi Jinping. Tekanan sistemik yang dihadapi Tiongkok adalah adanya upaya dari negara-negara pesaing Tiongkok, baik di level regional maupun global, untuk menghambat kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan global. Sementara itu, sejak dipimpin Xi Jinping orientasi strategis Tiongkok bersifat eksternal dengan tujuan untuk mewujudkan ambisi menjadi negara yang kuat, sehingga dapat memperluas pengaruh politik dan ekonominya.

This thesis aims to explain why a country can produce an ambivalent foreign policy. This study utilizes the framework of neoclassical realism to explain China's ambivalent foreign policy towards Indonesia in the North Natuna Sea case amid the close relations between the two countries. The results of this study indicate that China's foreign policy is undergoing a shift. Since becoming President of China in 2013, Xi Jinping has called for a “striving for achievements” narative which resulted in a more assertive foreign policy. This is influenced by the existence of systemic pressures faced by China and Xi Jinping's strategic orientation. The systemic pressure faced by China is the strategy of China's adversaries, both at the regional and global levels, to contain China's rise as a global power. Meanwhile, since being led by Xi Jinping, China's strategic orientation has been external with the aim of realizing the ambition to become a strong country, so that it can expand its political and economic influence.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library