Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Muhyiddin
Abstrak :
Berbagai peristiwa terorisme yang terjadi di tanah air selalu diikuti lalu dipenuhsesaki narasi tentang pelaku. Cerita korban jarang diulas dalam kajian akademik di Indonesia. Korban, begitu pula dalam kebijakan hanya menjadi pelengkap yang letaknya di pinggiran. Soal deradikalisasi dan kegiatan pertemuan korban-pelaku dalam rangka restorative justice di Indonesia oleh banyak peneliti, baik dari Indonesia maupun luar, hanya menyorot pelaku. Para pemangku otoritas acapkali dianggap juga menomorduakan korban. Padahal, narasi korban sangat penting diangkat. Tentang bagaimana mereka melewati semua trauma, beratnya memaafkan pelaku dan dinamika diantara berbagai organisasi korban bom di Indonesia sangat menarik dibahas dan dijadikan pembelajaran (best practice) bagi generasi mendatang. Dengan memakai pisau analisis penganjur restorative justice seperti J. Braithwaite, H. Bianchi, N. Christie, Umbreit dan lainnya, peneliti menemukan fakta bahwa para korban ini butuh bersikap altruistik dan memaafkan pelaku karena hal ini bisa membuat korban lebih mudah menatap masa depan. Namun, bagi penentangnya, seperti A. Acorn, A. Pemberton, Van Dijk, dan lainnya menilai rekonsiliasi untuk penyembuhan korban bersifat semu karena korban berpotensi menjadi viktimisasi sekunder akibat ekspektasi tinggi dari masyarakat terhadap perdamaian. Dengan memakai penelitian Kualitatif dan pendekatan Fenomenologi, peneliti mewawancarai lima narasumber dari empat organisasi korban yang dianggap representatif. Hasilnya mencerminkan kedua polar akademisi yang disebut di atas. Bagi pendukung keadilan restorasi, para korban ini menganggap pertemuan korban-pelaku sangat penting untuk mewujudkan pelaku yang meminta maaf dengan tulus dan korban yang memberikan maaf. Bahkan, korban di pihak pendukung restorative justice kini bisa bekerja sama dengan mantan teroris. Namun, bagi penentangnya, restorative justice ini tak ubahnya panggung sandiwara yang  menjadikan korban sebagai komoditas yang dijual cerita penderitaannya. Pemaafan dan pertemuan korban-pelaku hanya bisa diselenggarakan efektif andai kewajiban pelaku dan negara terhadap korban sudah ditunaikan. ......Terrorism incidents in Indonesia are always loaded with narratives about the perpetrators. Victim stories are rarely discussed in academic studies in Indonesia. For policy makers and authorities, victims only serve as complements as a second priority. Many researchers, both from Indonesia and abroad who are focusing on deradicalization and engagement movements for victims and perpetrators, exclusively stressing the perpetrators as the main subject. Hence, the victim's narrative is extremely essential, especially about how they went through all the trauma, how hard it is to forgive the perpetrators and the dynamics between various organizations for bomb victims in Indonesia are very interesting to discuss and serve as lessons. Using the analytical knife of restorative justice advocates such as J. Braithwaite, H. Bianchi, N. Christie, Umbreit and others, researchers discovered the fact that these victims need to be altruistic and forgive the perpetrators because, in that way, the victims can be better to move forward. However, his opponents, such as A. Acorn, A. Pemberton, Van Dijk, and others, see reconciliation for healing victims as seemingly because victims have the potential to become secondary victims due to high expectations from society for peace. Using qualitative research and a phenomenological approach, the researcher interviewed five informants from four victim organizations that were considered representative. The results reflect the two polar academics mentioned above. For proponents of restoration justice, these victims consider the meeting between victims and perpetrators to be very crucial to make perpetrators apologize sincerely and a victim forgive the perpetrator. However, for those who oppose it, restorative justice is like a stage where victims are sold as commodities for the stories of their suffering. Forgiveness and engagement between victims and perpetrators can only be held effectively if the obligations of the perpetrators and the government towards the victims have been fulfilled.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Oktaviani
Abstrak :
Viktimisasi Sekunder merupakan suatu proses dimana korban mengalami kembali proses menjadi korban ketika bersentuhan dengan sistem peradilan pidana (formal) dan masyarakat (informal). Penulisan ini bertujuan untuk melihat pengalaman viktimisasi sekunder perempuan korban perkosaan, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana viktimisasi sekunder tersebut bisa terjadi, yang direpresentasikan dalam serial Netflix Unbelievable. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan metode analisis isi kualitatif dalam menganalisis serial tersebut yang terdiri dari 8 episode. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan korban perkosaan telah mengalami pengalaman buruk seperti dieksklusikan dari hukum, diragukan dan dipertanyakan kredibilitasnya, tidak dipercaya, direndahkan, diintimidasi, diancam, dan dipaksa mengakui bahwa ia berbohong. Pengalaman tersebut merupakan bentuk dari viktimisasi sekunder yang kemudian membuat korban mengalami berbagai dampak negatif dalam hal psikologis, relasional, dan finansial. Viktimisasi sekunder yang dialami korban terjadi karena adanya penerimaan rape myth yang menganggap perempuan berbohong terkait perkosaan yang dialaminya (she lied). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa serial ini telah mematahkan rape myth lainnya yang meliputi perempuan ingin diperkosa dan menikmatinya (she enjoy rape); dan perempuan memprovokasi perkosaan melalui pakaian dan perilaku mereka (she asked to be raped). Pada akhirnya, analisis juga menunjukkan bahwa akar dari segala penderitaan perempuan korban perkosaan adalah patriarki yang sudah melembaga dalam setiap aspek kehidupan. ......Secondary Victimization is a process where victims experience the process of being victims again when they come into contact with the criminal justice system (formal) and society (informal). This writing aims to look at the experience of secondary victimization of rape victims, their impact on victims, and how this secondary victimization can occur, which is represented in the Netflix series Unbelievable. This writing uses radical feminist theory and qualitative content analysis methods in analyzing the series which consists of 8 episodes. The results of the analysis show that women victims of rape have experienced bad experiences such as being excluded from the law, doubting and having their credibility questioned, distrusted, humiliated, intimidated, threatened, and forced to admit that they lied. This experience is a form of secondary victimization which then makes the victim experience various negative impacts in terms of psychological, relational, and financial. The secondary victimization experienced by the victim occurs because of the acceptance of the rape myth which assumes that women lied about the rape they experienced. The results of the analysis also show that this series has broken other rape myths which include women enjoying rape; and women asked to be raped. In the end, the analysis also shows that the root of all the suffering of women victims of rape is patriarchy which has been institutionalized in every aspect of life.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adine Berlianti
Abstrak :
Pemberitaan tentang anak laki-laki yang menjadi korban perkosaan seringkali mendapat tanggapan buruk oleh pembaca berupa komentar negatif. Hal tersebut dapat disebut sebagai secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Munculnya tanggapan tersebut berhubungan dengan upaya patriarki untuk menegakkan mitos tentang perkosaan laki-laki di masyarakat atau disebut male rape myth. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan konsep male rape myth dari Turchik dan mengelaborasinya dengan konsep secondary victimization dari Tavares. Data yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini diperoleh dari kolom komentar pada dua pemberitaan di media massa online TribunNews, dan dianalisis menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa komentar buruk yang diberikan masyarakat merupakan bentuk secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Komentar buruk tersebut muncul karena adanya upaya untuk menegakkan male rape myth dalam masyarakat patriarki. Pemberitaan tentang anak laki-laki yang menjadi korban perkosaan seringkali mendapat tanggapan buruk oleh pembaca berupa komentar negatif. Hal tersebut dapat disebut sebagai secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Munculnya tanggapan tersebut berhubungan dengan upaya patriarki untuk menegakkan mitos tentang perkosaan laki-laki di masyarakat atau disebut male rape myth. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan konsep male rape myth dari Turchik dan mengelaborasinya dengan konsep secondary victimization dari Tavares. Data yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini diperoleh dari kolom komentar pada dua pemberitaan di media massa online TribunNews, dan dianalisis menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa komentar buruk yang diberikan masyarakat merupakan bentuk secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Komentar buruk tersebut muncul karena adanya upaya untuk menegakkan male rape myth dalam masyarakat patriarki. ......News about boy being a victim of rape is often get bad responses from readers in the form of negative comments. This can be referred as secondary victimization towards boy victim of rape. The emerge of these responses is related to patriarchal efforts to enforce false beliefs about male rape in society known as male rape myth. To explain this, the authors uses Turchik’s male rape myth concept and elaborates it with Tavares’ concept of secondary victimization. The data used to explain this phenomenon were obtained from the comments column on two news reports in the online mass media TribunNews, and analyzed using qualitative content analysis methods. The results of the analysis show that bad comments that given by the community are form of secondary victimization towards boy victim of rape. These bad comments arise because of efforts to enforce male rape myth in patriarchal society.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library