Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutagalung, Ellen Resia
"ABSTRAK
Salah satu inovasi menciptakan sumber energi alternatif baru (unconventional gas) secara bersih dan mengurangi emisi CO2 dengan menginjeksi CO2 ke dalam coalbed. Keuntungan yang akan diperoleh yaitu mengurangi emisi CO2 dan meningkatkan produksi metana (CH4) ke dalam coalbed. Coalbed methane (CBM) merupakan unconventional gas yang dikembangkan di Indonesia khususnya pada kategori high prospective basins yaitu Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF). Penelitian ini mengkaji potensi kelayakan ekonomi CO2 sequestration secara overall. Nilai probabilitas yang diperoleh berdasarkan potensi market, produksi, CO2 storage, supply CO2 dan biaya infrastruktur pada Sumatera Selatan 88,11%, Sumatera Tengah 78,66%, Kutei 78,2% dan Barito 73,94%. Dengan merancang model optimum untuk perhitungan CAPEX dan OPEX, perhitungan analisis ekonomi Sumatera Selatan basin menghasilkan nilai net present value (NPV) $ 523 juta, rate of return (IRR) 22,86% dan Payback period (PB) 8,38 tahun. Sedangkan Sumatera Tengah basin menghasilkan NPV $ 247 juta, IRR 18,08% dan PB 10,77 tahun. Barito basin menghasilkan NPV $ 318 juta, IRR 19,24 % dan PB 9,77 tahun dan Kutei basin menghasilkan NPV $ 2.012 juta, IRR 46,51 % dan PB 5,77 tahun. Model ini didisain dengan harga gas $ 2,57/MMBtu, regulasi Product Sharing Contract (PSC) pengembangan CBM yang berlaku di Indonesia dan life project 24 tahun.

Abstract
One of the innovations to create new alternative clean energy sources (unconventional gas) and to reduce CO2 emissions is injecting CO2 into coalbed. The advantage will be obtained by reducing CO2 emissions and by increasing the production of methane (CH4) into coalbed. Coalbed methane (CBM) is an unconventional gas and it is developed in Indonesia. Particularly high prospective basins are : South Sumatra (183 TCF), Barito (101.6 TCF), Kutei (89.4 TCF) and the Central Sumatra (52.5 TCF) . This study assesses the overall potential and the economic feasibility of CO2 sequestration. The probability to develop the basins is influenced by the following indicators: market potential, production potential, storage of CO2, CO2 supply and infrastructure costs, amounts to 88.11% in South Sumatra, to 78.66% in Central Sumatra, to 78.2% in Kutei and to 73.94% in Barito. By designing an optimum model to substantiate CAPEX and OPEX calculation, economic analysis demonstrates that an NPV of $ 523 million, which is equal to an IRR of 22.86% and a PB of 8.38 years, is obtained for the Sumatra Selatan basin. Whilst an analysis for Sumatra Tengah basin resulted in an NPV of $ 247 million, equal to an IRR of 18.08% and a PB 10.77 years. The Barito basin generates an NPV of $ 318 million, an IRR of 19.24 % and a PB of 9.77 years and for the Kutei basin an NPV $ 2.012 million, equal to an IRR 46.51 % and a PB 5.77 years is obtained. This model is designed based on a gas price of $ 2.57 /MMBtu, compliant with a regulation of the Product Sharing Contract (PSC) about CBM development policies in Indonesia. The project life considered in the model amounts to 24 years.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
T30581
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Habib Subagio
"Lahan basah adalah bagian penting yang terintegrasi dengan ekosistem global yang memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan seperti mencegah atau mengurangi dampak banjir, menampung air permukaan dan serta menyediakan habitat unik baik flora maupun fauna. Lahan basah perkotaan memberikan jasa ekosistem langsung bagi masyarakat sekaligus mendorong kelangsungan funsi ekologi kota. Upaya pengendalian ruang wilayah kota memerlukan instrumen yang mampu mengintegrasikan variabel lingkungan kompleks yang terdiri dari aspek biofisik, aspek sosial-kultur, dan aspek ekonomi. Perkembangan pemodelan dinamika spasial saat ini masih terkonsentrasi pada penggunaan driving factor biofisik, sementara kompeksitas dinamika alih fungsi lahan perkotaan tentu dipengaruhi oleh faktor pendorong selain biofisik.
Riset ini bertujuan; 1) menganalisis peran dari setiap faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan basah perkotaan berdasarkan hasil pemanfaatan penggalian data (data mining), 2) mengkontruksikan pemanfaatan penggalian data spasial untuk pemodelan dinamika spasial, dan 3) membangun model dinamika spasial untuk memproyeksikan komposisi spasial penggunaan lahan sebagai masukan dalam evaluasi keberlanjutan lahan basah perkotaan.
Metode yang dipakai adalah pemodelan dinamika spasial dengan mengintegrasikan model markov, model cellular automata, dan model driving factor yang dihasilkan dari analisis spasial multitemporal dan pemanfaatan penggalian data spasial. Riset menggunakan 17 data driving factor yang dikategorikan dalam 3 varibel yaitu biofisik, sosio kultur dan ekonomi. Riset mengadopsi 8 driving factor biofisik yang digunakan dalam riset-riset sebelumnya, semnetara itu hasil kontruksi penggalian data spasial menambahkan 9 driving factor yang mewakili variabel sosio-kultur dan variabel ekonomi. Peran dari variabel sosio-kultur dan variabel ekonomi secara mayoritas lebih besar dalam mempengaruhi dinamika spasial alih fungsi lahan basah perkotaan.
Hasil riset menunjukkan bahwa keberlangsungan lahan basah perkotaan wilayah riset masih dapat terus terjaga pada seluruh skenario model dengan tren luas lahan basah yang terus menurun. Skenario optimal merupakan pilihan terbaik dengan komposisi spasial yang rasional dan menunjukkan indikator penilaian lingkungan yang memiliki resiko paling rendah untuk indikator nilai koefisien limpasan rerata sebesar 0,458 lebih rendah dibandingkan skenario BAU dengan nilai koefisien limpasan rerata sebesar 0,462. Skenario optimal ini memiliki konsekuensi terjadinya fragementasi lahan basah yang lebih tinggi pada lahan basah yang terdapat pada alokasi lahan untuk permukiman dan lahan jasa perdagangan. Number of Patch (NP) pada skenario optimal pada tahun 2016 sebesar 105 meningkat menjadi 198 pada tahun 2034, lebih tinggi dibandingkan dengan skenario BAU yang menunjukkan NP sebesar 33 pada tahun 2016 dan NP sebesar 78 pada tahun 2034.

Wetlands are an important part that is integrated with global ecosystems that have important functions in maintaining environmental balance such as preventing or reducing the effects of flooding, storing surface water and as well as providing unique habitats for both flora and fauna. Urban wetlands provide ecosystem services directly to the community while promoting the sustainability of the city's ecological functions. Efforts to control spatial planning require instruments capable of integrating complex environmental variables consisting of biophysical aspects, socio-cultural aspects, and economic aspects. The development of spatial dynamics modeling is currently still concentrated on the use of biophysical driving factors, while the complexity of urban land use change is certainly influenced by driving factors other than biophysical aspects.
This research aims; 1) analyzing the role of each factor that influences the conversion of urban wetlands based on the results of the utilization of data mining, 2) constructing the utilization of spatial data mining for spatial dynamics modeling, and 3) building spatial dynamics models to project the spatial composition of land use as input in evaluating the sustainability of urban wetlands.
The method used is spatial dynamics modeling by integrating the Markov model, cellular automata model, and driving factor models resulting from multitemporal spatial analysis and the use of spatial data mining. The research uses 17 driving factor data which are categorized into 3 variables namely biophysical, socio-cultural and economic. The research adopted 8 biophysical driving factors used in previous research, while the results of the construction of spatial data mining added 9 driving factors representing sociocultural and economic variables. The role of socio-cultural variables and economic variables is predominantly higher in influencing spatial dynamics over the function of urban wetlands.
The results of the research show that the sustainability of urban wetlands in the research area can still be maintained in all model scenarios with a trend of decreasing area of wetlands. The optimal scenario is the best choice with a rational spatial composition and shows the environmental assessment indicators that have the lowest risk for the average runoff coefficient value of 0.458 lower than the BAU scenario with an average runoff coefficient of 0.462. This optimal scenario has the consequence of higher fragmentation of wetlands in the wetland area contained in the allocation of land for settlements and commercial areas. The number of patches (NP) in the optimal scenario in 2016 was 105 increased to 198 in 2034, higher than the BAU scenario which showed a NP of 33 in 2016 and a NP of 78 in 2034.
"
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2019
D2673
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library