Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tan Wang, Hsiao
"Do indigenous peoples find the law to be an impediment or an asset in achieving selfgovernment? Past literature on indigenous legal mobilization often suggests that legal procedures and language constrain indigenous expression and may even lead to tribal divisions. For indigenous self-government movements, the law is often viewed as a hindrance. However, these studies often do not consider how the legal consciousness of activists changes during the mobilization process, particularly how interactions
with the law can reshape individual and collective subjectivities, as well as the relationships between tribes and the state. Researchers have discussed the judicial role as a legislative lever and its constitutive function, but they have not adequately
explained the key mechanisms to challenge unequal power structures. This article, using the Katratripulr Solar Case as a case study, elucidates indigenous legal mobilization strategies that surpass existing academic findings. The breakthrough lies
in the exercise of the right to consultation and consent, through which indigenous people and tribes construct a collective subject position that allows for engagement with modern law, thereby showcasing indigenous agency. This article delineates three subject concepts and one subject practice: the strategic subject that reins in moral disputes, the overlapping jurisdiction subject for self-built autonomy, the transboundary subject beyond state administration, and the political subject practicing these three subject concepts. The construction of these subject agencies helps indigenous people and tribes “reposition” the starting point (the self), destination (self-government), and route (practice) of self-government. Although Taiwan has yet to pass any indigenous self-government legislation, if indigenous people or tribes can return to the collective subject expressions internally and externally as described above, it will facilitate turning legal impediments into assets and promote indigenous self-government."
Taipei: Taiwan Foundation for Democracy, 2023
059 TDQ 20:2 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fujiartanto
"Dalam rangka pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat akibat krisis, Pemerintah menerapkan kebijakan reformasi bidang pembangunan dan pemerintahan, diantaranya melalui ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai konsekuensi, daerah otonom (termasuk Kota Depok yang ditetapkan melalui UU No. 15 Tahun 1999) perlu melakukan penataan elemen utama penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang terintegrasi membentuk pemerintah daerah dalam menjalankan peran dan fungsinya secara politis dan administratif, meliputi: (a) adanya kewenangan daerah, (b) dibentuknya perangkat daerah, (c) tertatanya persona (pegawat), (d) tersedianya dukungan keuangan daerah, (e) berfungsinya unsur perwakilan rakyat, dan (f) peningkatan penerapan menajemen pelayanan publik. Mengingat cakupan masing-masing elemen sangat luas, maka dalam penelitian ini hanya membatasi tiga aspek (penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah), yang diharapkan dapat menghasilkan gambaran representatif kesiapan Pemerintah Daerah Kota Depok mengimplementasikan otonomi daerah.
Oleh karena tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran terfokus pelaksanaan penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah, maka penelitian ini bersifat deskriptif anatisis, dengan pendekatan kualitatif dan dilakukan melalui survey lapangan. Teknik interview dan dokumentasi digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder, dan pengolahan serta analisisnya dilakukan melalui langkah-Iangkah: pengumpulan data, penilaian data, penafsiran data, dan penyimpulan. lingkup pembahasannya, dengan menerapkan pendekatan campuran, antara pndekatan konseptual dan pendekatan kebijakan pemerintah dalam peraturan perundangan.
Dalam penelitian menerapkan berbagai konsep dan kebijakan desentralisasi, otonomi daerah, kewenangan, penataan organisasi, dan personal. Berkaitan dengan implementasi otonomi daerah, penelitian ini memfokuskan tataran pada ketersediaan sumber daya (kewenangan), karakteristik institusi Implementasi (unit organisasi dan penataan personal). Dengan demikian, hasil penelitian tentang Implementasi otonomi daerah belum sampai pada tingkat masyarakat tetapi hanya pada tingkat suprastruktur pemerintahan daerah..Sehingga melalui pendeskripsian pelaksanaan penataan kewenangan daerah, perangkat daerah, dan kepegawaian daerah memberikan gambaran tentang kesiapan Kota Depok mengimplementasi otonomi daerah.
Sebagai implikasi ditetapkannya, Kota Depok sebagai daerah otonom melalui UU No. 15 Tahun 1999, maka dalam implementasinya, Pemerintah Daerah Kota Depok menetapkan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah, diarahkan guna mencapai visi dan misi Kota Depok. Pertama, kebijakan penataan kewenangan diarahkan pada pendesentralisasian kewenangan ke Kecamatan dan Kelurahan. Pemahaman kewenangan yang abstrak menghambat pendelegasian wewenangan. Sesuai dengan Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, menetapkan 22 bidang kewenangan, 166 sub bidang kewenangan, dan 1.511 rindan kewenangan. Pemerintah telah mengakul kewenangan melalui Kepmendagri No. 130-67 Tahun 2002, disertai dengan beberapa catatan verifikasi. Kedua, kebijakan penataan perangkat daerah diarahkan pada penyusunan perangkat daerah yang ramping dan kaya fungsi. Pelaksanaannya, diinformasikan telah mempertimbangkan kewenangan daerah, kebutuhan dan karakteristik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, serta disesualkan visi dan misi Kota Depok.
Berdasarkan Perda Kota Depok No. 47 Tahun 2000 dan Perda Kota Depok No. 48 Tahun 2000, perangkat daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, 14 Dinas, 3 UPTD, 1 Cabang Dinas, dan 6 Lembaga Teknis Daerah (Badan/Kantor), 6 Kecamatan dan 37 Kelurahan. Namun, dengan ditetapkannya PP No. 8 Tahun 2003, Pemerintah Daerah akan menata kembali perangkat daerah. Ketiga, kebijakan penataan pegawai diarahkan pada peningkatan kapasitas dan kapabilitas pegawai. Telah dilakukan penataan staf 5.964 orang (termasuk dalam jabatan struktural 390 orang), pengembangan pegawai, mutasi, dan penegakkan disiplin pegawai. Dengan dltetapkannya PP No. 9 Tahun 2003, pemerintah daerah akan menata kembali pegawal daerah dengan mengadopsi pola nasional.
Hasil analisa menunjukan bahwa: kebijakan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum konsisten dengan visi dan misi Kota Depok. Pertama, dalam mengidentifikasi kewenangan untuk didelegasikan ke Kecamatan dan Kelurahan, serta diserahkan pada Propinsi, masih mengacu pada kewenangan dari Departeman/LPND, bukan pada Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, sehingga pelaksanannya tidak konslsten. Penataan bidang kewenangan "Daerah Kota" belum dilakukan, masih terdapat adanya overlapping antar bidang kewenangan; cenderung mempersamakan antara sub bidang, dan rlndan kewenangan dengan suatu kegiatan/aktivitas; serta pelaksanan penataan kewenangan tidak melakukan need assessment Dengan adanya verifikasi, Pemerintah Daerah belum melakukan penyempumaan kewenangan dan rnenyampaikan kepada Pemerintah. Kedua, mengacu pada Kepmendagri dan Otda No. 50 Tahun 2000, menunjukan bahwa organlsasi perangkat daerah Kota Depok memiliki struktur lebih ramping. Namun demiklan, dalam pelakanaan penataan, pembentukan organisasl perangkat daerah belum rnemperhatikan kewenangan daerah, kebutuhan/karakterlstik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, dan belum sesual visi dan misi Kota Depok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kharisma Manyania Putri
"Skripsi ini membahas mengenai beroperasinya Bank Sampah Sapta Pesona sebagai bagian dari Program Bank Sampah Pemerintah Kota Bekasi yang dilihat melalui perspektif kepengaturan. Kepengaturan dalam Bank Sampah Sapta Pesona tergambar melalui istilah-istilah teknis dalam serangkaian kegiatan yang tercipta melalui sosialisasi, pendampingan, penyetoran sampah, pelatihan, dan monitoring. Saya memberikan gambaran bagaimana pengurus dan nasabah Bank Sampah Sapta Pesona menjalani dan memaknai serangkaian kegiatan yang membentuk dan mengarahkan perilaku sekaligus membentuk self-government pada diri pengurus dan nasabah Bank Sampah Sapta Pesona. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data observasi dan wawancara mendalam yang melibatkan Ketua RW, PKK, Pengurus bank sampah, Nasabah bank sampah, dan Bank Sampah Induk Patriot (BSIP) selaku aktor-aktor yang berperan dalam Bank Sampah Sapta Pesona. BSIP sebagai mitra Pemerintah Kota Bekasi mengatur pengurus Bank Sampah Sapta Pesona menjadi berpengetahuan agar dapat mengelola bank sampah sekaligus mengatur nasabah melalui kegiatan penyetoran sampah seperti, pengumpulan dan pemilahan sampah, penimbangan sampah, pencatatan timbangan sampah, dan pengambilan uang tabungan. Pengoperasian Bank Sampah Sapta Pesona membentuk kebiasaan pengurus dan nasabah dalam mengelola dan memanfaatkan sampah dari rumah masing-masing yang sebelumnya sampah dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna dan dibuang. Selain itu, kepengaturan Bank Sampah Sapta Pesona meningkatkan kesejahteraan pengurus dan nasabah yang diperlihatkan dengan bertambahnya pendapatan dari hasil menabung sampah dan meningkatnya kebersihan lingkungan di Perumahan Sapta Pesona. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kepengaturan dalam Bank Sampah Sapta Pesona menunjukan keberhasilan karena serangkaian kegiatan Bank Sampah Sapta Pesona menciptakan self-government dalam diri pengurus dan nasabah dalam menjalani perannya yang sejalan dengan kehendak Pemerintah Kota Bekasi.

This thesis discusses how the Sapta Pesona Waste Bank operates as part of the Bekasi Municipal Government Waste Bank Program which is seen from a governmentality perspective. The governmentality in the Sapta Pesona Waste Bank illustrated through technical terms a series of activities created through socialization, mentoring, waste depositing, training, and monitoring. I give an idea of how the administrators and customers of the Sapta Pesona Waste Bank undergo and interpret a series of activities that shape and direct behavior as well as form self-government in the Sapta Pesona Waste Bank administrators and customers. This research is qualitative one, with observation and in-depth interviews involving the neighborhood chief, PKK, waste bank administrators, waste bank customers, and Bank Sampah Induk Patriot (BSIP) as actors who play a role in Sapta Pesona Waste Bank. BSIP as a partner of the Bekasi Municipal Government regulates the administrators of Sapta Pesona Waste Bank to become knowledgeable that allows the administrators to manage waste banks as well as manage customers through waste deposit activities such as waste collection and sorting, waste weighing, recording of waste scales, and taking savings money. Operation of the Sapta Pesona Waste Bank forms the habits of administrators and customers in managing and utilizing waste from their homes, which before was considered useless and thrown away. In addition, the governmentality of the Sapta Pesona Waste Bank improves the welfare of the administrators and customers, which shows increasing income from saving waste and increasing environmental cleanliness at the Sapta Pesona Residential. Therefore, it can be concluded that the governmentality in the Sapta Pesona Waste Bank show success because a series of Sapta Pesona Waste Bank activities create self-government in the administrators and customers in carrying out their roles in line with the wishes of the Bekasi Municipal Government."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library