Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Warto
Abstrak :
Penelitian ini ingin mencoba mengungkapkan masalah kerja wajib blandong dalam usaha eksploitasi hutan di Jawa selama paro pertama abad XXX. Kerja wajib (kerja paksa) blandong di sini diartikan sebagai bagian dari kerja wajib negara (heerendiensten) di masa kolonial, yang dilakukan oleh penduduk desa yang tinggal di sekitar hutan. Adapun kerja blandong itu meliputi berbagai macam pekerjaan, seperti penebangan kayu di hutan, pengangkutan ke tempat-tempat penampungan kayu, penanaman kembali hutan, serta pekerjaan lainnya yang masih berhubungan dengan eksploitasi hutan. Berbeda dengan penduduk desa lainnya, penduduk desa yang secara langsung terlibat dalam kegiatan eksplotasi hutan (kerja blandong) dibebaskan dari segala beban kerja wajib lainnya, karena pekerjaan itu merupakan jenis pekerjaan yang sangat berat di antara kerja wajib lainnya. Tidak jelas sejak kapan tepatnya kerja blandong itu mulai dikenal di Jawa, tetapi praktek kerja-wajib blandong sesungguhnya telah berlangsung eukup lama, jauh sebelum datangnya orang-orang Belanda ke Jawa. Baru setelah VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie, Kongsi Dagang Hindia Timur) menguasai sebagian daerah pesisir utara pulau Jawa, kerja blandong mulai diintensifkan. Secara umum daerah kerja blandong waktu itu dibagi menjadi dua, yaitu blandong di daerah pesisir bagian barat Semarang dan blandong di bagian timur Semarang, terutama di daerah-daerah yang memiliki hutan jati. Dengan kata lain, praktek kerja blandong itu semula hanya dikenal di daerah pantai utara Jawa, mulai dari Cirebon di pesisir bagian barat sampai di Banyuwangi di pesisir ujung timur Jawa. Tetapi sejalan dengan meluasnya pengaruh kekuasaan Belanda di Jawa, praktek kerja blandong juga makin meluas sampai ke wilayah pedalaman. Penelitian ini akan dipusatkan di salah satu daerah blandong yang terkenal, yaitu di wilayah Karesidenan Rembang, Jawa Tengah. Daerah Rembang sejak dulu dikenal sebagai daerah sentral hutan jati di Jawa. Maka dalam usaha mengeksploitasi hutan di sana, VOC pada 1777 menetapkan empat distrik blandong di Kabupaten Rembang, yaitu distrik Waru, Mondotoko, Kaserman, dan Trambalang. Selain itu, di Kabupaten Lasem dan Tuban - yang juga merupakan bagian dari wilayah Karesidenan Rembang - kerja blandong juga sudah cukup lama dijalankan. Demikian juga dua Kabupaten lainnya, yakni Blora dan Bojonegoro, menjadi daerah pusat penebangan hutan sejak daerah ini diserahkan oleh Raja Mataram kepada pemerintah kolonial pada awal abad XIX. Jauh sebelum itu, di daerah Blora khususnya, kerja blandong sebenarnya sudah lama dijalankan, ketika daerah ini disewa oleh VOC dari Sunan. Meskipun praktek kerja blandong di daerah Rembang sudah berlangsung cukup lama, namun penelitian ini hanya ingin mengungkapkan masalah itu sejauh ditemukannya sumber-sumber arsip yang mendukung. Khususnya nengenai pelaksanaan kerja blandong .selama awal abad XIX, telah diatur sedemikian rupa oleh Dereksi Kehutanan yang berdiri sejak 1808, sehingga banyak ditemukan informasi mengenai kerja blandong. Tetapi setelah lembaga kehutanan itu dihapus pada 1827, pengawasan hutan dan pengaturan eksploitasi hutan menjadi tidak efektif, karena berada di bawan Departemen Perkebunan, yang berlangsung sampai 1865. Penelitian mengenai kerja blandong khususnya dan kerja wajib lainnya di Jawa abad XIX, belum banyak dilakukan. Ada beberapa studi yang secara umum membicarakan masalah itu, yaitu antara lain yang dilakukan oleh Djuliati Suroyo (1981, 1987), R.E Elson (1988), dan "Eindresume", yaitu laporan mengenai macam-macam kerja wajib di Jawa dan Madura yang disusun oleh pegawai pemerintah Hindia Belanda pada 1901-1903. Dalam tulisannya yang pertama, Djuliati membicarakan secara garis besar mengenai kerja wajib negara selama abad XIX di Karesidenan Kedu. Dia menjelaskan hubungan perkembangan kerja wajib dan pemilikan tanah, pendapatan petani, struktur kekuasaan, pelapisan masyarakat, dan perkembangan penduduk. Sedangkan pada tulisannya yang kedua, dia membicarakan eksploitasi buruh di Hindia Belanda dan di British-India selama abad XIX. Kemudian Elson lebih memusatkan perhatian pada pengerahan tenaga kerja petani selama berlangsungnya tanam Paksa, yang dikaitkan dengan adanya hubungan patronase dalam masyarakat Jawa. Namun dari beberapa studi yang disebutkan itu belum ada yang secara khusus menyinggung masalah kerja wajib blandong. Uraian singkat mengenai masalah itu dalam konteks politik kehutanan di Jawa, dapat ditemukan inisalnya dalam tulisan Cordes (1881), Nancy Peluso (1988), dan Boomgaard (1988). Namun demikian, mereka itu umumnya membicarakan kerja blandong hanya sambil lalu dan lebih memusatkan perhatiannya pada politik kehutanan dalam skala makro. Oleh karenanya, bagaimana dampak?
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T9621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Kurniadi
Abstrak :
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2015 - Mei 2015 terhadap ikan tembang yang didaratkan di PPP Tegalsari Kota Tegal dan PPP Tasikagung Kabupaten Rembang. Bertujuan untuk menganalisis kondisi bioekonomi sumberdaya ikan tembang pada pada rezim pengelolaan MSY, MEY dan Open Access dan melihat tingkat depresiasi sumberdaya. Penghitungan terdiri dari parameter biologi (model Fox, Clark-Yoshimoto-Pooley, Schnute dan Walter Hillborn) dan parameter ekonomi (biaya riil penangkapan, indeks harga ikan dan discount rate). Produksi ikan tembang di lokasi penelitian dihasilkan oleh kapal jenis purse seine (pukat cincin). Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dan data bioekonomi diolah menggunakan perangkat lunak microsoft excel 2013 dan Maple 18. Data yang diolah meliputi jumlah tangkapan ikan, jumlah trip kapal, dan nilai produksi. Aktifitas penangkapan ikan berlebih secara biologi dan ekonomi diduga telah terjadi di 2 lokasi penelitian. Tingkat overfishing terkecil berdasarkan model Fox yang terjadi di kota Tegal dan kabupaten Rembang, masing-masing sebesar 9,17% dan 6,66%, dan persentase kehilangan nilai sustainable rent di kota Tegal dan Kabupaten Rembang, masing-masing sebesar 44,28% dan 9,68% dari PDRB di masing-masing wilayah. ...... This study was conducted in February 2015 until May 2015 in PPP Tegalsari Kota Tegal and PPP Tasikagung Rembang. This study aimed to analyze the condition of the bioeconomy of ikan tembang on the management regime MSY, MEY and Open Access and view depressiation. Depreciation rates used consisted of biological parameters (Model fox, CYP, walter-hilbor and Schnute) and economic parameters (real cost, fuel, logistic etc). Fish production in research location produced by vessel type of purse seine. The sampling method is purposive sampling and the data is processed using microsoft excel 2013 and Maple 18. The processed data includes the number of fish caught, the number of boat trips, and production value. Activity overfishing biologically and economically alleged to have occurred in the two study sites. The level of overfishing that occurred in Tegal and Rembang district, respectively 9.17% and 6.66%. The percentage loss in value sustainable rent in the town of Tegal and Rembang, respectively 44.28% and 9.68% of the GDP in each region.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Naskah ini memuat tulisan peserta no. 2-4 dalam lomba tulis dialek KBG yang diadakan tahun 1912-1913. Rinciannya masing-masing adalah sebagai berikut: (2) Woordenlijst Tjepoe (Dialekt Rembang Blora) [h.1-46], dikarang oleh Samsimiarja (nama samaran X); juara 2 (kelompok I); salinan ketikan ada pada BA.128,h.67-98. (3) Prijsvraag antwoord Rembangsche dialect uit Bondowoso (h.47-89), dikarang oleh Kartasudirjaya (nama samaran K.); juara 2 (kelompok IV); salinan ketikan ada pada BA. 128, h. 105-126. (4) Dialect Moentilan, Pastoeran (h.92-107), pengarang tidak diketahui (nama samaran A.M.D.G.); salinan ketikan ada pada BA.128, h.131-143 dan BA.177. Untuk keterangan umum tentang lomba tulis dialek KBG, lihat BA.128.
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
BA.191-Bau 102
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Jaumil D. P. Putra
Abstrak :

ABSTRAK
Pola curah hujan di Indonesia dapat dikatakan bahwa pantai barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak dari pantai timur. Saat mulai hujan bergeser dari barat ke timur. Hujan merupakan sumber ketersediaan air bagi usaha pertanian sawah sederhana. Pada gilirannya kelangsungan usaha pertanian sawah tergantung pada keberadaan hujan. Jumlah hujan tidak begitu penting, hujan rata-rata umumnya sangat banyak. Namun yang penting bagi mereka adalah kapan musim hujan tiba dan berapa 1amanyamusim hujan. Usaha untuk menentukan mulainya musim hujan di Pulau Jawa telah dilakukan oleh de Boer.

Masalah yang dibahas dalam penelitian mi adalah Kapan permulaan datangnya musim hujan di Pantai Utara Jawa antara Rembang dan Tuban?, Apakah ada perbedaan waktu petani turun ke sawah clan bagaimana hubungannya dengan pola awal musim hujan antara Rembang dan Tuban?

Wilayah penelitian adalah Kabupaten Rembang di Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tuban di Propinsi Jawa Timur. Kriteria permulaan datangnya musim hujan menggunakan kriteria de Boer, yaitu satu bulan dibagi tiga (1,2,3) masing-masing 10 han. Data yang digunakan adalah data curah hujan tahunan untuk mengetahui fluktuasi di bulan apa awal musim hujan dan data curah hujan harian untuk mengetahui di 10 hari keberapa awal musim hujan di bulan tersebut pada tiap stasiun pengamatan hujan dari tahun 1987 - 1996. Stasiun pengamat hujan yang digunakan adalah stasiun yang masih berfungsi dan datanya dicatat secara konsisten dari tahun 1987 - 1996 oleh Badan Meteorologi dan Geofisika Departemen Perhubungan Republik Indonesia. Wilayah awal musim hujan adalah tempattempat yang mempunyai awal musim hujan yang sama. Pola awal musim hujan adalah pola yang menggambarkan wilayah awal musim hujan. Awal musim tanam padi adalah pertama kali petani turun ke sawah untuk mengolah tanah pertanian. Wilayah awal musim tanam padi adaith tempat-tempat yang mempunyai awal musim tanam padi yang sama.Pola awal musim tanam padi adalah pola yang menggambarkan wilayah awal musim tanam padi. Petani yang dimaksud dalam penelitian mi adalah orang yang mata pencahariannya bercocok ta.nam/mengusahakan tanah (Poerwadarminta, 1976). Sawah tadah hujan adalah sebidang tanah yang secara periodik atau terus menerus ditumbuhi padi dan dicirikan dengan ketergantungannya pada ketersediaan air permukaan dari hadirnya hujan sebagai sarana pertumbuhan padi.

Untuk menjawab masalah dilakukan perhitungan dengan menggunakan kritenia de Boer dan survei lapang.Adapun dan pembahasan yang telah dilakukan diperoleh ningkasan: Jumlah curah hujan rata-rata per tahun dan tahun 1987 - 1996 di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Tuban adalah berkisar antara 1200 - 2 ,000 mm. Jumlah curah hujan rata-rata pertahun tertinggi adalah pada tahun 1989 sebesar 1985 mm dan terendah pada tahun 1994 sebesar 1233 mm.

Awal musim hujan di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Tuban adalah 6 - 15 November sebagai sepuluh hari pertama November, 16 - 25 November sebagai sepuluh hari kedua November, 26 November - 5 Desember sebagai sepuluh hari ketiga November, 6 - 15 Desember sebagai sepuluh hari pertama Desember dan 16 - 25 Desember sebagai sepuluh hari kedua Desemben. Pola awal musim hujan di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Tuban adaiah di sebelah timur datangnya awal musim hujan makin lambat, sebaliknya di sebelah barat datangnya awal musim hujan makin cepat.

Pola awal musim hujan di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Tuban mengikuti pola umum curah hujan di Indonesia, yaitu tempat yang terletak di sebelah barat musim hujannya datang lebih dulu dan pada tempat yang letaknya Iebih ke timur, pada pulaupulau dengan rezim barat.

Pola awal musim tanam padi di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Tuban mengikuti pola awal musim hujan di wilayah penelitian yaitu sebelah barat wilayah penelitian awal musim tanam padinya lebih dulu dibandingkan sebelah tengah maupun timur wilayah penelitian. Dapat disimpulkan bahwa semakin ke arah barat maka awal musim hujan dan awal musim tanam padi semakin awal mulainya.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nouval Azka Fuada
Abstrak :
Value Stream Mapping adalah sebuah alat atau tools yang digunakan untuk menganalisa aliran material, aliran informasi yang diperlukan untuk memberikan produk ke pelanggan. Salah satu keuntungan yang diberikan dalam penggunaan value stream mapping ini adalah siapa saja dapat melihat aliran proses tersebut. Penerapan Lean Warehousing dengan menggunakan metode value stream mapping pada gudang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perfomansi organisasinya (Anđelković et al., 2016). Lead time merupakan indikator utama terhadap perfomasi sebuah gudang, Salah satu perusahaan forwarder di Indonesia yang memiliki cabang gudang di PIER (Pasuruan Industrial Estate Rembang) ingin mempersingkat lead time pengeluaran barang (outbound) barang. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing pasar dengan meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan. Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan konsep Lean secara umum dan Lean Warehousing secara khusus dengan menggunakan metode Value Stream Mapping untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh aktivitas pengeluaran barang (outbound barang) sehingga dapat mengidetifiaksi pemborosan (Waste) yang terdapat pada rangkaian aktivitas tersebut. Kemudian dirancanglah rekomendasi perbaikan akan rangkaian aktivitas tersebut untuk mempersingkat lead time dari rangkaian aktivitas pengeluaran barang (outbound barang). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lead time dar rangkaian aktivitas pengeluaran barang (outbound barang) yang memilik beberapa pemborosan (waste) yang ada dapat diturunkan sebesar 35.94% dari sebelumnya selama 5047 detik menjadi 3233 detik. ......Value Stream Mapping is a tool or tools used to analyze material flow, the flow of information needed to deliver products to customers. One of the advantages of using value stream mapping is that anyone can see the flow of the process. The application of Lean Warehousing using the value stream mapping method in warehouses has a significant influence on organizational performance (Anđelković et al., 2016). Lead time is the main indicator of a warehouse's performance. One of the forwarder companies in Indonesia that has a warehouse branch in PIER (Pasuruan Industrial Estate Rembang) wants to shorten the lead time for outbound goods. It aims to increase market competitiveness by increasing the company's competitive advantage. This research was conducted by applying the concept of Lean in general and Lean Warehousing in particular by using the Value Stream Mapping method to get a comprehensive picture of outbound goods activities so as to identify waste contained in the series of activities. Then, recommendations for improvement of the series of activities are designed to shorten the lead time of a series of activities for releasing goods (outbound goods). The results of this study indicate that the lead time of a series of outbound goods activities that have some existing waste can be reduced by 35.94% from the previous 5047 seconds to 3233 seconds.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rd. Mas Adipati Aria Candranagara
Abstrak :
Buku ini menceritakan perjalanan Rd. Mas Arya Purwa Lalana Ke Surakarta, Pacitan, Madiun, Rembang, Ambarawa, Gunung Jambu, Keresidenan Kedhu, dan Karaton Yogyakarta. Cerita perjalanan tersebut terdiri atas 9 bab.
Batawi: Ogelvi, 1880
BKL.1106-CL 84
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Rd. Mas Adipati Aria Candranagara
Abstrak :
Cerita terdiri atas 2 bagian. I. Cerita diawali dengan keberangkatan tokoh dari Salatiga menuju Semarang kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai kota Semarang, Betawi, Bogor, Karesidenan Prayangan, Ciamis, dan Cirebon, Karesidenan Tegal-Pekalongan, dan kembali ke Semarang (ke Salatiga) II. Perjalanan kedua diawali dari Salatiga ke Semarang, Surabaya, Pasuruan, Gunung Tengger dan Karesidenan Probolinggo, Besuki, Banyuwangi, dan dari Sumber waru kembali ke Surabaya, Kediri, Sedayu, rembang, Jepara, dan terakhir ke Demak
Semarang: G.C.T van Dorp, 1877
BKL.1089-CL 82
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library