Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nawan Sumardiono
"Pandangan patriarki dalam norma heteronormatif menempatkan maskulinitas pada kedudukan sosial yang lebih tinggi dibanding femininitas. Akibatnya, laki-laki gay dengan ekspresi gender feminin sering mendapatkan marginalisasi dan kriminalisasi yang membuat mereka kekurangan ruang aman untuk mengekspresikan diri. Studi ini mengeksplorasi Instagram sebagai ruang aman untuk mengekspresikan gender feminin bagi laki-laki gay karena memiliki karakteristik heterotopik. Michel Foucault mendeskripsikan heterotopia sebagai ruangan perbatasan antara distopia dan utopia, yaitu ruang berbeda/nondominan yang masih berhubungan dengan ruang dominan. Studi ini berargumen dalam ruang berbeda ini, laki-laki gay yang memiliki ekspresi gender tidak sesuai norma heteronormatif memperoleh rasa aman dari norma dominan untuk mengekspresikan diri dan memainkan peran tertentu. Menggunakan argumen Judith Butler tentang performativitas gender, studi ini akan menganalisis performa ekspresi gender laki-laki gay melalui tampilan karakter-karakter feminin di media sosial Instagram. Penelitian ini dilakukan dalam paradigma interpretif dengan strategi etnografi digital yang berfokus pada eksplorasi pengalaman hidup. Penelitian ini melibatkan subjek penelitian yang merupakan laki-laki gay dengan ekspresi gender feminin dalam komunitas pecinta kontes kecantikan. Pengalaman marginalisasi yang laki-laki gay terima membuat mereka melakukan upaya aktif untuk membangun ruang aman mereka sendiri guna mengekspresikan femininitas. Maka berdasarkan studi ini, heterotopia bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan memerlukan upaya aktif penggunanya untuk membangun ruang sesuai kebutuhan personal. Sementara itu, performa femininitas mereka tampilkan dengan melakukan peniruan terhadap sosok idola. Tujuannya adalah supaya mereka lebih mudah diterima oleh masyarakat. Maka, hal yang ingin mereka tiru pada dasarnya adalah penerimaan positif oleh kelompok dominan. Caranya dengan menampilkan ekspresi gender yang memiliki citra positif di masyarakat Indonesia dengan mengedepankan pertimbangan kekhasan lokal, seperti yang dilakukan oleh sosok idola mereka. Dalam studi ini, hubungan antara individu LGBTQ dengan sosok idola dijembatani oleh motivasi pribadi di mana mereka juga ingin memperoleh manfaat ekonomi. Dengan demikian, hubungan yang tercipta adalah parasitic relationship

The patriarchal view in heteronormative norms places masculinity in a higher social position than femininity. As a result, gay men with feminine gender expression often get marginalized and criminalized which makes them lack a safe space to express themselves. This study explores Instagram as a safe space to express feminine gender for gay men because it has heterotopic characteristics. Michel Foucault describes heterotopia as a border space between dystopia and utopia, which is a different/non-dominant space that is still related to the dominant space. This study argues that in this different space, gay men whose gender expression does not conform to heteronormative norms gain a sense of security from the dominant norm to express themselves and play certain roles. Using Judith Butler's argument about gender performativity, this study analyzes the performance of gay men's gender expression through the display of feminine characters through Instagram. This research was conducted in an interpretive paradigm with a digital ethnographic strategy that focuses on exploring life experiences. This research involves research subjects who are gay men with feminine gender expressions in a beauty pageant lover community. The experience of marginalization that gay men get makes them make an active effort to build their own safe space to express their femininity. So based on this study, heterotopia is not something given, but requires the user's active effort to build a space according to personal needs. Meanwhile, their performance of femininity is displayed by imitating idol figures. The goal is to make them more easily accepted by society. So, what they want to emulate is basically positive acceptance by the dominant group. This is done by displaying gender expressions that have a positive image in Indonesian society by prioritizing local uniqueness considerations, as their idol figures do. In this study, the relationship between LGBTQ individuals and idols is bridged by personal motivations where they also want to obtain economic benefits. Thus, the relationship created is a parasitic relationship."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Isrofillah
"Penelitian ini menyimpulkan bahwa media sosial mampu menjadi ruang berani bagi penyandang disabilitas mental psikosial untuk membuka identitasnya dan melakukan aksi pernyataan diri di ruang publik. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa stigmanisasi kelompok psikososial menyebabkan ketakutan mencari pertolongan dan mendapatkan akses di ruang publik seperti akses kesehatan, pendidikan, ekonomi dan hak dasar hidup lainnya. Penelitian menemukan tingginya represi dominasi di ruang publik ke kelompok psikososial merupakan dampak dari konstruksi sosial. Stigmanisasi kelompok psikososial di ruang produksi mengakibatkan kelompok ini kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi hingga mengharuskan mereka mendapatkan pekerjaan yang mampu menerima statusnya sebagai disabilitas psikososial. Penelitian ini juga menemukan represi di ruang reproduksi lebih tinggi dibanding ruang produksi karena ada kekhawatiran aksi stigmanisasi akan berdampak kepada keluarga yang menyebabkan pengrusakan identitas melalui pengungkapan di ruang publik. Penemuan lainnya adalah terjadi pembatasan dengan skala dan isu tergantung keputusan tiap individu ketika melakukan aksi pernyataan diri di digital. Pembatasan ini terutama terjadi di topik bunuh diri. Tingginya represi di dua ruang utama, ruang produksi dan reproduksi tersebut, menjadikan kelompok disabilitas psikososial mencari ruang ketiga sebagai ruang aman. Di digital, kelompok ini menemukan keberanian untuk melakukan aksi pernyataan diri ini melalui karyanya sendiri sebagai ekspresi di ruang publik. Keberanian ini dipengaruhi kemudahan dan kebebasan berekspresi melalui fitur teks, gambar, video dan kombinasinya sesuai selera tiap individu. Selain itu, minimnya interaksi langsung dengan manusia membuat mereka merasa aman untuk berekspresi dengan berbagai gaya dan skala keterbukaan sesuai keputusan tiap individu. Penelitian menggunakan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif melalui pengambilan data lapangan melalui wawancara narasumber penyandang disabilitas mental psikososial yang melakukan aksi peryataan diri di akun sosial media pribadinya.

This study concludes that social media can be a brave space for people with psychosocial mental disabilities to disclosure their identities and perform coming out actions in public spaces. Previous research has found that stigmatization of psychosocial groups leads to fear of seeking help and gaining access in public spaces such as access to health, education, economics and other basic rights of life. Research found that the high repression of dominance in the public sphere to psychosocial groups is the impact of social construction. The stigmatization of psychosocial groups in the production space has resulted in difficulties for this group to carry out economic activities, requiring them to find jobs that are able to accept their status as psychosocial disabilities. This study also found that repression in the reproductive space is higher than in the production space because there are concerns that stigmatization would have an impact on the family which lead to spoiling identity by disclosure in public spaces. There are also restrictions on the scale and topic of issues depending on the decision of each individual when making coming out action on digital. This restriction is particularly on the suicide thought topic. The high repression in the two main spaces, the production and the reproductive space, makes the psychosocial disability group look for a third space as a safe space. In digital, this group finds the courage to perform coming out action through its own work as an expression in the public space. This courage is influenced by the convenience and autonomy of expression through text, images, videos and their combinations according to individual's taste. In addition, the lack of direct interaction with humans makes the group feels safe to express themselves in various styles and scales of disclosure according to individual's decision. The research uses critical paradigm and qualitative approach by collecting data on the field based on interviewing persons with psychosocial mental disability who perform coming out action on social media accounts."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna Avni Humaira
"ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif mengenai Arisan, sebuah group chat di platform pesan instan WhatsApp yang diusung sebagai ruang aman online yang dibuat oleh dan untuk para perempuan pecinta film di Indonesia. Melalui metode pengumpulan data observasi partisipan online dan offline serta wawancara tatap muka, penelitian ini berupaya mencari tahu bagaimana Arisan berperan dalam kehidupan para anggotanya yang menavigasi komunitas film Indonesia yang didominasi budaya patriarki. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Arisan memberikan para anggotanya kemampuan untuk mengekspresikan diri secara lebih bebas dibandingkan dengan ruang-ruang mayoritas laki-laki di komunitas film Indonesia. Ini disebabkan oleh rasa aman yang disediakan oleh Arisan serta adanya standpoint (seperangkat pengetahuan dan pengalaman) kolektif yaitu standpoint feminis yang dimiliki oleh para perempuan anggota Arisan. Arisan yang berperan sebagai sistem pendukung dapat mendorong para anggota perempuannya untuk lebih mampu menyirkulasi kontra wacana di dalam dan ke luar Arisan. Penelitian ini berargumentasi bahwa Arisan berpotensi untuk mendukung perkembangan counterpublic feminis di komunitas film Indonesia.

BSTRACT
This is a qualitative study on Arisan, a WhatsApp group chat that is constructed by its initiators as an online safe space made by and for Indonesian women film lovers. Through online and offline participation observation and interview data collection methods, this study aims to know the role Arisan plays within the lives of its members who are navigating the patriarchal Indonesian film community. Research findings show that Arisan offers its members a license to express themselves more freely compared to male majority spaces in the Indonesian film community. This is possible due to the sense of security that Arisan as a safe space provides and a collective feminist standpoint (set of knowledge and experiences) that the women of Arisan possess. Furthermore, this study argues that Arisan has the potential to help develop the feminist counterpublic in the Indonesian film community by helping its members circulate counterdiscourses within and outside a space that also acts as a support system."
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aria Atyanto Satwiko
"Riset ini mengkaji terbentuknya ruang aman digital bagi kaum muda dalam konteks pencarian layanan kesehatan mental secara daring. Ruang aman digital atau tempat tanpa diskriminasi, kritik, dan pelecehan bagi partisipannya, adalah fenomena sosial yang merespon kesehatan mental di berbagai negara termasuk Indonesia. Di Indonesia, kesehatan mental adalah hal yang tabu dan diberi stigma oleh masyarakat, hal ini menyebabkan orang dengan kesehatan mental memiliki praktik keseharian untuk membentuk dan memaknai ruang digital yang memfasilitasi wadah diskusi sejawat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami praktik dalam dan pemaknaan terhadap ruang aman digital yang memberikan perasaan nyaman ketika para penggunanya berinteraksi. Melalui wawancara mendalam serta diskusi kelompok fokus, penelitian ini berargumen bahwa praktik yang membentuk ruang aman digital adalah taktik dewasa muda Jakarta untuk bertahan hidup sehari-hari di tengah tabu dan stigma mengenai kesehatan mental. Menggunakan kerangka pemikiran de Certeau (1984), individu memiliki taktik dalam keseharian, salah satunya melalui bentuk kekuatan untuk meninggalkan atau menciptakan elemen spasial yang baru agar dapat bertahan hidup. Praktik ini melibatkan hubungan sosial setara dan mutual, yang menerapkan psikoterapi amatir sehingga membentuk pengalaman nyaman bagi kaum muda yang berpartisipasi dalam ruang aman digital.

This research examines the creation of a digital safe space for young people in the context of a bold search for mental health services. Digital safe space or a place without discrimination, criticism, and for its participants, is a social phenomenon that responds to mental health in various countries including Indonesia. In Indonesia, mental health is a taboo subject and stigmatized by society, this causes people with mental health to have daily practices to form and interpret digital spaces that facilitate peer discussion. This study aims to understand the internal practice and meaning of a digital safe space that provides a comfortable feeling when its users interact. Through in-depth interviews and focus group discussions, this research argues that the practices that make up a digital safe space are a tactic for young Jakartans to survive day-to-day in the midst of taboos and stigma about mental health. Using de Certeau's (1984) framework, individuals have tactics in their daily lives, one of which is through the power to leave or create new spatial elements in order to survive. This practice involves equal and mutual social relationships, applying amateur psychotherapy so that it is a comfortable experience for young people participating in digital safe spaces."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library