Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jerry Nasarudin
"Pasien HIV berisiko 20-37 kali lipat terinfeksi TB dan TB merupakan penyebab kematian tertinggi pada HIV. Resistensi OAT menjadi masalah utama pengobatan TB pada pasien HIV yang menyebabkan peningkatan mortalitas dan biaya. Rifampisin merupakan OAT utama sehingga perlu diketahui prevalensi resistensi rifampisin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada pasien TB-HIV.
Tujuan: Mengetahui prevalensi resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Metode: Studi potong lintang terhadap 196 pasien TB-HIV yang menjalani pemeriksaan Xpert MTB-RIF di poli pelayanan terpadu HIV RSUPN-CM selama tahun 2012-2015. Analisa bivariat untuk mengetahui hubungan faktor-faktor terkait dengan kejadian resistensi rifampisin. Analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil: Didapatkan prevalensi resistensi rifampisin sebesar 13,8%. Usia, jenis kelamin, riwayat penggunaan ARV, dan TB ekstraparu tidak berhubungan dengan kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV. Jumlah CD4<100 memiliki hubungan dengan kejadian resistensi rifampisin (OR 2,57; 95% IK 0,99-6,69), namun secara statistik tidak bermakna. Riwayat pengobatan TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian resistensi rifampisin (OR 3,98; 95% IK 1,68-9,44).
Simpulan: Prevalensi resistensi rifampisin TB-HIV di RSUPN-CM sebesar 13,8%. Riwayat TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV."
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Budy Alamsjah
"Tujuan: Untuk memahami mekanisme terjadinya resistensi terhadap obat antituberkulosis dengan mempergunakan pendekatan epidemiologik genetik.
Bahan dan metode penelitian:
Disain penelitian : kasus - kontrol.
Tempat: Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Rumah Sakit Umum dr. M. Jamil, Sumatera Barat dan Rumah Sakit Umum dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar. Laboratorium Mikrobiologi FKUI, Jakarta, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta dan Laboratorium Bioteknologi Universitas Padjajaran, Bandung.
Lama penelitian: 8 bulan ( Januari 2002 - Agustus 2002 ).
Subjek penelitian: Masing-masing 279 sampel dahak yang sensitif dan resisten INH serta 36 sampel dahak yang sensitif dan resisten rifampisin.
Bahan: sampel dahak yang dikirim dari ketiga rumah sakit tersebut, diperiksa silang di laboratorium mikrobiologi FKUI, Jakarta, lalu diadakan pemeriksaan PCR dan sequencing di Lembaga Eijkman dan laboratorium BioteknoIogi Universitas Padjajaran, Bandung. Disamping itu dilakukan wawancara untuk mendapatkan keterangan mengenai kepatuhan berobat dan pengobatan yang tidak optimal. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis uji statistik.
Hasil: Prevalensi resistensi terhadap INH dari ketiga propinsi berkisar dari 11,9 % sampai 15,6 %, prevalensi resistensi terhadap rifampisin berkisar dari 1,3 % sampai 1,6 % dan prevalensi resistensi ganda berkisar dari 0,6 % sampai 1,3 %, M. tuberculosis yang mengalami mutasi padagen katG dari ketiga propinsi didapatkan sebesar 60,2 % dan mempunyai kemungkinan risiko resisten terhadap INH sebesar 32,6 kali bila dibandingkan dengan M. tuberculosis yang tidak mengalami mutasi pada gen katG. M. tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin dari ketiga propinsi menunjukkan bahwa semua M tuberculosis tersebut mengalami mutasi padagen rpoB, dimana mutasi gen rpoB pada kodon 516 (16,6 %), kodon 526 (63,8 %), kodon 529 dan kodon 531 masing-masing sebesar 5,5 %. Hal ini dapat dikatakan bahwa M. tuberculosis dari ketiga propinsi yang resisten terhadap INH dan rifampisin mengalami beraneka ragam jenis mutasi (diversity). Di ketiga propinsi, ketidakpatuhan penderita tuberkulosis berobat didapatkan sebesar 56,3 % pada M. tuberculosis resisten terhadap INH dan 75 % M. tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin. 65,9 % penderita tuberkulosis yang mendapatkan pengobatan monotherapy mengalami resisten terhadap INH dan 75 % penderita tuberkulosis yang mendapatkan pengobatan tidak optimal mengalami resisten terhadap rifampisin. Mutasi baru gen rpoB pada kodon 529 ditemukan 2 buah yang berasal dari propinsi Jakarta dan propinsi Sumatera Barat. Mutasi baru ini tidak mempunyai dampak klinik dan biologis karena kedua kodon tersebut menyandi asam amino yang lama yaitu arginin.

Genetic Epidemiological and Risk Factor Of M. Tuberculosis For Being Resistant To INH And Or RifampicinObjective of the Study: To understand the mechanisms of resistance to antituberculosis drugs by genetic epidemiological study.
Methods and materials of the study:
Study design: Case - control study.
Location: Persahabatan Hospital (Jakarta), M. Jamil General Hospital (West Sumatra), Wahidin Sudirohusodo General Hospital (South Sulawesi), Microbiology Laboratory FKUI (Jakarta), Eijkman Institute for biology molekuler (Jakarta) and Padjadjaran University Biotechnology Laboratory (West Java).
Duration of study: 8 months ( January 2002 - August 2002 ).
Subject: 279 samples sputum each that were sensitive and resistant to NH, 36 sample sputum each that were sensitive and resistant to rifampiscin.
Material of study: - Sputum sample from three hospitals were sent to Microbiology Laboratory FKUI for crosschecking. Subsequently PCR examination and sequencing were performed in Eijkman Institute and Padjadjaran University Biotechnology Laboratory. In addition interviews were conducted to obtain information about patient compliance and optimal treatment. All data were subjected to statistical analysis.
Results: Resistance prevalence to INH from three provinces range from 11.9 % to 15.6 %; resistance prevalence to rifampicin 1.3 % to 1.6 % and multidrug resistant prevalence: 0.6 % to 1.3 %. Mutation on gene katG M. tuberculosis from three provinces were 60.2 % and have a probability resistance risk to INH 32.6 times compared to M. tuberculosis that didn't have mutation on gene katG. All M. tuberculosis resistant to rifampicin isolated from three provinces have a mutation on gene rpoB, on codon 516 (16.66 %), codon 526 (63.8%), codon 529 and codon 531 respectively 5.5 %. This situation showed that M. tuberculosis from three provinces resistant to INH and rifampicin have a diversity mutant, In the three provinces, non compliance from tuberculosis patient - were 56.3 % of M. tuberculosis resistant to INH and 75 % of M. tuberculosis resistant to rifampicin. INH monotherapy result in 65.9 % resistance and sub optimal treatment result in 75 % resistance to rifampicin. Two new mutations have been found in gene rpoB codon 529 from Jakarta and West Sumatra. And this new mutant has no clinical and biology impact because the two codons encode amino acid was same, is arginine.
Conclusions: Resistance prevalence to NH and or rifampicin in three provinces is significantly high despite a good health infrastructure. If this problem occurs in other provinces with difference geographic characteristic, demographic, socioeconomic and health infrastructure, most probably the resistance prevalence to INH and or rifampicin will be much be more pronounced. The development of resistance of M. tuberculosis to INH and or rifampicin is influenced by mutation on gene encoding enzyme catalase peroxidase (katG) and RNA Polymerise ( rpoB ). Non-compliance and sub optimal treatment are selection factors for katG and rpoB mutant.
Recommendations: It is recommended to continue a similar study in the other provinces with difference geographic, demographic, socio economic, health infrastructure and also other study with mutant. For the Department of Health it is recommended to accelerate methods of early detection of tuberculosis cases that are sensitive or resistant to antituberculosis drugs and monitoring system to record and to report tuberculosis cases from other public health services e.g. Private practices, non government clinics, hospitals and institution to ensure continuous availability and quality of controlled drugs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
D547
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Mirawati
"Resistensi terhadap obat anti tuberkulosis merupakan masalah yang memperberat suksesnya program penanggulangan dan pemberantasan tuberkulosis. Diperkirakan 90% isolat yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid, sehingga resisten terhadap rifampisin dianggap sebagai "Surrogate marker" bagi resisten obat anti tuberkulosis Iainnya. Sekitar 95% isolat yang resisten rifampisin mengalami mutasi pada gen rpoB dan 70% mengalami mutasi pada kodon 531. Seiring dengan perkembangan teknik molekuler, hibridisasi dot blot dengan menggunakan pelacak oligonukleotida dapat digunakan untuk mendeteksi adanya mutasi pada gen. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi mutasi gen resisten rifampisin pada Mycobacterim tuberculosis dan mengembangkan teknik hibridisasi dot blot untuk deteksi resisten OAT. Sebanyak 30 sampel isolat Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin telah diisolasi DNA dengan teknik boiling lalu diamplifikasi dengan PCR dengan menggunakan primer TR8 dan TR9. Setelah itu produk PCR dielektroforesis untuk mengetahui kebenaran hasil amplifikasi. Lalu dilakukan hibridisasi dot blot untuk dengan pelacak rpoB 531 mu untuk mengetahui adanya mutasi gen rpoB pada kodon 531 sebagai tanda terjadinya resistensi terhadap rifampisin. Hasil penelitian ditemukan 6 sampel (20%) Ban 30 sampel yang mengalami mutasi gen rpoB pada kodon 531. Berarti 6 sampel yang resisten terhadap rifampisin sedangkan 24 sampel lainnya yang tidak mengalami mutasi pada kodon 531 mungkin mengalami mutasi gen rpoB pada kodon lainnya yang akan terdeteksi dengan menggunakan pelacak lainnya. Dari penelitian juga didapat beberapa keuntungan penggunaan teknik ini yaitu hemat waktu, hemat biaya , sederhana dan akurat. Berdasarkan basic tersebut maka dapat disimpulkan bahwa telah ditemukan mutasi gen rpoB pada kodon 531 dan teknik hibridisasi dot blot sangat cocok dikembangkan sebagai teknik deteksi resisten terhadap rifampin dan OAT lainnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 16202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Ashiila Amalia
"ABSTRAK
Rifampisin RIF merupakan salah satu obat antituberkulosis anti-TB lini pertama yang penggunaannya dikombinasikan dengan isoniazid INH dalam bentuk fixed dose combination FDC selama 4 bulan. Rendahnya konsentrasi RIF dalam darah pasien dapat menyebabkan resistensi obat yang berujung pada kegagalan terapi, sehingga perlu dilakukan pemantauan terapi obat PTO . PTO dengan metode sampel darah kering DBS memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien TB untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode analisis RIF dengan keberadaan INH dalam sampel DBS, mulai dari kondisi kromatografi optimum, metode preparasi sampel DBS optimum, dan validasi metode bioanalisis. Kondisi kromatografi optimum adalah menggunakan kolom C8 Waters, SunfireTM 5 m; 250 x 4,6 mm ; fase gerak dapar amonium asetat 50 mM pH 4,5 ndash; asetonitril ndash; metanol 40 : 30 : 30 ; laju alir 0,5 mL/menit; suhu kolom 40 C; deteksi pada panjang gelombang 261 nm; waktu analisis selama 16 menit; menggunakan cilostazol sebagai baku dalam. Preparasi sampel menggunakan metode pengendapan protein dengan pelarut pengekstraksi asetonitril-metanol 1:4 v/v . Hasil validasi terhadap metode analisis RIF dengan keberadaan INH yang dilakukan memenuhi persyaratan validasi berdasarkan EMEA pada tahun 2011. Metode yang diperoleh linear pada rentang konsentrasi 1,0 ndash; 30,0 g/mL dengan nilai r > 0,9984.

ABSTRACT
Rifampicin RIF is one of the first line antituberculosis anti TB drug combined with isoniazide INH in fixed dose combination FDC form which is consumed for 4 months. RIF has been associated with treatment failure in some patients because of a low blood drug concentrations. Therefore, TB patient using RIF is recommended to determine plasma concentrations of RIF. Biosampling method using dried blood spots DBS offers some advantages such as the patient comfort. Monitoring TB drug using DBS helps to improve effectiveness of therapy. This research objective is to develop an analytical method of RIF in presence of INH in DBS starting from optimum chromatography condition, optimum whole blood preparation method, and analytical method validation. The optimum chromatographic condition was obtained using C8 Waters, SunfireTM 5 m 250 x 4.6 mm the mobile phase contains buffer ammonium acetate 50 mM pH 4.5 ndash acetonitrile ndash methanol 40 30 30 flow rate was 0.5 mL min column temperature 40 C which was detected with UV at wavelength of 261 nm time of analysis 16 minutes and cilostazol as internal standard. The optimum preparation method was protein precipitation technique using acetonitrile and methanol 1 4 v v . The validation result of RIF in presence of INH analysis method fulfilled the validation requirement using EMEA Bioanalytical Guideline in the year 2011. The method was linear at concentration range of 1.0 30.0 g ml with r 0.9984. "
2017
S67574
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darayu Calvert Wilson
"Perbedaan antara tes untuk infeksi tuberkulosis (TB) yang resistan terhadap obat menjadi lebih umum karena alat diagnostik menjadi lebih bervariasi. Hal tersebut membingungkan dokter karena belum ada tes TB diagnostik cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Kasus suspek-TB di RSUPP, pusat primer dan tersier untuk kasus TB paru Indonesia, disaring dengan GeneXpert MTB / RIF dan dikonfirmasikan dengan uji kepekaan obat anti-tuberkulosis.
Discrepancies between tests for drug-resistant tuberculosis (TB) infections are becoming more common as diagnostic tools become more varied. These discrepancies confuse clinicians because there is not yet a rapid diagnostic TB test with good sensitivity and specificity. Suspected-TB cases at Rumah Sakit Umum Pusat Perhasabatan (RSUPP), a primary and tertiary center for Indonesia’s pulmonary TB cases, are screened with GeneXpert MTB/RIF and confirmed with conventional drug- susceptibility testing (DST)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jerry Nasarudin
"ABSTRAK
Latar belakang : Pasien HIV berisiko 20-37 kali lipat terinfeksi TB, dan TB
merupakan penyebab kematian tertinggi pada HIV. Resistensi OAT menjadi
masalah utama dalam pengobatan TB terutama pada pasien HIV, hal ini berujung
pada peningkatan mortalitas dan biaya. Rifampisin merupakan OAT utama,
dibuktikan dengan kesembuhan yang rendah pada regimen tanpa rifampisin,
sehingga perlu diketahui prevalensi resistensi rifampisin dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pada pasien TB-HIV.
Tujuan : Mengetahui prevalensi resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV dan
faktor-faktor yang mempengaruhi.
Metode : Studi potong lintang terhadap 196 pasien TB-HIV yang menjalani
pemeriksaan Xpert MTB-RIF di poli pelayanan terpadu HIV RSUPN Cipto
Mangunkusumo selama tahun 2012-2015. Analisa bivariat untuk mengetahui
hubungan faktor-faktor dengan kejadian resistensi rifampisin. Analisa multivariat
menggunakan uji regresi logistik.
Hasil dan Pembahasan : Pada 196 pasien yang menjadi subjek penelitian,
didapatkan prevalensi resistensi rifampisin sebesar 13,8%. Usia, jenis kelamin,
riwayat penggunaan ARV, dan TB ekstra paru tidak berhubungan dengan
kejadian resistensi rifampisin pada TB-HIV. CD4 < 100 mempengaruhi kejadian
resistensi rifampisin (OR 2,57; 95% IK 0,99-6,69), Riwayat pengobatan TB
mempengaruhi kejadian resistensi rifampisn (OR 3,98; 95% IK 1,68-9,44).
Kesimpulan : Prevalensi resistensi rifampisin TB-HIV di RSUPN Cipto
Mangunkusumo sebesar 13,8%. Riwayat TB mempengaruhi kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV. ABSTRACT
Background: HIV patients have 20-37 fold risk of getting TB infection and TB is
the leading cause of death among them. Anti tuberculosis drug resistance is a
major problem in the treatment of tuberculosis with rifampicin as one of the main
drug. We need more information about prevalence of rifampicin resistance and its
contributing factors in TB-HIV patients.
Aim: To determine the prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients
and its contributing factors.
Method : A cross sectional study of 196 TB-HIV patients who underwent Xpert
MTB/RIF examination at Cipto Mangunkusumo Hospital during the year 20122105.
Correlation
between
prevalence
of
rifampicin
resistance
and
its
contributing
factors
was done using bivariate analysis. Multivariate analysis was done using
logistic regression test.
Result and Discussion : From 196 patients, we found prevalence of 13,8%
rifampicin resistance. CD4 < 100 affects the incidence of rifampicin resistance
(OR2.5;95% CI 0.99-6.69). Hiistory of TB treatment affects the incidence of
rifampicin resistance (OR3.98;95%CI 1.68-9.44).
Conclusion : Prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients in Cipto
Mangunkusumo Hospital is 13.8%. History of TB treatment affects the incidence
of rifampicin resistance in TB-HIV patients. ;Background: HIV patients have 20-37 fold risk of getting TB infection and TB is
the leading cause of death among them. Anti tuberculosis drug resistance is a
major problem in the treatment of tuberculosis with rifampicin as one of the main
drug. We need more information about prevalence of rifampicin resistance and its
contributing factors in TB-HIV patients.
Aim: To determine the prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients
and its contributing factors.
Method : A cross sectional study of 196 TB-HIV patients who underwent Xpert
MTB/RIF examination at Cipto Mangunkusumo Hospital during the year 20122105.
Correlation
between
prevalence
of
rifampicin
resistance
and
its
contributing
factors
was done using bivariate analysis. Multivariate analysis was done using
logistic regression test.
Result and Discussion : From 196 patients, we found prevalence of 13,8%
rifampicin resistance. CD4 < 100 affects the incidence of rifampicin resistance
(OR2.5;95% CI 0.99-6.69). Hiistory of TB treatment affects the incidence of
rifampicin resistance (OR3.98;95%CI 1.68-9.44).
Conclusion : Prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients in Cipto
Mangunkusumo Hospital is 13.8%. History of TB treatment affects the incidence
of rifampicin resistance in TB-HIV patients. ;Background: HIV patients have 20-37 fold risk of getting TB infection and TB is
the leading cause of death among them. Anti tuberculosis drug resistance is a
major problem in the treatment of tuberculosis with rifampicin as one of the main
drug. We need more information about prevalence of rifampicin resistance and its
contributing factors in TB-HIV patients.
Aim: To determine the prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients
and its contributing factors.
Method : A cross sectional study of 196 TB-HIV patients who underwent Xpert
MTB/RIF examination at Cipto Mangunkusumo Hospital during the year 20122105.
Correlation
between
prevalence
of
rifampicin
resistance
and
its
contributing
factors
was done using bivariate analysis. Multivariate analysis was done using
logistic regression test.
Result and Discussion : From 196 patients, we found prevalence of 13,8%
rifampicin resistance. CD4 < 100 affects the incidence of rifampicin resistance
(OR2.5;95% CI 0.99-6.69). Hiistory of TB treatment affects the incidence of
rifampicin resistance (OR3.98;95%CI 1.68-9.44).
Conclusion : Prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients in Cipto
Mangunkusumo Hospital is 13.8%. History of TB treatment affects the incidence
of rifampicin resistance in TB-HIV patients. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irsa Septiawan
"ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi terbanyak yang terinfeksi tuberculosis (TB), termasuk infeksi TB ekstrapulmonal yang merusak tulang belakang. Berdasarkan aturan WHO, pengobatan tuberkulosis tulang belakang membutuhkan pemberian obat antituberkulosis setiap hari selama 6 bulan . Untuk mengatasi kemungkinan kepatuhan pasien yang rendah dan kesulitan pengantaran obat menuju jaringan yang rusak, diperlukan sediaan
pelepasan obat terkendali dalam bentuk implan polimer. Polimer PVA memiliki sifat tidak toksik, biodegradable, dan sifat mekanisnya dapat disesuaikan untuk meniru berbagai macam jaringan lunak. Pada penelitian ini digunakan hidrogel PVA-pektin, dibuat menggunakan
metode freeze thaw, yang termuati obat anti tuberkulosis rifampicin. Pektin ditambahkan untuk mengatur laju pelepasan obat karena pektin dapat berinteraksi dengan rifampicin. Pembuatan hidrogel PVA-pektin sebagai penghantar rifampicin dioptimasi menggunakan metode respon permukaan dengan empat variabel bebas: loading rifampicin (20%, 30%, 40%), konsentrasi larutan PVA (10%, 15%, 20%), konsentrasi larutan pektin (0%, 0,5%, 1%), dan jumlah siklus freeze thaw (2, 4, 6 kali). Data pelepasan hasil pengamatan selama 90 hari menunjukkan bahwa profil rilis rifampicin mengikuti kinetika rilis orde nol. Penambahan loading rifampicin, pengurangan konsentrasi PVA dan konsentrasi pektin, serta pengurangan jumlah siklus freeze thaw meningkatkan baik rilis kumulatif rifampicin maupun swelling hidrogel PVA. Formulasi dengan jumlah siklus freeze thaw 6 kali menghasilkan jaringan kristal yang lebih teratur berdasarkan pengamatan pada uji SEM. Hasil FTIR menunjukkan adanya interaksi PVA dengan pektin. Rifampicin telah berhasil berinteraksi dengan hidrogel PVA-pektin berdasarkan hasil DSC dan ketahanan termal rifampicin meningkat ketika berada dalam hidrogel PVApektin. Uji XRD menyatakan ukuran kristal meningkat dengan bertambahnya siklus freeze thaw dari 2 kali (9,58 nm) menjadi 6 kali (23,79 nm) dan dengan penurunan loading rifampicin dari 40% (9,09 nm) menjadi 20% (9,58 nm). Kondisi optimum matriks hidrogel diperoleh pada 39,7% loading rifampicin, 10,3% PVA, 0,3% pektin, dan 2 kali siklus freeze thaw yang menghasilkan rilis rifampicin sebanyak 74,2% selama 3 bulan.

ABSTRACT
Indonesia is one of the countries with the largest population infected with tuberculosis (TB), including extrapulmonary TB infection which damages the spine. Based on WHO regulations, treatment of spinal tuberculosis requires the provision of anti-tuberculosis drugs every day for 6 months. To overcome the possibility of low patient adherence and the difficulty of delivering the drug to the damaged tissue, a controlled release of the drug in the form of a polymer implant is needed. PVA polymers have non-toxic, biodegradable properties and their mechanical properties can be adjusted to mimic a variety of soft tissue tigers. In this study the PVA-pectin hydrogel, made using the freeze thaw method, is loaded with the anti-tuberculosis drug rifampicin. Pectin is added to regulate the rate of drug release because pectin can interact with rifampicin. The making of PVA-pectin hydrogel as an agent for rifampicin is optimized using the response surface method with four independent variables: rifampicin loading (20%, 30%, 40%), concentration of PVA solution (10%, 15%, 20%), concentration of pectin solution (0 %, 0,5%, 1%), and the number of freeze thaw cycles (2, 4, 6 times). The release data of observations for 90 days showed that the rifampicin release profile followed the zero-order release kinetics. The addition of rifampicin loading, reduction of PVA concentration and pectin concentration, as well as reduction in the number of freeze thaw cycles increase both the cumulative release of rifampicin and swelling hydrogel PVA. The formulation with 6 times of freeze thaw cycles produces more regular crystal network based on observations in the SEM test. FTIR results show the interaction of PVA with pectin. Rifampicin has successfully interacted with the PVA-pectin hydrogel based on DSC results and the thermal resistance of rifampicin increased when it was in the PVA-pectin hydrogel. The XRD test revealed that the
crystal size increased with increasing freeze thaw cycle from 2 times (9,58 nm) to 6 times (23,79 nm) and with a decrease in rifampicin loading from 40% (9,09 nm) to 20% (9,58 nm). The optimum condition of hydrogel matrix was obtained at 39,7% loading of rifampicin, 10,3%
PVA, 0,3% pectin, and 2 freeze thaw cycles which resulted in rifampicin release of 74,2% for 3 months."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clarissa Fidelia
"Tuberkulosis adalah penyebab kematian tertinggi ke-10 di dunia yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan umumnya menyerang paru-paru. Pasien tuberkulosis seringkali diharuskan untuk mengonsumsi sejumlah Obat Antituberkulosis (OAT), salah satunya rifampisin (RIF), dalam rentang waktu enam bulan. Degradasi RIF akibat paparan oksigen menyebabkan terbentuknya senyawa degradasi inaktif rifampisin kuinon (RIF-Q). OAT yang tidak stabil dapat menyebabkan pengobatan yang kurang efektif dan meningkatkan kemungkinan resistansi pasien terhadap obat tersebut. Dalam penelitian ini, dilakukan penambahan antioksidan curcumin, piperine, gingerol dan mangostin untuk mencegah oksidasi RIF. Hasil analisis instrumen LC-MS/MS terhadap sampel RIF yang berumur tiga bulan menunjukkan adanya produk degradasi inaktif dalam rasio dua kali lipat dibanding senyawa aktif. Adanya pengaruh penambahan antioksidan terhadap sampel RIF dianalisis dengan penentuan potensial oksidasi menggunakan metode cyclic voltammetry (CV) dan uji stabilitas selama enam hari menggunakan instrumen HPLC. Penambahan gingerol memberikan pengaruh paling signifikan terhadap kestabilan RIF dalam larutan PBS dibandingkan antioksidan lain, serta penambahan curcumin mampu menggeser potensial oksidasi OAT RIF ke arah yang lebih positif serta mempertahankan konsentrasi RIF dengan lebih optimal. Senyawa curcumin dan gingerol memiliki potensi untuk dijadikan kandidat sebagai agen penstabil RIF.

Tuberculosis is one of the top 10 cause of death worldwide which is caused by Mycobacterium tuberculosis infections, commonly occurs in lungs. TB patients are often prescribed with a few antitubercular drugs such as rifampicin (RIF) for six months period. Degradation of RIF caused by oxygen produce inactive product rifampicin quinone (RIF-Q). Unstable drugs may compromise treatment effectiveness and enhance the possibility of drug resistance in patient. Therefore, in this study natural antioxidant such as curcumin, piperine, gingerol and mangostin are added to prevent RIF oxidation. Analysis by LC-MS/MS on three-months-old RIF sample shows evidence of inactive degradation product twice the ratio of the active compound. Antioxidant addition influences on RIF are analyzed with determining oxidation potential utilizing cyclic voltammetry (CV) method and stability test for six days utilizing HPLC instrument. Addition of gingerol gives the most significant influence on the stability of RIF in PBS solution, while the addition of curcumin could shift oxidation potential of RIF to more positive value and optimally maintain RIF concentration compared to other antioxidants. Therefore, gingerol curcumin has the potential to be stabilizer agent for RIF drug."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Noviana Cahya Astuti
"Pada penelitian ini, nanopartikel TiO2 telah dimodifikasi dengan InVO4 melalui metode green synthesis menggunakan ekstrak daun mangga (Mangifera indica L.). Ekstrak daun mangga fraksi air yang digunakan mengandung metabolit sekunder berupa alkaloid, saponin, tannin, dan polifenol yang berperan sebagai sumber basa lemah dan agen capping. Nanopartikel TiO2, InVO4, dan nanokomposit TiO2/InVO4 dikarakterisasi menggunakan FTIR, XRD, UV-Vis DRS, dan FESEM-EDS. Aktivitas fotokatalitik nanokomposit TiO2/InVO4 terhadap rifampicin di bawah iradiasi sinar tampak selama 120 menit diuji menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Persentase fotodegradasi TiO2/InVO4 dengan massa optimum 8 mg menunjukkan persentase tertinggi yaitu 97,18% dibandingkan variasi kondisi lain yaitu katalis TiO2 (34,13%), InVO4 (74,93), adsorpsi (36,07%), dan fotolisis (12,43%). Serta kinetika reaksi fotokatalisis nanokomposit TiO2/InVO­4­ terhadap degradasi rifampicin mengikuti model pseudo orde satu dengan konstanta laju reaksi (k) sebesar 9,34 x 10-3 menit-1.

In this research, TiO2 nanoparticles were modified with InVO4 by means of green synthesis method using mango (Mangifera indica L.) leaf extract. The water fraction of mango leaf extract consisted of secondary metabolites such as alkaloids, saponins, tannins, and polyphenols which act as sources of weak base and capping agent. TiO2, InVO4, and TiO2/InVO4 nanocomposites were characterized using FTIR, XRD, UV-Vis DRS, and FESEM-EDS. The photocatalytic activity of TiO2/InVO4 nanocomposites against rifampicin under visible light irradiation for 120 minutes was probed by UV-Vis spectrophotometer. The percentage of degradation of TiO2/InVO4 with an optimum mass of 8 mg showed the highest percentage of 97,18% compared to other conditions, catalyst TiO2 (34,13%), InVO4 (74,93), adsorption (36,07%), and photolysis (12,43%). Also, kinetic photocatalytic reaction of TiO2/InVO4 on rifampicin degradation follows pseudo-first order with a reaction rate constant (k) of 9,34 x 10-3 minutes-1."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>