Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yazid Zidan Zulkarnaen
"Pengambilan kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat menyebabkan masyarakat melakukan kritik kepada pemerintah melalui saluran aspirasi yang ada. Akan tetapi, terbatasnya ruang berpendapat dan berekspresi masyarakat pada masa pandemi menyebabkan munculnya mural-mural bernada kritik sosial terkait dengan penanganan pandemi. Namun, pemerintah merespons kritik tersebut dengan tindakan penghapusan terhadap mural serta ancaman kriminalisasi pembuatnya yang dapat dikatakan sebagai tindakan represif. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum nyatanya menjadi hak warga negara yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia. Althusser kemudian menggunakan istilah Repressive State Apparatus untuk mengelompokkan aparat negara yang menjalankan tugasnya menggunakan tindakan represif. Penghapusan serta ancaman kriminalisasi ini kemudian dikatakan sebagai tindakan politics of exception yaitu tindakan framing dengan menggunakan peraturan istimewa terhadap aksi protes atau kritik sebagai sesuatu yang dapat mengganggu stabilitas negara terutama terkait dengan pandemic covid-19. Orang yang melakukan protes ini kemudian dianggap sebagai others yaitu orang yang tidak terlibat dalam partisipasi politik dan bermaksud untuk menghancurkan negara. Kriminologi kritis melihat fenomena pendefinisian arti terhadap mural secara sepihak ini sebagai salah satu cara agen penguasa membentuk sebuah realitas sosial kejahatan. Teori social reality of crime dari Richard Quinney kemudian menjelaskan bagaimana kejahatan merupakan pendefinisian terhadap perilaku seseorang yang diciptakan oleh penguasa. Unit analisis pada tulisan ini berfokus pada pewacanaan yang ada pada tindakan aparat negara dalam melakukan penghapusan mural serta ancaman kriminalisasi terhadap pembuatnya. Teknik analisis wacana Foucault digunakan untuk melihat pewacanaan pada tindakan ataupun ucapan dari aparat negara terkait dengan mural-mural kritik ini. Hasilnya, terdapat unsur-unsur represif di dalam tindakan aparat negara terhadap kasus mural ini. Selain itu, pewacanaan yang terjadi akibat tindakan tersebut menyebabkan negara terlihat anti-kritik, dan membatasi kebebasan berekspresi masyarakat.

The policy-making process that is considered not to prioritize the interests of the society during the COVID-19 pandemic has caused the public to criticize the government through criticism protected by law. However, the limited space for people to express their opinions and expressions during the pandemic has led to the emergence of murals containing social criticism related to the government’s handling of the pandemic. Yet, the government responded to this criticism mural by removing the mural and threatening of its maker by the state apparatus such as the police and satpol pp. Freedom to express oppinions in publis is actually a citizen’s right that is protected by the Undang-Undang Republik Indonesia. Althusser then created the term ‘Repressive State Apparatuses’ that categorize state apparatus that use repressive measures in carrying out their duties. The removal of murals and threat of criminalization of criticism can be said as politics of exception which is an act of framing against protests or criticism as something that can disrupt the stability of the country, especially related to the COVID-19 pandemic. People who protest then considered as ‘others’ that is people who are not involved in political participation and intend to disrupt the state. Critical criminology sees this phenomenon as one of the ways the agents of power shape the social reality of crime. The social reality of crime from Richard Quinney explains that crime is a definition of a person’s behavior that created by the authorities. The focus of analysis in this paper is on the discourse on the actions of the state apparatus in removing murals and threatens to criminalize murals. This paper used Foucault’s discourse analysis technique to see the existing discourse on actions and words of the state apparatus towards these criticism mural. As a result, there are repressive elements in the actions of the state apparatus against murals. Moreover, the discourse that occurs as a result of these actions causes the state to be seen as anti-criticism and limiting the freedom of expression of its citizens."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tribuana Sari
"Pada masa awal pemerintahannya, Harry S. Truman adalah presiden dengan pengakuan yang rendah dari masyarakat. Hal itu disebabkan karena naiknya dia sebagai presiden bukan hasil pemilihan umum sementara masyarakat meragukan kemampuannya untuk membawa Amerika pada masa transisi pasca perang. Hal itu ditambah dengan tentangan dari para politisi partai Republik. Perang Dingin sebagai akibat dari perang dunia kedua memberikan kesempatan sekaligus tantangan bagi Truman untuk menunjukkan kemampuannya. Melalui langkahnya meledakkan bom atom di Jepang dan membendung ekspansi ideologi komunisme di luar negeri dalam bentuk bantuan militer dan ekonomi kepada negara-negara yang terancam oleh kekuatan bersenjata, dan sejalan dengan kepentingan Amerika, telah menjadikan Truman sebagai aktor utama dalam proses perubahan politik Luar Negeri Amerika yang semula menganut universalisme. Dengan langkah itu Truman menyatakan Amerika sebagai pemimpin dunia merdeka melawan dunia totalitarian, dengan Uni Soviet sebagai pemimpinnya.
Keberhasilan di luar negeri tersebut tidak bisa dipisahkan dari dukungan dalam negeri. Oleh karena itu maka Truman melaksanakan kampanye anti-komunisme Dalam Negerinya. Strategi kampanye ini adalah dengan menggunakan kebijakan Federal Employee Loyalty Program serta pidato dan pesan-pesan tertulisnya. Yang pertama merupakan langkah strategisnya, sementara yang kedua adalah sarana penciptaan wacana antikomunisme yang Truman inginkan. Masalah yang menjadi pembahasan dalam tesis ini adalah bagaimana Truman menciptakan wacana anti-komunismenya melalui teks-teks pidato dan pesan tertulisnya dan bagaimana Federal Employee Loyalty Program diterapkan sebagai langkah strategis dalam kampanye anti-komunismenya. Dengan teori Repressive State Apparatuses/RSA dan Ideological State Apparatuses/ISA milik Althuser, ditemukan bahwa Federal Employee Loyalty Program berfungsi sebagai aparatus represi, melalui ancaman, pemecatan, investigasi oleh FBI dan legalitas yang diberikan oleh Truman kepada masyarakat Amerika untuk turut melaporkan siapa saja yang dicurigai terlibat dalam organisasi-organisasi yang dinyatakan terlarang oleh pemerintah. Sementara teks pidato dan pesan tertulis berfungsi sebagai aparatus ideologis, melalui penciptaan representasi-representasi negatif tentang komunisme. Komunisme distereotipkan sebagai pihak yang anti kemakmuran ekonomi dan anti demokrasi. Masyarakat Amerika yang menjadikan nilai kemakmuran ekonomi dan demokrasi sebagai acuan dalam hidupnya akan menempati posisi melawan jika berhadapan dengan komunisme. Dengan cara ini, Truman bermaksud menciptakan subyek/pelaku dari ideologi antikomunismenya."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15061
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library