Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imelda Maria Loho
"Latar Belakang: Pada tahun 1998-1999, kesintasan pasien karsinoma hepatoselular (KHS) yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sangat rendah karena sebagian besar datang dalam stadium lanjut dan hanya sedikit pasien yang dapat memperoleh terapi paliatif atau kuratif. Dalam tiga tahun terakhir, RSCM telah memiliki fasilitas tatalaksana KHS yang lebih baik, namun dampaknya terhadap perbaikan kesintasan pasien KHS belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui perbandingan kesintasan satu tahun pasien KHS yang berobat di RSCM pada periode 2013-2014 dengan periode 1998-1999.
Metode: Data 114 pasien KHS yang berobat di RSCM pada periode 2013-2014 dan data sekunder penelitian 77 pasien KHS di RSCM pada tahun 1998-1999 dikumpulkan secara retrospektif lalu dilakukan penilaian karakteristik dan perbandingan kurva kesintasan dengan menggunakan metode Kaplan-Meier yang dilanjutkan dengan uji log-rank.
Hasil: Terdapat peningkatan hepatitis B sebagai etiologi KHS dari 32,5% pada 1998-1999 menjadi 67,5% pada 2013-2014. Insidens pasien yang meninggal selama pengamatan adalah 57% (95% interval kepercayaan (IK) = 48-66%) pada periode 2013-2014 dan 61% (95% IK = 49-73%) pada periode 1998-1999. Median kesintasan secara keseluruhan adalah 141 hari. Meskipun terdapat perbaikan dalam fasilitas tatalaksana KHS, angka kesintasan satu tahun pada kedua periode tidak berbeda secara signifikan (29,4% pada 2013-2014 dan 24,1% pada 1998-1999, p=0,913). Hal ini tampaknya disebabkan karena surveilans KHS pada populasi risiko tinggi masih rendah.
Simpulan: Tidak ada perbedaan kesintasan satu tahun pasien KHS pada periode 2013-2014 dengan periode 1998-1999.

Background: In 1998-1999, the survival of hepatocellular carcinoma (HCC) patients in Cipto Mangunkusumo Hospital was very poor because most patients came in advanced stage and only few patients could receive palliative or curative treatment. In the last three years, Cipto Mangunkusumo Hospital has improved its facilities for HCC treatment. It is unclear whether this effort has resulted in improvement of patients? survival.
Objectives: To compare one-year survival rate of HCC patients between two periods (2013-2014 and 1998-1999).
Method: We analyzed retrospectively 114 HCC patients who came to our department in 2013-2014 and 77 patients in 1998-1999. We compare the clinical characteristics and treatment between two periods and then we analyze the survival of both groups using Kaplan-Meier method and compare them using log-rank test.
Results: There was an increase in hepatitis B prevalence as the etiology of HCC from 32,5% in 1998-1999 to 67,5% in 2013-2014, causing hepatitis B as the main etiology of HCC in 2013-2014. Incidence rate of patients who died in 2013-2014 was 57% (95% confidence interval (CI) = 48-66%) and in 1998-1999 was 61% (95% CI = 49-73%). Overall median survival was 141 days. Despite improvement in treatment facilities, no significant difference was found in one-year survival rate (29,4% in 2013-2014 versus 24,1% in 1998-1999, p=0,913). It seems that this result was caused by low level of surveillance in high-risk population.
Conclusion: No improvement was seen in one-year survival rate of HCC patients between 2013-2014 and 1998-1999.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Ardhi Syaiful
"ABSTRAK
Objektif: Pembedahan merupakan tatalaksana paliatif utama dari kanker periampular stadium lanjut, namun hal tersebut memiliki angka komplikasi postoperatif, rekurensi penyakit, dan mortalitas yang tinggi. Objektif dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor prognostik dan sintasan penyakit selama 1 tahun dari kanker periampular stadium lanjut pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini merupakan uji analisis sintas dengan desain kohort retrospektif. Data dikumpulkan dari pendaftaran per bulan dari Divisi Bedah Digestif dan rekam medis dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Januari 2015 hingga Desember 2017. Sintasan penyakit satu tahun dianalisis dengan metode Kaplan-Meier. Dilakukan analisis bivariat dan multivariat dari masing-masing variabel pada sintasan satu tahun pasien. Hasil: Sintasan penyakit selama 1 tahun dari pasien post-double bypass yaitu 19% dengan median (minimal-maksimal) sintasan yaitu 159 (2-365) hari. Berdasarkan perbandingan antarkelompok sintasan pasien, hemoglobin (p=0,013) dan klasifikasi ASA (p=0,001) memiliki estimasi sintasan yang bermakna secara statistik. Pada analisis multivariat, jenis kelamin (p=0,250, HR=3,910) dan nilai laboratorium preoperatif (albumin (p=0,350, HR=0,400), aspartat aminotransferase (AST) (p=0,13, HR=5,110) dan alanin aminotransferase (ALT) (p=0,280, HR=0,05)) berhubungan dengan sintasan. Kesimpulan: Sintasan selama 1 tahun pada pasien post-double bypass pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo rendah. Laju mortalitas satu bulan yang rendah mengindikasikan bahwa double bypass merupakan prosedur yang aman. Faktor prognostik yang berhubungan dengan sintasan yang rendah yaitu jenis kelamin perempuan dan nilai laboratorium preoperatif (albumin, AST, ALT).

ABSTRACT
Objective: Surgery is the main palliative treatment of advanced periampullary cancer, however it has high number of post-operative complication, disease recurrence and mortality. The objective of the current study was to examine prognostic factors and one year survival rate of advanced stage periampullary cancer in Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods: This is a survival analysis test study with retrospective cohort design. Data were collected from monthly registration of Digestive Surgery Division and medical records from Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2015 until December 2017. One year survival rate were analyzed with Kaplan-Meier method. Bivariate and multivariate analysis of each variable on one year survival of the patient were done. Result: One year survival rate of the post-double bypass patients is 19% with median (min-max) survival 159 (2-365) days. From the comparison of survival rate based patients grouping, hemoglobin (p=0.013) and ASA classification (p=0.001) have significant survival estimation statistically. In multivariate analysis, gender (p=0.250, HR=3.910) and preoperative laboratory values (albumin (p=0.350, HR=0.400), aspartate aminotransferase (AST) (p=0.13, HR=5.110) and alanine aminotransferase (ALT) (p=0.280, HR=0.05)) are associated with survival rate. Conclusion: One year survival rate of post double bypass patients in Cipto Mangunkusumo hospital is low. Low one month mortality rate indicates double bypass is a safe procedure. Prognostic factors that associated with lower survival are woman gender and preoperative laboratory value (albumin, AST, ALT)."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Pendahuluan. Gagal jantung merupakan penyakit kronik dengan angka perawatan ulang satu tahun yang tinggi. Program Multidisiplin (multidisciplinary program, MDP) yang melibatkan tenaga medis dan nonmedis termasuk dokter kardiologi, dokter bedah jantung, dokter rehabilitasi medik, dokter gizi klinik, perawat dan fisioterapis mampu menurunkan angka perawatan ulang satu tahun sebesar 74%. Klinik Gagal Jantung Instalasi Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM yang mengusung penerapan MDP telah berdiri sejak bulan Nopember 2018, tetapi belum ada data yang tersedia mengenai pengaruh MDP pada angka perawatan ulang pasien gagal jantung kronik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan MDP terhadap penurunan angka perawatan ulang satu tahun pasien gagal jantung kronik di RSCM. Metode. Penelitian menggunakan desain studi kohort retrospektif yang menggunakan data sekunder pasien gagal jantung kronik kelas NYHA II-IV yang menjalani rawat jalan di poliklinik PJT RSCM tahun 2017 dan 2019. Pasien diikuti hingga satu tahun pasca kontrol pertama untuk dinilai apakah mengalami perawatan ulang di rumah sakit. Dilakukan analisis bivariat untuk melihat pengaruh dari MDP terhadap angka perawatan ulang rumah sakit satu tahun dan analisis multivariat untuk menilai apakah pengaruh tersebut dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, kelas fungsional NYHA, komorbid, kepatuhan berobat, obesitas, anemia dan pembiayaan. Hasil. Dari 133 subjek penelitian, sebagian besar subjek adalah laki-laki dengan median usia adalah 57 tahun. Angka perawatan ulang satu tahun sebelum penerapan MDP adalah 47,54%, sedangkan sesudah MDP adalah 38,89%, dengan penurunan angka perawatan ulang satu tahun pada kelompok yang sudah menjalani MDP sebesar 8,65% dan NNT 12. Dibandingkan dengan kelompok yang belum MDP, terjadi penurunan risiko perawatan ulang satu tahun pada kelompok yang sudah menjalani MDP sebesar 18,2%. Tidak didapatkan pengaruh yang bermakna secara statitistik antara MDP dan angka perawatan ulang satu tahun dengan nilai RR 0,818 (IK95%: 0,553 – 1,210, p=0,315). Faktor usia, jenis kelamin, kelas NYHA, komorbid, obesitas, anemia, kepatuhan, dan pembiayaan tidak menjadi faktor perancu pengaruh program MDP terhadap angka perawatan ulang satu tahun pasien gagal jantung kronik di RSCM. Kesimpulan. Penerapan program multidisiplin (MDP) menyebabkan penurunan risiko perawatan ulang satu tahun pasien gagal jantung kronik di RSCM sebesar 18,2%, namun diperlukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar untuk meningkatkan kekuatan statistik.

Introduction. Heart failure is a chronic disease with high readmission rate. The multidisciplinary program (MDP), involving medical and non-medical personnel including cardiologists, cardiac surgeons, cardiac rehabilitation doctors, clinical nutritionists, nurses and physiotherapists is known to reduce the one-year readmission rate by 74%. The Heart Failure Clinic in PJT RSCM has implemented MDP since November 2018, but there is no data available regarding the effect of MDP on the readmission rate of chronic heart failure patients. This study aims to determine the effect of MDP on reduction of the one-year readmission rate of chronic heart failure patients in RSCM. Method. This retrospective cohort study is conducted using medical record from NYHA class II-IV chronic heart failure patients undergoing outpatient care in RSCM Polyclinic in year 2017 and 2019. Patients were followed up in one year after the first control to assess whether they experienced readmission or not. Bivariate analysis was performed to analyze the impact of MDP on the incidence of one-year hospital readmission and multivariate analysis to assess whether the impact was influenced by age, sex, NYHA functional class, comorbidities, medication adherence, obesity, anemia and funding. Results. Of the 133 research subjects, most were male with a median age 57 age years old. The readmission rate before MDP was 47.54%, while after MDP it was 38.89%, with absolute reduction on incidence of 8,65%. Compare to subjects before MDP, subjects whose had MDP has a reduction of one-year readmission risk of 18,2% and NNT of 12. There is no statistically significance of MDP regards to one-year readmission rate of chronic heart failure patients in RSCM with RR value of 0.818 (IK95: 0.553 – 1.210, p=0.315). Age, gender, NYHA class, comorbidities, obesity, anemia, adherence, and funding were not as confounding factors for the effect of the MDP program on one-year readmssion of chronic heart failure patients in RSCM. Conclusion. The multidisciplinary program (MDP) reduced risk of one-year readmission of chronic heart failure by 18.2%, however further studies with larger samples are needed to improve statistical power."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Chandra Kirana Sugianto
"Latar Belakang: Kanker paru merupakan salah satu jenis keganasan tersering penyebab kematian di dunia. Penelitian faktor-faktor prognostik pada Non-Small Cell Lung Carcinoma sangatlah penting karena berpotensi membawa kita kepada tatalaksana pasien yang lebih baik. CYFRA 21-1 dan CEA merupakan penanda tumor yang diketahui memiliki spesifisitas tinggi terhadap NSCLC dan dapat digunakan dalam memperkirakan prognosis. Meskipun demikian, belum ada studi yang mencari hubungan CYFRA 21-1 dan CEA terhadap kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di Indonesia dan saat ini belum ada nilai titik potong CYFRA 21-1 dan CEA yang terstandarisasi sebagai faktor prognostik.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar CEA dan CYFRA 21-1 awal dengan kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di RSCM dan menentukan titik potong CEA dan CYFRA 21-1 sebagai faktor prognostik.
Metodologi: Desain studi ini adalah kohort retrospektif terhadap 111 subjek penelitian dengan NSCLC stadium lanjut berusia >18 tahun yang terdiagnosa dari Januari 2012 hingga Mei 2018 dan telah diperiksakan CEA dan CYFRA 21-1 saat awal terdiagnosis. Karakteristik nilai CEA dan CYFRA 21-1 awal, status performa, jenis histologi, terapi dan stadium didokumentasikan secara lengkap dan diambil dari data Unit Rekam Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Studi ini menggunakan analisis kesintasan, cox proportional hazards dan log-rank test.
Hasil: Area under the curve (AUC) CEA didapatkan kurang dari 50% (AUC = 0,446) dan tidak bermakna, sebaliknya AUC CYFRA 21-1 cukup bermakna dalam analisis kesintasan ini dengan nilai AUC = 0,741 (0,636-0,847) dan p<0,001. Nilai titik potong CEA didapatkan sebesar >21,285 ng/mL, dengan sensitivitas 48,8% dan spesifisitas 48,3%. Sedangkan nilai titik potong CYFRA 21-1 didapatkan sebesar > 10,9 ng/mL dengan sensitivitas 69,5% dan spesifisitas 65,5%. Variabel-variabel yang memenuhi asumsi proportional hazard pada analisis ini adalah CYFRA 21-1, PS, jenis histologi kanker dan terapi. Nilai p>0,05 didapatkan baik pada kurva analisis CEA maupun stadium sehingga hasil tersebut tidak bermakna pada penelitian ini. CYFRA 21-1 >10,9 ng/mL memiliki HR 1,744 (HR = 1,744; p=0,028). PS dengan ECOG 3-4 memiliki HR 2,434 (HR=2,434;
p=0,026), NSCLC jenis non-adenokarsinoma memiliki HR 1,929 (HR=1,929;p=0,029), dan kelompok yang tidak dikemoterapi memiliki HR 2,633 (HR=2,633;p=0,015).
Kesimpulan: Nilai CEA awal yang tinggi tidak terbukti berhubungan dengan kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut, sebaliknya nilai CYFRA 21-1 awal yang tinggi terbukti dapat menjadi faktor prognostik yang signifikan terhadap kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di RSCM. Nilai titik potong CYFRA 21-1 sebagai faktor prognostik adalah sebesar >10,9 ng/mL.

Background: Lung cancer is one of the most common types of malignancy that causes death in the world. Research of prognostic factors in Non-Small Cell Lung Carcinoma is very important because it has the potential to lead us to better patient management going forward. CYFRA 21-1 and CEA are tumor markers that are known to have high specificity to NSCLC and can be used in estimating prognosis. However, there have been no studies looking for the association of CYFRA 21-1 and CEA with one-year survival of advanced stage NSCLC in Indonesia, and there is currently no cut-off value for CYFRA 21-1 and CEA as standardized prognostic factors.
Objective: This study aims to determine the association of initial CEA and CYFRA 21-1 levels with one-year survival NSCLC advanced stage in RSCM and determine the cut-off value of CEA and CYFRA 21-1 as a prognostic factor.
Methodology: The study design was a retrospective cohort of 111 subjects with advanced stage of NSCLC aged > 18 years who were diagnosed from January 2012 to May 2018 and had initial CEA and CYFRA 21-1 value before being treated. Characteristics of the initial CEA and CYFRA 21-1 values, performance status, type of histology, stage of the disease and therapy were fully documented and taken from the Medical Record Unit of Cipto Mangunkusumo General Hospital. This study used survival analysis, cox proportional hazards and log-rank tests.
Results: The CEA’s area under the curve (AUC) was found to be less than 50% (AUC = 0.446) and not significant, whereas AUC of CYFRA 21-1 was quite significant in this survival analysis with AUC = 0.741 (0.636-0.847) and p <0.001. CEA cut-off point were obtained > 21,285 ng / mL, with a sensitivity of 48.8% and specificity of 48.3%. While the CYFRA 21-1 cut point was > 10.9 ng / mL with a sensitivity of 69.5% and a specificity of 65.5%. The variables that meet the proportional hazard assumption in this analysis are CYFRA 21-1, PS, the cancer histology and therapy. A p value > 0.05 was obtained both on the CEA and the stage analysis curve so that the results were not significant in this study. CYFRA 21-1 > 10.9 ng / mL has HR 1,744 (HR = 1,744; p=0,028), PS with ECOG 3-4
had HR 2,434 (HR=2,434; p=0,026), NSCLC non-adenocarcinoma type had HR 1,929 (HR=1,929;p=0,029), and non-chemotherapy group had HR 2,633 (HR=2,633;p=0,015).
Conclusion: A high initial CEA value was not proven to be associated with one-year survival of advanced stage NSCLC, whereas conversely a high initial CYFRA 21-1 value was shown to be a significant prognostic factor for one-year survival of advanced stage NSCLC in RSCM. The cut-off point of CYFRA 21-1 as a prognostic factor is > 10.9 ng
/mL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58950
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miftahul Ulum
"Ayda merupakan salah satu alat dalam penyelesaian kredit macet yang dapat digunakan oleh Bank. Namun dalam aturan pelaksanaannya terdapat peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya sehingga mengakibatkan penerapan hukum bagi Bank apabila memilih cara tersebut. Dalam undang-undang perbankan Bank hanya bertindak sebagai pembeli sementara sehingga Bank dilarang memiliki Ayda dan secepat-cepatnya harus dijual kembali dalam jangka waktu satu tahun agar hasil penjualan Ayda dapat segera dimanfaatkan oleh Bank , namun Ayda dalam peraturan lelang dan peraturan pendaftaran tanah menetapkan Bank sebagai pembeli tetap Ayda yang memiliki konsekuensi yang ditetapkannya Bank sebagai pemilik Ayda apabila dalam jangka waktu satu tidak dapat menunjuk pihak lain sebagai pembeli Ayda. Ketidakpastian hukum melewati pengaturan pelaksanaa n Ayda setelah jangka waktu satu tahun tersebut berdampak kepada yang diwajibkannya Bank melakukan pembentukan penyisihan penilaian kualitas aset dari nilai Ayda sebagai aset non produktif dan juga berdampak pada besarnya biaya dan pajak yang harus ditanggung oleh Bank

Ayda merupakan salah satu instrumen dalam penyelesaian kredit macet yang dapat digunakan oleh Bank. Namun dalam peraturan pelaksanaannya terdapat peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Bank dalam memilih cara tersebut. Dalam hukum perbankan Bank hanya bertindak sebagai pembeli sementara sehingga Bank dilarang memiliki Ayda dan harus segera dijual kembali dalam waktu satu tahun agar hasil penjualan Ayda dapat segera dimanfaatkan oleh Bank, namun Ayda dalam peraturan lelang dan peraturan pendaftaran tanah menetapkan Bank sebagai pembeli tetap Ayda yang konsekuensinya ditetapkan oleh Bank sebagai pemilik Ayda jika dalam jangka waktu tertentu tidak dapat menunjuk pihak lain sebagai pembeli Ayda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfie
"Latar Belakang. Pasien dengan karsinoma sel hati (KSH) umumnya baru datang berobat ketika kanker sudah mencapai tahap lanjut, dengan pilihan terapi sangat terbatas. Belum diperoleh adanya marker prediktor yang akurat untuk dapat mengindentifikasi kelompok pasien mana yang dapat diuntungkan bila pasien diterapi.
Tujuan. Menganalisis peran indeks status inflamasi sebagai prediktor kesintasan satu tahun pada pasien karsinoma hepatoselular tahap lanjut yang tidak menjalani terapi.
Metode. Penelitian ini memiliki desain kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder pada subjek dengan KSH tahap lanjut yang tidak menjalani terapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais. Rasio neutrofil limfosit (RNL) dan Indeks imun-inflamasi sistemik (IIS) dievaluasi kemampuan diskriminasinya sebagai prediktor kesintasan satu tahun berdasarkan Area Under Receiving Operator Curve (AUROC). Ditentukan titik potong optimal terbaik untuk RNL dan IIS berdasarkan indeks Youden, dilanjutkan dengan analisis kesintasan berdasarkan titik potong optimal. Variabel perancu dianalisis menggunakan analisis multivariat cox regression.
Hasil. Sebanyak 196 subjek dimasukkan ke dalam analisis data. Kesintasan satu tahun adalah sebesar 6,6% (SE±2%), dengan median kesintasan 56 hari (IK 95% 46-67). RNL memiliki kemampuan diskriminasi berdasarkan AUROC terhadap prediksi kesintasan hidup satu tahun pada pasien dengan KSH tahap lanjut yang tidak menjalani terapi sebesar 0,667 (IK 95% = 0,536-0,798, p = 0,044), dengan titik potong optimal RNL untuk membedakan kesintasan adalah 3,7513. IIS memiliki kemampuan diskriminasi berdasarkan AUROC sebesar 0,766 (IK 95% = 0,643-0,889, p = 0,001), dengan titik potong optimal untuk membedakan kesintasan adalah 954,4782. IIS memiliki superioritas dalam kemampuan diskriminasi berdasarkan AUROC (p = 0,0415).
Kesimpulan. Kemampuan diskriminasi IIS berdasarkan AUROC lebih baik dibandingkan dengan RNL dalam memprediksi kesintasan hidup satu tahun pada pasien dengan KSH tahap lanjut yang tidak menjalani terapi.

Background. Patients with hepatocellular carcinoma (HCC) generally only come for treatment when the cancer has reached an advanced stage, with very limited treatment options. There has not been an accurate predictor marker to be able to identify which group of patients can benefit if the patient is treated.
Aim. Analyzing the role of the inflammation status index as a predictor of one-year survival in patients with advanced hepatocellular carcinoma who did not undergo therapy.
Method. This study has a retrospective cohort design using secondary data on subjects with advanced HCC who did not undergo therapy at Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais Cancer Hospital. Neutrophil lymphocyte ratio (NLR) and systemic immune-inflammation index (SII) were evaluated for their role as predictors of one-year survival based on Area Under Receiving Operator Curve (AUROC). Best optimal cutoff for NLR and SII were decided based on Youden index, resumed by survival analysis based on those cutoffs. Confounding factors were analyzed with multivariate cox regression analysis.
Results. A total of 196 subjects were included in the data analysis. One year survival was 6.6% (SE±2%), with a median survival of 56 days (95% CI 46-67). The NLR had a discriminatory ability based on AUROC to predict one-year survival in patients with advanced HCC who did not undergo therapy of 0.667 (95% CI = 0.536-0.798, p = 0.044), with the optimal cut-off point for NLR to differentiate survival was 3.7513. SII has a discriminatory ability based on AUROC of 0.766 (95% CI = 0.643-0.889, p = 0.001), with the optimal cut-off point to distinguish survival is 954.4782. SII had superiority in the discriminatory ability (p = 0.0415).
Conclusion. The discriminatory ability based on AUROC of SII was better than that of NLR in predicting one-year survival in patients with advanced HCC who did not undergo therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Dian Anggraeni
"Penyakit HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Masalah yang berkembang adalah karena angka morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi, disebabkan antara lain karena keterlambatan mendapatkan pengobatan Anti Retroviral (ARV). Di Indonesia pengobatan ARV umumnya dimulai bila jumlah sel CD4 < 200 sel/mm3 atau bila stadium klinis 3 atau 4. Informasi tentang pengaruh jumlah sel CD4 sebelum pengobatan ARV terhadap ketahanan hidup satu tahun pasien HIV/AIDS berdasarkan kelompok kategori <50 sel/mm3, 50-<200 sel/mm3 dan > 200 sel/mm3, saat ini belum tersedia di Indonesia. Untuk mengetahuinya, maka dilakukan penelitian ini.
Desain penelitian kohort retrospektif, dilakukan pengamatan terhadap kematian pada populasi dinamis selama satu tahun (366 hari), dari Januari 2005 hingga Januari 2010. Subjek penelitian 158 pasien HIV/AIDS berusia > 15 tahun, naïve dan mendapat regimen ARV lini pertama di RSPI Prof.DR.Sulianti Saroso pada tahun 2005-2010. Prosedur analisis ketahanan hidup menggunakan metode Kaplan-Meier (product limit), analisis bivariat dengan Log rank test (Mantel cox) dan analisis multivariat dengan cox regression / cox proportional hazard model.
Penelitian ini mendapatkan probabilitas ketahanan hidup keseluruhan satu tahun pasien HIV/AIDS dengan pengobatan regimen ARV lini pertama adalah 0,86 (CI 95% 0,79-0,91). Incident rate kematian (Hazard rate) kelompok jumlah sel CD4 <50 sel/mm3 adalah 8/10.000 orang hari (29/100 orang tahun), kelompok jumlah sel CD4 50-<200 sel/mm3 adalah 3/10.000 orang hari (11/100 orang tahun) dan kelompok jumlah sel CD4 > 200 sel/mm3 adalah 2/10.000 orang hari (7/100 orang tahun). Hazard Ratio(HR)-adjusted kelompok jumlah sel CD4 <50 sel/mm3 terhadap kelompok jumlah sel CD4 > 200 sel/mm3 adalah 3,4 (p= 0,058 ; CI 95% : 0,96-12,16), HR-adjusted kelompok jumlah sel CD4 50-<200 sel/mm3 terhadap kelompok jumlah CD4 > 200 sel/mm3 adalah 1,7 (p= 0,48 ; CI 95% : 0,4-7.04). HR-adjusted pasien dengan TB 3,57 kali terhadap pasien tanpa TB (p=0,015 ; CI 95% : 1,27-9,99). Jumlah sel CD4 sebelum pengobatan ARV tidak mempunyai pengaruh secara statistik terhadap ketahanan hidup satu tahun pasien HIV/AIDS yang mendapat regimen ARV lini pertama. Namun penelitian mendapatkan penyakit Tuberkulosis (TB) mempunyai pengaruh secara statistik terhadap ketahanan hidup satu tahun pasien HIV/AIDS yang mendapat regimen ARV lini pertama.

HIV/AIDS disease is one of public health concerns in Indonesia. The growing issues related to high morbidity and mortality rate. This is due to such as lately initiated of Antiretroviral (ARV) therapy. In Indonesia ARV therapy is begun when the CD4 cell counts dropped below 200 cell/mm3 or if clinical stadium fall into 3rd or 4th. Nowadays in Indonesia, Information about the influenced of baseline CD4 cell count to one year survival among patient HIV/AIDS with first line ARV regimen therapy, base on strata <50 cell/mm3, 50- <200 cell/mm3 and > 200 cell/mm3 was not available, therefore this research will be conducted.
Study design was retrospective cohort, with one year (366 days) duration of observation to death, in dynamic population from January 2005 to January 2010. The subjects of study were 158 HIV/AIDS patients, with inclusion criteria: > 15 years old, naïve, and were treated by first line ARV regimen at RSPI Prof.DR. Sulianti Saroso in year 2005-2010. The procedures of survival analysis used Kaplan-Meier method (product limit), and Log rank test (Mantel cox) for bivariate analysis and cox regression / cox proportional hazard model for multivariat analysis.
The overall of one year survival probability in HIV/AIDS patients with first line ARV regimen therapy was 0,86 (CI 95% 0,79-0,91). Incident rate of death (Hazard rate) in CD4 <50 cell/mm3 group was 8/10.000 persons days (29/100 persons years), in CD4 50-<200 cell/mm3 group was 3/10.000 persons days (11/100 persons years) and in CD4 > 200 cell/mm3 group was 2/10.000 persons days (7/100 persons years).
The Hazard Ratio(HR)-adjusted CD4 <50 cell/mm3 patients compared to CD4 > 200 cell/mm3 patients was 3,4 (p= 0,058 ; CI 95% : 0,96-12,16), the HR-adjusted CD4 50-<200 cell/mm3 patients compared to CD4 > 200 cell/mm3 patients was 1,7 (p= 0,479 ; CI 95% : 0,4-7.04). HRadjusted tuberculosis patients was 3,57 time more risk to death than patients without tuberculosis (p=0,015 ; CI 95% : 1,27-9,99).
This study found that the baseline CD4 cell counts have not significant statistical associated to one year survival of HIV/AIDS patients with first line ARV regimen therapy, after has controlled to other independent variables. But this study found that tuberculosis has significant statistical association to one year survival of HIV/AIDS patients who received first line ARV regimen therapy.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2011
T28437
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library