Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Bayu Agung Alamsyah
Abstrak :
Latar Belakang: Chronic limb threatening ischemia (CLTI) merupakan bentuk paling parah dari peripheral arterial disease (PAD). Sebanyak 25% pasien CLTI memiliki risiko amputasi tungkai mayor dan 25% lainnya akan meninggal karena penyakit kardiovaskular dalam 1 tahun. Risiko amputasi ini dapat diprediksi menggunakan sistem skoring Wound, Ischemia, and foot Infection (WIfI). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil amputasi menggunakan skor Wound, Ischemia, foot Infection pada subjek chronic limb threatening ischemia di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Metode: Pengambilan data retrospektif dari data registrasi divisi bedah vaskular dan rekam medis pada subjek dengan CLTI di RSCM berupa profil subjek, skor WIfI, dan status amputasi mayor dalam 1 tahun pasca diagnosis CLTI ditegakkan. Data selanjutnya dimasukkan ke program SPSS, dan dilakukan analisa data. Hasil analisa lalu dipaparkan dalam bentuk narasi dan tabel. Hasil: Pada penelitian ini usia rerata subjek adalah 58,1 ± 12,9 tahun dengan predominasi jenis kelamin laki-laki (58,3%). Komorbid pada subjek dari yang tersering adalah diabetes (82,1%), hipertensi (67,9%), gagal ginjal kronis (51,3%), dan penyakit jantung (33%). Derajat skor WIfI dengan derajat sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi secara berurutan adalah 6,4%, 9,6%, 35,9%, dan 48,1%. Angka amputasi mayor yang sesungguhnya pada subjek CLTI di RSCM untuk skor WIfI derajat sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi adalah 5%, 7%, 35%, dan 70%, sedangkan pada kepustakaan adalah 3%, 8%, 25%, dan 50%. ......Background: Chronic limb threatening ischemia (CLTI) is the most severe form of peripheral arterial disease (PAD). As many as 25% of CLTI patients have a risk of major limb amputations and 25% will die due to cardiovascular event within 1 year. The risk of this major amputation can be predicted using the Wound, Ischemia, and foot Infection (WIfI) scoring system. This study aims to compare the amputation profile using Wound, Ischemia, foot Infection scores in chronic limb threatening ischemia patients at the RSCM. Methods: Retrospective data collection from registry in vascular surgery division and medical records for patients with CLTI in RSCM were take, that is a patient profile, the comorbid disease, WIfI score, and the patient's major amputation status within 1 year after diagnosis of CLTI was established. The data then inputed to the SPSS program, and data analysis is performed. The results of the analysis are then presented in the form of narratives and tables. Result: The mean age of the subjects in this study was 58,1 ± 12,9 years with male as gender predominance (58,3%). The comorbids in the subjects were diabetes (82,1%), hypertension (67,9%), chronic kidney failure (51,3%), heart disease (33%). The WIfI scores with very low, low, medium, and high degrees are 6,4%, 9,6%, 35,9%, and 48,1% respectively. The major amputation rates in for WIfI scores with very low, low, medium, and high degrees are 5%, 7%, 35%, and 70%, while in the literature are 3%, 8%, 25%, and 50%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58708
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
Abstrak :
Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES. Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS. Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis. Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik. Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.
Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients. Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS. Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records. Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value. Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmasari Chumairah
Abstrak :
Latar belakang: Infeksi COVID-19 pertama kali terjadi di Wuhan, China pada 19 Desember 2019 hingga ditetapkan sebagai pandemik global oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. Di Indonesia kasus pertama yang terkonfirmasi ditemukan pada tanggal 2 Maret 2020 dan sejak saat itu kasus COVID-19 semakin meningkat hingga mencapai 2.983.830 pada 21 Juli 2021. Pada kondisi melonjaknya kasus COVID-19 di dunia khususnya Indonesia telah menjadikan modalitas radiografi toraks sebagai salah satu penunjang diagnosis maupun sebagai parameter perkembangan kondisi klinis pasien. Negara Italia dan Inggris menggunakan radiografi toraks sebagai lini pertama di triage untuk penentuan tatalaksana awal, karena pemeriksaan RT-PCR memakan waktu cukup lama. Selain itu, pasien kritis yang tidak dapat dimobilisasi untuk pemeriksaan CT scan toraks dipilih untuk dilakukan pemeriksaan radiografi toraks menggunakan portable X-ray. Kondisi tersebut membuat negara Italia mengembangkan sistem skoring toraks Brixia untuk memantau perkembangan klinis pasien yang dirawat di rumah sakit. Karena sistem skoring toraks Brixia belum pernah digunakan sebagai prediktor untuk memperkirakan perjalanan penyakit pada pasien COVID-19, maka penelitian ini akan menilai skoring tersebut sebagai prediktor perkembangan klinis pasien COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol menggunakan 48 data sekunder berupa sistem skoring toraks Brixia dari radiografi toraks yang diambil dari Picture archiving and communication system (PACS), serta data klinis dalam jangka waktu dua minggu pertama berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya pada pasien COVID-19 terkonfirmasi di RSCM periode Maret 2020 – Juli 2021. Hasil: Rerata skoring toraks brixia antara kelompok klinis perburukan dan perbaikan tidak bermakna signifikan (p > 0,05), sehingga tidak dapat menilai titik potong skoring toraks Brixia. Namun didapatkan perbedaan rerata yang signifikan (p < 0,05) antara skoring toraks Brixia dengan kondisi akhir klinis hidup dan meninggal, yaitu didapatkan rentang skor di awal perawatan 7,8 – 16,6 dapat mengarah ke kondisi klinis kritis bahkan kematian di akhir perawatan. Selain itu juga didapatkan perbedaan rerata (p < 0,05) antara interval onset gejala dengan kelompok gejala klinis perburukan dan perbaikan pada pasien COVID-19. Kesimpulan: Sistem skoring toraks Brixia tidak dapat dijadikan prediktor dalam menentukan perkembangan klinis perburukan atau perbaikan pada pasien COVID-19, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai parameter tunggal dalam tatalaksana pasien. Namun secara tidak langsung skoring ini dapat memprediksi kondisi akhir ke arah hidup atau meninggal dikaitkan juga dengan interval onset gejala. Hal ini terjadi karena kondisi klinis perburukan maupun perbaikan disebabkan oleh proses perjalanan penyakit yang masih berlangsung sesuai onset gejala, serta daya imunitas individu yang bervariasi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Jayadi Utama
Abstrak :
Introduction: The most common cause of the peripheral arterial disease (PAD) is atherosclerosis. PAD is associated with other atherosclerotic diseases such as renal artery stenosis (RAS). Life expectancy decreases in patients with RAS, especially those whose stenosis is above 60% but has not reached the stage of chronic kidney failure. This study aims to determine the prevalence of RAS in PAD patients, the relationship between angiographic scoring system (ANGIO Score), history of hypertension, and diabetes mellitus with the degree of RAS. Method: This research was a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital from February to May 2019. Patients with a diagnosis of lower extremity PAD and had been assessed with CT angiography examination, were included in this study. The degree of RAS and ANGIO Score were calculated. Sampling was done by the total sampling method. Results Most patients were women 33 (50.8%), while men were 32 (49.2%). 90.8% of the patients had diabetes, while 61.5% of the sample had hypertension. Grade 1 RAS was the most found. There was no correlation between ANGIO Score on age, sex, and diabetes mellitus, but there was a significant relationship with hypertension. There was a relationship between RAS with age and hypertension, but there was no relationship with diabetes mellitus and gender. ANGIO Score and RAS had a significant relationship (p <0.001). Conclusion: There was a relationship between the ANGIO Score and the severity of RAS. The cut-off score of 9 for the ANGIO Score had a sensitivity of 85.7% and a specificity of 61.4% for predicting RAS.
Jakarta: PESBEVI, 2020
616 JINASVS 1:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Weirna Winantiningtyas
Abstrak :
Latar Belakang: Stratifikasi risiko dan prediksi prognosis pasien yang menjalani perawatan di Unit Perawatan intensif (UPI) merupakan hal yang penting dalam tatalaksana pasien UPI. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) merupakan sistem penilaian disfungsi organ yang mencatat skor penilaian hanya dari kondisi fisiologis pasien. LODS dikembangkan untuk stratifikasi tingkat keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien di unit perawatan intensif (UPI). Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesahihan penilaian LODS dalam memprediksi mortalitas pasien-pasien yang dirawat di UPI RSCM. Metode: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien yang dirawat di UPI RSCM Januari-Desember 2017. Dilakukan pencatatan skor LODS hari pertama perawatan UPI, selanjutnya dinilai kondisi pasien 30 hari, apakah pasien meninggal atau bertahan hidup. Prediksi mortalitas penilaian LODS didapat melalui regresi logistik sederhana. Kemampuan prediksi mortalitas LODS dilakukan dengan analisis diskriminasi dengan ROC untuk mencari nilai AUC, dan ketepatan prediksi mortalitas dilakukan dengan analisis kalibrasi uji goodness of fit Hosmer Lemeshow. Dilakukan analisis bivariat dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan persamaan regresi logistik berganda untuk melihat variabel yang paling bermakna dalam prediksi mortalitas. Hasil: Dari 498 subjek yang dirawat di UPI RSCM, mayoritas pasien merupakan kasus bedah elektif, didapatkan LODS mempunyai nilai diskriminasi dan kalibrasi yang baik dengan AUC= 0,81 (IK95% 0,74-0,87) dan hasil uji Hosmer-Lemeshow kalibrasi p=0,94. Nilai titik potong ditetapkan pada nilai LODS=3, dimana sensitivitas 80,8%, spesifisitas 63,2%, PPV 20,4%, NPV 96,6%, likelihood ratio positif 2,2 dan likelihood ratio negatif 0,3. Variabel LODS yang secara statistik mempunyai pengaruh kuat terhadap mortalitas 30 hari adalah penggunaan ventilasi mekanik dan rasio PaO2/FiO2, kreatinin dan bilirubin, dengan rumus model akhir regresi logistik y= -3,877 + (3,339 x PaO2/FiO2 <150) + (2,226 x kreatinin 1,2-1,59mg/dL) + ( 1,384 x bilirubin >2 mg/dL) + (1,369 x PaO2/FiO2 >150) + (1,33 x kreatinin <1,2mg/dL). Simpulan: Sistem penilaian LODS hari pertama sahih dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien di UPI RSCM.
Background : Risk stratification and prognosis prediction for ICU patients are essentials for medical management. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) is a scoring system which objectively evaluate ICU patients’ physiological condition and can be used to determine organ severity stratification and to predict mortality. Objective: This study was conducted to evaluate the validity of LODS in predicting mortality of ICU patients in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM), Jakarta. Methods : We retrospectively reviewed medical records of ICU patients who were admitted in January-December 2017. We calculated LODS score from the first 24-hour ICU admission, and we recorded the patients’ outcome (mortality) in 30 days. Mortality prediction was calculated from simple logistic regression. The LODS performance was analyzed with Receiver Operating Characteristics (ROC) to evaluate area under the curve (AUC) for discrimination analysis, and the precision was analyzed with Hosmer Lemeshow goodness of fit. We evaluated bivariate analysis and multivariate logistic regression to determine the most significant variable as mortality predictor. Results: The majority case from 498 subjects admitted in ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital were elective surgeries. LODS had a good discrimination and calibration, with AUC 0.81 (95% CI 0.74-0.87) and p = 0.94 with Hosmer Lemeshow goodness of fit test. Cut off LODS value was 3, with sensitivity 80.8%, specificity 63.2%, PPV 20.4%, NPV 96.6%, positive likelihood ratio 2.2, and negative likelihood ratio 0.3. Three variables were statististically significant in predicting 30 days mortality: mechanical ventilation and PaO2/FiO2, creatinine and bilirubin with final model equation y = -3,877 + (3,339 x PaO2/FiO2 <150) + (2,226 x kreatinin 1,2-1,59 mg/dL) + ( 1,384 x bilirubin >2 mg/dL) + (1,369 x PaO2/FiO2 >150) + (1,33 x kreatinin <1,2mg/dL). Conclusion: First day LODS score is valid in predicting 30 days mortality of ICU patients in RSCM
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58616
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nahum
Abstrak :
Latar Belakang. Atlet pelajar yang masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik serta psikologis yang belum matang rentan mengalami cedera olahraga. Landing Error Scoring System (LESS) merupakan salah satu alat skrining menilai risiko cedera dengan menilai kesalahan gerakan melompat dan mendarat seseorang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan bukti ilmiah mengenai peran LESS dalam hubungannya dengan cedera ekstremitas bawah. Metode. Penelitian ini menggunakan studi potong lintang yang melibatkan delapan puluh tujuh atlet dari enam cabang olahraga di pusat pelatihan olahraga pelajar (PPOP) DKI Jakarta. Subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan gerakan fungsional mendarat dan melompat dengan LESS. Subjek akan dipantau untuk mengetahui ada tidak cedera ekstremitas bawah yang dialami dalam 3 bulan pasca pemeriksaan. Selain hasil LESS, jenis kelamin, riwayat cedera sebelumnya dalam enam bulan terakhir dan postur tubuh juga akan dianalisa hubungannya dengan cedera ekstremitas bawah dengan menggunakan perangkat lunak SPSS v.20.0. Hasil. Rata-rata subjek berusia 16 tahun dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan (60,9%). Hasil LESS, jenis kelamin dan postur tubuh tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan dengan cedera ekstremitas bawah (p > 0,05). Riwayat cedera sebelumnya dan lama berlatih kurang dari lima tahun memiliki hubungan yang signifikan terhadap cedera ekstremitas bawah (p <0,01 dan p < 0,05). Kesimpulan. Penggunaan LESS untuk menilai risiko cedera ekstremitas bawah pada atlet PPOP DKI perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Oleh karena cedera ekstremitas bawah dapat disebabkan karena adanya faktor risiko lain seperti riwayat cedera sebelumnya dan lama berlatih, maka dalam pemeriksaan pre partisipasi atlet diperlukan pemeriksaan faktor risiko cedera yang lebih mendalam. ......Background, Student athletes who are still experiencing growth in physical and psychological immature development prone to get sports injuries. Landing Error Scoring System (LESS) is a screening tool to assess the risk of injury to assess error movement of jump and landing. Objective. The purpose of this study was to find the scientific evidence regarding the role of LESS in relation with lower limb injuries. Method. This cross-sectional study involving eighty-seven participants from six sports division at the Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar (PPOP) DKI Jakarta. The participants performed history taking, physical examination, and functional movement screening using LESS examination. Participants will be monitored to determine lower extremity injuries event during three months followup. In addition to the results of LESS, gender, history of previous injuries in the last six months and body posture alignment will also be analyzed in conjunction with lower extremity injuries by using SPSS v.20.0 software. Results. The average of 16-year-old participants with boys more than girls (60.9%). LESS result, gender and body posture alignment did not show significant association with lower extremity injuries (p> 0.05). History of previous injuries in last six months and duration of training less than five years had a significant relationship with lower extremity injuries (p <0.01 and p <0.05). Conclusion. The application of LESS test for assessing the risk of lower extremity injuries in athletes PPOP need to do further research. Because of lower extremity injuries may be due to other risk factors such as a history of previous injuries and duration of training, the deeper preparticipation examination on athtletes for injury risk factor screening is needed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fany Oktarina
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Banyaknya pasien yang masuk ke Instalasi Gawat Darurat dengan spektrum penyakit serta derajat berat penyakit yang bervariasi, menimbulkan kesulitan bagi para dokter melakukan penilaian cepat berdasarkan data subjektif saja. Sistem skor Worthing Physiological Scoring System dapat digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien non bedah karena menggunakan variabel-variabel yang mudah dan cepat diperoleh, sehingga lebih praktis dalam penggunaannya Oleh karena terdapat perbedaan karakteristik populasi pasien, maka perlu dilakukan validasi untuk mengetahui performa Worthing Physiological Scoring System tersebut

Tujuan: Menilai performa kalibrasi dan diskriminasi WPS dalam memprediksi mortalitas pasien non bedah selama di IGD Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada populasi pasien non bedah yang masuk ke IGD RSCM dari bulan Oktober sampai November 2012. Variabel yang diukur adalah frekuensi pernapasan, denyut jantung, tekanan darah sistolik, suhu tubuh, saturasi oksigen perifer, dan tingkat kesadaran. Luaran yang dinilai adalah kondisi pasien (hidup atau meninggal) selama di IGD RSCM. Performa kalibrasi dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow. Performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve (AUC).

Hasil: Selama penelitian didapatkan 774 subjek memenuhi kriteria penerimaan dengan 78 (9,6%) subjek di antaranya meninggal. Uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan χ2 = 0,84 (p = 0,840). Nilai AUC 0,78 (IK 95% 0,723-0,847).

Simpulan: Worthing Physiological Scoring System memiliki performa yang baik dalam memprediksi mortalitas pasien non bedah yang masuk ke IGD RSCM.
ABSTRACT
Background: Patients referred to Emergency Room (ER) represent a broad spectrum of disease severity, led difficulties for a physicians to conduct rapid assessments based on subjective data only.

Worthing Physiological Scoring System could be use to predict mortality in non-surgical patients using variables which are obtained easily and rapidly, making it more practical in use. Because there are differences in the characteristics of the patient population, Worthing Physiological Scoring System should be validated.

Objectives: The aim of this study was to assess the performance of Worthing Physiological Scoring System in predicting mortality of non-surgical ER in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM).

Methods: This was a retrospective cohort study. We collected data of non-surgical patients who admitted ER during October to November 2012. The variables measured were respiratory rate, heart rate, systolic blood pressure, body temperature, peripheral oxygen saturation, and level of consciousness. The primary outcomes was death in ER RSCM. Hosmer-Lemeshow test were used to evaluate calibration of Worthing Physiological Scoring System. Discrimination was evaluated with area under the curve (AUC).

Result: A total of 774 non surgical patients were included in this study, from the patients, 78 (9.6%) subjects died. Calibration was resulted by Hosmer-Lemeshow test showed χ2 = 0.84 (p = 0.840). The AUC was 0.78 (95% CI 0.723 to 0.847).

Conclusion: Worthing Physiological Scoring System had a good performance in predicting mortality of non-surgical patients in ED RSCM.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Dwi Bralianti
Abstrak :
Latar Belakang : Penggunaan ventilator berkepanjangan pasien pascabedah pintas koroner dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan pascabedah. Skor Spivack yang meliputi riwayat diabetes, unstable angina, gagal jantung kronik, merokok dan fraksi ejeksi merupakan skor sederhana untuk memprediksi penggunaan ventilator berkepanjangan pasien pascabedah pintas koroner. Tujuan : Menilai performa kalibrasi dan diskriminasi skor Spivack dalam memprediksi penggunaan ventilator berkepanjangan pasien pascabedah jantung di RSCM. Metode : Sebanyak 317 subjek diikuti secara retrospektif untuk dinilai skor Spivack dan diikuti selama 2 hari untuk dilihat penggunaan ventilator berkepanjangan. Performa kalibrasi dan diskriminasi dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow dan area under the curve AUC dengan Spesifitas, sensitifitas, NPV dan PPV. Hasil Penelitian : Penggunaan ventilator berkepanjangan terdapat sebanyak 51 subjek 16,1 . Performa kalibrasi skor Spivack dengan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p=0,695 dan plot kalibrasi menunjukkan koefisien korelasi r= 0,792. Performa diskriminasi skor Spivack ditunjukkan dengan nilai AUC sebesar 0,646 IK95 0,564; 0,728 dengan spesifitas 42, sensitifitas 74, NPV 0,90 dan PPV 0,20. Simpulan : Skor Spivack memiliki kalibrasi yang baik dan diskriminasi yang lemah dalam memprediksi penggunaan ventilator berkepanjangan pasien bedah jantung pintas koroner. ...... Background : PMV after CABG surgery increases the risk of morbidity, mortality and hospital cost. Spivack score that includes history of diabetes, unstable angina, smoking, congestive heart failure and ejection fraction is a simple score to predict PMV following CABG surgery. Objective : To assess the performance of calibration and discrimination of Spivack score in predicting PMV following CABG surgery in Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods : A total of 317 patients undergoing CABG surgery were reviewd retrospectively and evaluated for Spivack score. The subjects were followed up for up to 2 days postoperatively to predict PMV. Calibration properties were assessed by Hosmer Lemeshow test and Discrimination properties were assessed by the area under the curve AUC with sensitivity, specifity, positive predictive value PPV, and negative predictive value NPV. Results : PMV following CABG surgery was observed in 51 subjects 16,1. Hosmer Lemeshow test of Spivack score showed p 0.695 and calibration plot showed r 0.792. Discrimination of Spivack score was shown by the AUC value of 0.646 95 CI 0.564 0.728. The sensitivity, specifity, positive predictive value PPV, and negative predictive value NPV are 74, 42, 0.20, and 0.90 respectively. Conclusion : Spivack score has been shown to have a good callibration but weak discrimination in predicting PMV following CABG surgery.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heninggar Septiantri
Abstrak :
Penelitian mengenai sistem penilai jawaban esai sudah pernah dilakukan dengan metode Latent Semantic Analysis (LSA). Salah satu keterbatasan yang dialami adalah keterbatasan dokumen training untuk mengoptimalkan hasil LSA. Dengan keterbatasan tersebut penggunaan Vector Space Model (VSM) dapat dipertimbangkan. Penelitian ini membandingkan LSA dan VSM untuk menilai jawabanbentuk esai serta meneliti pengaruh pemotongan imbuhan dan perluasan kunci jawaban terhadap efektifitas sistem. Uji coba dilakukan dengan 13 soal esai dengan 42 peserta ujian. Secara keseluruhan, rata-rata korelasi nilai VSM-manusia lebih tinggi dari LSA-manusia.
Research in automated essay scoring system has been done using Latent Semantic Analysis (LSA) method. One of the limitations is the lack of training documents to optimize LSA results. Regarding such limitation, the use of Vector Space Model (VSM) can be considered. This research aims to compare LSA and VSM to score essay answer and to investigate the effect of stemming and query expansion toward the effectiveness of the system. Experiments are done with 13 problems with 42 test participants. Overall results show that average correlation of score between VSM-human is higher than LSA-human.
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>