Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadya Magfira
"ABSTRAK
Latar belakang: Penelitian mengenai Disfungsi Seksual pada Wanita (DSW) masih jauh
tertinggal dibandingkan pada pria, saat ini hipertensi diketahui mempengaruhi terjadinya
disfungsi seksual pada pria. Namun, bagaimana hipertensi mempengarhui kejadian DSW
belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
hipertensi esensial dengan kejadian DSW.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Klinik
Ikhalas Medika Kota Serang, Banten pada bulan Agustus-September 2019. Seluruh
perempuan yang berusia diatas 18 tahun, berpendidikan minimal SD, menikah,
melakukan hubungan seksual dalam 4 minggu terakhir, tidak memiliki riwayat diabetes,
kemoterapi, radiasi maupun operasi didaerah panggul selain section caesare
diikutsertakan dalam penelitian. Fungsi seksual wanita diukur menggunakan Female
Sexual Function Index-Indonesia (FSFI-I), subjek dikategorikan memiliki DSW apabila
nilai FSFI-I < 26.55. Analisa menggunakan modified Cox-regression digunakan untuk
mengetahui hubungan DSW dengan hipertensi esensial yang dinyatakan dalam Rasio
Prevalensi (PR) dan Interval Kepercayaan 95% (95%CI).
Hasil: Sebanyak 442 wanita diikutsertakan dalam penelitian ini dengan respons rate
penelitian sebesar 86.3%. Sebanyak 91.67% wanita dengan hipertensi (121/132) dalam
penelitian ini mengalami DSW dan sebanyak 72.9% (226/310) wanita tanpa hipertensi
mengalami DSW. Hipertensi diketahui meningkatkan kejadian DSW dengan nilai aPR
sebesar 1.76 kali lipat (95%CI: 1.20-2.60).
Kesimpulan: DSW merupakan masalah kesehatan yang umum dijumpai dan kejadiannya
diketahui meningkat pada wanita dengan hipertensi. Pengelolaan hipertensi dengan
pendekatan holistik perlu dilakukan termasuk didalamnya penilaian gangguan fungsi
seksual pada wanita dengan hipertensi.

ABSTRACT
Introduction: Comapared to male, the study regarding Female Sexual Dysfunction
(FSD) was far left behind. Recent study showed that high blood pressure is a major cause
of male sexual dysfunction. However, how hypertension affects women sexual function
was not completely understood. This study aims to investigate the relationship between
hypertension and FSD.
Methods: This is a cross-sectional study conducted in a private primary healthcare
clinic, in Serang City, Banten Province Indonesia from August-September 2019. All
women aged 18 years or older, at least elementary school graduated, had sexual activities
during the last 4 weeks were recruited. Exclusion criteria were pregnant, had history of
diabetes, or chemotherapy, radiation, or surgery in the pelvic region except for caesarean
section. Patient sexual function was assessed by the Indonesian validated Female Sexual
Function Index (FSFI-I). Patients were classified as having sexual dysfunction (SD) if the
total FSFI-I score was < 26.55. Modified cox-regression performed to evaluate the
association between hypertension and SD and to calculate the Prevalence Ratio (PR) for
SD in HT women.
Results: A total of 442 women were included in this study with a response rate of 86.3%.
A total of 91.67% women with hypertension (121/132) in this study had FSD and a total
of 72.9% women without hypertension (226/310) had FSD. Hypertension increased the
proportion of FSD with an aPR 1.76 (95% CI: 1.20-2.60).
Conclusion: FSD is a common problem and the prevalence increase in women with
hypertension. Holistic approach management in hypertension needs to be done including
the assessment of sexual function in women with hypertension.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Riana Ridwan
"Pendahuluan dan Tujuan: Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan seksual pada wanita menikah yang bekerja pada bidang pelayanan kesehatan.
Metode: Fungsi seksual dinilai dengan kuesioner Female Sexual Function Index (FSFI). Analisis data dilakukan dengan chi-square test or Fisher Exact Test
Hasil: Semua subjek yang mengalami overweight atau obesitas memiliki masalah nyeri terbanyak (p value 0.034). Wanita dengan diabetes mellitus memiliki masalah kepuasan yang lebih tinggi (p=0.002, OR 13.13, CI 1.73-99.91). Wanita yang menggunakan kontrasepsi memiliki masalah orgasme yang lebih rendah dibandingkan wanita yang tidak menggunakannya (p<0.004, OR 0.33, CI 0.15-0.72). Subjek yang bekerja sebagai staf medis seperti perawat/bidan, farmasi, radiografer memiliki masalah nyeri yang lebih tinggi (71.43%) dibandingkan dengan staf non medis (petugas administrasi) (OR 27.47, CI 3.73-202).
Kesimpulan: IMT yang berlebih (overweight/obesitas), diabetes mellitus, penggunaan kontrasepsi, dan tenaga kesehatan adalah faktor risiko yang signifikan yang mempengaruhi munculnya gangguan seksual pada wanita yang bekerja di rumah sakit.
......Introduction & Objectives: In this study, we want to evaluate the risk factors associated with sexual dysfunction in married women working in health care system.
Material & Methods: The sexual function was assessed in the questionnaire using Female Sexual Function Index (FSFI). The analysis was conducted using chi-square test or Fisher Exact Test.
Result: All participants who were overweight/obese had highest pain problem (p value 0.034). Women with diabetes mellitus had higher satisfaction problems (p=0.002, OR 13.13, CI 1.73-99.91). The females who used contraception had significantly lower orgasm problems (p<0.004, OR 0.33, CI 0.15-0.72. Participants who worked as medical staff such as nurse/midwife, pharmacist, radiographer had higher pain problems (71.43%) compared to medical staff (administration staff) (OR 27.47, CI 3.73-202).
Conclusion: The BMI (overweight/obesity), diabetes mellitus, the use of contraception, and the medical occupation were the significant risk factors to sexual dysunction problem in women working in the hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Juanda
"Disfungsi seksual umumnya lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut dengan Benign Prostatic Hyperplasia BPH . Disfungsi seksual merupakan gangguan yang ditandai dengan perubahan hasrat seksual dan perubahan psiko-fisiologis yang terkait dengan siklus respon fisiologis seksual. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik demografi dengan disfungsi seksual pada pasien BPH. Jenis penelitian deskriftif korelasi menggunakan desain cross-sectional, dengan sampel 83 responden diambil melalui teknik convinience sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner data demografi dan International Index of Erectile Function IIEF. Analisis yang digunakan yaitu Spearman Correlation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara karakteristik demografi usia dan pekerjaan dengan disfungsi seksual pada pasien BPH p= < 0,05 . Tingginya kejadian disfungsi seksual yang terjadi pada pasien BPH dapat dipengaruhi oleh bertambah usia.
......
Sexual dysfunction commonly affects older men with benign prostatic hyperplasia BPH . Sexual dysfunction is characterized by alteration in sexual desire and psycho physiological aspect associated with cycle of physiological sexual response. This study aimed to identify relationship between demographic characteristics and sexual dysfunction in patient with BPH. The study design was descriptive correlational with cross sectional approach. Total of 83 respondents were selected by convinience sampling method. This study employed demographic questionnaire and International Index of Erectile Function IIEF . The data were analyzed by Spearman correlation. The result suggested that there was a significant correlation between demographic characteristics age and occupation and sexual dysfunction in patients with BPH."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S69822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fazar Az Zahara Wany
"Diabetes melitus merupakan faktor risiko berkembangnya disfungsi seksualitas pada wanita yang dapat mempengaruhi hasrat seksual, lubrikasi, dispareunia, dan menurunnya kemampuan mencapai orgasme. Masalah disfungsi seksualitas pada pasien diabetes melitus masih merupakan hal yang tabu untuk dibahas secara terbuka karena sulitnya pasien untuk mengungkapkan masalah seksualitasnya kepada petugas kesehatan. Tujuan penelitian adalah untuk mengeksplorasi pengalaman disfungsi seksualitas pasien wanita dengan diabetes melitus. Metode penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi. Partisipan wanita sejumlah 6 orang dengan kriteria inklusi berusia 18-45 tahun, wanita diabetes melitus tipe 2 dengan disfungsi seksual, memiliki pasangan pernikahan yang masih hidup, yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan menggunakan catatan lapangan field note. Setiap partisipan diberikan kuesioner FSFI female sexual function index untuk menentukan status disfungsi seksualnya. Data dianalisa dengan metode konten analisis kualitatif. Tujuh tema yang ditemukan: 1 ketidaknyamanan fisik saat melakukan aktifitas seksual; 2 adanya penurunan hasrat seksual pada isteri usia lebih dari 30 tahun; 3 ketidakpuasan aktifitas seksual yang dilakukan; 4 keterpaksaan dalam mendiskusikan masalah seksual pada petugas kesehatan; 5 kurangnya informasi tentang aktifitas seksual; 6 ketidakberdayaan menjalani pengobatan masalah seksual; dan 7 penurunan peran seksual sebagai istri. Dapat disimpulkan bahwa disfungsi seksual pada wanita diabetes melitus tipe 2 ada dan mengganggu baik secara fisik maupun psikologis. Namun, masih terdapat keengganan bagi wanita untuk dapat mendiskusikan masalahnya secara terbuka. Oleh sebab itu, disarankan bagi perawat untuk memulai komunikasi secara terbuka mengani masalah seksualitas wanita dengan diabetes melitus tipe 2.
......
Diabetes mellitus is a risk factor for developing female sexual dysfunction which affected sexual desire, lubrication, dispareunia sexual pain, and orgasm decreased. Sexual dysfunction problem in type 2 diabetic patients is still a taboo subject to be discussed because that was hard to be revealed to their healthcare personnel. The aim of the study was to explore sexual dysfunction experience of type 2 diabetes mellitus woman. A qualitative with a phenomenology design was used. This study was involved six women with type 2 diabetes mellitus who met the inclusion criterion ages 18 45 years, married, gathered using a purposive sampling method. Data were collected using an in depth interview and field notes. Each participant was screened using a FSFI quessionaire to determine sexual dysfunction status. Data were analyzed using qualitative content analysis. Seven themes emerged 1 physical discomfort while having sexual activities 2 presence of sexual desire decreased in spouse with ages more than 30 years old 3 dissatisfaction with sexual activity 4 hesitance feeling while discussing sexual problem with healthcare providers 5 lack of information about sexual activity 6 feeling powerlessness while undergone sexual problem treatment 7 decreased in sexual roles as a wife. In conclude that the sexual dysfunction among women with type 2 diabetes mellitus is existing and disturbing physically and psychology. But there has been hesitated of women to openly disccussed the problem. It is suggested for nurses to initiate open communication about sexual problem among women with type 2 diabetes mellitus."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T47659
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leleulya, Marlond Rainol
"Gangguan fungsi seksual dapat terjadi pada laki-laki di segala usia, suku dan latar belakang budaya. Diperkirakan lebih dari 152 juta laki-laki di dunia menderita disfungsi ereksi pada tahun 1995 dan jumlahnya terus meningkat sehingga diperkirakan akan mencapai 322 juta di tahun 2025. Pengetahuan tentang fisiologi, patofisiologi fungsi seksual laki-laki dan melode diagnostik serta pengobatan dalam 3 dekade terakhir mengalami kemajuan bermakna. Keterlibatan fisiologi, sifat dan elemen-elemen yang terlibat dalam respons seksual normal dan aktiviti fungsional struktur penis telah berhasil diketahui. Mekanisme pasti komponen sistem saraf yang terlibat dalam proses ereksi jugs telah dapat dimengerti. Dalam bidang patofisiologi perkiraan kontribusi relatif faktor psi kogenik dan organik diketahui menjadi penyebab disfungsi ereksi pada laki-laki serta banyak faktor risiko yang menjadi penyebab disfungsi ereksi berhasil diidentifikasi. Pemeriksaan fisis dan laboratorium berkembang dengan pesat dengan berbagai pemeriksaan psikometri, hormonal, vaskular dan neurotogis.
Pedoman yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2003 menyatakan PPOK adalah penyakit paru obstruktif kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun dan berbahaya. Pertambahan jumlah perokok, perkembangan industrialisasi dan polusi udara akibat penggunaan slat transportasi meningkatkan jumlah penderita PPOK dan menimbulkan masalah kesehatan. Diperkirakan 14 juta orang menderita PPOK di Amerika Serikat pada tahun 1991, meningkat 41,5 % dibandingkan tahun 1982 sedangkan mortalitinya menduduki peringkat ke-4 penyebab kematian terbanyak yakni 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9 % dari tahun 1979 sampai 1991. Laki-laki dan perempuan mempunyai angka mortaliti yang sama sebelum usia 55 tahun sedangkan laki-laki usia 70 tahun angka kematian meningkat dua kali dari perempuan. Studi pada 12 negara di Asia Pasifik oleh Chronic Obstructive Pulmonary Disease Working Group mendapatkan prevalens PPOK bervariasi mulai dari 3,5% di Hong Kong dan 6,7% di Vietnam sedangkan di Indonesia sebesar 5,6%. World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalens PPOK akan meningkat pada tahun 2020 dari peringkat 12 ke 5 penyebab penyakit tersering di seluruh dunia.
Koitus merupakan proses alamiah dan dibutuhkan manusia. Penyakit kronik selain mengganggu kemampuan menikmati hidup jugs mengganggu fungsi seksual. Disfungsi ereksi yang terjadi berkisar dari gangguan kecii sampai bencana bagi keluarga. Hudoyo dkk. menemukan disfungsi ereksi pada penderita PPOK mencapai 62,5%. Selama ini layanan medis dalam penanganan penderita PPOK terbatas pada keluhan-keluhan penderita yang berhubungan dengan sesak napas, faktor-faktor penyulit dan komplikasinya sedangkan masalah psikososial kurang mendapat perhatian. Walaupun masalah psikososial secara langsung tidak mempengaruhi angka harapan hidup, tetapi kondisi ini sangat mempengaruhi kualiti hidup penderita beserta pasangannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kindy Aulia
"Pendahuluan dan tujuan: Meskipun prevalensi disfungsi seksual pada wanita tinggi, masalah seksual jarang menjadi fokus konsultasi klinis karena sifatnya yang intim dan pribadi. Di negara seperti Indonesia, lebih sulit lagi untuk mengatasi masalah ini, mengingat faktor budaya, etnis dan agama. Pengaruh kelelahan kerja di kalangan perawat di seluruh dunia terhadap disfungsi seksual jarang dipelajari. Dengan tingginya prevalensi burnout akibat pekerjaan perawat, disfungsi seksual bisa menjadi masalah signifikan yang dialami oleh perawat di seluruh negeri. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kelelahan kerja dengan disfungsi seksual pada perawat wanita Indonesia.
Metode: Sebuah studi cross sectional dilakukan di Rumah Sakit Umum Kardinah, Tegal, Jawa Tengah, Indonesia antara Januari 2022 dan Maret 2022 menggunakan kuesioner online yang dikelola sendiri dan bersifat anonim. Subjek penelitian kami adalah perawat wanita dari klinik rawat jalan, bangsal rawat inap, unit perawatan intensif/tinggi, unit gawat darurat, dan kamar operasi. Kami membagikan kuesioner online kepada perawat wanita yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Burnout pekerjaan di kalangan perawat dinilai menggunakan Copenhagen Burnout Inventory (CBI), sedangkan disfungsi seksual pada wanita dinilai menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak IBM SPSS ver 25.0
Hasil: Sebanyak 285 perawat berpartisipasi sebagai sampel penelitian ini, 164 perawat (57,54%) berada pada kelompok beban kerja rendah dan 121 perawat (42,46%) pada kelompok beban kerja tinggi. Prevalensi disfungsi seksual pada perawat wanita dalam penelitian ini mencapai 87,7%, sedangkan kelelahan kerja pada perawat dengan beban kerja tinggi dan rendah dalam penelitian kami masing-masing adalah 42,2% dan 19,5%. Hasil analisis menunjukkan korelasi negatif yang signifikan antara skor CBI, sub skor, dan status burnout terhadap skor FSFI (p < 0,05) meskipun korelasi tersebut lemah. Data kami membuktikan bahwa tidak ada variabel independen yang dapat menjadi variabel predictor skor FSFI.
Kesimpulan: Perawat wanita yang sudah menikah memiliki tingkat kelelahan kerja yang relatif tinggi dan rentan terhadap disfungsi seksual. Studi ini menunjukkan korelasi yang signifikan secara statistik tetapi lemah antara kelelahan kerja dengan disfungsi seksual pada perawat wanita yang sudah menikah dari skor total CBI, subskor dan status kelelahan dengan skor total dan subskor FSFI dalam hal lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan nyeri.
......Introduction: Despite the high prevalence of female sexual dysfunction (FSD), sexual problems are rarely a focus of clinical consultation due to their intimate and private nature. In a conservative country like Indonesia, it is even more difficult to address these problems considering the culture, ethnic and religion factors. Therefore, this study aimed to see the correlation between occupational burnout and sexual dysfunction in Indonesian female nurses.
Methods: A cross-sectional study was conducted in Kardinah General Hospital, Tegal, Central Java, Indonesia between January and March 2022. We distributed online questionnaires to female nurses who matched our eligibility criteria. Occupational burnouts among nurses were assessed using Copenhagen Burnout Inventory (CBI), while Female sexual dysfunction (FSD) was assessed using Female Sexual Function Index (FSFI).
Results: A total of 285 nurses participated as samples of this study, 164 nurses (57,54%) were in the low workload group and 121 nurses (42,46%) in the high workload group. The prevalence of sexual dysfunction in female nurses in this study was as high as 87.7% While occupational burnout in high and low workload nurses in our study was 42.2% and 19.5%, respectively. The analysis shows a significant negative correlation between CBI score, sub scores, and burnout status to FSFI score (p < 0.05).
Conclusion: Married female nurses have a relatively high occupational burnout and are prone to sexual dysfunction. This study showed statistically significant but weak correlation between occupational burnout with sexual dysfunction in married female nurses from the CBI total score, subscores and burnout status with FSFI total score and subscores."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Endah Rakhmawati
"Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi yang bertujuan mendapatkan gambaran pengalaman perempuan yang mengalami disfungsi seksual pasca melahirkan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 5 tema yang merupakan gambaran pengalaman perempuan yang mengalami disfungsi seksual pasca melahirkan, yaitu:1) perubahan pasca melahirkan penyebab disfungsi seksual 2) disfungsi seksual pasca melahirkan 3) akibat disfungsi seksual 4) upaya perempuan mengatasi disfungsi seksual 5) harapan perempuan yang mengalami disfungsi seksual. Hasil penelitian ini memberikan implikasi terhadap pelayanan keperawatan untuk memfasilitasi health promotion berkaitan dengan aspek seksualitas pada kelas prenatal dan postnatal dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar secara menyeluruh sehingga asuhan yang diberikan kepada klien mencakup seluruh aspek secara holistik.
......This study uses qualitative methods of phenomenology which aims to explore female experience related sexual dysfunction after childbirth. Based on the results of five studies found a theme that is the description the experience of women who experience sexual dysfunction after childbirth, namely: 1) changes in postnatal period causes by sexual dysfunction 2) post partum sexual dysfunction 3) effect of sexual dysfunction 4) efforts to over come female sexual dysfunction 5) expectations of female who experience sexual dysfunction. The results of study provide implications for nursing services to facilitate sexual aspect health promotion in prenatal class and postnatal class to the fulfillment of basic needs thoroughly in order to provide a holistic patient care."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akhyarul Anam
"The prevalence of chronic renal failure in Indonesia tends to increase in the lower age group (45–54 years). Chronic renal failure may lead to impaired sexual function. A descriptive phenomenology study with in-depth interviews was carried out with 12 participants, and thematic content analysis was applied. Six themes were revealed, as follows: 1) adaptation process to sexual dysfunction experienced, 2) sexual dysfunction experience, 3) importance of fulfilling sexuality needs, 4) behavior in dealing with sexual dysfunction, 5) perception of the cause of sexual dysfunction, and 6) participants’ expectation of health service related to sexual function. The experience of adapting to sexual dysfunction became a meaningful process through partner involvement. Similar research involving more heterogeneous samples would benefit further discourse."
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
610 UI-JKI 23:2 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dahril
"Objektif : Untuk mengetahui korelasi antara Disfungsi Ereksi dengan berat Chips Prostat, Volume Prostat dan lamanya waktu TURP pada BPH.
Metode : Penelitian ini merupakan prospektif deskriptif. Semua pasien BPH yang menjalani TURP di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama Juni 2001 - Desember 2002 dimasukkan kedalam penelitian ini. Pada penelitian ini digunakan kwesioner International Index Erectile Function-5 (IIEF-5) untuk menilai keadaan fungsi ereksi sebelum dan dua bulan setelah operasi TURP. Pasien yang mengalami disfungsi ereksi sebelum operasi diekslusi dari penelitian ini.
Hasil: Didapatkan 15,4 % pasien disfungsi ereksi setelah TURP dengan usia rata rata 60,3 ± 4,2 tahun dan didapatkan korelasi yang signifikan antara disfungsi ereksi dengan beratnya chips prostat ( p =0,02 ). Dari analisis regresi diasumsikan bahwa setiap 1 gram chips prostat yang direseksi akan mengakibatkan kemungkinan disfungsi ereksi 0,4 %.

Objective: To determine the correlation between erectile dysfunction and tissue removed at transurethral resection of prostate, volume of the prostate and duration time of resection in Benign Prostate Hyperplasia.
Method: This was a descriptive prospective study. All BPH patients underwent transurethral resection of the prostate in Hasan Sadikin Hospital Bandung during June 2001 - December 2002 was included in this study. International Index Erectile Function-5 (IIEF-5) questionnaires was used to evaluate these subjects preoperatively and two months after operation. Patients with erectile dysfunction before operation were excluded from this study.
Results: After TURP procedure, 15.4 % patients had erectile dysfunction, with mean age 60.3 ± 4.2 years old. We found significant correlation between prostate chips weight resected during TURP and erectile dysfunction (p = 0.02). By regression analysis, it was assumed that every 1 gram resected prostate chip increased the likelihood of erectile dysfunction 0.4%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suntoro
"Latar belakang: Perubahan fungsi seksual perempuan pascapersalinan berkisar 23% - 86% dan mempunyai dampak yang signifikan dalam keharmonisan keluarga. Berbagai studi dan penelitian tentang fungsi seksual perempuan pascapersalinan banyak dilakukan dengan hasil yang berbeda karena adanya perbedaan alat ukur, waktu pengukuran serta pengontrolan variabel perancu. Penelitian ini sebagai konfirmasi dari penelitian sebelumnya serta belum adanya data yang pasti terutama di Jakarta dan Indonesia umumnya.
Tujuan: mengetahui perbandingan dorongan, bangkitan, orgasme, nyeri dan kepuasan fungsi seksual perempuan 3 bulan pascapersalinan spontan dengan seksio sesaria di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode: Penelitian observasional, subyek kelompok persalinan spontan dan seksio sesaria, pengukuran fungsi seksualnya 3 bulan pascapersalinan menggunakan kuisioner Female Sexual Function Index (FSFI) desain penelitian cross sectional (potong lintang), pengambilan sampel consecutive sampling. Analisis komparatif katagorik tidak berpasangan dengan chi square atau uji fisher. Analisis variabel perancu dilakukan analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Dari 150 responden 3 bulan pascapersalinan spontan dan seksio sesaria didapatkan 43,3% disfungsi seksual dengan 52 % spontan dan 34 % seksio sesaria. Analisa bivariat terjadinya disfungsi seksual 3 bulan pascapersalinan spontan 1,5 kali lebih besar (IK 95% 1,02-3,19) dibandingkan seksio sesaria. Gangguan hasrat/dorongan seksual 2 kali lebih besar (IK 95% 1,17-3,40) dibandingkan seksio sesaria, sedangkan gangguan orgasme 8 kali lebih besar (IK 95% 1,90-3,58) dengan variable perancu adanya robekan perineum. Gangguan bangkitan seksual, lubrikasi, kepuasan seksual dan nyeri tidak berbeda secara bermakna pada persalinan spontan dengan seksio sesaria. Analisa multivariat variabel persalinan spontan bermakna secara statistik untuk disfungsi seksual pasien 3 bulan pascapersalinan pada variabel disfungsi dorongan seksual dan pencapaian orgasme, dengan nilai p=0,008, RR 2,716 dan p=0,031 RR 6,952, sedangkan variabel usia lebih dari 30 tahun bermakna secara statistik pada disfungsi seksual pada variabel bangkitan seksual dengan p=0,021 dan RR 2,601.
Kesimpulan: persalinan spontan bermakna secara statistik untuk terjadinya disfungsi seksual 3 bulan pascapersalinan, terutama variabel dorongan seksual dan tercapainya orgasme. Sedangkan variabel usia lebih dari 30 tahun merupakan variabel yang berpengaruh pada disfungsi seksual terutama pada variabel bangkitan seksual.
......
Background: The alteration of postpartum sexual function on female is about 23%-86% and has a significant impact in a family?s tranquility. Many studies and research regarding postpartum sexual function on female were performed by various comparison variables such as Glasner, Barret, Thomson and Rochelle with different results because of the difference of measuring instruments, time of measurement and the control of confounding variables.
Objective: To know the comparison of encouragement, stimuli, orgasm, pain and satisfaction of female sexual function at 3 months post partum between spontaneous and cesarean section in Cipto Mangunkusumo National General Hospital in Jakarta.
Methods: This was an observational research involving subjects starting from identification of spontaneous and cesarean section group, and then their sexual function was measured at three months postpartum with Female Sexual Function Index (FSFI) questionnaire. The study design used was cross sectional with consecutive sampling. Analysis for non-paired of category comparative were chi square or fisher analysis. Analysis for confounding variables with multivariate logistic regression.
Results: From 75 respondents of spontaneous and Cesarean Section 43,3% have sexual dysfunction with 52% of spontaneous and 34% of cesarean section. Bivariate analysis of happening of sexual dysfunction at three months spontaneous was 1.5 times higher (IPK 95% 1,02-3,19) compared with cesarean section. Sexual encouragement shows a twice higher value (IPK 95% 1,17-3,40) compared to cesarean section. However, orgasm disturbance was 8 times higher (IPK 95% 1,90-3,58) with confounding variable of perineum rupture. Disturbance of sexual stimuli, satisfaction and pain were not significantly different between spontaneous and cesarean section. Multivariate analysis of vaginal labor was statistically significant for sexual dysfunction at three months postpartum in patient with sexual encouragement dysfunction and orgasm accession, with value of p=0,008, RR 2,716 and p=0,031 RR 6,952. However, more than 30 years old of age variable was statistically significant in sexual dysfunction variable with value of p=0,021 and RR=2,60.
Conclusion: Spontaneous labor is statistically significant for sexual dysfunction at three months postpartum, especially for sexual encouragement variable and orgasm accession. Meanwhile, the variables with the age of 30 years old or older."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>