Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahadiyan Garuda Langit Dewangga
"Perkembangan populasi kaum manula mengalami peningkatan jumlah yang signifikan. Menjadikan kaum manula tidak akan menjadi minoritas lagi dunia dalam 40 tahun ke depan, sehingga apa yang dikonsumsi oleh masyarakat yang nanti akan menjadi bagian dari mayoritas manula tersebut harus diperhatikan untuk meningkatkan kualitas penuaan pada masyarakat itu sendiri. Produk budaya populer sebagai seperti animasi, film dan musik perlu mendapat perhatian khusus dikarenakan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga penyebaran pesan, ideologi bahkan membentuk konsep diri seperti ageism. Melalui penelitian ini, peneliti melihat bagaimana animasi bertema super hero asal Jepang dengan nama My Hero Academia dan Marvels Spider-Man yang berasal dari Amerika menggambarkan tokoh manula dalam serial tersebut berdasarkan nilai-nilai budaya mereka. Sehingga ditemukan bahwa penggambaran tokoh manula dalam serial animasi dari Jepang memiliki konotasi yang lebih positif dengan mayoritas karakter berada dalam kategori Golden Ager, sedangkan tokoh manula dalam serial animasi buatan Amerika juga memiliki konotasi positif dalam kategori perfect grandparent tapi juga memiliki banyak konotasi negatif dengan masuknya karakter-karakter manula tersebut dalam kategori Shrew/Curmudgeon,Despondent, Severely Impaired dan Recluse.

Nowadays, elderly proportion is growing significantly. With this pace the elderly community will not be classified as minority in the next 40 years, considering the consumption of the soon to be elder should be seen seriously to enhance aging quality of the society member themselves. Pop culture products such as: animation, films and music should not be seen as mere entertainment rather to be seen as a message containing several idea and ideology which constructing stereotype for the audience such as ageism. By this research, researcher will see how the elder depicted in pop culture animation product also comparing the result between My Hero Academia as Japan’s animation and Marvel’s Spider-Man as America’s animation. Resulting the depiction of elder in Japan’s animation has more positive connotation rather than the America’s animation, the elder character in Japan’s animation is classified majorly in Golden Ager category which is the ideal aging goal while elder characters in Americas animation was classified in negative ageism connotation category as Shrew/Curmudgeon,Despondent, Severely Impaired and Recluse."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T51966
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurani Salikha
"Walaupun komik pahlawan super sudah ada di Amerika Serikat sejak awal pertengahan abad ke-20, para pahlawan super tersebut baru benar-benar menjadi figur yang signifikan dalam budaya populer di abad ke-21. Hal ini terbantukan oleh dibuatnya film-film berdasarkan tokoh-tokoh tersebut di layar lebar. Salah satu pahlawan super yang paling menonjol adalah Spider-
Man. Spider-Man: Homecoming (2017) dan Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018), secara berurutan, adalah franchise ke-3 dan ke-4 dari film Spider-Man dalam kurun waktu 17 tahun.
Popularitas Spider-Man menjadikannya objek yang menarik untuk diteliti, karena berarti pengaruhnya besar dalam memproduksi dan mereproduksi norma-norma tertentu dalam masyarakat. Artikel ini ditulis dengan tujuan melihat bagaimana film-film tersebut mengikuti atau menolak norma hegemonic masculinity. Dengan menggunakan analisis tekstual dan semiotik, studi ini menemukan bahwa Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) lebih
progresif dalam representasi maskulinitasnya daripada Spider-Man: Homecoming (2017). Hal ini dihubungkan dengan adanya varian yang lebih beragam dalam wacana maskulinitasnya. Studi ini diharapkan dapat mendukung pergerakan yang menginginkan adanya representasi
yang lebih beragam dalam genre film pahlawan super.

Even though American comic book superheroes have existed since the late 1930s, it is in the 21st century that they have become truly prominent icons of popular culture. This rise in
popularity is helped greatly by their adaptation into the big screen. One superhero that stands out is Spider-Man. Spider-Man: Homecoming (2017) and Spider-Man: Into the Spider-Verse
(2018) are the third and fourth respective iterations of the Spider-Man movie franchise within the span of 17 years. Spider-Mans popularity makes it an interesting case study, as it has a
significant influence in producing and reproducing certain societal ideas. This article aims to examine how those movies conform to or resist hegemonic masculinity in their portrayal of the
male lead characters masculinities. Incorporating textual and semiotic analysis, this study has found that Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018) represents a more progressive portrayal of masculinity than Spider-Man: Homecoming (2017), attributing it to its inclusion of diversity in the discourse of masculinity. This study is intended to come in support of the movement of calling for more diverse representation in the superhero movie genre.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library