Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pimanih
Abstrak :
Pesawat terbang adalah hasil teknologi tinggi, selain memberikan dampak positif juga menimbulkan dampak negative. Dampak positif pesawat terbang yaitu dapat menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat, namun dampak negatif yang ditimbulkan cukup banyak, baik fisik, maupun mental dan juga pencemaran lingkungan. Gangguan kesehatan yang dialami oleh awak pesawat diantaranya hipoksia, gangguan mata, telinga, sinus-sinus di sekitar hidung, gigi, saluran pernapasan dan penyakit-penyakit dekompresi serta masalah lain yang diakibatkan oleh stress yang berkepanjangan berkaitan dengan fisik, faal dan kejiwaan. Menurut sebuah studi mengenai dekompresi terhadap 62.160 orang peserta latihan (tahun 1943 dan 1945), reaksi berupa rasa sakit yang paling banyak dirasakan oleh personel terbang selama mereka mengangkasa, gangguan pada sinus(1,17%), kemudian dilakukan penelitian pada tahun 1964 terhadap 52.113 aircrew Aerasinusitis (1,59%). Dan pada tahun 1965, aircrew 49.603 orang Aerosinusitis (1,86%). Data diatas menunjukan bahwa gangguan sinus (Aerosnusitis) pada awak pesawat semakin meningkat. Kenyataan yang ada, awak pesawat PT. Garuda Indonesia ± 3% mengalami gangguan sinus, namun data secara formal/secara tertulis berupa laporan belum kami dapatkan. Berdasarkan hal tersebut perlu diketahui faktor yang mempengaruhi gangguan sinus pada awak pesawat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan penurunan tekanan udara dengan gangguan sinus pada awak pesawat. Rancangan penelitian adalah kasus kontrol, kasus yaitu awak pesawat yang mengalami gangguan sinus, sedangkan kontrol adalah awak pesawat yang tidak mengalami gangguan sinus. Populasi penelitian adalah awak pesawat PT. Garuda Indonesia. Pengumpulan data selain menggunakan data primer juga menggunakan data sekunder. Data yang terkumpul diolah secara univariat, bivariat dan multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 79,7% awak pesawat mengalami gangguan sinus setelah bekerja sebagai awak pesawat, hanya 20,3% awak pesawat mengalami gangguan sinus sebelum bekerja sebagai awak pesawat. Hasil analisis bivariat, dari 8 variabel independen hanya 4 variabel yang berhubungan dengan gangguan sinus yaitu variabel jam terbang, jabatan, alergi dan influenza. Hasil analisis mulivariat dengan uji regresi logistik diperoleh jam terbang (p-Value 0,039 dan OR 2,334), jabatan (p-Value 0,010 dan OR 3,811), algergi (p-Value 0,008 dan OR 2,938) dan influenza (p-Value 0,002 dan OR 3,941). Dan variabel yang paling berhubungan dengan gangguan sinus pada awak pesawat adalah influenza.

Penulis menyarankan, awak pesawat yang diterima tidak alergi terhadap sesuatu, dan awak pesawat yang sedang influenza tidak diizinkan terbang. Disamping itu awak pesawat yang jam terbangnya telah melebihi 6000 jam diberikan cuti panjang, agar tercapai kesehatan dan keselamatan dalam penerbangan.
Airplane is out come of high technology that possesses not merely positive impact but also negative one. The positive impact is that it could cover long distance in short time, but the negative side of it is also considerably a lot either physic or mental as well as environmental pollution. Medical ailments the crews usually experienced are such as hypoxia, ailment in eyes, ear, sinuses around nose, teeth, respiration system, and decompression illness as well as other problems resulted from ongoing stress connected with physic, faal (action and function of body), and psychological aspect. According to study on decompression at 62.160 training participants (1943 and -1945) the reaction in form of pain that was commonly felt by airplane personnel during flying was aero sinusitis (1,17%), and the research conducted in 1964 of 52.113 crews, aero sinusitis (1,59%) and in 1965 of 49.603 personnel, aero sinusitis (1,86%). The data above indicated that aero sinusitis at air plane crews gradually increased. The fact in the field shows the crews of PT. Garuda Indonesia, + 3% of them suffered from aero sinusitis; yet, we could not attain the formal 1 written data. Based on that case, it was urgent to know factors-influencing aero sinusitis on the air plane crews.

The aim of this research was to see whether there was relation between air pressure declination and aero sinusitis at the crews. The plan of the research was control cases, the case was airplane crews who suffered from aero sinusitis, and control was the crews who did not suffer from aero sinusitis. Population of this research was the crew of PT. Garuda Indonesia. Data collecting used not only primer data but also secondary one.

The collected data was processed in univariat, bivariat, and multivariat way with logistic regression test.

The results indicated that 79,7% of the crews experienced aero sinusitis after having job as airplane crews, but 20,3% of them had suffered from aero sinusitis before getting job as airplane crews. The out put of bivariat analysis implied that only 4 of 8 independent variables were correlated with aero sinusitis, and they are: flying our, position, allergy and influenza. The result of multivariat analysis with logistic regression test indicated that flying hour gained (p- Value 0.039 and OR 2.334), position gained (p-Value=0.010 and OR 3.811) Allergy got (p-Value 0.008 and OR 2.938) and influenza attained (p-Value 0.002 and OR 3,941), and the most correlated with aero sinusitis at airplane crews was influenza.

The writer recommended that the accepted airplane crews should not have allergy ailment of everything and the crew who is suffering from influenza is not permitted to fly. Besides, the crews whose flying hour is more than 6000 hours should be granted long vacation so that the safety and health could be achieved.;
2001
T5495
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Friasti Fathma
Abstrak :
ABSTRAK
Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, maka berkembang pulalah peralatan yang dipergunakan oleh dokter untuk meningkatkan taraf kesehatan dan Kehidupan masyarakat. peralatan baru di bidang kedokteran dapat berupa peralatan diagnostik maupun terapeutik.

Sesuai dengan judul penelitian ini, akan dibicarakan suatu peralatan terapeutik yang menggunakan arus listrik, karena itu disebut juga ?Elektro-Terapi?. Salah satu jenis elektro-terapi yang dipergunakan di Unit Rehabilitasi Medis saat ini adalah penggunaan arus listrik untuk pemanasan jaringan ("diathermy") dengan mengubah arus listrik menjadi arus elektromagnetik gelombang pendeK ("Snort Wave Diathermy") atau elektromagnetiK gelombang mikro ("Micro Wave Diathermy").

Diatermi dengan arus listrik ini banyak digunakan pada pengobatan penyakit kolagen, seperti rheumatoid arthritis, atau pada kontraktur akibat fibrotik jaringan Rat. Tapi akhir-akhir ini, diatermi juga banyak digunakan pada kasus sinusitis paranasaiis, terutama pada jenis sub-akut atau pada sinusitis dengan penyembuhan yang tidak sempurna dimana terapi nyeri yang menetap atau Kronis(16,22,35,3 ). Sedangkan secara Minis, masalah yang dihadapi Para penderita sinusitis maksilaris sub-akut, selain gejala radang pada umumnya, yaitu adanya rasa nyeri atau tidak menyenangkan di daerah sekitar hidung atau sakit kepala. Keluhan gejala ini akan mengganggu pasien dalam melaksanakan kegiatan aktifitas sehari-hari.

Juga, adanya kecenderungan sinusitis maksilaris sub-akut rnenjadi Kronis, karena terdapat penumpukan infiltrat peradangan di dalam rongga sinus maksilaris yang sukar mengalir keluar. Hal ini dapat terjadi pada sinus maksilaris karena ostium yang tersumbat akibat edema mukosa, maupun karena faktor anatomis seperti lantai sinus maksilaris yang terletak lebih rendah dari ostium maupun dasar rongga hidung (37).

Secara teoritis,diatermi pada sinusitis maksilaris sub-akut akan membantu mempercepat proses penyembuhan karena mempunyai efek memperbaiki sirkulasi darah, menghilangkan nyeri, menghilangkan edema dan mempercepat penyerapan eksudat, sehingga terapi antibiotik akan menjadi lebilh efektif.

Karena itu, penelitian ini dilakukan dengan membandingkan pasien sinusitis sub-akut yang diberi pengobatan, diatermi disamping terapi medikamentosa yang lazim dengan kelompok pasien yang hanya mendapat terapi medikamentosa. Tujuan penelitian ini, secara umum adalah untuk membantu upaya peningkatan kualitas pengobatan serta mempercepat proses penyembuhan sinusitis maksilaris sub-akut di Indonesia.

Sedangkan secara khusus, akan dapat menguji kebenaran hipotesa bahwa penggunaan diatermi disamping terapi lazim lainnya akan membantu mempercepat proses penyembuhan sinusitis maksilaris sub-akut. Sehingga pada akhir uji klinik ini diharapkan dapat diketahui seberapa jauh tingkat efektifitas pemakaian diatermi sebagai pengobatan tambahan pada sinusitis maksilaris sub-akut dan gejala samping apa yang timbul akibat pemberian diatermi pada penderita sinusitis maksilaris sub-akut.
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bara Langi Tambing
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Pramana Putra Lolo Allo
Abstrak :
Latar Belakang: Rinosinusitis kronis diasosiasikan dengan abnormalitas variasi anatomi pada kompleks ostiomeatal, salah satunya variasi proseus unsinatus. Pola perlekatan superior diketahui memiliki korelasi signifikan dengan sinusitis frontalis, namun belum terdapat laporan mengenai korelasi dengan kejadian sinusitis maksilaris. Tujuan: Menilai hubungan antara tipe perlekatan superior prosesus unsinatus dengan ada tidaknya konkha bullosa terhadap kejadian sinusitis kronis maksila. Metode: Sebanyak 262 pasien memenuhi kriteria penelitian studi kasus-kontrol yang telah dilakukan pemeriksaan HRCT scan kepala leher selama tahun 2020 hingga 2023. Analisis bivariat dilakukan pada faktor risiko kelompok usia dan faktor risiko gabungan tipe perlekatan superior dengan adanya konkha bullosa, disajikan dalam nilai Odds Ratio (OR) dengan Interval Kepercayaan (IK) 95%. Hasil: Kelompok usia 31-60 tahun pada kedua kelompok mempunyai nilai OR sebesar 2,11 (1,16-3,81 IK 95%; p <0,05) dan kelompok usia 61-82 tahun pada kedua kelompok mempunyai nilai OR 2,82 (1,20-6,61 IK 95%; p <0,05) dibandingkan kelompok usia 18-30 tahun. Perlekatan superior prosesus unsinatus tipe II dengan konkha bullosa mempunyai nilai OR 2,58 (1,28-5,20 IK 95%; p <0,05) dan tanpa konkha bullosa mempunyai nilai OR 2,53 (1,66-3,87 IK 95%; p <0,05). Kesimpulan: Terdapat peningkatan risiko terjadinya sinusitis kronis maksila pada perlekatan superior tipe II dibandingkan dengan perlekatan tipe I. ......Background: Chronic rhinosinusitis is associated with anatomical variations in the ostiomeatal complex, including uncinate process variations. The superior attachment pattern is known to have a significant correlation with frontal sinusitis, but there have been no reports on its correlation with the occurrence of maxillary sinusitis. Objective: To evaluate the relationship between the superior attachment of the uncinate process and the presence or absence of concha bullosa in the occurrence of chronic maxillary sinusitis. Method: A total of 262 patients met the criteria for a case-control research study, undergoing head and neck HRCT scans from 2020 to 2023. Bivariate analysis was conducted on age group risk factors and the combined risk factors of superior attachment type with the presence of concha bullosa, presented as Odds Ratio (OR) with a 95% Confidence Interval (CI). Results: In both study groups, the OR of 31-60 year-old group was 2,11 (95% CI 1,16-3,81; p <0,05), and the OR of 61-82 year-old group was 2,82 (95% CI 1,20-6,61; p <0,05) compared to the 18-30 year-old group. Superior attachment of uncinate process type II with concha bullosa had an OR of 2,58 (95% CI 1,28-5,20; p <0,05), and without concha bullosa, the OR was 2,53 (95% CI 1,66-3,87; p <0,05). Conclusion: There is an increased risk of chronic maxillary sinusitis in superior attachment type II compared to attachment type I.

Keywords: superior attachment of uncinate process, concha bullosa, chronic maxillary sinusitis

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezki Aulia Putri
Abstrak :
Sinusitis adalah peradangan pada dinding sinus, yaitu rongga kecil yang terhubung dengan rongga udara dalam tulang tengkorak. Sinus terletak di belakang dahi, di dalam struktur tulang pipi, di kedua sisi hidung, dan di belakang mata. Sinusitis disebabkan oleh peradangan pada rongga hidung, tumbuhnya polip, alergi, dan hal lainnya yang dapat terjadi pada orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak. Untuk mengklasifikasi jenis sinusitis, penulis menggunakan Fuzzy C-Means Berbasis Kernel yang merupakan pengembangan dari Fuzzy C-Means. Fuzzy C-Means mengelompokkan data menggunakan jarak Euclidean. Namun, jika data yang akan dipisahkan adalah data non linear, maka konvergensinya akan kecil dan membutuhkan waktu yang lama. Untuk menyelesaikan masalah ini dapat digunakan Fuzzy C-Means Berbasis Kernel yang menggunakan fungsi kernel untuk menggantikan jarak Euclidean. Metode ini memetakan objek dari ruang data ke ruang fitur yang berdimensi lebih tinggi, sehingga dapat mengatasi kelemahan FCM. Data yang digunakan adalah data penyakit sinusitis yang diperoleh dari laboratorium radiolog RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Karena data yang digunakan adalah data non linear, maka metode yang lebih cocok digunakan adalah Fuzzy C-Means Berbasis Kernel. Dengan menggunakan software Matlab diperoleh akurasi 100% dengan waktu mendekati 0 detik untuk Fuzzy C-Means Berbasis Kernel. ...... Sinusitis is an inflammation of the sinus wall, a small cavity interconnected through the airways in the skull bones. It is located on the back of the forehead, inside the cheek bone structure, on both side of the nose, and behind the eyes. Sinusitis is caused by infection, growth of nasal polips, allergies, and others. This condition can effect adults, teenagers, and even children. To classify sinusitis we used Kernel Based Fuzzy C-Means, which is the development of Fuzzy C-Means (FCM). FCM algorithm groups data using Euclidean distance. However, when non linear data is separated, the convergence is innacurate and need a long running time. To overcome this problem, a Kernel Based Fuzzy C-Means that use kernel functions as a substitute for Euclidean distance. It maps objects from data space to a higher dimention feature space, so they can overcome FCM deficiencies. Data that is used is sinusitis dataset obtained from the laboratory of radiology at Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta. Because the data used is non-linear dataset, the more suitable method is Kernel Based Fuzzy C-Means. By using the Matlab software 100% accuracy is obtained and running time is close to 0 for Kernel Based Fuzzy C-Means.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunjung Prasetyo Nugroho
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Sinusistis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dengan berbagai faktor penyebab: variasi anatomi, infeksi bakterial/virus, alergi dan lain-lain. Deviasi septum nasi dan sinusitis kronis dapat mempengaruhi volume sinus maksila. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara derajat deviasi septum nasi dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila. Metode : Penelitian retrospektif dengan desain kasus-kontrol, jumlah sampel diambil konsekutif dari sistem PACS hingga 86 subjek. Dilakukan pengukuran derajat deviasi septum nasi dan volume sinus maksila dari 3 dimensi. Hasil : Didapatkan rerata deviasi septum nasi pada kelompok kasus 9,35 3,05 derajat Derajat I dan II , dan 10,62 4,11 derajat Derajat I dan II pada kelompok kontrol. Volume sinus maksila sisi ipsilateral satu sisi dengan deviasi septum nasi pada kelompok kasus cenderung lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak berbeda signifikan p>0,05 . Volume sinus maksila ipsilateral yang disertai kejadian sinusitis kronis maksila ipsilateral tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol p>0,05 . Uji korelasi negatif yang tidak signifikan pada hubungan derajat deviasi septum nasi dengan delta volume sinus maksila ipsilateral baik kelompok kasus maupun kontrol. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara deviasi septum nasi Derajat I dan II dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila
ABSTRACT
Background and purpose Sinusistis is an inflammatory of mucosal sinuses by various factors anatomic variations, bacterial virus, allergies and others. Nasal septal deviation and chronic sinusitis can affect maxillary sinus volume. This study aims to assess the relationship between the degree of nasal septal deviation with the incidence of chronic maxillary sinusitis and maxillary sinus volume changes. Methods The study was a retrospective case control design, consecutive samples taken from the PACS system up to 86 subjects. Measurement of the degree of nasal septal deviation and maxillary sinus volume from 3 dimensions. Results the mean of nasal septal deviation in the case group 9.35 3.05 degrees Grade I and II , and 10.62 4.11 degrees Grade I and II in the control group. The ipsilateral maxillary sinus volume the same side with the nasal septal deviation in the case group tended to be smaller than the control, but did rsquo t differ significantly p 0.05 . The ipsilateral of the maxillary sinus volume with ipsilateral chronic maxillary sinusitis incidence not significantly different compared to control p 0.05 . Test negative correlation was not significant relationship of the degree of nasal septal deviation with ipsilateral maxillary sinus volume delta, both groups of cases and controls. Conclusion There is no significant relationship between nasal septal deviation Grade I and II and the incidence of chronic maxillary sinusitis and change of maxillary sinus volume.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library