Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Arleen N. Suryatenggara
Abstrak :
Infeksi yang disebabkan oleh methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) telah menyebabkan beban mortalitas dan morbiditas yang bermakna. Mengingat hal tersebut, sangat penting untuk dapat mendeteksi MRSA dengan cepat dan akurat. Saat ini deteksi MRSA dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode fenotipik dan genotipik. Pada penelitian ini, metode fenotipik dilakukan dengan uji kepekaan antibiotik menggunakan oksasilin dan sefoksitin, sementara metode genotipik dilakukan dengan polymerase chain reaction (PCR) gen nuc dan mecA. Gen nuc merupakan penanda genetik S. aureus, sedangkan gen mecA adalah gen yang mengkode penicillin-binding protein 2a (PBP2a). Protein ini memiliki afinitas rendah terhadap antibiotik β-laktam, sehingga menyebabkan resistensi terhadap antibiotik seperti metisilin, oksasilin, dan sefoksitin. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode fenotipik terhadap metode genotipik yang merupakan baku emas dalam mendeteksi MRSA. Sebanyak 136 isolat S. aureus diikutsertakan dalam penelitian ini. Dilakukan PCR untuk mengamplifikasi gen nuc dan mecA dengan hasil: 37 sampel terdeteksi sebagai MRSA (nuc+, mecA+), 96 sampel sebagai methicillinsensitive Staphylococcus aureus atau MSSA (nuc+, mecA-), and 3 sampel sebagai bukan S. aureus (nuc-). Persentase MRSA yang dideteksi dengan metode genotipik adalah sebesar 27,8%. Deteksi MRSA dengan metode fenotipik dilakukan dengan uji kepekaan antibiotik menggunakan oksasilin dan sefoksitin. Tidak terdapat perbedaan hasil uji kepekaan antara kedua antibiotik tersebut. Secara keseluruhan, hasil deteksi MRSA dengan metode fenotipik konsisten dengan metode genotipik, dengan dideteksinya MRSA sebesar 27,8%. Hal tersebut mengartikan bahwa sensitivitas dan spesifisitas metode fenotipik terhadap metode genotipik adalah sebesar 100%. ...... Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection has caused significant morbidity and mortality burden. Therefore, detecting MRSA accurately as early as possible is very important. There are two methods used in detecting MRSA, which are phenotypic and genotypic methods. In this study, phenotypic method was done by antibiotic susceptibility test using oxacillin and cefoxitin, while genytopic method was carried out by amplifying nuc and mecA gene with polymerase chain reaction (PCR). Nuc gene is a genetic marker for S. aureus, and mecA gene is responsible in the coding of penicillin-binding protein 2a (PBP2a). This protein has a low affinity to β-lactam antibiotics, thus causing antibiotic resistance to the antibiotics, such as methicillin, oxacillin, and cefoxitin. This study was aimed to compare phenotycipic method to genotypic method as the gold standard, to detect MRSA. There were 136 S. aureus isolates included in this study. PCR to amplify nuc and mecA gene was conducted with the results of the following: 37 samples detected as MRSA (nuc+, mecA+), 96 samples as methicillin-sensitive Staphylococcus aureus or MSSA (nuc+, mecA-), and 3 samples as non-S. aureus (nuc-). The percentage of MRSA detected by genotypic method was 27,8%. The detection of MRSA through the phenotypic method was done by antibiotic susceptibility test using oxacillin and cefoxitin. Susceptibility test between these antibiotics showed no difference in result. In general, the result of phenotypic method was consistent to the results from the genotypic method, by detecting 27,8% MRSA. Therefore, the sensitivity and specificity of phenotypic method compared to the genotypic method were 100%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryanto Surya
Abstrak :
Latar Belakang. Diagnosis demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Biakan S. typhi sebagai baku emas diagnosis hanya mampu positif pada 40-70% kasus. PCR sebagai alternatif diagnosis masih terhambat oleh harganya yang mahal dan fasilitas yang terbatas. Uji Widal yang saat ini banyak digunakan karena murah dan mudah dilakukan, dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga sensitivitas dan spesifisitas hanya berkisar 60-80%. Oleh karena itu dibutuhkan uji serologi lain yang cepat dan mampu memberikan hasil yang baik ditinjau dari sensitivitas dan spesifisitas. Salah satu uji serologi yang memenuhi kriteria di atas adalah TUBEX TF yang telah diuji coba di beberapa negara tetapi belum pernah diuji coba di Indonesia. Tujuan. Mengetahui perbandingan nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan TUBEX TF dengan uji Widal dalam mendiagnosis demam tifoid yang telah dikonfirmasi dengan PCR dan atau biakan S. typhi. Metodologi. Uji diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan kecurigaan demam tifoid sesuai skor tifoid Nelwan>/=8 dan dirawat di RSCM, RSP dan RSUD Tangerang. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dasar, uji Widal, PCR dan biakan S. typhi serta uji TUBEX TF. Hasil pemeriksaan TUBEX TF dan uji Widal dibandingkan PCR dan atau biakan S. typhi sebagai baku emas. Data diolah dengan program SPSS13 dan dimasukkan ke tabel frekuensi dan tabel silang. Hasil. Selama periode Mei - Oktober 2006 terkumpul 52 pasien dengan kecurigaan demam tifoid, yang terdiri dari 27 laki-laki (52%) dan 25 perempuan (48%). Kelompok usia terbanyak 20-30 tahun (28 orang, 53,8%). Dari perhitungan tabel 2x2, uji TUBEX TF dibandingkan dengan uji Widal, didapatkan masing-masing sensitivitas 100% dan 53,1%, spesifisitas 90% dan 65%, NDP 94,1% dan 70,8%, NDN 100% dan 46,4%. Luas daerah dibawah kurva ROC adalah 0,950 untuk TUBEX TF dan 0,591 untuk uji Widal. Dibandingkan uji Widal, pemeriksaan TUBEX TF menunjukkan hasil bermakna (p<0,05) pada uji statistik Chi square.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57253
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library