Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosita Saumi Imanta Putri
"Latar Belakang: Transfusi darah masih sering dilakakukan sekarang. Transfusi darah yang aman dan steril seharusnya dilakukan untuk mencegah reaksi yang tidak diinginkan untuk ada. Transfusi sel darah merah mempunyai insiden yang paling rendah. Walaupun dorongan dan praktik untuk memeriksa darah sebelum donor sudah dilakukan, reaksi transfusi tetap menunjukan angka kejadian yang tinggi terutama di negara dengan berpenghasilan rendah. Walaupun sebagian besar reaksi transfusi tidak mengancam, namun reaksi transfusi tetap menambah ketidaknyamanan pasien.
Metode: cross-sectional digunakan dalam riset ini. Data diambil secara primer dengan kuesioner yang diberikan kepada pasien anak berumur 0-18 tahun yang sedang di transfusi dengan sel darah merah. Kuesioner tersebut di isi sendiri oleh orang tua atau wali pasien. Kuesioner mencakupi ada atau tidaknya reaksi transfusi, diagnosis pasien, dan frekuensi transfusi pasien dalam satu bulan. Dibutuhkan 81 subyek untuk riset ini.
Result: Dari 83 pasien, ditemukan prevalensi reaksi transfusi di RSCM Kiara adalah 39.8%. Data yang diperolah sebagian besar adalah perempuan dan umur paling tinggi adalah 5-10 tahun. Hubungan signifikan antara diagnosis pasien dengan kemunculan reaksi transfusi ditemukan. Namun, signifikansi antara frekuensi transfusi dan reaksi transfusi tidak ditemukan di riset ini.
Kesimpulan: reaksi transfusi yang paling sering terjadi adalah gatal, kemerahan, dan nyeri. Dari penelitian, ditemukan bahwa pasien dengan diagnosis keganasan 6 kali lebih mungkin untuk mengidap reaksi transfusi dikarenakan keadaan kesehatan pasien tersebut. Frekuensi transfusi tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan reaksi transfusi.

Background: Blood transfusion is a common practice done nowadays. Safe and sterile practice should be done to avoid any unwanted reaction that could happen. Red blood cell transfusion has the lowest incidence of transfusion reaction compared to other blood product. However, transfusion reaction is still happening despite the endorsement and practice of blood screening especially in some low income countries. The most common transfusion reactions are usually benign, however, it still adds to the patient’s discomfort.
Methode: This is a cross-sectional study. Primary data by a questionnaire given to pediatric patient undergoing RBC transfusion between 0-18 years old in RSCM Kiara transfusion ward. The questioner was completed by the parents or guardian of the patient. The questionare include the presence of transfusion recation, patient’s diagnosis, and the frequention of transfusion in one month. 81 subjects are needed for this research.
Results: From 83 patients that was included in this research, it was found that prevalence of transfusion reaction in pediatric patient is 39.8%. Most of the data was taken from female and most were between age 5-10 years old. There is a significant correlation between the recepient underlying diagnosis and the presence of transfusion reaction. However, there is no significant results in transfusion frequency.
Conclusion: The most common transfusion reactions found in this study are urticarial, rash, and pain. From this research, it was proven that patient with malignancy is 6 times more prone to transfusion reaction due to the patient’s condition. The frequency of transfusion does not significantly effect the possibility of developing transfusion reaction.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julius Permana
"ABSTRACT
Malaria adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles yang sudah terinfeksi oleh parasit Plasmodium. Parasit Plasmodium Falciparum yang menjadi penyebab terbesar kasus  malaria di Indonesia memiliki empat fase yaitu Ring, Tropozoite, Schizont, dan Gametocyte. Deteksi fase merupakan langkah yang penting untuk dilakukan karena pengobatan yang diberikan harus sesuai dengan jenis fase yang dialami oleh pasien. Deteksi biasanya dilakukan menggunakan mikroskop atas apusan sel darah merah, namun hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sehingga dibutuhkan metode alternatif. Dalam penelitian ini, penulis mengusulkan penggunaan metode segmentasi Otsu Thresholding dan metode preprocessing. Median Filter pada ruang warna HSI dan CIE dalam mendeteksi fase malaria. Data yang digunakan berasal dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) dengan total 26 citra. Positive Predictive Value( PPV) dan Sensitivity dipilih sebagi alat ukur untuk mengevaluasi kinerja melalui metode yang diusulkan. Dari hasil eksperimen, didapatkan nilai PPV pada ruang warna HSI mengungguli PPV pada ruang CIE. Sedangkan, pada nilai Sensitivity tidak tampak adanya perbedaan yang signifikan. Sehingga, segmentasi pada ruang warna HSI menghasilkan citra yang lebih baik dibandingkan pada ruang warna CIE.

ABSTRACT
Malaria is a disease transmitted by Anopheles mosquitoes that has been infected by Plasmodium parasits. Plasmodium Falciparum is the leading cause of Malaria in Indonesia has four phases including Ring, Trophozoite, Schizont, and Gametocyte. Malaria Phase Detection is an important step to be done because the treatment given must be in accordance with the Malaria Phase experienced by the patients. Detection is usually done by using microscope to detect red blood cells, but this method needs a long time, so alternative method is needed. In this research, we present Otsu Thresholding segmentation method and Median Filter preprocessing method on HSI and CIE color space.Positive Predictive Value (PPV) and Sensitivity are chosen as a measurement to evaluate performance of our proposed method. From the experiment result, the PPV value on HSI color space is higher than PPV on CIE color space, while there is not significant different in Sensitivity Value for both color spaces."
Lengkap +
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeanne Adiwinata Pawitan
"ABSTRAK
Sun-chlorella yang belakangan ini gencar dipasarkan, merupakan tablet chlorella yang dibuat dari ganggang hijau air tawar dnn dianjurkan untuk diberikan baik pada orang sehat (mulai dari anak-anak sampai manula) untuk menjaga kesehatan, maupun pada orang yang sedang mangidap penyakit kronis sebagai makanan kesehatan alamiah untuk mampercepat penyembuhan.
Produsen chlorella mengunggulkan produknya dengan menyatakan bahwa chlorella boleh dikatakan tidak mempunyai efek samping, namun belakangan ini ada satu laporan pene1itian yang menyatakan bahwa chlorella bersifat toksik pada biakan cell line BHK (Baby Hamster Kidney).

ABSTRACT
The Effect of Sun-Chlorella on the Micronucleation of Erythrocyte In Fetal RatSun-chlorella (tablets made of fresh water green algae) is vigorously launched on the market recently and recommended for healthy (from the children to the aged) individuals to promote health, as well as for individuals suffering from chronic diseases as natural healthy food supplement to promote recovery. Chlorella's producers advertised its product and claimed that chlorella has almost no side effect. However, recently a research on chlorella reported that it was toxic when added to the BHK. (baby hamster kidney) cell culture.
The aim of this eksperimental research is to know wether chlorella is toxic, by testing its mutagenicity on rats. We administered chlorella to pregnent rats and screened the erythrocyte of the fetuses to search for the increase of micronucleated erythrocyte. This is a rapid procedure to test the mutagenicity of a substance.
In this research we used 36 female rats, divided randomly to 4 groups, mated, and on day-14 of pregnancy was given: sunchlorella 0.8 mg/g body weight (group I), sun chlorella S mg/g body weight (group II), aquadest (group III), no treatment (group IV). From each group 3 rats were sacrificed after 30 hours, 3 others after 4B hours, and the rest after 54 hours. From each rat 2 fetuses were removed (1 from the left and 1 from the right horn of the uterus), the fetuses were dissected and 3 blood smears were made from each fetus. Blood smears were stained using Wright's stain, and per fetus 1000 erythrocyte were screened for micronucleus. Statistical analysis using l?tiruskal Wallis test reveals that the amount of micronucleated erythrocytes were significantly different between the 4 groups (P .0015). It can be concluded that the administration of Sun"chlorella to pregnant rats lowered the amount of micronuCleated erythrocytes, and the decrease is greater in the groups given 10 times than in the groups given 100 times the dosis; So Sun chlorella might be beneficial to promote health, and non toxic if used appropriately."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
M.M. Vita Kurniati
"Talasemia adalah suatu penyakit kelainan darab yang diturunkan secara resesif dan orang tua kepada anaknya, Pada talaseinia terjadi ketidakseimbangan rasio antara rantai globin or dan rantai globin B, sehingga ada rantai globin yang tidak berpasangan. Presipitasi rantai globin yang tidak berpasangan pada membran dapat mengakibatkan otooksidasi membran sel darah merah penderita talasemia. Salah satu penelitian yang telah dilakukan melaporkan adanya peningkatan pembentukan malondialdehid, penunman kadar asam lemak tak jenuh jamak Serta texjadinya ikatan lintas silang antar protein mernbran sel darah merah talasemia akibat oksidasi. Perubahan komponen protein membran sel darah merah talasemia merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan destruksi dini sel darah merah talasemia. Oleh karena itu, penelitian ini berrujuan menganalisis perbedaan pola protein membran sel darah merah talasemia dan sel clarah merah normal. Analisis pola protein membran dilakukan dengan teknik elektroforesis dan imunokirnia pada sampel sel darah merah normal, sel darah rnerah talasemia pernah transfusi dan sel darah merah talasemia belum pernah transfusi baik dengau maupun tanpa pemberian beban oksidatif. Hasil dan Kesimpulan, Perbedaan pola protein membran sel darah merah normal dan sel darah merah talasemia terutama dapat dilihat pada pita 3. Perubahan protein pita 3 pada membran sel darah merah talasemia disebablcan oleh oksidasi. Oksidasi protein pita 3 ini akan mengakibatkan degradasi protein pita 3. Analisis pola protein membran secara imunokimia tidak dapat dilakukan dengan menggunakan antibodi antighosl normal. Antibodi yang digunakan hendaknya merupakan suatu anttbodi terhadap salah satu komponen protein membran."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
T3727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Wulandari
"Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh fortifikan NaFeEDTA dalam susu kedelai terhadap jumlah sel darah merah tikus Rattus norvegicus L. jantan galur Sprague-Dawley. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL . Sebanyak 25 ekor tikus jantan yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan, yaitu KK 1 yang diberi pakan dan minum standar tanpa pemberian susu kedelai dan fortifikan; KK 2 yang diberi pakan minum standar dan susu kedelai tanpa fortifikan; dan KP 1, 2, dan 3 yang diberi pakan minum standar dan susu kedelai dengan fortifikan NaFeEDTA dosis 2,7 mgFe/kgBB, 5,4 mgFe/kgBB, dan 10,8 mgFe/kgBB selama 21 hari berturut-turut. Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-0 dan setelah perlakuan pada hari ke-21. Pengukuran jumlah sel darah merah tikus menggunakan alat hematology analyzer. Hasil uji ANAVA satu arah dan uji LSD P le; 0,05 menunjukkan bahwa setelah pemberian perlakuan selama 21 hari berturut-turut, terdapat perbedaan jumlah sel darah merah yang nyata antara seluruh kelompok perlakuan KP 1, KP 2, dan KP 3 terhadap jumlah sel darah merah KK 1 dan KK 2. Peningkatan jumlah sel darah merah tertinggi terjadi pada KP 2 di hari ke-21 yaitu 19,70 terhadap KK 1; dan 17,27 terhadap KK 2.

The effect of fortificant NaFeEDTA in soy milk on red blood cell count of male Sprague Dawley rats Rattus norvegicus L. had been studied. By using Complete Random Design CRD, twenty five rats were divided into five groups. Normal control group KK 1 which was administered with standard feeding and drinking without the addition of soy milk and fortificant. Treatment control group KK 2 which was administered with extra soy milk without fortificant, and three treatment groups which were administered with extra soy milk added with NaFeEDTA fortificant 2.7 mg Fe kgbw KP 1 5.4 mg Fe kgbw KP 2 and 10.8 mg Fe kgbw KP3 . All of the five groups were treated for 21 days consecutively. Measurement of rat red blood cell count uses the hematology analyzer. One way ANOVA test and post hoc LSD test P le 0.05 showed that after 21 days of consecutive treatment, there was a significant effect on red blood cell count in all treatment groups KP 1, KP 2 and KP 3 compared to KK 1 and KK 2. The highest increase of red blood cell count was detected on KP 2 at t21 which is 19,70 to KK 1 and 17,27 to KK 2."
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S69102
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Safrina
"Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh fortifikan NaFeEDTA dalam tepung tahu terhadap jumlah sel darah merah tikus putih Rattus norvegicus L. jantan galur Sprague-Dawley. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL , terdiri atas 25 ekor tikus putih jantan yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan, yaitu KK 1 yang diberi larutan CMC 0,5 ; KK 2 yang diberi CMC 0,5 dan suspensi tepung tahu tanpa fortifikan; dan KP 1, 2 dan 3 diberi CMC 0,5 dan tepung tahu dengan fortifikan NaFeEDTA dosis 2,7 mgFe/kgBB; 5,4 mgFe/kgBB; dan 10,8 mgFe/kgBB selama 14 hari. Pengambilan darah dilakukkan pada hari ke-0 dan setelah perlakuan pada hari ke-14. Jumlah sel darah merah dihitung menggunakan alat hematology analyzer. Hasil uji ANAVA satu arah P < 0,05 menunjukkan pengaruh nyata pemberian fortifikan NaFeEDTA dalam tepung tahu terhadap jumlah sel darah merah antar kelompok perlakuan. Hasil uji LSD P < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sel darah merah yang nyata antara KK 1 dengan semua kelompok perlakuan KP 1, KP 2 dan KP 3 ; KK 2 dengan semua kelompok perlakuan pada t14 dan antar semua kelompok perlakuan. Peningkatan jumlah sel darah merah tertinggi terjadi pada KP 2 yaitu 22,26 terhadap KK 1; dan 20,24 terhadap KK 2.

The effect of fortificant NaFeEDTA inserted in tofu flour intake on red blood cell count in male Sprague Dawley rats Rattus norvegicus L. has been studied. Twenty five rats were divided into five groups, consist of normal control group KK 1 which was administered with CMC 0,5 , treatment control group KK 2 which was administered with CMC 0,5 and tofu flour non fortificant, and three treatment groups which was administered with CMC 0,5 and tofu flour added with fortificant NaFeEDTA 2,7 mgFe kgbw KP 1 5,4 mgFe kgbw KP 2 and 10,8 mgFe kgbw KP 3 . All the five groups were treated for 14 consecutive days. Red blood cell count was measured by automatic hematology analyzer. One way ANOVA test P 0,05 showed significant effect of fortificant NaFeEDTA inserted in tofu flour intake red blood cell count in all treatment groups. LSD test P 0,05 showed that the red blood cell count significantly different between KK 1 towards all treatment groups KK 2 towards all treatment groups and all the treatment groups. The highest increase of red blood cell count was detected on KP 2 at t14 which is 22,26 to KK 1 and 20,24 to KK 2. "
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S68177
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryati Fitrial
"Bawang putih (A ilium sativum Linn ) daii basil penelitian terdahulu terbukli mentpunyai kemampuan untuk melindungi hail daii keracunan yang ditixnbulkan oleh kathon tetraldoiida secara in vivo. Peneliuian kali mi akan dilakukan secara in vitro terhadap se darah merah domba, untuk rnengetahui apakah sari air bawang putih tersebut benar-benar dapat mempettahankan kadar glutation dan hemoglobin yang ada tanpa dipengaruhi oleh metabolisme di dalam tubuh. Sel darah merah domba di bagi daiam 3 kelompok perlakuan. Kelompok I adalah kelompok kontrol (Sel darah merah tanpa perlakuan). Kelompok II adalah kelompok sel darah merah yang dibeii t-butil hidroperoksida 2 mM. Kelompok III adalah kelompok sel darah merah yang dibeii sari air bawang putih dan t-butil hidroperoksida 2 mM. Kelompok IV adalah kelompok sel darah merah yang diberi sari air bawang pulih saja. Ketiga kelompok pertama digunakan untuk pengukuran methemoglobin dan glutation, sedangkan kelompok IV untuk pengukuran glutation saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa path pengukuran kadar methemoglobin antara kelompok II dan kelompok III tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna serta antara kelompok I dan kelompok III menunjukkan perbedaan yang bennakna. Hasil pengukuran kadar glutation menunjukkan bahwa antara kelompok I, II dan UI menunjukkan perbedaan yang bermakna. Maka dapat disimpulkan bahwa pembeiian sari air bawang putih kurang dapat melindungi hemoglobin terhadap stres oksidasi, tetapi dapat melindungi glutation dan pengaruh oksidasi oleh t-butil hidroperoksida. "
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Sri Pamuji
"Penelitian terdahulu mengenai sari air bawang putih menunjukkan bahwa sari air bawang putih dapat melindungi hati dari keracunan karbon tetraklorida secara in vivo pada binatang percobaan. Penelitian secara in vivo tersebut tidak dapat memastikan apakah sari air bawang putih secara langsung dapat melindungi membran sei terhadap oksidasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan efek langsung dari sari air bawang putih dalam melindungi membran sel darah merah domba (SDMD) dari stres oksidasi secara in vitro. Pada penelitian ini digunakan SDMD sebagai sampel, dimana tiap sampel diberi tiga perlakuan. Kelompok I merupakan kelompok kontrol, yaitu SDMD yang tidak diberi perlakuan. Kelompok II merupakan kelompok yang diberi oksidator (tert-butil hidroperoksida 2 mM), dan kelompok III merupakan kelompok yang diberi sari air bawang putih dengan dosis 0,1 ml/g Hb dan tert-butil hidroperoksida 2 mM. Kemampuan bawang putih dalam melindungi membran SDMD dilihat dari kadar peroksida lipid yang terbentuk dan aktivitas asetilkolinesterase yang terikat di membran sel. Hasil pengukuran kadar peroksida lipid yang di dapat pada Kel. I adalah 11,409 ± 1,43 nmol/g Hb, Kel. II adalah 21,734 ± 2,726 nmol/g Hb, dan Kel. Ill adalah 18,382 ± 2,504 nmol/g Hb. Sedangkan hasil pengukuran aktivitas asetilkoiinesterase pada Kel I adalah 27,025 ± 5,905 U/g Hb, Kel. II adalah 18,861 ± 3,731 U/g Mb, dan Kel. Ill adalah 22,055 ± 3,428 U/g Hb. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar peroksida lipid dan penurunan aktivitas asetilkoiinesterase pada sel darah merah doniba yang diberi stres oksidasi. Dengan pemberian sari air bawang putih, maka kadar peroksida lipid dan aktivitas asetilkoiinesterase dapat dipulihkan kembali mendekati nilai normal.

Previous studies indicated that, in vivo, water extract of garlic could protect rat liver from carbon tetrachloride poisoning,. However, in vivo studies could not reveal, whether the garlic act directly or after metabolised by the tissues. The objective of this research is to investigate if, in vitro, garlic juice could directly protect the sheep red blood cell (SRBC) membrane from oxidative stress. The garlic ability in protecting SRBC membrane was observed by determining of membrane lipid peroxide content and the activity of acetyicholinesterase, an external peripheric enzyme, which bound tighly to the cell membrane. Each SRBC sample suspension was divided into three aliquots. The first aliquot, received no treatment, served as a control. The second aliquot received 2 mM tert-butyl hydroperoxide as an oxidator, whereas the third was protected with the garlic juice in a dose of 0.1 mug Hb, followed by 2 mM tert-butyl hydroperoxide. The result of this studies show that the lipid peroxide content in the first aliquot is 11.409 ± 1.430 mnollg Hb, the second aliquot is 21.734 ± 2.726 nmollg Hb, and the third aliquot is 18.382 ± 2.504 nmol/g Hb. The acetyicholinesterase activity in the first aliquot is 27.025 ± 5.905 U/g Hb, the second aliquot is 18.861 ± 3.731 U/g Hb, and the third aliquot is 22.055 ± 3.428 U/g Hb. Our results indicated that the oxidative stress increased the SRBC lipid peroxide content, expressed as malonyldialdehyde content and decreased the SRBC acetyicholinesterase activity, both significantly. However, the administration of garlic juice could practically restore both values to its normals."
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fianti Ratna Dewi
"Oksidasi merupakan reaksi alami yang dapat merusak sel dan dapat dicegah di hadapan antioksidan. Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) adalah a salah satu tumbuhan yang digunakan di Asia sebagai bumbu masakan, yaitu dipercaya mengandung metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antioksidan. Belum pernah ada sebelumnya yang menguji efek antioksidan dari wangi daun pandan pada sel Darah merah.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek antioksidan dari ekstrak tersebut etanol daun wangi pandan melawan sel darah merah sapi yang diberi 1% H2O2 in vitro dengan mengukur aktivitas spesifik katalase dan pembentukannya methemoglobin. Penelitian eksperimental ini dilakukan dengan dua perlakuan Pokoknya yaitu preventif (pemberian ekstrak etanol daun pandan wangi terlebih dahulu pertama) dan kuratif (memberi H2O2 dulu).
Hasilnya menunjukkan itu Pemberian ekstrak etanol daun pandan wangi menyebabkan penurunan aktivitas katalase spesifik dan pembentukan methemoglobin yang signifikan keduanya bersifat preventif dan kuratif (p <0,05). Hasil tersebut membuktikan bahwa ekstrak etanol daunnya pandan wangi memiliki aktivitas antioksidan dalam sel darah merah sapi menginduksi H2O2 1%.

Oxidation is a natural reaction that can damage cells and can be prevented in the presence of antioxidants. Fragrant pandanus (Pandanus amaryllifolius) is a plant used in Asia as a cooking spice, which is believed to contain secondary metabolites which have antioxidant activity. Never before has tested the antioxidant effects of fragrant pandanus leaves on red blood cells.
This research was conducted to see the antioxidant effect of the pandan leaf ethanol extract against red blood cells of cows given 1% H2O2 in vitro by measuring the specific activity of catalase and methemoglobin formation. This experimental research was conducted with two main treatments, namely preventive treatment (giving ethanol extract of fragrant pandan leaves first first) and curative (giving H2O2 first).
The results show that The administration of ethanol extract of pandan wangi leaves caused a significant decrease in specific catalase activity and methemoglobin formation, both of which were preventive and curative (p <0.05). These results prove that the ethanol extract of pandan wangi leaves has antioxidant activity in bovine red blood cells induces H2O2 1%.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windhi Kresnawati
"Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan hemoglobinopati yang cukup banyak di Indonesia. Terapi utama thalassemia mayor adalah transfusi seumur hidup. Transfusi berulang memiliki efek samping. Salah satunya adalah terbentuknya aloantibodi sel darah merah. Prevalens dan faktor-faktor yang memengaruhi aloantibodi pada pasien thalassemia masih belum ada di Indonesia. Uji Coombs sebagai standar diagnosis merupakan pemeriksaan yang mahal dan hanya tersedia di pusat tertentu. Metode lain yang lebih mudah diperlukan untuk memprediksi terbentuknya aloantibodi tersebut.
Tujuan: Untuk mengetahui prevalens aloantibodi sel darah merah di populasi Indonesia dan mendapatkan faktor-faktor yang memengaruhinya. Membuat sistem skoring untuk memprediksikan probabilitas terbentuknya aloantibodi sel darah merah berdasarkan faktor-faktor tersebut.
Metode: Analisis terhadap 162 rekam medis subjek yang telah dilakukan uji Coombs di Pusat Thalassemia Jakarta pada tahan 2005-2013.
Hasil: Dari 162 subjek didapatkan 31 (19%) subjek memiliki aloantibodi dan 4 (2,4%) subjek menderita AIHA. Jenis aloantibodi terbanyak yang terdeteksi adalah anti-M (29%). Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya aloantibodi adalah tingginya volume transfusi, jarak antar transfusi, lama transfusi, kadar leukosit dan pajanan PRC biasa. Berdasarkan faktor-faktor risiko tersebut, sistem skoring didisain untuk memprediksi kemungkinan terbentuknya aloantibodi.
Kesimpulan: Prevalens aloantibodi pada pasien thalassemia di Indonesia cukup tinggi. Pemberian PRC leukodeplesi pelu direkomendasikan pada pasien dengan transfusi berulang. Prediksi terbentuknya aloantibodi dapat dilakukan melalui sistem skoring terutama di tempat yang tidak tersedia uji Coombs.

Background: Thalassemia major is a common genetic disease in Indonesia. The principal treatment of thalassemia major is lifelong blood transfusion, which is frequently complicated by alloantibody. Limited data are available on the frequency of RBC alloantibody and factors influencing in major β-thalassemia patients. Coombs test, as a standard tool to diagnose alloantibody, is only available on particular Red Cross Centre. Therefore, it is necessary to find another tool to predict the probability of alloantibody formation.
Aim: To investigate the prevalence of RBC alloantibody among thalassemia major patients in Thalassemia Centre Jakarta. To describe factors influencing RBC alloantibody production and develop scoring system to predict its probability.
Methods: We analyzed the clinical and transfusion records of 162 thalassemia major patients who have been examined for Coombs test. All of the patients were registered in Thalassemia Center, Cipto Mangunkusumo hospital from 2005 until 2013.
Results: Of the 162 subjects, 31 (19%) developed RBC alloantibody and four patients (2,4%) developed autoimmune hemolytic anemia. The most common alloantibody was anti-M (29%).Several factors were found to contribute to high alloantibody rate in this study, including high volume of transfusion, duration of transfusion, white blood count level, transfusion interval, and PRC exposure. From those factors, scoring system has been developed to predict alloantibody formation in thalassemia patients.
Conclusion: We concluded that there is a high rate of RBC alloantibody in major thalassemia patients in our center. We also suggest that leukocyte-poor PRC should be given to all patients with multiple transfusions. In remote area where Coombs test is not available, scoring system can be used to predict the probability of alloantibody formation.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>