Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evida Karismawati
"Ketahanan pangan merupakan bagian dari ketahanan ekonomi yang mendukung ketahanan nasional. Ketidakmampuan untuk mencapai ketahanan pangan disebut sebagai kerawanan pangan. Angka Rawan Pangan (ARP) tertinggi berada pada kawasan Maluku Papua. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur tingkat kerawanan pangan rumah tangga berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan Food Insecurity Experience Scale (FIES) di kawasan Maluku Papua, menganalisis model risiko atas kerawanan pangan rumah tangga tersebut, dan menyusun strategi pengendalian risiko atas kerawanan pangan rumah tangga tersebut. Data yang digunakan merupakan Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2018 yang diselenggarakan oleh BPS. Tingkat kerawanan rumah tangga di kawasan Maluku Papua menurut AKG pada kategori sangat rawan pangan sebesar 26,2 persen dan pada kategori rawan pangan sebesar 28,2 persen, sedangkan menurut FIES pada kategori rawan pangan berat sebesar 2,1 persen dan pada kategori rawan pangan sedang sebesar 10,7 persen. Risiko kerawanan rumah tangga berdasarkan AKG secara signifikan meningkat pada usia KRT yang lebih muda, jenis kelamin KRT laki-laki, jenis pekerjaan KRT pada selain sektor formal, KRT berstatus tidak bekerja, pendidikan KRT yang lebih rendah, tingkat pengeluaran rumah tangga yang lebih rendah, jumlah anggota rumah tangga yang lebih banyak, rumah tangga yang tidak memperoleh bantuan pangan, rumah tangga miskin, tinggal pada daerah perkotaan, dan tinggal pada daerah rawan pangan. Risiko kerawanan rumah tangga berdasarkan FIES di kawasan Maluku Papua secara signifikan meningkat pada usia KRT yang lebih muda, jenis kelamin KRT perempuan, jenis pekerjaan KRT pada selain sektor formal, KRT tidak bekerja, pendidikan KRT yang lebih rendah, tingkat pengeluaran rumah tangga yang lebih tinggi, rumah tangga yang memperoleh bantuan pangan, tinggal di daerah perkotaan, dan tinggal pada daerah rawan pangan. Upaya pengendalian risiko kerawanan pangan rumah tangga di kawasan Maluku Papua dapat dioptimalkan dengan pemberdayaan rumah tangga.

Food security is a part of economic security which supports national security. Food security is the inability to achieve food security. The food insecurity rate in Maluku and Papua is the highest. The purposes of this study are to measure the level of household food insecurity based on Recommended Daily Allowance (RDA) and Food Insecurity Experience Scale (FIES) in Maluku and Papua, analyze the risk model of household food insecurity, and also develop a strategy for controlling risk of household food insecurity. This study uses Sosio-Economic National Survey (Susenas) Data by Statistics Indonesia on March 2018. According to RDA, the level of household most food insecurity is 26.2 percent and the level of household food insecurity is 28.2 percent. According to FIES, the level of household severe food insecurity is 2.1 percent and the level of household moderate food insecurity is 10.7 percent. The risk of household food insecurity based on RDA in Maluku and Papua significantly increases among the younger household head, male household head, household head who is not working in the formal sector, unemployment household head, lower level of household expenditure, bigger household size, household that do not receive food assistance, poor household, live in urban area, and live in food insecure areas. The risk of household food insecurity based on FIES in Maluku and Papua significantly increases among the younger household head, male household head, household head who is not working in the formal sector, unemployment household head, lower level of household expenditure, bigger household size, household that do not receive food assistance, poor household, live in urban area, and live in food insecure areas. The efforts to control the risk of household food insecurity in Maluku Papua can be optimized by household empowerment."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nalyda Yola Althofia
"Dampak kebijakan upah minimum terhadap ketenagakerjaan masih menjadi perdebatan. Upah minimum dapat meningkatkan pendapatan beberapa pekerja, tetapi juga dapat menyebabkan pekerja lain kehilangan pekerjaanya. Kenaikan upah minimum memiliki dampak yang berbeda untuk kelompok pekerja yang berbeda. Dampak kenaikan upah minimum akan lebih dirasakan oleh kelompok pekerja rentan, seperti pekerja perempuan, pekerja muda, dan pekerja berpendidikan rendah. Penelitian ini menggunakan data individu yang bersumber dari Sakernas Agustus tahun 2014– 2019 dan variabel makro yaitu UMR kabupaten/kota, PDRB, dan tingkat pengangguran. Dengan menggunakan metode regresi multinomial probit diperoleh hasil bahwa upah minimum berdampak negatif terhadap probabilitas transisi pekerja formal ke informal maupun pekerja formal menjadi tidak bekerja. Berdasarkan karakteristik individu, upah minimum lebih berdampak pada transisi pekerja usia muda dibandingkan pekerja usia produktif dan usia tua. Upah minimum juga lebih berdampak pada transisi pekerja berpendidikan rendah dibandingkan pekerja berpendidikan menengah dan tinggi. Sedangkan tidak ada perbedaan pengaruh upah minimum terhadap transisi pekerja formal antara laki-laki dan perempuan.

The impact of minimum wage policies on employment is still a matter of debate. The minimum wage can increase the income of some workers, but it can also cause other workers to lose their jobs. An increase in the minimum wage has different effects for different groups of workers. The impact of the minimum wage increase will be felt more by vulnerable groups of workers, such as female workers, young workers, and workers with low education. This study uses individual data sourced from Sakernas August 2014–2019 and macro variables, namely UMK, PDRB, and the unemployment rate. By using the multinomial probit regression method, it is found that the minimum wage has a negative impact on the transition probability of formal to informal workers and formal workers to not work. Based on individual characteristics, the minimum wage has more impact on the transition of young workers than productive and old workers. The minimum wage also has more impact on the transition of workers with low education compared to workers with secondary and higher education. Meanwhile, there is no difference in the effect of the minimum wage on the transition of formal workers between men and women"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desti Isna Purwani
"Sejak tahun 2021, Indonesia telah memasuki struktur penduduk tua dengan persentase lansia sudah mencapai lebih dari 10 persen (BPS, 2022). Dalam tiga tahun terakhir unmet need pelayanan kesehatan di Indonesia lebih banyak dialami oleh penduduk lansia dibandingkan penduduk muda dan mengalami peningkatan di masa pandemi Covid-19. Unit analisis yang digunakan adalah lansia 60 tahun ke atas yang mengalami keluhan kesehatan dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kecenderungan lansia mengalami unmet need availability dan accessibility serta unmet need acceptability pelayanan kesehatan sebelum dan masa pandemi Covid-19. Data yang digunakan dalam penelitian ini Susenas Maret dan Podes tahun 2019 dan 2021. Hasil regresi multinomial menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga dan kepesertaan JKN lansia berpengaruh negatif terhadap terjadinya unmet need artinya semakin tinggi tingkat kesejahteraan lansia dan kepesertaan JKN cenderung mengalami unmet need availability dan accessibility serta unmet need acceptability yang lebih rendah dibandingkan lansia termiskin (Q1) dan bukan peserta JKN. Selain itu pelayanan kesehatan puskesmas terutama di perdesaan yang belum berfungsi secara maksimal menyebabkan kecenderungan unmet need availability dan accessibility lebih tinggi pada lansia yang ada puskesmas di wilayah tempat tinggalnya dibanding yang tidak ada. Berdasarkan karakteristik, lansia lebih muda, berstatus kawin, tingal bersama pasangan atau anggota rumah tangga lainnya, wilayah perkotaan dan tidak disabilitas kecenderungan unmet need availability dan accessibility serta unmet need acceptability lebih rendah. Sementara, lansia bekerja kecenderungan unmet need acceptability lebih tinggi, sedangkan kecenderungan unmet need availability dan accessibility lebih rendah dibanding lansia tidak bekerja. Terakhir lansia berpendidikan tinggi kecenderungan unmet need acceptability lebih tinggi dibandingkan lansia pendidikan rendah. Hasil deskriptif menunjukkan pada saat pandemi Covid-19 unmet need acceptability lebih tinggi dibandingkan lansia pendidikan rendah. Hasil deskriptif menunjukkan pada saat pandemi Covid-19 unmet need acceptability mengalami peningkatan, sedangkan unmet need availability dan accessibility mengalami penurunan. Lansia yang lebih rentan terpapar Covid-19 menyebabkan takut ke faskes, melakukan pengobatan sendiri dengan membeli obat di apotek dan ketika penyakit belum parah tidak merasa perlu ke faskes sehingga unmet need acceptability tinggi di saat pandemi.

Since 2021, Indonesia has entered ageing population with the percentage of elderly more than 10 percent (BPS, 2022). The last three years, unmet need for health services in Indonesia has been experienced more by elderly than by young and has increased during the Covid-19 pandemic. The unit of analysis used is the elderly aged 60 years and over who experience health complaints and interfere with daily activities. The aim of this research is to determine the tendency of elderly people to experience unmet need availability and accessibility as well as unmet need acceptability of health services before and during the Covid-19 pandemic. The data used in this study are Susenas March and Podes in 2019 and 2021. Multinomial regression results show that household welfare level and JKN membership in the elderly have a negative effect on the occurrence of unmet need, meaning that the higher the level of elderly welfare and JKN membership, the tendency of unmet need for availability, accessibility and acceptability is lower than the poorest elderly (Q1) and non-JKN participants. In addition, puskesmas health services, especially in rural areas, which have not functioned optimally, cause the tendency of unmet need availability and accessibility to be higher in the elderly where there is a puskesmas in the area where they live than where there is none. Based on characteristics, the elderly are younger, married, live with a partner or other household members, in urban areas and are not disabled, the tendency is for unmet need availability and accessibility and unmet need acceptability to be lower. Meanwhile, the working elderly have a higher tendency of unmet need acceptability, while the tendency of unmet need availability and accessibility is lower than the non-working elderly. Lastly, older with higher levels of education tend to have a higher unmet need acceptability than older adults with lower levels of education. Descriptive results show that during the Covid-19 pandemic unmet need acceptability has increased, while unmet need availability and accessibility have decreased. Elderly who are more vulnerable to Covid-19 are afraid to go to health facilities, self-medicate by buying medicine at the pharmacy and when their illness is not severe, they feel no need to go to health facilities so that the acceptability of unmet need is higher during the pandemic."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library