Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Faisal Mustafa
"Reduplication is a morphological operation in many Austronesian languages, including Acehnese. This process is very productive in Acehnese, and it occurs with many patterns. This study aims to find out the reduplication patterns in Acehnese based on nine literary works written in the 19th century or earlier. The study also focuses on reduplicated patterns and how affixation is treated in reduplication. The study was qualitative, and thus the data were analyzed qualitatively. The data collection and analysis included data extraction, data classification, data display, and data interpretation. The conclusion was verified by comparing the interpretation and tokens from the data. The results showed that reduplication in Acehnese appeared in total reduplication and partial reduplication. Each pattern involved rhythmic reduplications where vowel and some consonant alterations appeared in the reduplicants. In addition, some of those patterns were lexicalized reduplication, where the reduplication did not have any stem or non-reduplicated form. More than half of the lexicalized reduplicated words were onomatopoeia, words imitating sounds. Finally, only prefixes meu-, peu-, and teu- are found in Acehnese reduplication. These findings have provided comprehensive information regarding the patterns of Acehnese reduplication, which revealed that reduplication is a significant process of word formation in the language."
Madura: Institut Agama Islam Negeri Madura, 2022
890 JBS 16:1 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Winarto
"Onomatope dalam bahasa Jawa merupakan maslah menarik yang masih jarang diteliti. Dari catatan dan pengamatan yang penulis lakukan pembahasan onomatope bahasa Jawa dilakukan sebagai bagian dari suatu pembahasan yang lebih besar. Melihat hal ini, penulis mencoba menuangkan dan mengambil onomatope sebagai data. Dengan bantuan dari referensi yang dapat penulis kumpulkan, maka disusun suatu tinjauan yang merupakan penggabungan dari pembahasan yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Dengan demikian dapat mencakup segala bentuk onomatope yang terdapat dalam bahasa Jawa. Pembahasan onomatope bahasa Jawa yang dilakukan di dalam skripsi ini meliputi pengklasifikasian dan analisis fonematis. Pengklasifikasian dilakukan berdasarkan; tiruan bunyi yang dihasilkan oleh benda, hewan, dan manusia; tiruan gerak; penyerta kata tiruan bunyi; penyerta verba; dan tiruan sifat. Kemudian dari pengklasifikasian tersebut dibedakan lagi dengan kata yang bersuku satu. Pembahasan kedua adalah analisis fonematis onomatope bahasa Jawa. Pola fonematis onomatope bahasa Jawa mempunyai keunikan dibandingkan pola fonematis bahasa Jawa pada umumnya karena pola-pola fonematis onomatope bahasa Jawa adalah pola yang jarang terdapat dalam bahasa Jawa. Dari dua puluh empat pola fonematis onomatope bahasa Jawa terdapat sembilan pola dari sepuluh pola ideal bahasa Jawa, selebihnya adalah pola yang jarang terdapat dalam bahasa Jawa. Onomatope dalam bahasa Jawa dapat berdiri sebagai kata apabila mengalami proses gramatikalisasi dengan formanya. Selain itu terdapat proses pembentukan kata melalui proses morfologis; afiksasi; reduplikasi; dan komposisi.

Onomatopoeia in Javanese is an interesting problem that is still rarely studied. From the notes and observations that the author made, the discussion of Javanese onomatopoeia was carried out as part of a larger discussion. Seeing this, the author tried to pour out and take onomatopoeia as data. With the help of references that the author could collect, a review was compiled which was a combination of discussions that had been carried out by previous researchers. Thus, it can cover all forms of onomatopoeia found in Javanese. The discussion of Javanese onomatopoeia carried out in this thesis includes classification and phonematic analysis. The classification is carried out based on; imitation of sounds produced by objects, animals, and humans; imitation of movement; accompanying words imitation of sounds; accompanying verbs; and imitation of properties. Then from the classification it is distinguished again with monosyllabic words. The second discussion is the phonematic analysis of Javanese onomatopoeia. The phonematic pattern of Javanese onomatopoeia is unique compared to the phonematic pattern of Javanese in general because the phonematic patterns of Javanese onomatopoeia are patterns that are rarely found in Javanese. Of the twenty-four phonematic patterns of Javanese onomatopoeia, there are nine patterns out of ten ideal patterns of Javanese, the rest are patterns that are rarely found in Javanese. Onomatopoeia in Javanese can stand as a word if it undergoes a grammaticalization process with its form.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S11452
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Maurits Dakhtar Soaloon
"Jika hendak memerikan tata bahasa Indonesia, pekerjaan kita tidak akan lengkap jika kita tidak membicarakan proses reduplikasi sebagai pembentuk kata dalam bahasa itu. Bahkan bahasa apa pun yang menjadi obyek penelitian kita, jika bahasa itu termasuk rumpun Austronesia, penelitian kita tidak akan lengkap tanpa membicarakan reduplikasi. Tampaknya hal ini berlaku juga bagi beberapa bahasa lain di luar rumun ini, karena dalam bahasa-bahasa itu pun terdapat bentuk-bentuk yang dapat juga digolongkan dalam reduplikasi. Menurut Gonda (1939) reduplikasi terdapat juga dalam bahasa seperti Jarman, Belanda, Inggris, dan Marathi, terutama dalam bahasa sehari-hari. Dalam bahasa Inggris, Marchand (1969) mencatat contoh-contoh reduplikasi yang disebutnya ""ablaut combinations"", misalnya: bibble-babble, chitchat, dilly-dally, dsb.Walaupun pemakaian reduplikasi dalam bahasa Indonesia (bI) sebagai salah satu anggota rumpun Austronesia sangat luas dan jenisnya beranekaragam, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai 'reduplikasi yang pernah dilakukan belum tuntas. Reduplikasi biasanya dibicarakan sebagai bagian kecil dari pembicaraan tentang morfologi bI, dan setiap buku tata bahasa Indonesia tentunya akan membicarakannya.
Sebagai Salah aatu usaha melengkapi deskripsi tata bahasa Indonesia, tulisan ini akan mencoba memberikan deskripsi reduplikasi dalam bahasa itu guna melihat jenis-jenisnya berdasarkan bentuk, fungsi dan arti yang dapat dihubungkan dengan bentuknya. Karena dalam penelitian-penelitian terdahulu apa yang disebut reduplikasi semantis kurang mendapat perhatian, maka jenis reduplikasi ini pun akan dicoba untuk memerikannya lebih lanjut. Selanjutnya, reduplikasi yang "terikat-konteks" akan diperiksa pula, karena jenis reduplikasi ini pun kurang mendapat perhatian.
1.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Sejak Kern (1886) dan Brandstetter (1916) mengadakan penelitian tentang akar kata dalam bahasa-bahasa Nusantara, sebenarnya penelitian reduplikasi da1am`b1, atau setidak-tidaknya dalam bahasa Melayu (bM), secara implisit telah dimulai. (Menganai ini akan dilanjutkan di bawah ini).
Dalam Salah satu penelitiannya tentang struktur kata dalam bahasa-bahasa Indonesia, Gonda (1959) juga telah menyinggung reduplikasi. Antara lain dia menduga bahwa kata-kata seperti tetan, tetas, dan sesak merupakan hasil reduplikasi. Hasil penelitian Gonda ini bersama-sama dengan hasil penelitian Kern dan Brandstetter sangat berguna dalam penelitian reduplikasi secara diakronis dalam bI. Penelitian Bijleveld (1945) tentang pengulangan dalam bM, bahasa Jawa (bJ) dan bahasa Sunda (bS) menunjukkan bahwa reduplikasi tidak hanya terbatas pada kata tetapi juga mencakup kalimat dan bagian kalimat (reduplikasi sintaksis).
Dalam penelitian ini Bijleveld mencoba menerangkan motif timbulnya pengulangan dalam ketiga bahasa itu dengan menghubungkannya dengan cara berpikir dan cita-rasa pemakai bahasa-bahasa tersebut. Hasil penelitian Bijleveld ini berguna bagi usaha untuk menghubungkan arti dengan bentuk-bentuk reduplikasi. Namun, reduplikasi sebagai proses morfemis kurang mendapat nerhatian seperti ternyata dari tidak adanya penjenis-an yang terperinei dari bentuk, fungsi, dan arti reduplikasi Beberapa pikiran yang cukup menarik yang dikemukakan oleh Bijleveld untuk menerangkah munculnya pengulangan dalam ketiga bahasa itu a.1. ialan adanya keinginan untuk menyatakan perasaan yang bergelora secara lebih kongkret; Kecenderungan untuk menyatakan pikiran secara lebih hemat; eerita tidax dapat diselesaikan secara linea feota, karena tidak adanya kemungxinan lain, karena tidak adanya konstruksi-konstruksi yang kompleks dan kompak; keinginan untuk menimbulkan efek-efek estetis melalui permainan bunyi; tidak terdapatnya kata-Kata untuk menyatakan pengertian kolektif dan umum. Semuanya ini dapat dipulangkan pada cara berpikir "primitif" yang a.l. mencakup "... een gevoel voor nerhaling, een heehten aan het gelijke, het ongedifferentieerde, net schematische, zooals dit zich in de natuur onenbaart" (hal. 10)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1979
D1130
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Maurits Dakhtar Soaloon
"Jika hendak memerikan tata bahasa Indonesia, pekerjaan kita tidak akan lengkap jika kita tidak membicarakan proses reduplikasi sebagai pembentuk kata dalam bahasa itu. Bahkan bahasa apa pun yang menjadi obyek penelitian kita, jika bahasa itu termasuk rumpun Austronesia, penelitian kita tidak akan lengkap tanpa membicarakan reduplikasi. Tampaknya hal ini berlaku juga bagi beberapa bahasa lain di luar rumun ini, karena dalam bahasa-bahasa itu pun terdapat bentuk-bentuk yang dapat juga digolongkan dalam reduplikasi. Menurut Gonda (1939) reduplikasi terdapat juga dalam bahasa seperti Jarman, Belanda, Inggris, dan Marathi, terutama dalam bahasa sehari-hari. Dalam bahasa Inggris, Marchand (1969) mencatat contoh-contoh reduplikasi yang disebutnya ""ablaut combinations"", misalnya: bibble-babble, chitchat, dilly-dally, dsb.Walaupun pemakaian reduplikasi dalam bahasa Indonesia (bI) sebagai salah satu anggota rumpun Austronesia sangat luas dan jenisnya beranekaragam, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai 'reduplikasi yang pernah dilakukan belum tuntas. Reduplikasi biasanya dibicarakan sebagai bagian kecil dari pembicaraan tentang morfologi bI, dan setiap buku tata bahasa Indonesia tentunya akan membicarakannya.
Sebagai Salah aatu usaha melengkapi deskripsi tata bahasa Indonesia, tulisan ini akan mencoba memberikan deskripsi reduplikasi dalam bahasa itu guna melihat jenis-jenisnya berdasarkan bentuk, fungsi dan arti yang dapat dihubungkan dengan bentuknya. Karena dalam penelitian-penelitian terdahulu apa yang disebut reduplikasi semantis kurang mendapat perhatian, maka jenis reduplikasi ini pun akan dicoba untuk memerikannya lebih lanjut. Selanjutnya, reduplikasi yang "terikat-konteks" akan diperiksa pula, karena jenis reduplikasi ini pun kurang mendapat perhatian.
1.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Sejak Kern (1886) dan Brandstetter (1916) mengadakan penelitian tentang akar kata dalam bahasa-bahasa Nusantara, sebenarnya penelitian reduplikasi da1am`b1, atau setidak-tidaknya dalam bahasa Melayu (bM), secara implisit telah dimulai. (Menganai ini akan dilanjutkan di bawah ini).
Dalam Salah satu penelitiannya tentang struktur kata dalam bahasa-bahasa Indonesia, Gonda (1959) juga telah menyinggung reduplikasi. Antara lain dia menduga bahwa kata-kata seperti tetan, tetas, dan sesak merupakan hasil reduplikasi. Hasil penelitian Gonda ini bersama-sama dengan hasil penelitian Kern dan Brandstetter sangat berguna dalam penelitian reduplikasi secara diakronis dalam bI. Penelitian Bijleveld (1945) tentang pengulangan dalam bM, bahasa Jawa (bJ) dan bahasa Sunda (bS) menunjukkan bahwa reduplikasi tidak hanya terbatas pada kata tetapi juga mencakup kalimat dan bagian kalimat (reduplikasi sintaksis).
Dalam penelitian ini Bijleveld mencoba menerangkan motif timbulnya pengulangan dalam ketiga bahasa itu dengan menghubungkannya dengan cara berpikir dan cita-rasa pemakai bahasa-bahasa tersebut. Hasil penelitian Bijleveld ini berguna bagi usaha untuk menghubungkan arti dengan bentuk-bentuk reduplikasi. Namun, reduplikasi sebagai proses morfemis kurang mendapat nerhatian seperti ternyata dari tidak adanya penjenisan yang terperinei dari bentuk, fungsi, dan arti reduplikasi Beberapa pikiran yang cukup menarik yang dikemukakan oleh Bijleveld untuk menerangkah munculnya pengulangan dalam ketiga bahasa itu a.1. ialan adanya keinginan untuk menyatakan perasaan yang bergelora secara lebih kongkret; Kecenderungan untuk menyatakan pikiran secara lebih hemat; eerita tidax dapat diselesaikan secara linea feota, karena tidak adanya kemungxinan lain, karena tidak adanya konstruksi-konstruksi yang kompleks dan kompak; keinginan untuk menimbulkan efek-efek estetis melalui permainan bunyi; tidak terdapatnya kata-Kata untuk menyatakan pengertian kolektif dan umum. Semuanya ini dapat dipulangkan pada cara berpikir "primitif" yang a.l. mencakup "... een gevoel voor nerhaling, een heehten aan het gelijke, het ongedifferentieerde, net schematische, zooals dit zich in de natuur onenbaart" (hal. 10)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1979
D312
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fikarwin
"ABSTRAK
Perubahan demi perubahan telah terjadi atas kebudayaan kelompok manusia sejak dahulu kala hingga sekarang. Perubahan-perubahan tersebut merefleksikan usaha-usaha manusia meningkatkan kemampuannya mempertahankan dan melangsungkan hidup di dalam habitatnya. Usaha-usaha itu diwujudkan dengan cara mengefisienkan pemakaian energi; yakni dengan menggunakan teknologi yang efektif. Untuk keperluan itulah kelompok manusia merubah organisasi hubungan-hubungan sosialnya agar sesuai dengan teknologi yang dipergunakan Proses penyesuaian itulah yang dinamakan adaptasi (Cohen 1971).
Rumah tangga-rumah tangga di Penengahan Krui, Lampung Barat, sejak permulaan abad 20 telah membangun "kebun campuran". Yaitu suatu "saran untuk mengumpulkan dan mengendalikan sumber-sumber energi yang dapat diperoleh dengan mudah" (Wolf 1985:34). "Kebun campuran" yang dikenal dengan repong ini, dibangun di atas lahan bekas menanam padi perladangan (lahan bera). Yakni bidang lahan yang sengaja "diistirahatkan" karena sudah tidak subur lagi untuk tanaman padi. Jadi, "kebun campuran" adalah sebuah jawaban yang dapat rnengenyampingkan pembatas alam berupa:"ketidak suburan tanah bagi padi". Tetapi kebun campuran mengikat petani pada "tanaman tua" (khususnya tanaman perdagangan) yang tak peduli dengan ketidaksuburan dimaksud.
Hidup dengan cara "berkebun campuran" menyebabkan rumah tangga untuk hidup menetap di satu tempat dalam waktu yang lama. Di sana mereka hidup bersama, berkembang biak dan membangun institusi-institusi. Yaitu institusi-institusi disesuaikan dengan keperluan mengelola kebun campuran yang berbasis pada ekonomi pasar. Artinya pengorganisasian hubungan-hubungan sosial disusun dan disesuaikan dengan tuntutan tekno-ekonomi kebun campuran.
Atas dasar penyelidikan lapangan mengenai proses pengorganisasian tersebut, maka ada dua proses yang menurut hemat saya telah terjadi. Yang pertama pembentukan koalisi di dalam rumahtangga; saya namakan koalisi internal rumahtangga. Yang kedua reduplikasi rumahtangga.
Koalisi internal rumahtangga terjadi antara orangtua dan anak sai tuba bakers_ Koalisi ini dimaksudkan untuk mempertahankan keutuhan sumber-sumberdaya pertanian pada satu orang. Tujuannya adalah agar rumahtangga yang sudah ada dapat meraih cita-cita hidupnya; ialah mistutin. Untuk mencapai maksud tersebut maka potensi orang lain dihilangkan melalui mekanisme pewarisan primogenitur.
Reduplikasi rumahtangga adalah suatu proses pembentukan rumahtangga "meniru" rumahtangga asal (model). Rumahtangga peniru ini adalah rumahtangga dari orang-orang yang tersingkir dalam proses koalisi internal. Proses reduplikasi ini mencakup semua pola yang diamati, terrnasuk melakukan kembali koalisi internal seperti yang dilakukan rumahtangga asal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library