Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ambarini Hermawan
"ABSTRAK
Frekuensi karsinoma kolorektal tertinggi diantara
karsinoma saluran pencernaan. Sebagian besar pasien
datang pada stadium lanjut. Di Amerika Serikat
(Siluerberg 1981) tercatat 120.000 kasus karsinoma kolorektal
baru, 37.000 diantaranya adalah karsinoma rektum, dengan
perkiraan kematian 8.700 kasus. Perbandingan pria dan wanita
adalah 9:5. Golighsr mencatat bahwa karsinoma ini paling
sering didapatkan pada usia di atas 60 tahun, dan pada usia
kurang dari 30 tahun hanya dijumpai 2,1%.
Di Bagian Bedah RSCM antara Januari 1980 sampai dengan
April 1982, didapatkan bahwa frekuensi karsinoma rektum
tertinggi pada pasien berusia diantara 31-40 tahun, di bawah
usia 30 tahun 17 persen, dan pria dan wanita berbanding
sebagai 27:20.
Untuk lebih mengenal pola penyebaran karsinoma rektum,
diperlukan pengetahuan anatomi daerah rektum dan sekitarnya. Karsinoma rektum akan menyebar melalui lima cara, yaitu
secara perkontinuitatum, limfogen, hematogen, transperitoneal,
dan implantasi (5, 20, 25).
Berbagai pendapat telah diajukan untuk mengobati
karsinoma rektum ini. Pendekatan multidisipliner dikembangkan untuk memilih cara pengobatan, meliputi pengobatan:
pembedahan, radiasi, dan kenoterapi, bahkan kombinasi
cara-cara tersebut (7,8,19,21,22). Walaupun demikian sampai
saat ini masih didapat adanya perbedaan pendapat.
Sejak tahun 1982 di RSCM telah dibuat suatu protokol
penatalaksanaan karsinoma rektum, tetapi penerapan protokol
ini masih jauh dari yang diharapkan.
Pada makalah ini akan dikemukakan pengobatan radiasi pada
karsinoma rektum, dengan suatu laporan retrospektif pengobatan
radiasi pada pasien yang dikirim ke Unit RaHiotarapi RSCH/FKUI
selama periode Januari 1985 sampai dengan Desember 1986."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhandyka Rafli
"Pendahuluan : Kemoradiasi pada kanker rektum menghasilkan radical oxygen species (ROS) yang dapat memicu kematian sel. ALDH1A1 merupakan antioksidan yang mampu mengurangi ROS dan merupakan marker sel punca kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar ALDH1A1 dengan respon kemoradiasi berdasarkan metode RECIST 1.1 pada pasien kanker rektum stadium lanjut lokal.
Metode : Penelitian ini merupakan studi retrospektif terhadap 14 pasien kanker rektum stadium lanjut lokal yang memenuhi kriteria inklusi dari januari 2012 sampai januari 2015. ALDH1A1 diperiksa menggunakan metode ELISA dari sampel blok parafin kanker rektum. Respon pengecilan tumor dari CT scan dan MRI dihitung berdasarkan metode RECIST 1.1.
Hasil : Didapatkan rerata kadar ALDH1A1 sebesar 9,014 ± 3,3 pg/mL, rerata persentase respon radiasi 7,89 ± 35,7 % dan diklasifikasikan berdasarkan RECIST didapatkan proporsi respon parsial sebesar 28,6 % , respon stabil sebesar 50% dan respon progresif sebesar 21,4%. Terdapat korelasi negatif kuat yang bermakna (r = - 0,890 dan p < 0,001) antara kadar ALDH1A1 dengan respon kemoradiasi berdasarkan RECIST.
Kesimpulan : pada penderita kanker rektum stadium lanjut lokal respon kemoradiasi dipengaruhi oleh kadar ALDH1A1 dalam jaringan tumor. Semakin tinggi kadar ALDH1A1 semakin buruk respon kemoradiasi.

Introduction : Chemoradiation in rectal cancer produce radical oxygen species (ROS) wich can cause cell death. ALDH1A1 is an antioxidant that can reduce ROS and known as cancer stem cell marker. The purpose of this study is to determine the correlation between ALDH1A1 level with tumor shrinkage using RECIST methode in locally advance rectal cancer.
Methode : This is a retrospective study to 14 locally advance rectal cancer patients who meet the inclusion criteria from january 2012 to january 2015. ALDH1A1 level was measured by ELISA from paraffin embeded tissue. Tumor shrinkage was measured from CTscan or MRI using RECIST 1.1 methode.
Result : The mean ALDH1A1 level is 9,014 ± 3,3 pg/mL, the mean of tumor shrinkage is 7,89 ± 35,7 %, Partial respond proportion is 28,6 % , Stable dissease proportion is 50% and progressive dissease proportion is 21,4%. There was a significant strong negative correlation (r = -0,890, p < 0,001) between ALDH1A1 with tumor shrinkage.
Conclusion : This study showed that tumor shrinkage in locally advanced rectal cancer after chemoradiation is influenced by ALDH1A1 level. The increase od ALDH1A1 level will decrease tumor shrinkage after chemoradiation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Febi Indarti
"[Tujuan: Untuk mengetahui profil pasien kanker rektum di Departemen Radioterapi RSCM.
Metode: Dilakukan penelitian restrospektif deskriptif analitik terhadap 144 pasien kanker
rektum yang menjalani radiasi di Departemen Radioterapi RSCM periode Januari 2009Januari
2014, dilihat karakteristik pasien dan tumor. Respons radiasi dinilai menggunakan
metode RECIST 1.1. Hubungan antara OTT dan DTT dengan respons radiasi dinilai dengan
korelasi Spearman dan analisis kesintasan dihitung dengan kurva Kaplan Meier.
Hasil: Pasien laki-laki sebesar 65.9%, median usia 53 (23-81) tahun dengan mayoritas berada
pada kelompok usia 50-59 tahun. Tipe histopatologi terbanyak adalah adenokarsinoma
(88.8%) dan pasien paling banyak datang dengan stadium IIIB (25.0%). Kemoradiasi
dilakukan pada 29.8% pasien, dengan toksisitas radiasi akut terbanyak adalah pada kulit
(derajat I) sebesar 20.1%. Respons radiasi yang dinilai dengan metode RECIST 1.1
menunjukkan respons terbanyak adalah stabil (71.4%). Tidak ditemukan korelasi antara OTT
dan DTT dengan respons radiasi. Dari 118 pasien, didapatkan analisis kesintasan keseluruhan
3 dan 5 tahun masing-masing adalah 65% dan 45% dengan median survival 59 bulan. Pada
kelompok pasien yang menjalani radiasi panjang, analisis kesintasan keseluruhan 3 dan 5
tahun masing-masing adalah masing-masing 91% dan 78%.
Kesimpulan: Karakteristik pasien rektum di Departemen Radioterapi RSCM yang berbeda
dengan berbagai studi sebelumnya hanya usia. Respons radiasi yang paling banyak dijumpai adalah stabil. Tidak ditemukan korelasi antara OTT dan DTT dengan respons radiasi.;Purpose: To obtain the profile of rectal cancer patients in Department of Radiotherapy,
National General Hospital of Cipto Mangunkusumo.
Method: A restrospective study was conducted over 144 rectal cancer patients undergone
radiation therapy in Department of Radiotherapy, National General Hospital of Cipto
Mangunkusumo during period of January 2009 to January 2014. The characteristics of
patients and tumour were assessed. The radiation response was evaluated with the RECIST
1.1 method. The correlation between OTT and DTT with radiation response was analyzed
with Spearman?s correlation and the survival analysis was determined using Kaplan-Meier
curve.
Result: The majority of patients were male (65.9%), with median age of 53 (23-81) years old
where most patients belonged to age group of 50-59 years old. The most frequent
histopathologic type found was adenocarcinoma (88.8%) with most patients were in stage
IIIB (25.0%). Chemoradiation was performed in 29.8% of patients, and grade I skin toxicity
was the most frequent acute side effect of radiation found (20.1%). Radiation response
assessed with the RECIST 1.1 method showed stable disease as the mostly seen response
(71.4%). There was no correlation found between OTT and DTT with radiation response.
Overall survival from 118 patients for 3 and 5 years were 65% and 45%, respectively, with
median survival of 59 months. In the group of patients underwent long-course radiotherapy,
the overall survival for 3 and 5 years were 91% and 78%, respectively.
Conclusion: The sole characteristic of rectal cancer patients in Department of Radiotherapy at
Cipto Mangunkusumo Hospital that is different from previous studies is the age group where
most patients were in. Stable disease is the most frequent radiation response. There was no correlation found between OTT and DTT with radiation response., Purpose: To obtain the profile of rectal cancer patients in Department of Radiotherapy,
National General Hospital of Cipto Mangunkusumo.
Method: A restrospective study was conducted over 144 rectal cancer patients undergone
radiation therapy in Department of Radiotherapy, National General Hospital of Cipto
Mangunkusumo during period of January 2009 to January 2014. The characteristics of
patients and tumour were assessed. The radiation response was evaluated with the RECIST
1.1 method. The correlation between OTT and DTT with radiation response was analyzed
with Spearman’s correlation and the survival analysis was determined using Kaplan-Meier
curve.
Result: The majority of patients were male (65.9%), with median age of 53 (23-81) years old
where most patients belonged to age group of 50-59 years old. The most frequent
histopathologic type found was adenocarcinoma (88.8%) with most patients were in stage
IIIB (25.0%). Chemoradiation was performed in 29.8% of patients, and grade I skin toxicity
was the most frequent acute side effect of radiation found (20.1%). Radiation response
assessed with the RECIST 1.1 method showed stable disease as the mostly seen response
(71.4%). There was no correlation found between OTT and DTT with radiation response.
Overall survival from 118 patients for 3 and 5 years were 65% and 45%, respectively, with
median survival of 59 months. In the group of patients underwent long-course radiotherapy,
the overall survival for 3 and 5 years were 91% and 78%, respectively.
Conclusion: The sole characteristic of rectal cancer patients in Department of Radiotherapy at
Cipto Mangunkusumo Hospital that is different from previous studies is the age group where
most patients were in. Stable disease is the most frequent radiation response. There was no correlation found between OTT and DTT with radiation response.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suksmagita Pratidina
"Chlamydia trachomatis (CT) merupakan bakteri penyebab infeksi menular seksual (IMS) yang paling sering terjadi, dengan perkiraan angka kejadian 50 juta kasus per tahun di seluruh dunia. Lebih dari 3 juta kasus baru dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1995. Hal ini membuat infeksi CT tidak hanya sebagai penyakit infeksi menular seksual (IMS) terbanyak, tetapi juga penyakit infeksi tersering di Amerika Serikat. Penelitian meta-analisis di tahun 2005 melaporkan bahwa prevalensi infeksi CT berkisar antara 3,3% hingga 21,5%.
Terdapat 2 Cara transmisi infeksi CT yaitu secara horizontal dan vertikal. Infeksi horizontal umumnya terjadi melalui hubungan seksual lewat vagina dan anus tanpa pelindung, sedangkan infeksi vertikal terjadi saat proses kelahiran. Meskipun infeksi Iebih sering terjadi pada genital dan konjungtiva, temyata permukaan mukosa faring, uretra dan rektum juga merupakan lokasi kolonisasi CT. Hubungan orogenital awalnya tidak dipikirkan sebagai jalur transmisi CT, sehingga pemeriksaan skrining rutin untilk infeksi CT faring belum dianjurkan pada pedoman di Amerika Serikat dan Inggris. Namun dengan semakin banyaknya praktek fellatio dan jarangnya penggunaan kondom, kemungkinan transmisi CT pada orofaring dapat terjadi. Chlamydia trachomatis sering merupakan penyebab infeksi anorektum (proktitis akut) yang ditularkan secara seksual, khususnya pada populasi men who have sex with men (MSM) yang melakukan hubungan seksual lewat rektum tanpa perlindungan kondom.
Selain MSM, waria juga merupakan kelompok risiko tinggi yang rentan terhadap infeksi tersebut. Waria memiliki jumlah pasangan seksual Iebih banyak dibandingkan dengan kelompok risiko tinggi lain (penjaja seks wanita dan MSM), Iebih banyak bekerja menjajakan seks demi uang, memiliki pendapatan paling rendah, banyak yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Waria adalah istilah yang hanya digunakan di Indonesia, yaitu singkatan dari wanita-pria. Walaupun hingga saat ini belum ada data yang akurat mengenai jumlah populasi waria di Jakarta, namun menurut data yang didapat diperkirakan sekitar 8000 orang yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya. Pasangan seksual waria adalah laki-laki heteroseksual, waria tidak pernah berhubungan seksual dengan sesama waria atau dengan laki-laki homoseksual. Waria melakukan hubungan seksual secara orogenital dan anogenital reseptif dan memiliki perilaku seksual yang sangat berisiko." Banyak waria di Jakarta terlibat dalam hubungan seks komersial lewat oral dan anal reseptif tanpa pelindung/kondom. Masalah perilaku seksual tersebut merupakan pintu masuk bagi penularan IMS pada kelompok waria. Meskipun perilaku ini meningkatkan risiko untuk terkena IMS dan HIV, sangat sedikit data yang ada mengenai prevalensi infeksi ini berikut perilaku seksualnya. Pada kelompok ini angka prevalensi panting untuk diketahui karena prevalensi 1MS merupakan salah satu indikator yang memberi gambaran prevalensi infeksi HIV/AIDS.
Sebagian besar individu yang terinfeksi CT bersifat asimtomatik, sehingga merupakan sumber penyebaran infeksi yang potensial. Guna mencegah penyebaran infeksi, perlu diperhatikan diagnosis dini berdasarkan tes laboratorik yang akurat dan pengobatan yang efektif. Hingga tahun 80-an, diagnosis infeksi CT hanya berdasarkan pada isolasi organisme dengan kultur jaringan. Meskipun kultur masih merupakan baku emas untuk pemeriksaan CT, teknik ini membutuhkan pengambilan spesimen yang teliti dan kondisi transpor yang ketat. Selain itu pemeriksaan kultur belum distandarisasi dan dapat terjadi variasi hasil antar laboratorium. Uji nonkultur untuk deteksi CT pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 80-an dan perkembangannya sangat baik karena tidak membutuhkan organisme hidup, sehingga mengatasi masalah pengambilan dan transportasi spesimen yang berhubungan dengan metode kultur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18013
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirna Primasari
"[ABSTRAK
Pendahuluan : Kanker kolorektal termasuk salah satu morbiditas terbanyak di Indonesia dengan hasil terapi yang cenderung memprihatinkan untuk stadium lanjut lokal. Oleh karena itu diperlukan kemoradiasi neoajuvan yang merupakan terapi standar sesuai guideline untuk kanker rektum stadium lanjut lokal, meskipun demikian espons yang dihasilkan sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk hipoksia jaringan. Osteopontin adalah penanda hipoksia endogen yang berkorelasi signifikan dengan tekanan oksigen tumor. Osteopontin juga merupakan penanda hipoksia kronis yang lebih akurat dibandingkan Carbonic Anhydrase IX (CAIX), Glucose Transporter 1 (GLUT1), dan Lactate Dehydrogenase A (LDH A) tetapi belum pernah dilakukan penelitian yang mengukur kadar OPN secara kuantitatif pada jaringan kanker rektum serta mengkorelasikannya dengan respons pengecilan tumor pada kemoradiasi neoajuvan.
Metode dan Materi: Dilakukan skrining data pasien dari Rekam Medis Departemen Radioterapi. Empat belas pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dianalisis retrospektif dari bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2015. Pencitraan radiologi pasca kemoradiasi dibandingkan dengan sebelum kemoradiasi, sementara jaringan rectum didapatkan dari blok parafin yang didapatkan dari biopsi sebelum kemoradiasi. Evaluasi radiologi diukur menggunakan kriteria RECIST 1.1. Kadar OPN diperiksa menggunakan metode ELISA dan diukur menggunakan spektrofometer.
Hasil : Rerata kadar OPN adalah 0.5678 ± 0.26 ng/mL. Terdapat korelasi berbanding terbalik yang kuat (r= -0.630, p= 0.016) antara kadar OPN dan pengecilan tumor. Nilai ambang batas OPN ≥0.538 ng/mL memprediksikan ketidakresponsifan terhadap kemoradiasi neoajuvan dengan tingkat sensitivitas 100% dan spesifisitas 81,8%. Meskipun demikian, tidak terdapat korelasi antara kadar OPN dengan Hemoglobin.
Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan bahwa hipoksia terdapat pada pasien dengan kanker rektum stadium lanjut lokal dan merupakan karakter yang menandai turunnya respons pengecilan tumor terhadap kemoradiasi neoajuvan. Kadar OPN yang makin tinggi menunjukkan kondisi hipoksia yang lebih buruk dan respons yang lebih buruk untuk pengecilan tumor.

ABSTRACT
Introduction: Colorectal carcinoma is one of the common cancer in Indonesia with concerned clinical outcome for locally advanced stage, therefore neoadjuvant chemoradiation (CRT) is needed. Neoadjuvant CRT is the mainstay treatment for locally advanced rectal carcinoma, however the response is varied due to many factors, including tissue hypoxia. Osteopontin (OPN) is an emerging endogen hypoxic marker with significant correlation with tumor pO2, also more accurate chronic hypoxic marker compared to Carbonic Anhydrase IX (CAIX), Glucose Transporter 1 (GLUT1), and Lactate Dehydrogenase A (LDH A) but there's no research that measured OPN quantity in rectal cancer tissue and correlate it with tumor shrinkage response in neoadjuvant CRT.
Methods and Materials: Patients? data was screened from Radiotherapy Department Medical Record Archieves. Fourteen patients that meet the inclusion and exclusion criteria were analyzed retrospectively from February to May 2015. Radiology imaging post CRT compared to the imaging pre CRT, while the rectum tissue obtained from Formalin-Fixed Paraffin Embedded (FFPE) tissue from biopsy sampling before CRT. Radiology evaluation was measured using RECIST 1.1. OPN level was conducted using ELISA method and measured with spectrophotometry.
Results: The mean OPN concentration is 0.5678 ± 0.26 ng/mL. There was a significant strong negative correlation (r = -0.630, p= 0.016) between the OPN level and tumor shrinkage. OPN cut off value ≥0.538 ng/ml predicts non-responsiveness of neoadjuvant CRT with 100% sensitivity and 81.8% specificity. However, there is no correlation between OPN concentration and Hemoglobin concentration.
Conclusion: This study showed that hypoxia occurs in patients with locally advanced rectal carcinoma, and characterizes decreasing tumor shrinkage response in neoadjuvant CRT. Higher level of OPN suggests worse level of hypoxic condition and worse response of tumor shrinkage., Introduction: Colorectal carcinoma is one of the common cancer in Indonesia with concerned clinical outcome for locally advanced stage, therefore neoadjuvant chemoradiation (CRT) is needed. Neoadjuvant CRT is the mainstay treatment for locally advanced rectal carcinoma, however the response is varied due to many factors, including tissue hypoxia. Osteopontin (OPN) is an emerging endogen hypoxic marker with significant correlation with tumor pO2, also more accurate chronic hypoxic marker compared to Carbonic Anhydrase IX (CAIX), Glucose Transporter 1 (GLUT1), and Lactate Dehydrogenase A (LDH A) but there’s no research that measured OPN quantity in rectal cancer tissue and correlate it with tumor shrinkage response in neoadjuvant CRT.
Methods and Materials: Patients’ data was screened from Radiotherapy Department Medical Record Archieves. Fourteen patients that meet the inclusion and exclusion criteria were analyzed retrospectively from February to May 2015. Radiology imaging post CRT compared to the imaging pre CRT, while the rectum tissue obtained from Formalin-Fixed Paraffin Embedded (FFPE) tissue from biopsy sampling before CRT. Radiology evaluation was measured using RECIST 1.1. OPN level was conducted using ELISA method and measured with spectrophotometry.
Results: The mean OPN concentration is 0.5678 ± 0.26 ng/mL. There was a significant strong negative correlation (r = -0.630, p= 0.016) between the OPN level and tumor shrinkage. OPN cut off value ≥0.538 ng/ml predicts non-responsiveness of neoadjuvant CRT with 100% sensitivity and 81.8% specificity. However, there is no correlation between OPN concentration and Hemoglobin concentration.
Conclusion: This study showed that hypoxia occurs in patients with locally advanced rectal carcinoma, and characterizes decreasing tumor shrinkage response in neoadjuvant CRT. Higher level of OPN suggests worse level of hypoxic condition and worse response of tumor shrinkage.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marisa Diah Lestari
"ABSTRAK
Kanker rektum merupakan salah satu masalah keganasan yang lebih banyak terjadi pada masyarakat perkotaan. Penatalaksanaan kanker rektum salah satunya yang dapat dilakukan dengan pembedahan abdominoperineal resection. Penelitian menyatakan bahwa pasien yang akan menjalani pembedahan memiliki risiko tinggi mengalami kecemasan. Alternatif tindakan yang dapat dilakukan pada pasien yang mengalami kecemasan saat pre operasi adalah teknik relaksasi, yaitu terapi musik. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis asuhan keperawatan terapi musik pada pasien kanker rektum yang mengalami kecemasan dalam menjalani pembedahan abdominiperineal resection. Penulisan ini menggunakan pendekatan studi kasus klinik. Intervensi yang dilakukan selama 3 hari pada pasien menunjukkan bahwa terapi musik efektif dalam menurunkan kecemasan pasien. Hal tersebut terlihat dari respons pasien menjadi lebih tenang dan rileks. Rekomendasi dari studi kasus ini dalam meningkatkan keefektifan terapi musik untuk menurunkan kecemasan pasien pre operasi abdominoperineal resection adalah dengan pemberian edukasi dari tenaga kesehatan dan support sistem.

ABSTRACT
Rectal cancer is one of the most common malignant problems in urban community. One of the surgery choices is abdominoperineal resection. Recent research stated that, patients who will to be surgery have high risk of anxiety preoperative. One of the alternative interventions is techniques relaxation, namely music therapy. The aim of this paper was analyze the nursing care of applying music therapy in rectal cancer patients who have an anxiety before preoperative abdominoperineal resection. This paper used a clinical study approach. The result of this study showed that music therapy during 3 days intervention were tranquility and relax patient. This study recommended that to imrpove music therapy in reducing patient rsquo;s anxiety are education from health care professional and support system from family."
2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vito Filbert Jayalie
"Tujuan: Menghitung Tingkat Utilisasi Radioterapi aktual (TURa) dan optimal (TURo) untuk kanker kolon dan rektum di Indonesia. Metodologi: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap data sekunder registrasi/rekam medis kanker di rumah sakit (RS) dengan pusat radioterapi di Indonesia tahun 2019. Data dikumpulkan secara total sampling untuk menghitung TURo, TURa, dan persentase yang tidak terpenuhi. Hasil: Terdapat 32 RS yang datanya dapat diolah (1.211 dan 1.762 pasien kanker kolon dan rektum). Rata-rata pasien berusia sekitar 52-54 tahun (10-94 tahun), jenis kelamin laki-laki (51,1%) dan berasal dari Sumatera Utara atau Jawa Tengah. Sebagian besar datang dengan stadium lokal lanjut dan lanjut (III dan IV), tidak diradiasi (76,9%). TURa kolon 14 RS adalah 5,3% (0-33,3%), sedangkan TURo kolon 3,3 (3-3,7%) dengan persentase yang tidak terpenuhi -60,6% (-76,7 sampai -43,2%). Untuk TURa dan TURo rektum adalah 22,8% (0-100%) dan 41% (28-66%). Persentase yang tidak terpenuhi kanker rektum adalah 44,4% (18,6-65,5%). Kesimpulan: TURa kanker kolon terkesan sudah memenuhi TURo, tetapi ketika disesuaikan dengan data dalam lingkup yang lebih besar, masih terdapat celah yang belum terpenuhi. Untuk kanker rektum, masih diperlukan peningkatan utilisasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut pada indikasi radiasi yang belum terlalu jelas. Selain itu, peningkatan TUR perlu mempertimbangkan faktor pasien, klinisi ataupun birokrasi.

Aims: To calculate the actual and optimal Radiotherapy Utilization Rate (RTUa and RTUo) of colon and rectal cancer in Indonesia. Methodology: This cross-sectional study used secondary cancer registry/medical records from hospitals with radiotherapy centers in Indonesia in 2019. Total sampling was used for data collection to calculate RTUa, RTUo and percentage of unmet needs. Results: Out of 32 hospitals (1,211 and 1,762 colon and rectal cancer patients), the mean age was 52-54 years old (10-94), male (51.1%), from North Sumatra or Central Java province. Most patients came with locally advanced and advanced stages (III and IV), not irradiated (76.9%). RTUa of colon in 14 hospitals was 5.3% (0-33.3%), whereas RTUo was 3.3 (3-3.7%). The unmet needs was -60.6% (-76.7 to -43.2%). For rectal, the RTUa and RTUo were 22.8% (0-100%) and 41% (28-66%). The unmet needs for rectal was 44.4% (18.6-65.5%). Conclusion: Despite the impression of fulfilling the RTUo of colon cancer, gaps are to be filled when adjusted with a broader scope of data. Moreover, for rectal cancer, there was still an unmet need for utilization. Further research is needed, especially in cancer with obscure radiotherapy indications. The increase in RTU should also consider patient, clinician and bureaucratic factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Ayu Wulandari
"Pendahuluan: Di Indonesia, kanker rektum menempati urutan kedua kanker gastrointestinal dengan jumlah kasus baru 14.122 (4,65 %) dari semua kasus kanker, dengan jumlah kematian sebanyak 6.827 jiwa. Hal ini menunjukkan perlunya suatu terapi terstandar dalam tatalaksana kanker rektum. KPKN pada tahun 2016 telah mengeluarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker kolorektal sebagai panduan dalam terapi, yang diterapkan di RSCM sebagai Pedoman Praktis Klinis (PPK) Kanker kolorektal. Penelitian ini bertujuan menilai kepatuhan terapi dalam tatalaksana Kanker rektum dan hubungannya dengan kesintasan pasien.
Metode: Studi kohort retrospektif ini menilai pasien kanker rektum yang menjalani radioterapi di RSCM periode Januari 2017-Juni 2018, dengan kriteria inklusi pasien non metastasis, menjalani terapi radiasi neoajuvan di RSCM, dan menggunakan BPJS. Kepatuhan terapi dinilai dengan menggunakan PPK kolorektal 2016 sebagai acuan dengan variabel kepatuhan sequence/urutan terapi, kepatuhan interval waktu terapi, dan kepatuhan kesesuaian terapi dari masing masing modalitas
Hasil: Terdapat 30 pasien yang masuk kriteria inklusi, dengan usia rerata 48 ± 12 tahun. Mayoritas pasien terdiagnosa stadium IIIC. Kesintasan hidup keseluruhan pasien dalam 2 tahun adalah 43,3 %. Proporsi kesintasan 2 tahun pada kelompok yang mendapatkan kepatuhan terapi adalah 50% sedangkan Kelompok yang tidak mendapat kepatuhan terapi adalah 42,3 % (p=1), Kepatuhan keseluruhan adalah 13,3%, terdapat tren kesintasan yang terlihat lebih baik untuk kelompok yang patuh dibandingkan kelompok yang tidak patuh, meskipun secara statistik tidak bermakna (p=0.317).

Aims: Rectal cancer cases are the second highest gastrointestinal cancer with a total of 14,122 and new cases (4.65%) of all cancer cases, with 6,827 fatalities in Indonesia. A standardized treatment in the management of rectal cancer in Indonesia is needed. In 2016, The National cancer control committee (KPKN) issued the National Guidelines for Colorectal Cancer Medicine Services as a guide in therapy, which was implemented in A National health center (RSCM) as a Clinical Practical Guide (PPK) for Colorectal Cancer. This study objected to assess adherence in the management of rectal cancer and its relationship with patient survival.
Method: This retrospective cohort study assessed the rectum cancer patients undergoing radiotherapy in the RSCM period January 2017-June 2018, with the criteria of non-metastatic patient inclusion, undergoing Neoadjuvant radiation therapy in RSCM, and using government insurance. Adherence to guidelines is assessed using PPK Colorectal 2016 as a reference to compliance therapeutic sequence, compliance interval therapy time, and compliance with therapeutic conformity of each modality.
Results: There are 30 patients include this study, with an average age of 48 ± 12 years. The majority of patients diagnosed with stage IIIC. The overall survival of the patient in 2 years is 43.3%. The proportion of 2 years in the group receiving therapeutic adherence is 50% while the group who did not get therapeutic adherence was 42.3% (P = 1), overall compliance was 13.3%, there is a trend of survival that looks better for the adherence group than the disobedient group, although statistically not significant (P = 0.317).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Djunet
"Latar belakang. Bedah kanker kolorektal (KKR) adalah kasus terbany1k di Divisi Bedah Digestif RSUPNCM, di mana 46% di antaranya adalah karena kanker rektum I (K.R). Trauma pembedahan menimbulkan inflamasi, respon fase akut (RFA), dan stres metabolik. C- reactive protein (CRP) adalah protein fuse akut (PFA) dengan peningkatan tertinggi di antara PFA lainnya dan telah digunakan secara luas sebagai penanda inflamasi. Stres metabolik menyebabkan perubahan metabolisme zat gizi yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah sewaktu (GDS) plasma. Secara tidak langsung, pemberian terapi gizi adekuat dapat menekan laju inflamasi dan mempercepat proses penyembuhan pasca bedah.
Tujuan. Untuk mengetahui peran terapi gizi adekuat selama tujuh hari terhadap perubahan kadar CRP serum dan GDS plasma pasien pasca bedah KR pada hari ke satu dan ke tujuh pengamatan.
Metode. Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan desain paralel, acak, dan tidak tersamar. Penelitian dilaksanakan di ruang rawat bedah kelas Ill RSUPNCM, pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April- Agustus 2009. .9erdasarkan kriteria penelitian didapatkan 24 subyek yang dibagi menjadi dua, kelompok perlakuan (P) dan kontrol (K). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil. Karakteristik awal kedua kelompok adalah sebanding pada HI. Rerata asupan energi kelompok P adalah 1 211 ,23 ± 161 ,95 kkallh ari (82,86 ± 9,91 % kebutuhan energi total atau KET), adekuat, dan lebih tinggi bermakna (p< 0,001) dibandingkan kelompok K yaitu 831,93 ± 129,58 kkal/hari (55,75 ± 9,48% KET). Rerata asupan protein subyek tidak adekuat meskipun asupan protein kelompok P lebih tinggi bennakna (p< 0,001). Kelompok P mengalami peningkatan berat badan (BB) 0,71 ± 0,79 kg sedangkan kelompok K mengalami penurunan BB 0,85 ± 1,06 kg. Penurunan kadar CRP serum kelompok P (7,13 ± 1,43 mg/L) berbeda bermakna (p=0,005) dengan kelompok K (5,20 ± 1,58 mg/L). Peningkatan kadar GDS plasma kelompok P (26,00 ± 29,67 mg/dL) cenderung lebih tinggi dari kelompok K (10,00 ± 24,40 mg/dL), sejalan dengan peningkatan asupan energi yang lebih tinggi. Kadar CRP serum memiliki korelasi positif derajat rendah (r-0,266) dan tidak bennakna (p=0,358) dengan kadar ODS plasma.
Kesimpulan. Pemberian terapi gizi adekuat selama tujuh hari berperan untuk mempercepat penurunan kadar CRP serum pasien pasca bedah KR. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T20988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ihda Fakhriyana Istikarini
"ABSTRAK
Kanker rektum merupakan salah satu penyakit keganasan saluran gastrointestinal yang banyak dialami masyarakat perkotaan. Salah satu tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah operasi metode ultra low anterior resection. Berdasarkan jurnal terkait, pasien paksa operasi metode ultra low anterior resection memiliki risiko sebesar 10-20% terkena sindrom anterior resection dengan gejala kelemahan sfingter anal sehingga mengakibatkan inkontinensia fekal. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan kepada pasien untuk mencegah masalah tersebut adalah dengan latihan kegel. Latihan kegel yang dilakukan secara rutin dapat membantu meningkatkan kontrol anus dan menguatkan sfingter anus. Latihan dilakukan secara bertahap sebanyak 4x10 set dalam sehari. Evaluasi latihan kegel dilakukan menggunakan colok dubur untuk mengevaluasi kekuatan kontraksi anus. Sebelum latihan kegel dilakukan, penanganan manajemen nyeri pada pasien paska operasi harus dilaksanakan dengan baik terlebih dahulu agar toleransi latihan kegel tinggi dan latihan dapat dilakukan segera setelah operasi.

ABSTRAK
Rectal cancer is a malignancy of the gastrointestinal tract that is experienced by the urban community. One of the surgery choices is ultra low anterior resection method. Based on the relevant journal, patients were treated with this method have 10-20% higher risk of anterior resection syndrome, which symptoms is weakness of the anal sphincter, resulting in fecal incontinence. One of the interventions that can prevent patients from the fecal incontinence is Kegel exercises. Regular exercises can help improve and strengthen control of the anal sphincter. Exercises done gradually as 4x10 sets in a day. The evaluation of exercises using a rectal tusche to evaluate the strength of anus contraction. Before Kegel exercises is started, handling the management of pain post-surgery must be performed well so that patients have a higher tolerance of Kegel exercises and the exercises can be done soon after surgery.;"
2016
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>