Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Imron Irpani 0302020461 Pemetaan Lapisan Akuifer Permukaan Kampung Cihideung Serang Dengan Metoda Seismik Refraksi (xii+89) hlm. : tabel, gambar, lampiran ABSTRAK Telah dilakukan survey geofisika untuk memetakan lapisan akuifer permukaan Kampung Cihideung dengan menggunakan metoda seismik refraksi. Metoda ini mampu mendeteksi perlapisan batuan berdasarkan waktu tiba gelombang pertama yang diterima oleh geophone baik yang berasal dari gelombang langsung mapun yang berasal dari gelombang refraksi. Survey ini telah menghasilkan model perlapisan batuan pada enam lintasan dan kemudian model ini dikorelasikan dengan data-data penunjang seperti data geologi, litologi sumur bor, dan sounding DC resistivity Schlumberger. Berdasarkan model tersebut, lapisan batuan bawah permukaan berturut-turut dari atas ke bawah yakni lapisan tanah penutup, lapisan tufa pasiran, lapisan pasir tersaturasi, dan lapisan breksi. Water table dari lapisan akuifer permukaan dalam laisan pasir diperkirakan berada pada kedalaman 5 sampai 19 meter di bawah permukaan tanah. Daftar Acuan : 11 (1990-1996)
Universitas Indonesia, 2006
S29029
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anung Inggito Maksus
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
535.324 ANU s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfaiz Herlambang
Abstrak :
Metode seismik refraksi digunakan untuk menentukan kedalaman bedrock yang tepat untuk menancapkan tiang. Penelitian dilakukan di kawasan Universitas Indonesia tepatnya di kompleks Fasilkom Universitas Indonesia. Konfigurasi lintasan survei seismik berupa 24 channel geophone dengan panjang lintasan 67.5 m, interval geophone 2,5 m dan near offset 10 m. Sumber gelombang dihasilkan dengan menggunakan palu dan jarak antar pukulan sejauh 5 m. Data sekunder yang digunakan berupa 1 titik sumur bor SPT (Soil Penetration Test) sebagai acuan pembanding hasil survei seismik. Data seismik refraksi diolah menggunakan teknik tradisional yaitu Metode Plus-Minus Hagedoorn dan inversi tomografi menggunakan software Rayfract. Hasil pengolahan kedua metode tersebut kemudian dibandingkan dengan data geologi dari sumur SPT. Korelasi antara hasil pengolahan dengan titik bor SPT menunjukkan hasil yang baik. Namun hasil dari metode Plus-Minus Haggedorn hanya mampu memperlihatkan 1 refraktor saja karena limitasi data yang digunakan, berbeda dengan metode inversi yang mampu memperlihatkan lebih dari satu refraktor. Terdapat 2 refraktor utama pada kedalaman 6 meter dan 12 meter, dan kedalaman efektif yang didapat hanya mencapai 15 m. Kecepatan yang didapat juga maksimal berada di sekitar 900 m/s. Sehingga dapat disimpulkan hingga kedalaman 15 meter tidak ditemukan lapisan batuan yang direkomendasikan untuk penempatan pondasi dalam untuk bangunan bertingkat. Untuk mendapatkan kedalaman bedrock yang direkomendasikan untuk mendapatkan pemasangan pondasi dalam diperlukan survei seismik dengan panjang lintasan yang lebih panjang untuk mendapatkan gambaran bawah tanah melebihi 15 meter.
The seismic refraction method is used to determine the exact bedrock depth for placing a pole. The study was conducted in Universitas Indonesia precisely at the Fasilkom University Indonesia complex. The seismic survey configuration consists of 24 geophone channels with a length of 67.5 m, geophone intervals of 2.5 m, and near offset of 10 m. The wave source was generated using a hammer, and the distance between blows was 5 m. The secondary data used was 1 SPT (Soil Penetration Test) borehole as a reference for comparison of seismic survey results. Seismic refraction data was processed using traditional techniques, namely the Hagedoorn’s Plus-Minus Method and tomographic inversion using Rayfract software. The results of the two methods were compared with geological information from 1 SPT borehole. The correlation between the results of the process with the SPT drill point shows good results. However, the Plus-Minus Haggedorn method results are only able to show one refractor because of the data limitation, in contrast to the inversion method, which was able to show more than one refractor. There are two main refractors at a depth of 6 meters and 12 meters, and the adequate depth obtained only reaches 15 m. The maximum speed obtained is also around 900 m/s. It can be concluded up to a depth of 15 meters, and there is no recommended rock layer for placement of deep foundations for high rise buildings. A seismic survey with a longer seismic line is needed to get an underground picture exceeding 15 meters.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfina Nurul Octaviani
Abstrak :
Informasi mengenai kondisi bawah permukaan sangat penting diketahui sebelum melakukan pembangunan suatu proyek. Seismik refraksi dipilih karena dapat mengukur variasi spasial parameter petrofisika, seperti kecepatan dan absorpsi seismik melalui analisis sinyal seismik buatan. Adapun penelitian ini mengintegrasikan penggunaan metode seismik refraksi untuk mengamati parameter fisis gelombang pada tiap lapisan batuan yang dikorelasikan dengan data hasil uji bor di daerah penelitian. Hasil pengolahan data dipetakan tingkat kekerasan di tiap lintasan seismik berdasarkan nilai kecepatan rata-rata gelombang P yang dihasilkan. Pada lapisan pertama di ketiga lintasan diketahui memiliki tingkat kekerasan tanah padat tanpa kohesi dengan nilai rata-rata Vp berturut-turut 631,13 m/s; 488,66 m/s; 750,51 m/s. Lapisan kedua pada ketiga lintasan merupakan bahan keras seperti batu dengan nilai rata-rata Vp berturut-turut 1229,69 m/s; 1087,21 m/s; 928,06 m/s. Kemudian lapisan ketiga pada lintasan 23 dan 25 merupakan batuan separuh lunak dengan nilai rata-rata Vp berturut-turut 1688,18 m/s dan 2492,36 m/s. Sedangkan pada lintasan 24 memiliki tingkat kekerasan batuan sangat keras dengan nilai rata-rata Vp 1312,69 m/s. ......Information about subsurface conditions is very important to know before carrying out the construction of a project. Seismic refraction was chosen because it can measure the spatial variation of petrophysical parameters, such as seismic velocity and absorption through artificial seismic signal analysis. This research integrates the use of the seismic refraction method to observe the physical parameters of the waves in each rock layer which is correlated with the data from the drill test results in the research area. The results of data processing mapped the level of hardness in each seismic lines based on the value of the average velocity of the resulting P wave. The first layer in the three line seismic is known to dense cohesionless soil with an average Vp value of 631.13 m/s; 488.66 m/s; 750.51 m/s. The second layer on the three lines is a hard rock – like material with an average Vp value of 1229.69 m/s; 1087.21 m/s; 928.06 m/s. Then the third layer on lines 23 and 25 is semi-soft rock with an average Vp value of 1688.18 m/s and 2492.36 m/s, respectively. While on track 24 it has a very hard rock hardness with an average value of Vp 1312.69 m/s.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dzaky Wajdi Hardiyan Syahputro
Abstrak :
Penurunan tanah memiliki dampak yang besar terhadap infrastruktur seperti mengubah geometri permukaan. Pergerakan turunnya tanah secara vertikal (subsidence) merupakan salah satu dari banyak faktor yang menyebabkan kerusakan infrastruktur baik yang diakibatkan oleh pergerakan secara alami seperti gempa ataupun buatan seperti aktivitas pertambangan. Penelitian ini bertujuan untuk analisis penyebab subsidence melalui pemodelan 2D tomografi seismik dan 3D tomografi resistivitas di Perumahan Tranquility, Depok.  Metode tomografi seismik refraksi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi zona subsidence berdasarkan parameter kecepatan tanah sedangkan tomografi resistivitas bertujuan untuk melihat distribusi anomaly resistivitas zona rawan subsidence. Di lokasi terjadinya subsidence telah dilakukan pengambilan data seismik refraksi dan data geolistrik resistivitas ERT. Nilai waktu tiba (arrival time) dari data seismik refraksi digunakan sebagai parameter dalam proses tomografi waktu tunda. Hasil dari pengolahan seismik refraksi berupa model kecepatan (velocity map) lapisan bawah permukaan dan grafik waktu versus jarak dari waktu tersimulasi dan waktu terobservasi di setiap lintasan refraksi. Kemudian, hasil pengolahan tomografi seismik di korelasikan dengan data pengolahan ERT berupa penampang sebaran resistivitas bawah permukaan. Analisis hasil pengolahan kedua data tersebut didapatkan bahwa terdapat 3 tipe lapisan yaitu lapisan batuan lepas (unconsolidated sediment/loose soil), lapisan batuan pasir-kerikil (sandy gravel), dan lapisan akuifer dengan kemungkinan batuan silt-clay. Lapisan batuan lepas dengan kedalaman 0-6 meter mengalami penebalan dari arah barat daya hingga timur laut dengan ketebalan rata-rata 4 meter dan memiliki nilai resistivitas antara 17-35 ohm.m dan kecepatan rambat gelombangnya 300-340. Lapisan batuan pasir-kerikil dengan kedalaman 6-12 meter dan ketebalan nya meningkat dari arah timur laut hingga barat daya. Lapisan ini memiliki nilai resistivitas 55-110 ohm.m dan kecepatan rambat gelombangnya > 340. Lapisan akuifer berada pada kedalaman 13-30 meter dengan geometri panjang 40 meter dengan nilai resistivitas 0-15 ohm.m. Lapisan akuifer ini diinterpretasikan sebagai lapisan tipe batuan silt-clay. Geometri dari lapisan batuan pasir-kerikil lintasan ERT menunjukan adanya proses pensesaran tektonik minor/zona fraktur pada bagian barat daya dan timur laut dengan ciri blok respon resistivitas yang menebal dan diskontinyu. Geometri dari pensesaran ini termodelkan dalam model resistivitas 3D. ......Subsidence has major impacts on infrastructure such as changing surface geometry. Vertical subsidence movement is one of the many factors that cause damage to infrastructure whether caused by natural movements such as earthquakes or artificial movements such as mining activities. This research aims to analyze the causes of subsidence through 2D seismic tomography and 3D resistivity tomography modeling in Tranquility Housing, Depok.  The refraction seismic tomography method carried out in this study aims to identify subsidence zones based on ground velocity parameters while resistivity tomography aims to see the distribution of resistivity anomalies in subsidence-prone zones. At the location of subsidence, refraction seismic data and ERT resistivity geoelectric data have been collected. The arrival time value of refraction seismic data is used as a parameter in the time-delay tomography process. The refraction seismic processing results in a velocity map of the subsurface and a time versus distance graph of the simulated and observed times in each refraction trajectory. Then, the results of seismic tomography processing are correlated with ERT processing data in the form of subsurface resistivity distribution cross-sections. Analysis of the results of the processing of the two data obtained that there are 3 types of layers: unconsolidated sediment/loose soil layer, sandy gravel layer, and aquifer layer with possible silt - clay rocks. The loose rock layer with a depth of 0-6 meters thickens from the southwest to the northeast with an average thickness of 4 meters and has a resistivity value between 17 - 35 ohm.m and a wave propagation speed of 300 - 340  The sand-gravel layer is 6-12 meters deep and its thickness increases from the northeast to the southwest. This layer has a resistivity value of 55-110 ohm.m and a wave propagation velocity of > 340 m  The aquifer layer is at a depth of 13-30 meters with a geometry length of 40 meters with a resistivity value of 0-15 ohm.m. This aquifer layer is interpreted as a silt-clay rock type layer. The geometry of the ERT track sand-gravel layer shows a minor tectonic faulting process/fracture zone in the southwest and northeast with thickened and discontinuous resistivity response blocks. The geometry of this faulting is modeled in the 3D model.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Simon Alberti
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan Membandingkan prediktabilitas refraksi pasca operasi katarak pada pasien yang telah dilakukan pemeriksaan kekuatan LIO menggunakan biometri optikal dengan dan tanpa sikloplegik. Desain Penelitian ini merupakan uji kuasi eksperimental 2 kelompok yang tidak berpasangan. Metode Sebanyak 34 mata dari 25 subjek penelitian dengan katarak senilis imatur yang memiliki axial length (AXL) 22-24.5 mm dilakukan pemeriksaan optikal tanpa dan dengan sikloplegik pada mata yang sama sebelum dilakukan operasi fakoemulsifikasi dengan implantasi lensa intraokular (LIO). Data pemeriksaan biometri optikal tanpa dan dengan sikloplegik merupakan dua kelompok tidak berpasangan. Lensa intraokular yang diimplantasikan kepada subjek penelitian ditentukan berdasarkan target refraksi minus terkecil pada mata tanpa pengaruh sikloplegik. Perhitungan power LIO dilakukan dengan menggunakan formula Haigis. LIO yang digunakan adalah 1 jenis berbahan akrilik foldable. Prediktabilitas refraksi dihitung berdasarkan selisih antara spherical equivalent (SE) pasca operasi 3 minggu dengan target refraksi pada masing-masing kelompok dalam nilai absolut. Hasil Rerata prediktabilitas refraksi pada kelompok tanpa sikloplegik 0,37 ± 0,22, sedangkan median kelompok dengan sikloplgeik 0,4 (0,04-1,21). Proporsi prediktabilitas refraksi pada kelompok dengan sikloplegik < 0,5 D adalah 70,6%, sedangkan kelompok dengan sikloplegik adalah 73,5%. Kesimpulan Prediktabilitas refraksi dan proporsi prediktabilitas refraksi dengan menggunakan rumus Haigis pada mata dengan AXL normal tidak berbeda signifikan secara statistik antara masing-masing kelompok penelitian
ABSTRACT
Aim Comparing the refractive predictability after cataract surgery in patients who undergo intraocular lens (IOL) calculation with and without effect of cycloplegia using optical biometry. Design This study is a quasi-experimental test of two unpaired groups. Method A total of 34 eyes from 25 subjects with immature senile cataract which has axial length 22-24.5 mm underwent intraocular lens (IOL) calculation with and without effect of cycloplegia using optical biometry before phacoemulsification and IOL implantation. The result data were separated into ?without cycloplegia? (first) group and ?with cycloplegia? (second) group. Implanted intraocular lenses were determined by the lowest myopic spheroequivalent residual refraction from the eye without effect of cycloplegia. Intraocular lens calculation were performed by using the Haigis formula. Intraocular lens used were made of acrylic foldable. Refractive predictability is calculated based on the difference between the refraction spherical equivalent (SE) 3 weeks postoperatively and target refraction for each group in absolute value. Result The refractive predictability mean in the first group is 0.37 ± 0.22, while the second group median is 0.4 (0.04 to 1.21). Proportion of refractive predictability in the first group <0.5 D is 70.6%, while the second group is 73.5%. Conclusion Refractive predictability and proportion of refractive predictability using the Haigis formula in eyes with normal AXL did not differ statistically significant between the respective research groups.
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinar Hava Ramadhani
Abstrak :
ABSTRAK Sebuah peradaban berhubungan erat dengan identitas kemanusiaan dari awalnya terbentuk sampai melewati berbagai perubahan namun semua peninggalan jejak tersebut masih tergantung kepada bumi, adakalanya jika bencana terjadi dapat menyebabkan identitas tersebut bisa hilang begitu saja dikarenakan tanpa adanya suatu tindakan pencegahan ataupun upaya penyimpanan. Dengan adanya kemajuan teknologi yang pesat, teknologi refraksi pada tingkatan material dan zat dapat diterapkan sebagai sistem utama untuk mengumpulkan dan menyimpan data kemanusian yang dikumpulkan dari data digital internet maupun material penunjang kehidupan, menanggalkan ketergantungan kepada planet yang ditinggali, dan membangun kembali kemanusiaan dan komunitas sedemikian rupa dalam lingkup dan instrumen pasca manusia.
ABSTRACT A civilization is closely related to humanitys identity from its initial formation until it passes various changes but all the remains of that trace are still dependent on the earth, sometimes if a disaster happens, it can cause that identity to be simply be lost due to no precautionary measures or safekeeping efforts. With the rapid technological advancements, refraction technology at the material and matter levels can be applied as the main system for collecting and storing humanitarian data gathered from digital internet data or life-supporting materials, abandoning dependence on inhabited planets, and rebuilding humanity and communities in such form and scope of post-human instruments.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Shabrina Salsabila
Abstrak :
Pembangunan suatu proyek perlu diawali dengan penyelidikan mengenai lapisan batuan yang ada di bawah permukaan bumi sebab lapisan batuan yang ada di bawah permukaan bumi memiliki sifat fisis yang bervariasi, salah satunya tingkat kekerasan lapisannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekerasan lapisan batuan yang ada di salah satu wilayah di Sulawesi Selatan berdasarkan hasil pengolahan data Seismik Refraksi dan data Geolistrik. Metode seismik refraksi dapat memberikan informasi sifat fisis batuan berdasarkan nilai cepat rambat gelombang seismik sedangkan metode geolistrik digunakan untuk mengetahui nilai resistivitas pada lapisan batuan yang ada di bawah permukaan. Telah dilakukan pengukuran seismik refraksi di salah satu lokasi yang akan dilakukan pembangunan yaitu lintasan LDSR01, LTSR02, dan LTSR03. Hasil dari pengukuran seismik refraski kemudian diolah sehingga mendapatkan velocity map serta model lapisan yang ada di bawah permukaan kemudian dikorelasikan dengan data geolistrik yang berupa penampang resistivitas lintasan GL-03 dan GL-04. Analisis dari hasil pengolahan data diinterpretasikan bahwa terdapat tiga lapisan dimana tingkat kekerasan lapisan batuan di wilayah penelitian bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Lapisan pertama dengan kedalaman 0 – 15 meter dinyatakan lapisan lapuk yang tidak terkompaksi dengan kecepatan rambat gelombang di bawah 2000 ft/s dan nilai resistivitas kurang dari 400 Ωm. Lapisan ini masuk ke dalam tingkat kekerasan very soft soil – firm cohesive soil. Lapisan kedua dengan kedalaman hingga 45 meter dinyatakan sebagai lapisan batuan dasar lapuk dengan kecepatan 2000 – 5000 ft/s dan nilai resistivitas lebih dari 400 Ωm. Lapisan ini masuk ke dalam tingkat kekerasan stiff cohesive soil – soft rock. Lapisan ketiga dengan kedalaman lebih dari 45 meter dinyatakan sebagai lapisan yang batuan dasar dengan kecepatan rambat gelombang lebih dari 5000 ft/s dan nilai resistivitas lebih dari 400 Ωm. Lapisan ini masuk ke dalam tingkat kekerasan soft rock – extremely hard rock. Berdasarkan data geolistrik, lapisan kedua dan ketiga merupakan batuan dasar yang diinterpretasikan sebagai batuan granit atau granodiorit. ......The construction of a project needs to begin with an investigation of the rock layers below the earth's surface because the rock layers below the earth's surface have varying physical properties, one of which is the level of hardness. This study was conducted to determine the level of rock layer hardness in one area in South Sulawesi based on the results of processing data from Seismic Refraction and Geoelectrical data. The seismic refraction method can provide information on the physical properties of rocks based on the value of the seismic wave propagation speed, while the geoelectric method is used to determine the resistivity value in the rock layers below the surface. Seismic refraction measurements have been carried out at one of the locations where the construction will be carried out, namely the LDSR01, LTSR02, and LTSR03 lines. The results of seismic refraction measurements are then processed to obtain a velocity map and a model of the subsurface layer and then correlated with geoelectrical data in the form of crosssectional resistivity of the GL-03 and GL-04 lines. Analysis of the results of data processing interpreted that there are three layers where the level of rock layer hardness in the study area increases with increasing depth. The first layer with a depth of 0-15 meters is declared an uncompacted weathered layer with a wave propagation speed below 2000 ft/s and a resistivity value of less than 400 m. This layer is included in the hardness level of very soft soil – firm cohesive soil. The second layer with a depth of up to 45 meters is expressed as a weathered bedrock layer with a velocity of 2000 – 5000 ft/s and a resistivity value of more than 400 m. This layer is included in the hardness level of stiff cohesive soil – soft rock. The third layer with a depth of more than 45 meters is expressed as a bedrock layer with a wave propagation velocity of more than 5000 ft/s and a resistivity value of more than 400 m. This layer falls into the hardness level of soft rock – extremely hard rock. Based on geoelectrical data, the second and third layers are bedrock which is interpreted as granite or granodiorite.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adnan Fatahillah Afiff
Abstrak :
Aplikasi dari serat optik yang banyak digunakan dan dikembangkan sekarang ini adalah untuk aplikasi biosensor. Biosensor digunakan untuk mendeteksi keberadaan suatu zat kimia bahkan suatu kumpulan bakteri pada daerah tertentu. Perkembangan biosensor optik saat ini umumnya menggunakan prinsip difraktif optik, surface plasmons, evanescent waves coupling, dan electrochemiluminescene. Dalam penelitian ini dirancang dan dibangun sebuah prototipe biosensor menggunakan serat optik multimode berbasis metode end-butt coupling yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan zat atau larutan tertentu. Konfigurasi sensor serat optik ini menggunakan dua buah serat optik, dengan menghadapkan ujung serat optik pertama yang mentransmisikan cahaya sumber, dengan ujung serat optik kedua sedemikian rupa sehingga proses end-butt coupling dapat terjadi. Daerah antara kedua serat optik ini merupakan daerah deteksi yang digunakan. Perubahan indeks refraksi dan absobsi yang terjadi pada daerah deteksi tersebut digunakan sebagai parameter pendeteksian. ......Application of optical fiber that is widely used and developed today is for biosensor applications. Biosensors used to detect the presence of a chemical substance and even a collection of bacteria in a certain area. The development of optical biosensors today generally uses the principle of diffractive optics, surface plasmons, waves evanescent coupling, and electrochemiluminescene. In this study, a prototype of a biosensor is designed and built using multimode optical fiber based on end-butt coupling method that used to detect the presence of certain substances or solvents. The optical fiber sensor configuration using two optical fiber, by aligning the end of the first optical fiber that transmits light source, with the end of the second optical fiber face to face that the end-butt coupling can occur. The area between the two fiber optic is the detection area that is used. Changes in refractive index and absorbtioin that occurs in the detection area is used as a detection parameter.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariz Reinaldhi Kaeni
Abstrak :
Pencemaran air tanah yang terus meningkat pada masa kini dengan berbagai risikonya, mendesak perlunya pencegahan dan pengendalian terhadap sumber pencemar salah satunya dengan mempelajari mekanisme penjalarannya. Diperlukan pemahaman rembesan dan penjalaran pencemar di dalam sistem air tanah melalui pemodelan matematis, pemodelan fisik di lab dan pemodelan fisik di lapangan. Ketiga pemodelan tersebut memiliki kekurangan yang dapat dipenuhi pemodelan lainnya. Seperti dibutuhkannya pemodelan fisik di lab untuk menyimpulkan bahwa suatu model matematis dapat divalidasi. Sementara tiap pemodelan memerlukan suatu protokol untuk mendapatkan hasil yang didapatkan dapat diulangi. Skripsi ini bertujuan untuk mengembangkan suatu protokol pemodelan fisik pengamatan penjalaran pencemar pada akuifer berlapis. Pada percobaan ini menggunakan variasi tiga lapisan yang diharapkan dapat jelas teramati perbedaan aliran air tanah pada lapisan yang berbeda, dimana nantinya akan terjadi refraksi. Selanjutnya untuk diamati dan dianalisa proses aliran air dan pencemaran pada aliran air tanah. ......Increasing of ground water pollutant urge to prevent and control it's resource, one of them is by studying it?s spreading mechanism. Understanding of infiltration and spreading at ground water should be done by using mathematic model and also physical model at laboratory and site. All of them have disadvantages which might fulfilled by another model. Such as physical model at laboratory is needed to validate mathematic model. Meanwhile, a protocol is needed to obtain repeatable result in modelling process. This research has a purpose to develop a protocol of physical model of pollutant spreading observation in stratified aquifer. Using three layers as a varian is assumed that the difference of flow at ground water can be observed clearly, which is called refraction. Then, the process of flow and pollutant spreading at ground water will be observed and analyzed.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S63459
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>