Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nuryani
"Lembaga rechtsverwerking diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftran Tanah Pasal 32 ayat (2) berusaha mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif bertendensi positif demi jaminan kepastian hukum penguasaan atas tanah sebagai tujuan dari pendaftaran tanah. Swandi dan kawankawan pemegang Sertipikat-sertipikat Hak Milik digugat oleh Freddy Damanik dan Syafei Damanik setelah lewat dari lima tahun sejak Sertipikat-sertipikat tersebut diterbitkan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan bentuk deskriptif analitis. Permasalahannya apakah lembaga rechtsverwerking diterapkan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara ini, sehinga bisa terwujud kepastian hukum. Hasil penelitian menyimpulkan Majelis Hakim menerapkan pasal tersebut. Damanik bersaudara kehilangan hak menuntut tanahnya. Atas putusan ini satu Hakim berbeda pendapat termasuk penafsirannya mengenai pasal tersebut.

Rechtsverwerking institution arranged in the Government Regulation Number 24 Year 1997 regarding Land Registration in Article 32 (2) is established to overcome the weakness of negative system with positive tendency to realize legal certainty of land certificate ownership as land registration concern. Swandi and colleagues whose names registered in the certificate were being sued by Freddy Damanik and Syafei Damanik after more than five years as of the certificate was issued. This research is a qualitative research with descriptive analytic design. The purpose of the research is to analyze if the Judges applied rechtsverwerking institution therefore the legal certainty will be realized. The conclusion of this research shows that the Judges applied the institution so Damanik brothers have no right to sue the land ownership. One Judge had dissenting opinion regarding the Judges Decision on interpreting the Article mentioned above."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T28817
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Fatih Satria Kasmaliputra
"Memasuki zaman global, intensitas hubungan antar subjek hukum semakin meningkat, terutama dalam hal dibutuhkannya perjanjian untuk menguntungkan kedua belah pihak. Dalam suatu perjanjian tentunya diperlukan adanya janji oleh salah satu pihak, atau kedua belah pihak, untuk melaksanakan sesuatu. Dalam hal salah satu pihak dalam suatu perjanjian tidak melakukan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan pihak tersebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji. Adapun dalam hal terjadi wanprestasi, pihak yang dituduh lalai dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman atau akibat wanprestasi tersebut. Alasan yang dimaksud disebut pula sebagai tangkisan terhadap gugatan wanprestasi yang terbagi menjadi 3 bentuk, yaitu keadaan memaksa, exceptio non adimpleti contractus, dan rechtsverwerking. Rechtsverwerking itu sendiri masih seringkali menimbulkan kesalahpahaman dan pertanyaan tersendiri mengenai penerapannya dimana lebih dikenal sebagai suatu lembaga dalam lingkup hukum pertanahan serta disamakan dengan konsep daluwarsa dan persetujuan diam-diam dalam KUH Perdata. Jika dibandingkan dengan negara-negara common law, dikenal suatu doktrin yang dinamakan estoppel yang dapat dipadankan dengan rechtsverwerking. Skripsi ini akan membahas lebih lanjut mengenai rechtsverwerking dan tangkisan terhadap gugatan wanprestasi secara umum serta perbandingannya dengan Negara Singapura dan Malaysia untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif.

Entering the global era, the intensity of the relationship between legal subjects is increasing especially in terms of the need for an agreement to benefit both parties. In an agreement, it requires a promise by one party, or both parties, to carry out something. In the event that one of the parties to an agreement does not do what was agreed upon, then it is said that the party has committed an act of default or breach of contract. As for the case of default, the accused party can defend himself by submitting several reasons to free himself from punishment or consequences of the default. The reason itself can also be referred as counterclaim for default, which is divided into 3 forms, namely force majeure, exceptio non adimpleti contractus, and rechtsverwerking. Rechtsverwerking itself still often creates several misunderstandings and questions regarding its application, in which it is better known as an institution in the scope of land law and is frequently equated with the concept of expiration and silent consent in the Indonesia Civil Code. Compared to common law countries, such as Singapore and Malaysia, there is a doctrine called estoppel which can be equated with rechtsverwerking. This thesis will discuss further about rechtsverwerking and counterclaims for default in general and the comparison with Singapore and Malaysia to provide a more comprehensive understanding"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lulus Purna Malintang
"Dalam penerapan asas Rechtsverweking, hakim seharusnya tidak hanya berpatokan pada lampaunya batas waktu lima tahun untuk menggugat, tetapi juga mempertimbangkan keabsahan perolehan sertipikat tanah. Pendekatan tersebut diperlukan agar penerapan asas Rechtsverweking tidak secara otomatis menghilangkan hak gugat, terutama dalam kasus dimana penerbitan sertipikat melanggar hukum atau dilakukan tanpa itikad baik. Salah satu permasalahan dalam penerbitan sertipikat tanah oleh Kantor Pertanahan terhadap jual beli tanah dengan bukti kuitansi semata terdapat di dalam kasus yang termuat di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 997 K/Pdt/2021. Penulisan ini mengangkat tentang keabsahan jual beli tanah dengan bukti kuitansi, perlindungan hukum terhadap pemilik tanah yang kehilangan tanahnya akibat penerapan asas Rechtsverwerking. Penelitian doktrinal yang dilakukan di sini mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Sertipikat Hak Milik No. 01494 diterbitkan secara tidak sah karena hanya berasal dari jual beli yang dibuktikan dengan kuitansi semata, hal ini menimbulkan sengketa antara pemilik tanah dan pembeli beritikad baik. Perlindungan hukum bagi pemilik tanah meliputi pembatalan sertipikat dan pembeli beritikad baik dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum untuk mengembalikan keadaan seperti keadaan semula.

In the application of the principle of rechtsverwerking, judges should not solely rely on the lapse of the five-year limitation period for filing a claim but must also consider the validity of the acquisition of the land certificate. This approach is necessary to ensure that the application of the rechtsverwerking principle does not automatically extinguish the right to file a claim, particularly in cases where the issuance of the certificate violates the law or is conducted in bad faith. One of the issues in the issuance of land certificates by the Land Office, based solely on a receipt of sale and purchase, is illustrated in the Supreme Court Decision Number 997 K/Pdt/2021. This study addresses the validity of land transactions supported only by receipts, as well as the legal protection for landowners who lose their land due to the application of the rechtsverwerking principle. This doctrinal research collects legal materials through literature review, which are then analyzed qualitatively. Certificate of Ownership No. 01494 was issued unlawfully, as it stemmed solely from a sale and purchase evidenced by a receipt, resulting in a dispute between the landowner and a good faith buyer. Legal protection for landowners includes the annulment of the certificate, while good faith buyers may file a claim for damages based on unlawful acts to restore the situation to its original state."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heri Subagyo
"ABSTRAK
Indonesia yang pendaftaran tanahnya di dasarkan kepada filosofi hukum Adat.
Sangat berakibat pada tujuan pendaftaran tanah yang didapat. Salah satu contoh
dalam hal ini misalnya bahwa dalam pemberian hak atas tanah, di Negara ini tidak
pernah dikenal lembaga verjaring (uit weizing procedure). Pendaftaran tanah ini
hanya sekedar mengadministrasikan tanah tersebut, bukan memberikan hak itu
kepada seseorang. Namun karena di atas tanah itu ada haknya lalu dikukuhkan
dengan adanya pendaftaran dan kepada subyek haknya diberikan tanda bukti
haknya dari Negara atas telah dilakukannya administrasi di atas tanah tersebut.
Lalu dalam perkembangan langsung untuk memperoleh hak, hukum adat telah
memperkenalkan lembaga rechtsverwerking.Maka dalam masyarakat kita
sebenarnya tidak ada alasan untuk menelantarkan tanah. Penjelasan tentang
rechtsverweking ini diuraikan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 yang menegaskan bahwa dalam hal atas suatu bidang
tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum
yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak
dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah
atau penerbitan sertipikat tersebut.Sebagai ketentuan yang berasal dari Hukum
Adat, tentunya ketentuan tersebut tidak tertulis, namun ketentuan dimaksud
kelihatannya telah diadopsi oleh UUPA (Pasal 27, 34 dan 40) dengan menegaskan
bahwa hapusnya hak atas tanah dapat terjadi karena diterlantarkan.Oleh karena
lembaga rechtsverwerking tersebut berasal dari ketentuan hukum adat yang
tentunya tidak tertulis, maka penerapan dan pertimbangan mengenai terpenuhinya
persyaratan yang bersangkutan dalam kasus-kasus konkrit ada di tangan hakim
yang mengadili sengketa. Oleh karena itu keefektivitas dari lembaga

ABSTRACT
Indonesia's land registration on the basis of Indigenous legal philosophy . Highly
result in acquired land registration purposes . One example in this instance that the
granting of land rights , in this country has never known institutions verjaring ( uit
weizing procedure ) . The land registration merely administer the land , not giving
it to the right person . But because it was on the ground right there and then
confirmed with the registration and subject to the rights given proof of his rights
over the state administration has been done on the land . Then the direct
development to acquire the rights , customary law has been introduced
rechtsverwerking institutions . So in our society really is not any reason to
abandon the land . An explanation of this rechtsverweking described in Article 32
paragraph ( 2 ) of Government Regulation No. 24 of 1997 which confirms that in
the event that a parcel of land has been validly issued certificates on behalf of the
person or legal entity acquiring the land in good faith and in a real master it , then
the other party has the right to feel the soil can no longer demand the
implementation of these rights if within 5 ( five ) years from the issuance of the
certificate was not filed an objection in writing to the holder of the certificate and
the relevant Head of the Land Office or are not filed with the Court on acquisition
of land or the issuance of the certificate . As a condition derived from customary
law , such provisions must not be written , but these provisions appear to have
been adopted by UUPA (Articles 27 , 34 and 40 ) by asserting that the
abolishment of land rights can occur because the neglected . Therefore
rechtsverwerking institution is derived from customary law which is not in
writing, then the application and consideration of the fulfillment of the relevant
requirements in concrete cases in the hands of judges who adjudicate disputes .
Therefore rechtsverweking efective of the institution lies in the judge as a case
breaker"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42317
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joseph Noviandri
"Skripsi ini membahas mengenai ruang lingkup rechtsverwerking sebagai doktrin yang dikenal dengan doktrin “pelepasan hak” dimana pelepasan hak yang dimaksud dalam rechtsverwerking adalah ketika seseorang memiliki suatu hak namun hak tersebut tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu, maka seseorang dapat kehilangan haknya, selama ini konsep pembiaran hak ini dikenal luas pada pelepasan hak atas tanah. sebagaimana telah adanya Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mengatur mengenai pelepasan hak atas tanah, maka keberlakuan doktrin rechtsverwerking seharusnya tidak lagi digunakan sebagai dasar dari adanya pelepasan hak atas tanah, dimana kedudukan peraturan perundang-undangan lebih tinggi daripada doktrin dalam sistem hukum Indonesia. maka penulis secara khusus meneliti konsep rechtsverwerking dalam artian doktrin “pelepasan hak” yang dapat digunakan pada konsep hak-hak lainnya salah satunya yaitu pada konteks hukum kontrak, dimana ketika seseorang telah melepaskan haknya dan menuntut kembali pemenuhan haknya maka pihak lainnya yang telah bertindak atas dasar pelepasan hak tersebut menerima kerugian dari persepsi pembiaran hak yang telah dilakukan pihak yang melepaskan haknya. kemudian pengenalan rechtsverwerking lebih dalam akan dilakukan perbandingan penerapannya yang memiliki padanan dengan doktrin estoppel pada sistem hukum common law Amerika Serikat, dimana apabila seseorang tidak menggunakan haknya, dalam hal ini memiliki sikap diam terhadap hak yang dimilikinya, maka ketika timbul permasalahan akibat dari sikap diamnya tersebut terhadap persepsi pihak lain yang kemudian menimbulkan kerugian terhadap pihak lainnya, estoppel sebagai doktrin berperan untuk mencegah penyalahgunaan sikap diam yang seolah-olah melepaskan haknya untuk menimbulkan persepsi pihak lain bahwa ia telah melepaskan haknya. 

This thesis discusses the scope of rechtsverwerking as a doctrine known as the ‘waiver of rights’ doctrine. rechtsverwerking refers to a situation where someone possesses a certain right but does not exercise it within a specific period, which may result in the loss of that right. This concept of waiving rights is widely recognized, particularly in relation to the release of land rights. As exemplified by Article 32 paragraph (2) of Government Regulation No. 24 of 1997 concerning the release of land rights, the application of the rechtsverwerking doctrine should no longer be used as the basis for releasing land rights, as legislation takes precedence over doctrines in the Indonesian legal system.  In this regard, the author specifically examines the concept of rechtsverwerking in the context of the 'waiver of rights' doctrine, which can be applied to other rights, including in the realm of contract law. In such cases, when someone has waived their rights and subsequently demands the fulfillment of those rights, the other party who has acted based on the waiver may incur damages due to the perception that the right has been relinquished. Therefore, the study delves into the deeper understanding of rechtsverwerking through a comparison with the estoppel doctrine in the common law system of the United States.  In the common law context of the United States, the estoppel doctrine prevents the misuse of silence or inaction that appears to constitute the waiver of rights. It comes into play when someone does not assert their rights or remains silent about their rights, and this silence subsequently leads to problems and damages another party. The estoppel doctrine prevents the other party's misperception that the right has been waived when, in fact, it has not."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoelianto
"Penerapan Lembaga Rechtsverwerking Pada Sengketa Tanah Di Wilayah Meruya Selatan Berdasarkan Putusan Kasasi NO. 570/K/Pdt/1999. Lembaga Rechsverwerking merupakan salah satu asas yang dikenal dalam Hukum Adat, yaitu seseorang akan kehilangan hak menuntut atas tanahnya jika dalam jangka waktu tertentu telah membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, dan pada tanah tersebut telah dikuasai/dimliki oleh pihak lain dengan itikad baik. Asas rechtsverwerking telah diadopsi menjadi bagian materi dari Hukum Tanah Nasional sebagaimana dijumpai dalam pasal 32 ayat (2) PP. No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan dari sistem negatif Pendaftaran Tanah. Dalam sistem negative Pendaftaran Tanah, bahwa orang yang nama tertulis dalam tanda bukti hak masih dapat digugat pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Kasus sengketa tanah di wilayah Meruya Selatan, Jakarta Barat, berdasar putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 570/K/Pdt/1999, menetapkan bahwa PT. Portanigra adalah satu-satunya pembeli dan pemilik yang sah atas sejumlah tanah milik adat di atas tanah sengketa. Semua orang yang memperoleh hak atas tanah untuk mengosongkan sejumlah tanah-tanah milik adat tersebut dan menyerahkan dalam keadaan kosong kepada PT. Portanigra.Akibat putusan tersebut banyak warga masyarakat yang telah mempunyai sertipikat hak diatas tanah sengketa menjadi korban. Ternyata putusan tersebut sama sekali tidak memperhatikan asas rechtsverwerking, bahkan banyak ketentuan-ketentuan Hukum Tanah Nasional yang dikesampingkan. Lembaga Rechtsverwerking dapat dijumpai pada ketentuan pasal 32 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997 , pasal ini jelas merupakan perlindungan hukum terhadap pemilik sertipikat hak atas tanah, jika perolehannya dilakukan dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya. Dengan demikian hasil putusan tersebut disamping tidak diterapkannya lembaga rechtsverwerking juga banyak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Hukum Tanah Nasional yang terdapat dalam UUPA, misalnya tidak diperhatikan Konversi Hak atas Tanah, syarat subyek hukum pemegang Hak Milik, Perbuatan hukum Pemindahan Hak atas Tanah dan lain-lainnya.Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah yuridis normatif yang menitik-beratkan penelitian terhadap data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, buku-buku atau literatur-literatur. Kata kunci : Rechtsverwerking, kehilangan hak menuntut, kadaluarsa

Application of Rechtsverwerking Intitution of Disputes in Meruya Selatan Based on Supreme Court Appeal’s Decision No. 570/K/Pdt/1999. Rechtsverwerking is one of the well known legal institution in Adat law , which means losing the right to claim on the land will be occured if within a certain time the land is not used (left by the owner), and the land has been used and possed by the other party. Rechtsverwerking has been adopted and incorporated into the material of the National Land Law as found in Article 32 paragraph ( 2 ) Government Regulation No. 24 of 1997 on Land Registration. This provision is intended to address the weaknesses of the system of Land Registration. In the system of Land Registration, a person registered of the title holder of the land can still be sued by the other party which can prove otherwise. Land disputes in South Meruya, West Jakarta based on verdict of the Supreme Court of Cassation No. 570/K/Pdt/1999 , establish that PT . Portanigra is the only legitimate buyer and owner of a number of customary land in the land dispute . All those who acquire rights to vacate a number of customary right of ownership belonging to PT . Portanigra . People who certificate over the land suffer caused by the verdict. It turned out that the verdict did not observe the principle rechtsverwerking , even a lot of the provisions of the National Land Law excluded . Rechtsverwerking can be found in the provisions of Article 32 paragraph ( 2 ) Government Regulation No. 24 of 1997 , this artcle is clearly a legal protection for the registered subject for good faith and real possessed. Thus, the failure to apply rechtsverwerking are also contrary to the provisions of the National Land Law contained in UUPA. For example unnoticed Conversion of Land, proviso of legal subjects property rights to land , legal actions Displacement of Land and others. The method used is that normative research focusing on secondary data in the form of legislation , documents , books or literatures. Keywords : Rechtsverwerking, losing the right to claim, expiration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamilia Savira
"Fokus dari penelitian ini adalah pada terbitnya sertipikat ganda yang dalam kenyataannya telah memicu terjadinya sengketa, seperti yang ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung No 1693 K/Pdt/2018. Hal tersebut menjadikan pemegang hak atas tanah yang sebenarnya tidak terlindungi, walaupun sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah sebagai alat pembuktian yang kuat yang telah dimilikinya. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah yang sebenarnya terkait terbitnya sertipikat ganda dan penyelesaian sengketa mengenai status tanah dan/atau pemegang hak atas tanah sebagai akibat dari adanya sertipikat ganda. Dalam penelitian ini, metode yang dipergunakan adalah yuridis normatif. Adapun pengumpulan datanya dilakukan melalui studi dokumen (kepustakaan). Data sekunder yang diperoleh, dianalisis secara kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai dasar dari Hukum Tanah Nasional tidak secara jelas memberikan perlindungan tersebut. Namun peraturan pelaksananya yaitu PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, khususnya Pasal 32 ayat (2) memberikan perlindungan melalui lembaga rechtsverwerking. Majelis Hakim dalam Putusan a quo juga menguatkan perlindungan semacam itu. Dengan adanya putusan tersebut maka BPN cq Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya harus melakukan pembatalan terhadap sertipikat yang cacat hukum. Adapun penyelesaian sengketa terkait sertipikat ganda itu sendiri semestinya tidak perlu menggunakan mekanisme litigasi karena dapat diselesaikan langsung di Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 21 Tahun 2020 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan yaitu dengan melakukan pembatalan sertipikat.

The focus of this research is on the issuance of the dual certificates which in fact have triggered. Land disputes, as found in the Supreme Court Decision No. 1693 K/Pdt/2018 of the land that has been owned. Therefore, the problem raised in this research is about the protection of rights and legal certainty for land rights certificate holders which are actually related to the issuance of dual certificates. In addition, the settlement of disputes regarding the status of land and/or holders of land rights as a result of the existence of multiple certificates. In this study, the method used is normative juridical order. The data collection is done through the study of the documents (library). Furthermore, the secondary data obtained were analyzed qualitatively. This research found that Act Law no. 5/1960 concerning Basic Agrarian Regulations as the basis of the National Land Law does not clearly provide such protection. However, the implementing regulations, namely Government Regulations No. 24/1997 on Land Registration, in particular Article 32 paragraph (2) provides protection through the rechtsverwerking institution. The Panel of Judges in the a quo Decision also strengthens such protection. Furthermore, with this decision, the BPN cq the Regency/Municipal Land Office must cancel the legally flawed certificate. The land dispute resolution related to the dual certificates itself should not need to use a litigation mechanism because it can be resolved directly at the National Land Agency in accordance with the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency 21 of 2020 concerning Settlement of Land Cases, namely by canceling the certificate."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferlyn Diana
"Tesis ini mendalami peran asas pelepasan hak (Rechtsverwerking) dibandingkan dengan kemampuan memaparkan riwayat kepemilikan tanah dalam pembuktian di pengadilan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yang tujuannya bersifat preskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa asas Rechtsverwerking yang saat ini hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebaiknya segera dikuatkan dalam bentuk Undang-undang agar perannya dapat dirasakan oleh masyarakat yang memperoleh tanah dengan itikad baik.

This thesis explore the role of the principle of waiver (Rechtsverwerking) compared to the ability to expose a history of land ownership in evidence at court. This is a normative juridical research, whose goal prescriptive. The results suggest that principle of waiver (Rechtsverwerking) which is currently only regulated in form of a Government Regulation No. 24 of 1997, should be immediately strengthened to the form of a statute, that can be effecively perceived by the public whose getting a land by good intention."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T38719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajrina Febiani
"ABSTRAK
Daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa diatur dalam KUHPerdata, namun dengan dikeluarkannya UUPA, terdapat beberapa pasal dalam KUHPerdata yang dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena itu dalam skripsi ini akan membahas mengenai keberlakuan konsep daluwarsa setelah adanya UUPA dan Peraturan Pelaksanaannya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yang bersifat deksriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun UUPA tidak mengenal istilah daluwarsa, namun pada putusan-putusan pengadilan membuktikan bahwa Majelis Hakim menggunakan istilah rechtsverwerking yang berarti pelepasan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997. Jika dikaitkan dengan konsep daluwarsa, maka pengaturan dalam pasal tersebut kurang lebih sama dengan daluwarsa membebaskan yang diatur dalam Pasal 1967 KUHPerdata, karena keduanya sama-sama mengatur mengenai hilangnya hak untuk menuntut dikarenakan adanya batas waktu tertentu. Penelitian ini menyarankan supaya para pemilik tanah untuk selalu memanfaatkan dan mengusahakan tanah yang dimilikinya agar tanah tersebut tidak dikuasai ataupun digunakan oleh orang lain secara tidak sah, selain itu demi kepastian hukum pemiliknya juga, sebaiknya para pemilik tanah harus memiliki tanda bukti kepemilikan tanah yang sah.

ABSTRACT
Expiration or overdue is an effort to gain something or absolve from any alliance with a certain overdue and requirements by the Constitution. Expiry arranges in Civil Code but when UUPA has been issued, there are some articles on Civil Code that become unvalid. Therefore, this research will talk about the enforceability of expiration concept after UUPA has been issued and the regulation has been implemented. This research is a normative juridicial Law research with a descriptive characteristics. The result of this research shows that even though UUPA doesn rsquo t acquainted about expiry, but Court Judgement prove that Court Council use rechtsverwerking which means right extrication as written on article No. 32 subsection 2 PP No. 24 year 1997. If it relates to expire concept, that the regulation on the article more and less similar with expiry absolve which is arranged on Civil Code article 1967 because both of them arrange demanded right loss due to the time limit. This research suggest the land owner to always utilize and manage the land that they owned, so that the land doesn rsquo t illegally used by other. In addition to get law certainity, the land owner should have legal land ownership."
2017
S68146
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library