Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Purbani Widya Mahati
Abstrak :
Masa remaja suatu tahap dalam perkembangan manusia, merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yang diawali dengan pubertas. Pubertas ditandai dengan perubahan besar pada biologis yang menjadikan remaja makhluk seksual dan mampu bereproduksi. Pada remaja pria, perubahan yang terjadi adalah peristiwa ejakulasi pertama (spermarche) dan juga perubahan seks sekunder, seperti kumis, suara yang menjadi lebih besar dan dalam, rambut di kemaluan, wajah, dan ketiak, kulit berminyak, dan sebagainya. Pubertas merupakan periode yang singkat, namun bagi sebagian orang dianggap sebagai periode yang sulit bagi remaja dan mempengaruhi keadaan fisik dan psikologis remaja di masa selanjutnya. Sehingga membutuhkan penyesuaian diri yang baik. Di Indonesia, pentingnya pemberian pendidikan seks pada remaja masih dipengaruhi mitos tradisional yaitu dapat meningkatkan perilaku seksual. Sedangkan Kuther (2000), menyatakan persiapan secara psikologis yang diberikan pada remaja sebelum mereka memasuki masa pubertas menentukan sikap dan perasaan mereka terhadap peristiwa yang teijadi pada masa tersebut. Selain itu, ketika kita membicarakan pubertas, anak perempuan cenderung untuk memperoleh perhatian yang lebih besar. Ini terlihat dari penelitian ataupun pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan pubertas remaja pria yang hampir tidak ada tidak ada. Oleh karena itu, agar dapat memberikan informasi sebagai persiapan memasuki pubertas yang tepat dan sesuai kebutuhan remaja, perlu diketahui perasaan dan harapan yang timbul pada mereka saat memasuki pubertas. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai perasaan dan harapan remaja pria yang timbul saat mereka memasuki pubertas. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode wawancara. Subyek penelitian adalah remaja pria yang telah memasuki usia pubertas dalam kurun waktu hingga dua tahun, sehingga diharapkan mereka telah mengalami spermarche dan perubahan seks sekunder. Selain itu subyek mendapat pendidikan seks, sebelum ataupun setelah memasuki pubertas. Pada umumnya, selain terjadi perubahan biologis dan fisik, terjadi juga perubahan psikologis, yaitu sikap dan perilaku yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mereka (Sprinthall, 1995). Selain itu perubahan tersebut juga dipengaruhi oleh perasaan yang timbul dalam diri mereka mengenai peristiwa yang dialami saat memasuki pubertas, seperti perasaan yang positif, negatif, ataupun gabungan dari kedua perasaan tersebut. Setelah memasuki pubertas, dalam diri mereka juga timbul harapan, yang merupakan keinginan untuk mencapai tujuan atau keadaan tertentu. Hasil penelitian ini secara umum, meskipun subyek telah mendapat pendidikan seks, pengetahuan mereka tentang seksualitas remaja kurang. Subyek juga merasa kurang dipersiapkan sebelum memasuki pubertas. Perasaan yang timbul terhadap spermarche pada setengah jumlah subyek adalah perasaan negatif berupa perasaan takut, bingung, dan cemas. Sedangkan pada sebagian subyek lainnya adalah perasaan positif, karena tanda mulai dewasa. Subyek merasakan adanya perubahan sikap dan perilaku setelah memasuki pubertas. Pada umumnya perubahan sikap dan perilaku yang terjadi timbul karena dipengaruhi oleh perubahan perlakuan yang diterima subyek dari lingkungan sekitar mereka. Subyek juga tidak merasa terganggu dengan keadaan mereka yang early atau late maturers, seperti yang dikemukakan dalam beberapa literatur, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada remaja pria di luar Indonesia. Harapan yang dikemukakan oleh sebagian besar subyek lebih berorientasi pada diri sendiri dan lingkungan terdekat mereka seperti keluarga, teman dan sekolah. Dari penelitian yang dilakukan, penulis menyarankan untuk memberikan pendidikan seks pada remaja pria, sebelum mereka memasuki pubertas sesuai dengan tingkat perkembangannya. Pemberian penyuluhan pada orangtua dan pendidik dalam memberikan pendidikan seks pada remaja pria juga disarankan agar mereka mengetahui pentingnya pendidikan seks dan dapat memberikan informasi sesuai yang dibutuhkan remaja. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan untuk melihat perasaan dan harapan orangtua saat anak memasuki pubertas dan persiapan mereka menghadapi pubertas anak. Penelitian juga dapat diperluas dengan membandingkan remaja pria dari tingkat sosial ekonomi yang berbeda, serta meneliti cara remaja pria mengatasi dorongan seks yang timbul dan perilaku seksnya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3071
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismi Adzani
Abstrak :
[ASBTRAK
Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan menggunakan data sekunder SDKI KRR 2012 yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor individu dan lingkungan yang berhubungan dengan penggunaan kondom pada remaja pria yang aktif secara seksual di Indonesia. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 590 orang. Diantara remaja pria belum menikah yang pernah melakukan hubungan seksual hampir setengah (45%) dari mereka aktif secara seksual dan lebih dari tiga perempat (76,3%) dari mereka tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan kondom meliputi: pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS; persepsi bahwa kondom dapat mencegah kehamilan; persepsi risiko kehamilan pasangan seks; paparan informasi/ iklan kondom dari media massa; edukasi mengenai kesehatan reproduksi dan wilayah tempat tinggal. Adapun ?persepsi bahwa kondom dapat mencegah kehamilan? merupakan prediktor terkuat pada penelitian ini (OR=2,5) dan faktor ?persepsi bahwa kondom dapat mencegah penularan IMS termasuk HIV/AIDS? merupakan variabel pengontrol (confounding). Hasil penelitian ini menyarankan untuk membentuk wadah peduli remaja di sekolah atau universitas dan mengembangkan program kesehatan reproduksi remaja yang sudah ada.
ABSTRACT
The study was designed to determine factors that associated with condom use among sexually active unmarried male adolescent in Indonesia by using secondary data of IDHS 2012. The sample size in this study was 590 unmarried male aged 15-24 years, who are sexually active. Among unmarried young men who had sexual intercourse almost half (45%) of them are sexually active and more than three-quarters (76.3%) of them do not use condoms during sexual intercourse. Factors associated with condom use include: comprehensive knowledge about HIV / AIDS; the perception that condoms can prevent pregnancy; perceptions of pregnancy risk sexual partner; exposure information/ advertising condoms from the mass media; education about reproductive health and residential areas. While 'perception that condoms can prevent pregnancy' is the strongest predictor in this study (OR = 2.5) and factor 'perception that condoms can prevent transmission of STIs, including HIV/ AIDS' is a confounding. Results of this study suggest to form the forum concerned adolescents at school or university and developing adolescent reproductive health programs that already exist.;The study was designed to determine factors that associated with condom use among sexually active unmarried male adolescent in Indonesia by using secondary data of IDHS 2012. The sample size in this study was 590 unmarried male aged 15-24 years, who are sexually active. Among unmarried young men who had sexual intercourse almost half (45%) of them are sexually active and more than three-quarters (76.3%) of them do not use condoms during sexual intercourse. Factors associated with condom use include: comprehensive knowledge about HIV / AIDS; the perception that condoms can prevent pregnancy; perceptions of pregnancy risk sexual partner; exposure information/ advertising condoms from the mass media; education about reproductive health and residential areas. While 'perception that condoms can prevent pregnancy' is the strongest predictor in this study (OR = 2.5) and factor 'perception that condoms can prevent transmission of STIs, including HIV/ AIDS' is a confounding. Results of this study suggest to form the forum concerned adolescents at school or university and developing adolescent reproductive health programs that already exist.;The study was designed to determine factors that associated with condom use among sexually active unmarried male adolescent in Indonesia by using secondary data of IDHS 2012. The sample size in this study was 590 unmarried male aged 15-24 years, who are sexually active. Among unmarried young men who had sexual intercourse almost half (45%) of them are sexually active and more than three-quarters (76.3%) of them do not use condoms during sexual intercourse. Factors associated with condom use include: comprehensive knowledge about HIV / AIDS; the perception that condoms can prevent pregnancy; perceptions of pregnancy risk sexual partner; exposure information/ advertising condoms from the mass media; education about reproductive health and residential areas. While 'perception that condoms can prevent pregnancy' is the strongest predictor in this study (OR = 2.5) and factor 'perception that condoms can prevent transmission of STIs, including HIV/ AIDS' is a confounding. Results of this study suggest to form the forum concerned adolescents at school or university and developing adolescent reproductive health programs that already exist., The study was designed to determine factors that associated with condom use among sexually active unmarried male adolescent in Indonesia by using secondary data of IDHS 2012. The sample size in this study was 590 unmarried male aged 15-24 years, who are sexually active. Among unmarried young men who had sexual intercourse almost half (45%) of them are sexually active and more than three-quarters (76.3%) of them do not use condoms during sexual intercourse. Factors associated with condom use include: comprehensive knowledge about HIV / AIDS; the perception that condoms can prevent pregnancy; perceptions of pregnancy risk sexual partner; exposure information/ advertising condoms from the mass media; education about reproductive health and residential areas. While 'perception that condoms can prevent pregnancy' is the strongest predictor in this study (OR = 2.5) and factor 'perception that condoms can prevent transmission of STIs, including HIV/ AIDS' is a confounding. Results of this study suggest to form the forum concerned adolescents at school or university and developing adolescent reproductive health programs that already exist.]
2015
T43464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winny Kirana Hasanah
Abstrak :
Perilaku seksual pranikah atau seks sebelum menikah adalah aktivitas seksual yang dilakukan sebelum adanya pernikahan yang sah. Perilaku seksual pranikah di masyarakat tidak diterima secara budaya dan sosial karena bertentangan dengan moral dan menimbulkan beberapa masalah kesehatan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara penggunaan NAPZA dengan perilaku seksual pranikah pada remaja pria usia 15-24 tahun di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan sampel penelitian yaitu remaja pria belum menikah yang berusia 15-24 tahun di Indonesia dan terpilih menjadi responden dalam SDKI tahun 2017 serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 9.598 responden. Hasil penelitian menunjukkan perilaku seksual pranikah pada remaja pria di Indonesia sebesar 9,1%, penggunaan NAPZA pada remaja pria sebesar 4,9% dan berdasarkan cara penggunaanya, persentase tertinggi penggunaan NAPZA yaitu dengan cara dihisap dan atau dihirup sebesar 2,5%. Analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda menyatakan penggunaan NAPZA meningkatkan perilaku seksual pranikah pada remaja pria di Indonesia setelah dikontrol variabel tempat tinggal, umur, pengaruh teman sebaya dan konsumsi alkohol. Remaja pria yang menggunakan NAPZA dengan cara dihisap dan atau dihirup berisiko 2,9 kali (95% CI: 2,2-3,9) melakukan hubungan seksual pranikah, remaja yang menggunakan NAPZA dengan cara ditelan 1,4 kali (95% CI: 1,0-2,1) lebih berisiko pada perilaku seksual pranikah dan remaja pria yang menggunakan NAPZA dengan cara lainnya (disuntik atau kombinasi dari beberapa cara penggunaan) meningkatkan risiko perilaku seks sebelum menikah sebesar 4,1 kali (95% CI: 2,2-7,3) dibandingkan dengan yang tidak menggunakan NAPZA. ......Premarital sexual behavior or sex before marriage is a sexual activity carried out before legal marriage. Premarital sexual behavior in society is not accepted culturally and socially because it is against morals and causes several health problems. The purpose of this study was to determine the relationship between drug use and premarital sexual behavior in male adolescents aged 15-24 years in Indonesia. This study uses a cross-sectional design with a research sample of unmarried male adolescents aged 15-24 years in Indonesia and selected as respondents in the 2017 IDHS and meeting the inclusion and exclusion criteria of 9,598 respondents. The results showed premarital sexual behavior in male adolescents in Indonesia was 9.1%, drug use in male adolescents was 4.9%, and based on the method of use, the highest percentage of drug use was by smoking and/or inhalation at 2.5%. Multivariate analysis using multiple logistic regression test stated that drug use increased premarital sexual behavior in male adolescents in Indonesia after controlling for variables of residence, age, peer influence and alcohol consumption. Male adolescents who use drugs by smoking and/or inhalation are at risk of 2.9 times (95% CI: 2.2-3.9) having premarital sexual intercourse, adolescents who use drugs by swallowing 1.4 times (95% CI: 1.0-2.1) were more at risk for premarital sexual behavior and male adolescents who used drugs in other ways (injections or a combination of several ways of use) increased the risk of premarital sex behavior by 4.1 times (95% CI: 2,2-7.3) compared with those who do not use drugs.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Iswanto
Abstrak :
Perilaku seks pranikah pada remaja merupakan salah satu permasalahan kesehatan reproduksi remaja. Pasalnya, perilaku seks pranikah pada remaja kian mengalami peningkatan. Hasil SDKI 2017 menunjukkan sebanyak 8% remaja pria usia 15-24 tahun pernah melakukan hubungan seksual. Perilaku seks pranikah apabila tidak dibarengi dengan pemberian informasi mengenai kesehatan reproduksi dapat berdampak pada resiko tertular penyakit menular seksual (PMS) dan Kehamilan Tak Dikehendaki (KTD) yang dapat berujung pada aborsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran keluarga dan sekolah sebagai sumber informasi kesehatan reproduksi terhadap perilaku seks pranikah remaja usia 15–24 tahun di Indonesia berdasarkan dara SDKI 2017. Jenis Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan menggunakan data sekunder dari SDKI 2017. Analisa data menggunakan analisa univariat yaitu uji proporsi dan bivariat yaitu uji Chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara peran keluarga dan sekolah dengan perilaku seks pranikah. Hubungan karakteristik individu dengan perilaku seks pranikah menunjukkan variabel umur, tingkat pendidikan, status ekonomi, pengetahuan kesehatan reproduksi, dan pengetahuan kb berpengaruh signifikan dengan perilaku seks pranikah, sedangkan variabel wilayah tempat tinggal dengan perilaku seks pranikah tidak berhubungan. ......Premarital sex behavior in adolescents is one of the problems of adolescent reproductive health. Premarital sex behavior in adolescents has been increasing. The results of the Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 2017, premarital sex behavior in young men aged 15-24 years old are 8%. Premarital sex behavior, which not accompanied by information about reproductive health having a risk contracted by sexually transmitted diseases (STDs) and unwanted pregnancy which can lead abortion. The purpose of this study is to determine the role of family and school as source of reproductive health information for young men’s premarital sex behavior aged 15-24 years old in Indonesia based on IDHS 2017. This research used a cross sectional design from the IDHS 2017. The analysis is carried out by univariate and bivariate analysis using chi-square. Bivariate analysis done by chi-square showed that there was a significant relationship between the role of family and school with premarital sex behavior. The relationship between individual characteristics and premarital sex behavior showed that the variables such as age, education level, economic status, knowledge of reproductive health, and knowledge of contraception are related with premarital sex behavior. Meanwhile, the variable of residence is not related with premarital sex behavior.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Michael Widi Susanto
Abstrak :
Kehidupan manusia terbagi dalam tahapan-tahapan perkembangan sejak lahir sampai meninggal dunia, dan diantaranya adalah masa remaja. Pada setiap tahap perkembangan, ada tugas-tugas yang harus dipenuhi yang biasa disebut tugas perkembangan. Begitu pula pada masa remaja yang salah satu tugas perkembangannya adalah mencapai hubungan sosial yang lebih matang dengan teman sebaya baik yang sejenis maupun lawan jenis. Hubungan dengan lawan jenis biasanya dipenuhi atau muncul dalam perilaku berpacaran. Tugas perkembangan mempunyai peran yang penting, karena jika tidak dilalui dengan baik, seseorang akan cenderung mengalami kesulitan pada tahapan berikutnya. Berpacaran itu sendiri merupakan budaya atau fenomena yang cukup menonjol pada remaja. Berpacaran bagi remaja dapat berfungsi untuk belajar bergaul, mendapatkan identitas diri, dan lain-lain. Selain itu perkembangan seksual yang cepat mengakibatkan munculnya ketertarikan pada lawan jenisnya. Ada beberapa alasan yang mendorong remaja berpacaran seperti untuk bersenang-senang, mencari status, belajar bersosialisasi, memilih pasangan hidup, mendapatkan persaha- batan, memperoleh keintiman atau kedekatan. Selain alasan-alasan diatas, ternyata masih ada kemungkinan alasan yang lain seperti konformitas, atau berpacaran karena konform dengan teman-teman. Pada pola alasan berpacaran ada beberapa faktor yang mungkin berkaitan, yaitu jenis kelamin, usia, pengalaman pacaran, kelompok peer dan status sosial ekonomi. Kelompok peer juga menjadi ciri yang cukup menonjol. Kelompok peer mempunyai arti cukup penting bagi remaja, misalnya sebagi pendukung pengembangan identitas diri, minat, kemampuan. dan lain-1ain. Dalam kelompok peer inilah kemudian muncul konformitas. Tekanan untuk berbuat sesuai atau konform dengan kelompak terasa sangan kuat pada masa remaja. Disamping itu konformitas dapat terlihat dalam banyak dimensi kehidupan remaja seperti cara berbicara, berpakaian, minat, nilai-nilai, dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja alasan berpacaran pada remaja, serta kemungkina konformitas termasuk alasan berpacaran dan juga faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan pola alasan berpacaran. Remaja yang menjadi subyek penelitian adalah remaja sekolah menengah atas yang berusia 15-17 tahun. Selain itu subyek penelitian adalah remaja yang sudah berpacaran atau pernah berpacaran, serta berasal dari golongan sosial ekonomi menengah ke atas. Penarikan sampel penelitian menggunakan metode incidental sampling yaitu sampel yang paling mudah ditemui. Instrumen untuk penelitian ini menggunakan kuesioner alasan berpacaran yang terdiri dari 32 item. Dari hasil penelitian didapatkan ada beberapa alasan berpacaran yang dikemukakan oleh remaja yang menjadi subyek penelitian yaitu, karena saling tertarik satu sama lain, untuk saling membantu dan membutuhkan, untuk belajar saling mengenal serta mencari pasangan yang cocok, untuk saling memotivasi, untuk rekreasi dan memperoleh kesenangan, koform terhadap teman-teman kelompok, serta untuk ajang prestasi dan sumber status. Diantara alasan-alasan tersebut, ternyata konformitas termasuk alasan berpacaran pada remaja. walaupun bukan merupakan alasan utama atau alasan yang paling penting bagi remaja. Faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, pengalaman pacaran, kelompok peer, status sosial ekonomi mempunyai peran atau berkaitan dengan pola alasan berpacaran pada remaja. Sedangkan khusus untuk alasan konformitas faktor-faktor tersebut tidak berkaitan atau tidak mempunyai peranan yang berarti.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2678
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustika Maulidina Karima Haris
Abstrak :
Faktor risiko penularan HIV/AIDS tertinggi menurut Laporan Kementerian Kesehatan (2020) adalah heteroseksual, homoseksual dan penggunaan jarum suntik bergantian. Remaja khususnya pria merupakan salah satu kelompok rentan untuk melakukan seks bebas dan penyalahgunaan narkoba yang merupakan perilaku berisiko HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan perilaku berisiko HIV/AIDS pada remaja pria berusia 15-24 tahun di Indonesia. Penelitian bersifat kuantitatif menggunakan data sekunder yaitu SDKI tahun 2012 dan 2017 dengan desain studi cross sectional. Hasil uji regresi logistic didapati bahwa usia, sikap terhadap seks pranikah dan pengaruh teman sebaya berhubungan dengan perilaku berisiko HIV/AIDS di tahun 2012, kemudian pada tahun 2017 usia, sikap terhadap seks pranikah, pengaruh teman sebaya dan pendidikan berhubungan dengan perilaku berisiko HIV/AIDS pada remaja pria. Faktor yang paling berhubungan adalah sikap terhadap seks pranikah dengan nilai AOR 6,65 di tahun 2012 dan 9,13 di tahun 2017. ......The highest risk factors for HIV/AIDS transmission according to the Ministry of Health Report (2020) are heterosexual, homosexual and sharing needles. Adolescents, especially men, are one of the vulnerable groups to have free sex and drug abuse, which are risk behaviors for HIV/AIDS. This study aims to determine the risk behavior factors for HIV/AIDS in male adolescents aged 15-24 years in Indonesia. The research is quantitative using secondary data from the 2012 and 2017 IDHS with a cross sectional study design. The results of the logistic regression test found that age, attitudes towards premarital sex and peer influence were related to HIV/AIDS risk behavior in 2012, then in 2017 age, attitudes towards premarital sex, peer influence and education were associated with HIV/AIDS risk behavior in teenage boys. The most related factor was attitudes towards premarital sex with AOR values of 6.65 in 2012 and 9.13 in 2017.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Amalia Rahmi
Abstrak :
Tingginya angka perilaku seksual pranikah pada remaja pria di Indonesia berisiko terhadap masalah kesehatan. Keluarga khususnya orangtua ikut berperan dalam upaya mencegah hubungan seksual pranikah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran informasi kesehatan reproduksi (kespro) dari keluarga terhadap perilaku seksual pranikah remaja pria umur 15-24 tahun di Indonesia. Penelitian ini merupakananalisis lanjut data SDKI-KRR tahun 2017 yangmenggunakan desain cross sectional dengan sampel sebanyak 7.030 remajapria yang memenuhi kriteria: remaja pria berumur 15-24 tahun dan belum kawin.Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 11% remaja pria pernah melakukan hubungan seksual pranikah, sedangkan yang pernah mendapatkan informasi kespro dari keluarga hanya sebesar 19,5%.Informasi kesprodari keluarga berperan terhadap perilaku seksual pranikah remaja pria di Indonesia setelah dikontrol oleh tingkat pendidikan dan diskusi kespro dengan guru. Remaja yang tidak mendapatkan informasi kespro dari keluarga dan berpendidikan rendah berpeluang hampir 4kali untuk melakukan hubungan seksual pranikah dibandingkan remaja yang mendapatkan informasi kespro dari keluarga, sedangkan remaja yang tidak mendapatkan informasi kespro dari keluarga dan berpendidikan tinggi berpeluang 3,5kali untuk melakukan hubungan seksual pranikah dibandingkan remaja yang mendapatkan informasi kespro dari keluarga. Remaja yang tidak mendapatkan informasi kespro dari keluarga dan tidak pernah berdiskusi dengan guru mengenai kesproberpeluang hampir 4 kali untuk melakukan hubungan seksual pranikah dibandingkan remaja yang mendapatkan informasi kespro dari keluarga, sedangkan remaja yang tidak mendapatkan informasi kespro dari keluarga dan pernah berdiskusi dengan guru mengenai kespro berpeluang 3,3 kaliuntuk melakukan hubungan seksual pranikah dibandingkan remaja yang mendapatkan informasi kespro dari keluarga. Harapannya, BKKBN melalui program GenRe (PIK R/M, dan BKR) dapat lebih ditingkatkan pemanfaatannya oleh remaja pria dan orang tua remaja terutama ayah, sedangkan program PKPR, Kemenkes perlu lebih banyak menjangkau remaja pria di Indonesia sehingga dapat membantu penurunan angka perilaku seksual pada remaja pria di Indonesia. ......The high rate of premarital sexual behavior in male adolescents in Indonesia at risk for health problems. Families, especially parents, play a role in preventing premarital sexual intercouse. This study aims to determine the role of reproductive health information from families on premarital sexual behavior of male adolescents aged 15-24 years in Indonesia. This study is a further analysis of the 2017 IDHS-KRR data using a cross sectional design with a sample of 7,030 male adolescents who meet the criteria: male adolescents aged 15-24 years and unmarried. The results showed that about 11% of male adolescents had premarital sexual intercourse, while only 19.5% had received information on health issues from their families. Reproductive health information from family contribute to adolescent premarital sexual intercouse of male adolescents in Indonesia after being controlled by the level of education and reproductive health discussions with teachers. Adolescents who do not get reproductive health information from their families and have low education are nearly 4 times more likely to have premarital sexual intercourse compared to adolescents who get reproductive health information from their families, while adolescents who do not get reproductive health information from their families and are highly educated are 3.5 times more likely to have premarital sexual intercouse compared adolescents who get reproductive health information from their families. Adolescents who do not get information on reproductive health from their families and have never discussed with the teacher about reproductive health are nearly 4 times more likely to have premarital sexual intercourse than adolescents who get information on health care from their families, while adolescents who do not get information on reproductive health from their families and have had discussions with teachers about reproductive health have the opportunity 3.3 times for having premarital sexual intercourse compared to adolescents who get reproductive health information from their families. The hope is that the BKKBN through the GenRe program (PIK R / M, and BKR) can be further utilized by young men and teenage parents, especially fathers, while the PKPR program, the Ministry of Health needs to reach more young men in Indonesia so that it can help reduce the number of sexual behavior young men in Indonesia.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chusnul Chotimah
Abstrak :
ABSTRACT
Salah satu kriteria penilaian terhadap hasil perawatan ortodontik adalah estetika senyum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan persepsi estetika terhadap lengkung senyum, gingival display, dan buccal corridor antara remaja pria dan wanita di SMAN 4 Bekasi. Gambar ketiga variabel tersebut dimodifikasi secara digital menjadi masing - masing tiga gambar yang berbeda. Penelitian ini diujikan kepada 35 orang remaja pria dan 35 orang remaja wanita dengan menggunakan Skala Likert pada gambaran sirkumoral. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada persepsi estetika antara remaja pria dan wanita di SMAN 4 Bekasi terhadap lengkung senyum, gingival display, dan buccal corridor. Lengkung senyum, gingival display, dan buccal corridor yang paling estetik menurut kedua kelompok subjek adalah lengkung senyum konsonan, gingival display rendah, dan buccal corridor sedang.
ABSTRACT
One of criteria to evaluate the orthodontic treatment is smile esthetics. The purpose of this study was to assess the difference of smile esthetics perception on smile arch, gingival display, and buccal corridor between male and female adolescence at a high school. Photograph of selected object was modified digitally into three different picture for each variables. Smile esthetic perception were assessed by 35 male adolescence and 35 female adolescence by means of Likert Scale on circumoral view. There were no significant differences between male and female adolescence at SMAN 4 Bekasi on smile arch, gingival display, and buccal corridor esthetics perception. Smile arch, gingival display, and buccal corridor that considered as the most esthetic smile are consonant smile arch, low gingival display, and medium buccal corridor.
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuris Putri Pertiwi
Abstrak :
ABSTRAK
Kurangnya pemahaman remaja mengenai kesehatan reproduksi membuat remaja berperilaku seksual berisiko. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan kondom pada remaja pria pelaku hubungan seksual pra-nikah di 5 Provinsi di Indonesia (Maluku, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua) tahun 2012. Desain penelitian adalah cross-sectional dengan menggunakan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja pria usia 15 ? 24 pelaku hubungan seksual pranikah di 5 Provinsi di Indonesia yang memenuhi kriteria. Dari hasil penelitian didapatkan persentase penggunaan kondom 14,2%. Adapun variabel yang berhubungan secara statistik dari faktor predisposisi adalah usia, dengan peluang penggunaan kondom lebih besar pada usia 20 ? 24 tahun (PR : 1,764, 95% CI : 1,004 ? 3,096), faktor enabling adalah keikutsertaan dalam forum edukasi kesehatan reproduksi (PR : 2,332, 95% CI : 1,289 ? 4,217), sedangkan faktor reinforcing adalah peran sekolah (PR : 1,715, 95% CI : 1,015 ? 2,897). Oleh karena itu disarankan untuk melaksanakan optimalisasi program PIK Remaja, integrasi pelajaran kesehatan reproduksi di sekolah, dan memanfaatkan media informasi lebih massive lagi.
ABSTRACT
Lack of understanding about reproductive health in adolescents make them have risky sexual behavior. This study aims to determine the factros related with condom use among male adolescent who had sexual intercourse before marriage in 5 provinces in Indonesia (Maluku, North Sulawesi, North Maluku, West Papua and Papua) in 2012. The study design was cross-sectional using data Indonesia Demographic and Health Survey 2012. The sample in this study were male adolescent aged 15 ? 24 who had sexual intercourse before marriage in the 5 provinces in Indonesia that meet the criteria. From the results, the percentage of condom use is 14.2%. The variables associated statistically of predisposing factors is age, with the chance of condom use is greater in the age of 20 ? 24 years (PR : 1.764, 95% CI: 1.004 to 3.096), the factors enabling is participation in the forums education of reproductive health (PR: 2.332, 95% CI: 1.289 to 4.217), while reinforcing factor is the role of the school (PR: 1.715, 95% CI: 1.015 to 2.897). It is therefore advisable to carry out optimization of PIK youth program, the integration of reproductive health education in schools, and utilize information more massive media again.;
2016
S65556
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library