Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Sambodo
"Kota merupakan sebuah sistem, sehingga perlu diatur dengan suatu kebijakan pengelolaan perkotaan (Urban Management). PERDA DKI No. 6/1999 adalah kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Didalam sistem kebijakan ini, diatur upaya pengendalian pemanfaatan ruang pembangunan melalui Koefisien Dasar Bangunan (KDB). Prinsip KDB adalah menetapkan bagian (porsi) ruang yang boleh dibangun dan tidak boleh dibangun pada suatu rencana pembangunan.
Masalah banjir di Jakarta masih menjadi ancaman. Pada tahun 1996, Jakarta dilanda banjir dan berulang kembali pada tahun 2002, 3 tiga tahun setelah keputusan PERDA dengan area yang lebih leas. Kawasan kena banjir di wilayah penelitian meluas dari 6 kelurahan tahun 1996 menjadi 18 pada tahun 2002. Pertanyaannya kemudian : dimanakah Ietak kesalahan kebijakan tersebut sehingga pembangunan kota malahan telah menghasilkan masalah baru ? Prinsip pelaksanaan KDB, secara internal seharusnya mampu menciptakan kondisi lingkungan kota menjadi lebih bails bukan sebaliknya malahan menjadi lebih buruk.
Atas permasalahan yang terjadi, pertanyaannya : (1) Bagaimana kriteria KDB ditetapkan dalam suatu rencana pembangunan ? (2) bagaimana konsistensi pelaksanaan KDB dan (3) bagaimana hubungan KDB dengan tumbuhnya kawasan barn kena banjir di wilayah penelitian ? Tujuan penelitian : (1) mengetahui kriteria ketetapan KDB, (2) menilai pelaksanaan kebijakan KDB atas Rencana dan Fakta dan (3) mengukur pengaruh KDB terhadap tumbuhnya kawasan baru kena banjir di wilayah penelitian.
Adalah fakta bahwa perubahan penggunaan tanah sejak tahun 1996 hingga 2002 cenderung kepada perluasan Ruang Terbangun, sehingga Ruang Terbuka menjadi berkurang. Dibandingkan dengan kebijakannya, perubahan yang terjadi ternyata tidak seperti yang diharapkan; yaitu basil Fakta tidak sesuai dengan Target Rencana pada RPTR Kecamatan 2005. Perluasan Ruang Terbangun telah meningkatkan nilai Koefisien Run off pada tanah. Daya resapan tanah terhadap Air menjadi menurun. Pada musim hujan, Air hujan lebih banyak berada di atas permukaan tanah. Ruang Terbuka yang menyempit telah berakibat pada peninggian permukaan Air hujan ketika melimpas di permukaannya. Hasil perhitungan Debit banjir menunjukan adanya perbedaan ketinggian Air tersebut pads banjir tahun 1996 dengan 2002, yaitu 76,01 cm x 178,76 cm.
Proses KDB terikat pada RPTR dengan dasar pertimbangan 4 kondisi fisik : Jejaring, Aktivitas, Kepadatan dan internsitas bangunan. Aspek hidrologis seperti daya resapan tanah, koefisien run off dan intensitas hujan tidak menjadi kriterianya; padahal "Ruang" adalah sebuah sistem lingkungan (subyek) yang memiliki fungsi konservasi bagi lingkungan. Unsur kriteria KDB tidak memiliki standar ukuran baku yang tetap dan mengikat besaran KDB, sehingga pelaksanaannya tidak dapat konsisten. Koefisien run-off wilayah telah meningkat sehingga berpeluang besar untuk kena banjir. Orientasi KDB hanya kepada "ruang" untuk' aktivitas (obyek), sehingga perlu di sempurnakan kriterianya dengan menilai aspek hidrologis melalui Reformulasi KDB.

Urban is a system, so it need to managed by a management policy called Urban Management. The Region Regulation of Jakarta, i.e. PERDA DKI No. 611999 is a Master Plan Policy for spatial management plan, called RTRW. In this policy system, the purpose of land development has arranged to monitor and controlled through the decision of Building Coverage Ratio, called KDB. The principle of KDB is to proportionally define the urban space that might becomes to either built area or open space.
The flood problem for Jakarta is still potent. In 1996, Jakarta was flood and repeat again in year of 2002 which greater than before; it was 3 years after the PERDA con-ducted. In the study area, the flood area has increase too larger from 6 district areas only at year of 1996 became 18 districts in 2002. It was wondering; what's wrong with the policy so it's gaining a new flood problem? Internally, the KDB principles actually should be produce a better condition to the urban environment then worse.
Pertaining to the problem, the questions are (1) How the KDB criteria's being stated for the develop planning? (2) How the consistency of KDB implementation it? And (3) how the correlate of KDB to the new of flood area? The objectives of the research are: (1) To know the state of KDB criteria's, (2) To judging the KDB implementation due to Planning concept and the Fact result, and (3) To measure the effect of KDB toward the growth of new area in study area which has been flooded.
In fact, the changes of land utilization was since 1996 to 2002, it tend to increase of built area and decrease of open space. Comparing to the policy goal, those change results was unexpected and had no matched to the Detailed Plan for 2005; obviously because the factual is greater than the target planned.
Any way, the increasing of built area will cause to an increasing of earth Run off Coefficient value. An infiltration capacity of earth will be decrease and Iatter on it will effect to the much more number of water volume on the earth surface. The open space that goes to narrow will cause of rain water level at surface that goes to higher. An account of Q factor from two periods, 1996 and 2002 with different run off coefficient i.e. 0.19 and 0.70 and different large of open space, have gaining a result a different water high level, that is 76.01-cm (1996) versus 178,76 cm (2002).
The states of KDB, it most depend on the Land Utilization Detailed Plan (called RPTR) and was considerate by four (4) criteria's i.e. Network, Activity, Density and Intensity. At those criteria's, none of them are concern to the environmental aspects such as land infiltration capacities or land run off coefficient or rain fall intensities were been a hydrological issues. In Fact, space or region is an environmental system, which have a conserve function (subject) but also have limitations. The KDB's orientation just to fulfill spatial needs for activities (object) and the criteria's has no standard rules to tight up KDB being consistence when it conducted. Otherwise, getting higher value of run off coefficient, it will tend to a bigger chance of flood be. Furthermore, the KDB principle need to reformulate to complete it criteria's with hydrological aspects.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14836
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musni Umar
"Teknik penelitian yang dilakukan di Kabupaten Kendari mengenai Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, yang utama adalah menggunakan kualitatif, didukung dengan teknik kuantitatif. Subyek dalam penelitian ini sebanyak 11 informan utama. Cara mendapatkan informasi/data yaitu melalui wawancara mendalam terhadap 11 informan utama, Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten Kendari, Peraturan Daerah produk DPRD, UU Otonomi Daerah, dan observasi lapangan. Teori yang dipakai ialah pembagian kekuasaan, dan fungsi-fungsi Badan Legislatif, dengan konsep DPRD sebagai penyeimbang eksekutif.
Penelitian ini telah membuat indikator untuk mengukur kinerja DPRD dan menemukan data yang amat penting tentang peran DPRD di era reformasi, di mana institusi itu ternyata tidak efektif, sehingga harapan terwujudnya perimbangan kekuasaan (balance of power) antara legislatif (DPRD) dengan eksekutif (Bupati) masih jauh dari kenyataan. Akibatnya, pelaksanaan otonomi yang dititik-beratkan pada daerah kabupaten dan kota, telah memindahkan sentralisasi kekuasaan ke tangan Bupati, sehingga terjadi monopoli kekuasaan, dan muncul kecenderungan semakin meluas dan bertambah merajalela praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di era otonomi daerah.
DPRD sebagai simbol demokrasi dan representasi dari rakyat yang berdaulat, tidak berdaya menghadapi Bupati, karena masih tetap dijalankan paradigma lama pemerintahan yaitu Bupati adalah sebagai penguasa tunggal di daerahnya, Penyebab lainnya ialah terbatasnya kualitas anggota DPRD, dominannya kepentingan pribadi anggota Dewan, lemahnya masyarakat madani (civil society) di kabupaten Kendari, masih kuatnya pengaruh feodalisme dan terus dibatasinya kewenangan anggota Dewan untuk menjalankan fungsi dan menggunakan hak Dalam Tata Tertib DPRD Kabupaten Kendari secara jelas dapat ditemukan pasal-pasal yang mempersulit serta menghambat pelaksanaan fungsi dan hak anggota DPRD seperti fungsi pengawasan yang diatur dalam paragraf 4 yaitu hak mengadakan penyelidikan (pasal 14), paragraf 6 hak mengajukan pernyataan-pendapat (pasal 18), dan paragraf 9 hak mengajukan pertanyaan (pasal 22); serta paragraf 7 hak prakarsa untuk mengajukan rancangan peraturan daerah (pasal 19). Pasal-pasal tersebut sebaiknya dalam rangka reformasi dan upaya meningkatkan kinerja DPRD direvisi. Temuan lainya bahwa pelaksanaan peran DPRD dilihat dari jumlah produk peraturan Daerah, ternyata DPRD di masa Orde Baru lebih tinggi produktivitasnya dibanding DPRD di era reformasi. Begitu juga dalam penggunaan hak-hak Dewan, serta pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD secara keseluruhan tetap memprihatinkan. Kendati begitu, dari sisi penggunaan hak Dewan terutarna keberanian para anggota mengadakan perubahan terhadap rancangan peraturan daerah, dan pelaksanaan pengawasan langsung terdapat peningkatan yang cukup menggembirakan. Dalam hal pembentukan Peraturan Daerah, tidak ada bedanya DPRD di era Orde Baru dengan DPRD di era reformasi, karena semua rancangan peraturan daerah bersurnber dari inisiatif eksekutif, tidak ada yang dilahirkan dari hasil inisiatif atau prakarsa DPRD. Akibatnya, produk peraturan daerah umumnya kurang bernuansa pemberdayaan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Hampir semua produk peraturan daerah, bersifat membebani rakyat, dan untuk kepentingan kekuasaan_ Itulah sebabnya, masyarakat menilai bahwa DPRD belum berperan secara optimal dalam mendorong perbaikan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Mereka lebih sibuk mengurus kepentingan diri sendiri.
Mengenai keterwakilan rakyat di DPRD, sudah mulai ada kemauan politik yang ditunjukkaan dalam proses pencalonan anggota DPRD dengan dipilihnya para calon anggota DPRD dari Kecamatan atau Desa. Hanya proses menuju keterwakilan rakyat terhenti setelah pemilu, tidak berlanjut dan berkesinambungan di DPRD melalui perjuangan untuk memajukan kesejahteraan rakyat yang dicerminkan dalam pembuatan berbagai peraturan daerah, penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pengawasan yang efektif, dan penyaluran aspirasi serta kepentingan rakyat. Dalam praktek, kita menyaksikan terjadinya interaksi yang baik antara DPRD dengan eksekutif, tetapi belum menghasilkan manfaat nyata bagi perbaikan nasib rakyat. Demikian juga, interaksi antara DPRD dengan rakyat mulai berjalan dinamis, hanya tingkat ketidakpuasan rakyat terhadap DPRD masih tinggi. Indikatornya dapat ditunjukkan antara lain tetap banyaknya rakyat yang berdemonstrasi di DPRD, walaupun menurut penilaian Pimpinan DPRD dan Ketua-Ketua Fraksi di DPRD bahwa hal tersebut justru merupakan bukti bahwa rakyat percaya kepada DPRD. Kalau tidak percaya, tidak mungkin rakyat datang mengadukan nasibnya ke DPRD. Sedang peran DPRD di masa lalu, mengalami pasang surut karena mengikuti dinamika dan kebijakan politik yang dijalankan ditingkat nasional. Jika pemerintah pusat menjalankan pemerintahan secara demokratis, maka imbasnya merembet ke seluruh daerah dalam wujud desentralisasi dan otonomi luas, sehingga memberi dampak positif kepada rakyat dan DPRD karena dapat berpartisipasi dan berperan aktif menjalankan fungsinya. Demikian pula sebaliknya, jika pemerintah pusat menjalankan kebijakan pemerintahan secara otoriter, maka imbasnya ke berbagai daerah akan termanifestasi dalam wujud sentralisasi dan dekonsentrasi pemerintahan, yang dampaknya negatif bagi rakyat dan DPRD karena demokrasi dipasung. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa politik desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah, tidak selamanya berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh elit penguasa dan politik baik eksekutif maupun DPRD untuk membangun masyarakat madani. Disinilah urgensinya membangun kesadaran masyarakat (common consciousness) agar sadar bahwa kedaulatannya yang telah diserahkan kepada wakil mereka di DPRD melalui pemilu, harus selalu dikontrol, supaya mereka menjalankan fungsinya secara optimal dan baik.
Berkaitan dengan upaya memperkuat peran masyarakat di DPRD, maka dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, semakin dirasakan pentingnya membangun kekuatan masyarakat madani yang terdidik, dan demokratis. Untuk itu, nilai-nilai budaya lokal yang mengandung unsur-unsur demokrasi yang berakar kuat di masyarakat sudah saatnya dikembangkan dan dibudayakan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library