Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairan
"Kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) terhadap Aceh mulai tahun 1989 s.d. 1998 sebagai sebuah strategi Pemerintah Republik Indonesia untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), telah menimbulkan mala petaka yang berakibat luka dan kedukaan bagi rakyat Aceh. Akibatnya tidak kurang dari 8.344 orang meninggal dunia, 575 orang hilang, 1.465 orang istri menjadi janda, 4.670 orang anak yatim, 298 orang cacat seumur hidup dan 34 orang perempuan diperkosa. Kekerasan seksual merupakan goncangan yang luar blasa yang teijadi di Aceh sepanjang sejarah perjuangan rakyat Aceh (ketika masih sebagai sebuah bangsa yang berdaulat), belum pemah terjadi dan kenyataan ini terlalu menyakitkan bagi rakyat Aceh. Karena faktor budaya, korban merasa malu dan rendah diri dalam masyarakat. Ada kecenderungan korban merahasiakan kekerasan seksual yang dialaminya. Disisi lain, pada umumnya mereka perempuan yang berpendidikan rendah, cenderung tidak mempunyai ketrampilan khusus dan juga berpenghasilan rendah serta hidup dalam kemiskinan. Ada perempuan korban yang merasa malu melaporkan diri kepada pihak yang berkompeten. Selain rasa malu, para korban juga sulit menjangkau ibu kota kecamatan untuk melapor kejadian yang mereka alami, karena situasi konflik terus berlangsung dan juga jarak yang harus ditempuh ke kecamatan relatif jauh. Yang menjadi fokus masalah di sini adalah bagaimana Persepsi korban tentang dirinya sendiri, interaksi mereka dengan orang lain, dan cara mereka melihat masa depannya sendiri.
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif melalui Pendekatan kualitatif yang perempuan bertujuan untuk memahami pengalaman korban perempuan dengan meneliti persepsi dirinya interaksi dengan orang lain dan cara korban melihat masa depannya Sendiri, agar dapat dijadikan landasan dalam membuat program untuk membantu perempuan korban kekerasan seksual. Informan penelitian diperoleh pada dua kecamatan yaitu kecamatan Peureulak dan Julok yang dilakukan pada bulan Februari s.d. Maret 2001 dan dilanjutkan pada bulan Juni 2001. Informan penelitian yang dijadikan kelompok kasus sebanyak 7 orang. Penelusurannya dilakukan dengan tehnik Snow Ball, dengan karakteristik informan; perempuan gadis (belum menikah), perempuan berkeIuarga (menikah) dan perempuan janda. Kemudian dilengkapi derigan 4 Informan annya yang dinggap dapat memperjelas informasi yang diperoleh. Metode pengambilan informasi dilakukan dengan pengamatan terlibat terhadap kelompok kasus dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dilabelkan sebagai orang yang menyimpang dari norma yang berlaku tergantung proses terjadinya tindak kekerasan seksual itu sendiri. Reaksi masyarakat terhadap korban dapat berupa positif atau negatif. Secara umum peran keluarga, orang dekat korban dan tokoh agama ikut berpengaruh terhadap korban dalam mengembalikan cara pandang korban terhadap dirinya sendiri, interaksi dengan orang lain dan cara melihat masa depannya sendiri setelah korban mengalami tindak kekerasan seksual. Pada umumnya korban masih melihat dirinya sendiri sebagai orang yang berguna setelah Iingkungan memberikan reaksi simpati terhadap korban. Lalu dari interaksi antara korban dengan Iingkungannya, muncul kembali semangat meraih masa depan dengan kemampuan yang dimiliki korban. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat Aceh signifikan ikut mempengaruhi persepsi diri korban. Di sisi lain, secara umum perempuan korban kekerasan seksual di Aceh mempunyai mental yang tangguh, hal ini ditandai oleh data lapangan dengan tidak ditemukan satu orangpun korban yang bunuh diri akibat diperkosa. Ada kecenderungan signifikan hal tersebut berhubungan dengan budaya Aceh yang melarang seseorang bunuh diri karena itu adalah salah satu dosa besar dalam Agama (Islam). Pembinaan korban relatif sulit dilaksanakan, jika situasi keamanan masih rawan. Oleh karena itu untuk melakukan pembinaan yang sustainable melalui pernberdayaan, korban memerlukan situasi keamanan yang kondusif. Memberikan bantuan kepada korban adalah baik. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan program konkrit yang dilaksanakan yaitu: membuat pusat-pusat rehabilitasi mental pada tiap Puskesmas - Puskesmas Pembantu oleh psikolog (ahil Jiwa) dan menghidupkan kembali pengajian tradisional secara reguler dan konsultasi personal dalam dimensi keagamaan terhadap korban dengan memanfaatkan pesantren. Membuat pusat rehabilitasi Personal/community dalam rangka kesinambungan (sustainabelity) melalui pelatihan sesuai bakat, minat dan prospek bahan baku yang ada di desa korban (people centered development). Kemudian membantu melakukan pangsa pasar untuk pemasanan produk secara berkelanjutan. Bagi korban yang tidak mempunyai keterampilan khusus, dibimbing dengan memberikan modal usaha tradisional (misalnya beternak)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3648
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Titis Prawitasari
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2005
T59060
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Megaratri Pralebda
"ABSTRAK
Latar Belakang: Kejahatan seksual terhadap anak terjadi di seluruh dunia. Komnas
Perlindungan Anak Indonesia mencatat, telah terjadi 21.869.797 kasus pelanggaran hak
anak di Indonesia, dengan 42-58% merupakan kejahatan seksual terhadap anak dari tahun
2010 hingga 2014. Hal-hal yang terdapat pada diri anak, karakteristik keluarga serta
faktor lingkungan dapat menjadi faktor resiko bagi anak untuk menjadi korban kejahatan
seksual.
Tujuan: Mencari hubungan antara karakteristik keluarga sebagai faktor resiko dengan
kejadian kejahatan seksual anak.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kasus-kontrol dengan kasus berasal dari
rekam medik pasien anak korban kejahatan seksual periode Januari 2012-Desember 2014
sedangkan kontrol adalah anak bukan korban kejahatan seksual yang berobat di Poliklinik
Kiara RSCM selama bulan Oktober 2015. Sampel diambil menggunakan teknik
purposive sampling dan menggunakan kuesioner kekerasan seksual anak yang diadopsi
dari Guidelines WHO 2003. Analisis data menggunakan uji Chi-square dan dinyatakan
bermakna apabila p<0,05 lalu dilakukan perhitungan RO serta IK95%.
Hasil: Diperoleh 230 subyek pada setiap kelompok kasus dan kontrol, dengan rentang
usia 2-18 tahun. Kejadian kejahatan seksual meningkat sesuai dengan bertambahnya usia,
terbanyak (65,2%) pada remaja (12-17 tahun). Terdapat hubungan antara keberadaan
orangtua dengan kejahatan seksual anak (p=0,009; RO 1,84; IK 1,16-2,91), namun tidak
terdapat hubungan antara pendapatan keluarga (p=0,499; RO 0,88 IK=0,60-1,28) dan
anggota keluarga yang padat (p=0,641; RO 0,92; IK=0,64-1,32) dengan kejadian kejahatan
seksual anak.
Kesimpulan: Anak dengan orangtua tidak lengkap terbukti memiliki resiko untuk
terjadinya kejahatan seksual anak (RO 1,84; IK 1,16-2,91). Tingkat pendapatan keluarga
dan jumlah anggota keluarga tidak berhubungan dengan kejadian kejahatan seksual anak.

ABSTRACT
Background: Child sexual assault occurs all over the world. Indonesia National
Commission in Child Protection states that 42-58 % of 21,869,797 cases occured
between the years of 2010 to 2014. Risk factors that can contribute for a child
becoming a child sexual assault victim are the characteristic from the child, the
family and the environment.
Aim: This study was designed to discuss the relationship between the incidence of
child sexual assault with the characteristics of the family as a risk factor.
Method: samples for case-control study was taken by purposive sampling. The
case group were taken from medical records of child sexual assault victims during
Januay 2012 until Desember 2014, while the control group from non child sexual
victims who are outpatients of Clinic Kiara RSCM during Oktober 2015 using the
same questionare. Data is analiyzed using Chi-square and significant when
p<0.05. OR and CI 95% is also calculate.
Result: Both groups consists of 230 subjects, with an age range 2-18 years.
Incomparison with the control group. The incidence of child sexual assault
increases with age, the highest (65.2%) in adolescent (12-17 years). This study
showed a significant relationship between the presence of a parent towards the
incidence with child sexual assault (p=0.012, RO=1.88, CI=1.13-2.85), but
showed no significant relationship between family income (p=0.499, OR=0,88;
CI=0.60-1.28 ) and the number of family members ( p=0.641, RO=0.92, CI=0.641.32).
Conclusion:
The result showed that children who have complete parents have a
proven risk to become victims of child sexual assault. The level of family income
and the number of family members does not associated with the incidence of child sexual assault. ;Background: Child sexual assault occurs all over the world. Indonesia National
Commission in Child Protection states that 42-58 % of 21,869,797 cases occured
between the years of 2010 to 2014. Risk factors that can contribute for a child
becoming a child sexual assault victim are the characteristic from the child, the
family and the environment.
Aim: This study was designed to discuss the relationship between the incidence of
child sexual assault with the characteristics of the family as a risk factor.
Method: samples for case-control study was taken by purposive sampling. The
case group were taken from medical records of child sexual assault victims during
Januay 2012 until Desember 2014, while the control group from non child sexual
victims who are outpatients of Clinic Kiara RSCM during Oktober 2015 using the
same questionare. Data is analiyzed using Chi-square and significant when
p<0.05. OR and CI 95% is also calculate.
Result: Both groups consists of 230 subjects, with an age range 2-18 years.
Incomparison with the control group. The incidence of child sexual assault
increases with age, the highest (65.2%) in adolescent (12-17 years). This study
showed a significant relationship between the presence of a parent towards the
incidence with child sexual assault (p=0.012, RO=1.88, CI=1.13-2.85), but
showed no significant relationship between family income (p=0.499, OR=0,88;
CI=0.60-1.28 ) and the number of family members ( p=0.641, RO=0.92, CI=0.641.32).
Conclusion:
The result showed that children who have complete parents have a
proven risk to become victims of child sexual assault. The level of family income
and the number of family members does not associated with the incidence of child sexual assault. ;Background: Child sexual assault occurs all over the world. Indonesia National
Commission in Child Protection states that 42-58 % of 21,869,797 cases occured
between the years of 2010 to 2014. Risk factors that can contribute for a child
becoming a child sexual assault victim are the characteristic from the child, the
family and the environment.
Aim: This study was designed to discuss the relationship between the incidence of
child sexual assault with the characteristics of the family as a risk factor.
Method: samples for case-control study was taken by purposive sampling. The
case group were taken from medical records of child sexual assault victims during
Januay 2012 until Desember 2014, while the control group from non child sexual
victims who are outpatients of Clinic Kiara RSCM during Oktober 2015 using the
same questionare. Data is analiyzed using Chi-square and significant when
p<0.05. OR and CI 95% is also calculate.
Result: Both groups consists of 230 subjects, with an age range 2-18 years.
Incomparison with the control group. The incidence of child sexual assault
increases with age, the highest (65.2%) in adolescent (12-17 years). This study
showed a significant relationship between the presence of a parent towards the
incidence with child sexual assault (p=0.012, RO=1.88, CI=1.13-2.85), but
showed no significant relationship between family income (p=0.499, OR=0,88;
CI=0.60-1.28 ) and the number of family members ( p=0.641, RO=0.92, CI=0.641.32).
Conclusion:
The result showed that children who have complete parents have a
proven risk to become victims of child sexual assault. The level of family income
and the number of family members does not associated with the incidence of child sexual assault. "
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Aulia Rifianti
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai dinamika antara disclosure, reaksi sosial, dan posttraumatic growth pada mahasiswi penyintas kekerasan seksual. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan partisipan mahasiswi sebanyak 42 orang. Posttraumatic growth diukur menggunakan Posttraumatic Growth Inventory (PTGI; Tedeschi & Calhoun, 1996) dan reaksi sosial diukur menggunakan Social Reactions Questionnaire-Shortened (SRQ-S; Ullman et al., 2017). Disclosure diukur berdasarkan jumlah penerima disclosure yang dilakukan penyintas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa disclosure tidak memiliki hubungan dengan posttraumatic growth. Masing-masing jenis reaksi sosial memiliki hubungan yang unik dengan posttraumatic growth, dimana reaksi sosial positif dan unsupportive acknowledgment memiliki hubungan positif yang signifikan dengan posttraumatic growth, dan reaksi sosial turning against tidak memiliki hubungan negatif dengan posttraumatic growth. Terakhir, penelitian menemukan bahwa reaksi sosial positif dapat memprediksi posttraumatic growth pada mahasiswi penyintas kekerasan seksual.

The purpose of this study is to examine the relationship between disclosure, social reactions, and posttraumatic growth among female college student survivors of sexual assault. This study uses quantitative approach, involving 42 female college students as participants. Posttraumatic growth was measured using Posttraumatic Growth Inventory (PTGI; Tedeschi & Calhoun, 1996) and social reactions was measured using Social Reactions Questionnaire-Shortened (SRQ-S; Ullman et al., 2017). Disclosure was measured based on the number of disclosure recipients. The result shows that there is no significant relationship between disclosure and posttraumatic growth. Each type of social reactions shows different relationship to posttraumatic growth, positive social reactions and unsupportive acknowledgment social reactions have significant positive relationships with posttraumatic growth, and turning against social reactions shows no significant relationship with posttraumatic growth. Finally, positive social reactions also predict posttraumatic growth among female college student survivors of sexual assault.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariani Hasanah Soejoeti
"Kekerasan seksual di kampus merupakan tindak kejahatan dengan tingkat pelaporan yang sangat rendah. Sementara itu, berdasarkan sejumlah penelitian terdahulu, diketahui bahwa kekerasan seksual merupakan sebuah peristiwa traumatis yang sangat berdampak pada kesehatan mental dan fisik korbannya. Oleh karenanya, tesis ini membahas seputar permasalahan kriminologis kekerasan seksual di ranah perguruan tinggi, khususnya kebijakan pencegahan dan penanggulangan di Perguruan Tinggi X dan Y. Penelitian ini adalah penelitian kriminologi feminis dengan menggunakan pendekatan kritis. Hasil penelitian menyarankan bahwa model kebijakan yang ideal harus mencakup aspek Pelaporan, Penanganan, Pencegahan, Pendanaan, Monitoring dan Evaluasi.

Campus sexual assault is the most underreported crime. Meanwhile, previous studies reveal that sexual violence is a traumatic event that has major impacts on the mental and physical health of its victims. Against that background, this thesis discusses the criminological problem of campus sexual assault, particularly the prevention and response policy aspect at University X and Y. This research is a criminology-feminist study using a critical approach. The result of the study suggests that the ideal policy model must include Reporting, Response, Prevention, Funding, Monitoring and Evaluation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tirta Wening Kusumawardani
"Latar Belakang: Angka kejahatan seksual di Indonesia cukup tinggi. Dalam kasus pelecehan seksual, tim forensik akan meminta sampel dari TKP. Sampel yang di dapatkan pada kasus pemerkosaan biasanya berbentuk campuran sperma dengan sel vagina. Differential extraction telah digunakan sebagai standar dalam memisahkan komponen seluler dan sperma. Differex System diperkenalkan oleh Promega Co, mengkombinasikan fase separasi dan sentrifugasi berjenjang dalam memisahkan DNA epitel dan sperma. Tujuan: Mengetahui pemisahan sel sperma dari epitel dalam berbagai variasi konsentrasi dengan metode Differex System. Metode: Sampel epitel dan sperma diambil dan dicampurkan dalam 4 kelompok rasio epitel dibanding sperma (1:1), (2:1), (5:1), (10:1). Sampel kemudian dilakukan pemisahan sel sperma dari epitel menggunaakan metode Differex System. Hasil: Terjadi pemisahan antara sperma dan epitel pada keempat rasio. Secara statistik terdapat perbedaan bermakna antara keempat rasio pada fraksi sperma. Kesimpulan: Metode Differex System dapat memisahkan sperma dengan epitel. Rasio pemisahan terbaik, jika dilihat dari konsentrasi DNA yang dihasilkan, adalah rasio (1:1)
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adetya Sarah Widowati
"Penelitian ini bertujuan untuk menginterogasi kontribusi teoretis dan praktis dari gerakan MeToo yang muncul melalui tagar MeToo di Twitter dan beberapa artikel berita. Dengan menggunakan analisis wacana kritis dengan pendekatan Perubahan Sosial yang ditawarkan oleh Norman Fairclough, twit teratas yang berisi tanda pagar MeToo dikumpulkan dan dianalisis berdasarkan dua kasus tuduhan pelecehan seksual terhadap Harvey Weinstein dan Brett Kavanaugh. Selain itu, kontribusi MeToo dalam aspek metode distribusi, partisipasi, pemikiran, dan kontinuitas gerakan juga dapat dilihat pada sejumlah artikel di media massa. Dengan kekuatan media sosial dan media massa, MeToo sebagai hashtag activism telah memotivasi jutaan perempuan Amerika untuk menyuarakan kisah mereka tentang pelecehan seksual yang sebelumnya dibungkam. Dengan mengaplikasikan gagasan Manuel Castells tentang transformasi emosi menjadi tindakan yang berperan dalam mobilisasi sosial, diskusi pada penelitian ini menemukan bahwa cerita pribadi yang dibagikan ke ruang publik telah memicu emosi para pengguna media sosial dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan. Penelitian ini lebih jauh berargumen bahwa gerakan MeToo berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran tentang relasi kekuasaan, membuat cerita para penyintas lebih didengar dan dipercaya, serta melindungi para penyintas melalui penegakan hukum. Dari beberapa kontribusi tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa gerakan MeToo akan terus tumbuh dan memberikan dampak jangka panjang terhadap gerakan perempuan di Amerika Serikat.

This study sets out to interrogate the theoritical and practical contributions of MeToo movement that emerge from MeToo hashtag on Twitter and several news articles. By using critical discourse analysis with Sociocultural Change approach offered by Norman Fairclough, the top tweets that contain MeToo hashtag were collected and analyzed by two particular sexual allegation cases against Harvey Weinstein and Brett Kavanaugh. In addition, MeToo`s contributions in the aspects of distribution method, participation, idea, and continuity of the movement can also be recognized through several articles in mass media. With the power of social media and mass media, MeToo as hashtag activism has motivated millions of American women to vocalize their silenced stories about sexual assault. Applying Manuel Castells` idea about the transformation of emotions into actions regarding social mobilization, it is found in the discussion that personal stories shared into public sphere have triggered social media users emotions and provoked them to take actions. This study further argues that the contributions of MeToo movement include raising awareness about power relations, making survivors stories more heard and believed, and protecting survivors through law enforcement. From the contributions, it suggests that MeToo movement will continuously grow and give long-lasting impacts to the womens movement in the United States."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Netanya
"Kekerasan dan pelecehan seksual adalah kejahatan keji yang 'sering' dilakukan. Ini adalah tindakan kejam yang dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental korban. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menemukan solusi untuk menciptakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) untuk mengatasi masalah dunia. Dalam kaitannya dengan kekerasan dan penyerangan seksual, SDG 5 dan SDG 16 diangkat dalam topik ini karena terdapat target SDG 5.2 yaitu menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap semua perempuan dan anak perempuan di ruang publik dan privat, termasuk perdagangan manusia. dan eksploitasi seksual dan jenis lainnya, target SDG 16.1 dan SDG 16.2 untuk secara signifikan mengurangi segala bentuk kekerasan dan angka kematian terkait di mana pun dan mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan terhadap dan penyiksaan terhadap anak. Untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan tersebut, menciptakan ruang aman dari kekerasan dan pelecehan seksual dengan saling membantu dimanapun dan kapanpun dibutuhkan adalah asal muasal terciptanya EVA. EVA adalah aplikasi seluler yang memungkinkan pengguna mendapatkan dukungan, bantuan, dan perlindungan. Tujuannya adalah untuk mengakhiri kekerasan dan pelecehan seksual dengan cara apa pun yang memungkinkan. EVA memiliki tujuh fitur utama yang dapat membantu pengguna, antara lain tombol darurat, fitur sesi terapi, fitur pendidikan, fitur pelacakan lokasi, fitur peringatan lainnya dan otoritas, dan terakhir fitur rekam dan laporan.

Violence and sexual assault are a heinous crime that is 'often' committed. It is a cruel act that can have a negative impact on a victim's physical and mental health. United Nation has come up with a solution to invent Sustainable Develop Goals to cope with the world’s problem. In the relation to violence and sexual assault, SDG 5 and SDG 16 are come up in the topic because there is a target of SDG 5.2 which is eliminating the all forms of violence against all women and girls in the public and private spheres, including trafficking and sexual and other types of exploitation, target of SDG 16.1 and SDG 16.2 to significantly reduce all forms of violence and related death rates everywhere and end abuse, exploitation, trafficking and all forms of violence against and torture of children. To contribute achieving those goals, creating a safe space from violence and sexual assault by helping each other wherever and whenever needed was the provenance of creating EVA. EVA is a mobile app that allows users to get support, help, and protection. Its goal is to end violence and sexual assault in any way possible. EVA has seven major features that can assist users, including an emergency button, therapy session feature, education feature, tracking location feature, alert other and authorities feature and lastly record and report feature."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silmi Kamilah
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui Twitter sebagai bentuk resistensi penyintas kekerasan seksual di Indonesia. Studi-studi terdahulu mengenai pengungkapan kasus kekerasan seksual membahas dua jenis pengungkapan, yaitu secara langsung dan secara daring melalui perantara media sosial. Akan tetapi, belum banyak studi yang melihat fenomena ini sebagai bentuk resistensi penyintas, khususnya melalui pewacanaan diskursus tandingan dengan menggunakan metode analisis wacana kritis. Penelitian ini berargumen bahwa pengungkapan kasus kekerasan seksual di Twitter merupakan bentuk resistensi penyintas dan terwujud melalui diskursus tandingan yang memicu dialog publik mengenai kekerasan seksual. Diskursus tandingan penyintas beroperasi dalam online counterpublics, yaitu arena diskursif berbasis teknologi internet di mana kelompok marjinal mampu mengontestasikan eksklusi mereka dari ruang publik. Temuan penelitian menunjukkan diskursus tandingan penyintas terlihat dalam teks yang merebut kembali narasi kekerasan seksual dari perspektif penyintas, menggambarkan bentuk kekerasan yang beragam, serta memberikan sanksi sosial kepada pelaku. Proses produksi teks utas juga merepresentasikan resistensi penyintas sebagai aktor yang aktif dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun begitu, terdapat kontestasi antara diskursus tandingan penyintas dengan diskursus dominan yang mereproduksi nilai-nilai rape culture di arena diskursif yang sama. Resistensi penyintas juga diinterpretasi secara berbeda-beda oleh publik sehingga arena diskursif yang ada tidak menjadi ruang aman bagi penyintas untuk bersuara. Oleh karena itu, pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui Twitter tidak menjadi jalur alternatif yang ideal bagi penyintas untuk mendapatkan keadilan di tengah konteks sosiokultural Indonesia yang masih melanggengkan kekerasan seksual.

This study aims to explain how sexual assault disclosure on Twitter is a form of sexual violence survivors’ resistance in Indonesia. Previous studies on sexual assault disclosure mainly discussed two kinds of disclosure, which are direct or offline disclosure and disclosure through social media or online disclosure. However, there is little to no studies which analyzed the phenomenon as sexual violence survivors’ resistance through the construction of counter discourse, specifically using critical discourse analysis (CDA). This study argues that sexual assault disclosure on Twitter is a form survivors’ resistance which further manifested through counter discourse that encourages public discussion on sexual violence. Survivors’ counter discourse operates through online counterpublics, which is a discursive arena facilitated by the internet in which marginalized group contested their exclusion from the public sphere. The findings of this study show that survivors’ counter discourse can be seen through texts which reclaim sexual assault narrative, depict various sexual violence forms, and give social punishment to the perpetrators. The text production process also represents survivors’ resistance as an active actor in the decision-making process. However, there is a contestation between survivors’ counter discourse and the dominant discourse which reproduces rape culture values in the same discursive arena. Survivors’ resistance is also interpreted in different ways by the public, emphasizing how the discursive arena is not a safe space for survivors to speak up. Therefore, the sexual assault disclosure through Twitter is not an ideal alternative route for survivors to seek justice in the midst of Indonesia's sociocultural context which still perpetuates sexual violence"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Blanca Ayesha Rachman
"Emotional Victim Effect (EVE) menjelaskan bagaimana ekspresi emosi pada korban berdampak pada persepsi kredibilitas laporannya. EVE ditemukan dalam berbagai penelitian terhadap korban kekerasan seksual perempuan. Namun, EVE masih belum banyak dieksplorasi untuk korban laki-laki. Pada penelitian ini, peneliti melakukan eksperimen untuk mengetahui apakah EVE ditemukan pada laki-laki korban kekerasan seksual. Partisipan penelitian ini merupakan mahasiswa Ilmu Hukum yang telah lulus mata kuliah hukum acara pidana (N=138) yang direkrut menggunakan teknik pengambilan sampel convenience sampling. Partisipan menyaksikan video tentang seorang laki-laki yang melaporkan kejadian kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Kelompok eksperimen menyaksikan video korban dengan ekspresi emosi negatif yang kuat sedangkan kelompok kontrol menyaksikan video korban dengan ekspresi emosi netral. Hasil utama penelitian ini adalah EVE tidak ditemukan pada laki-laki korban kekerasan seksual karena tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari ekspresi emosi negatif korban terhadap persepsi kredibilitas laporannya. Selanjutnya, penelitian ini juga menemukan bahwa semakin tinggi penerimaan mitos pemerkosaan laki-laki berhubungan dengan semakin rendahnya persepsi kredibilitas terhadap korban. Temuan pada penelitian ini menyoroti pentingnya upaya peningkatan pemahaman dan sensitivitas oleh masyarakat terutama aparat penegak hukum terhadap laporan kekerasan seksual laki-laki.

Emotional Victim Effect (EVE) explains how a victim's expression of emotion impacts the perceived credibility of their report. EVE was found in various studies of female victims of sexual assault. However, EVE has still not been explored much for male victims. In this study, researcher conducted an experiment to find out whether EVE was found in male victims of sexual assault. The participants in this research were law students who had passed the criminal procedural law course (N=138) who were recruited using convenience sampling techniques. Participants watched a video of a man reporting a case of sexual assault he had experienced. The experimental group watched a video of a victim with strong negative emotional expressions while the control group watched a video of a victim with neutral emotional expressions. The main result of this research is that EVE was not found in male victims of sexual assault because there was no significant effect of the victim's negative emotional expression on the perceived credibility of his report. Furthermore, this research also found that higher acceptance of male rape myths was associated with lower perceived credibility towards the victim. The findings of this research highlight the importance of efforts to increase understanding and sensitivity by the community, especially law enforcement officers, towards reports of male sexual assault."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>