Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Luhur Dewantoro
"Latar belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) saat ini menjadi penyebab kematian nomor tiga didunia. Penyebab kematian paling sering pada pasien PPOK berkaitan dengan kelainan sistem kardiovaskular. Hipertensi merupakan komorbid yang paling sering ditemukan pada pasien PPOK. Pada pasien PPOK terjadi inflamasi sistemik yang dapat menyebabkan peningkatan kekakuan pembuluh darah dan terjadi hipertensi. Pasien PPOK dengan komorbid penyakit kardiovaskular/hipertensi memiliki angka morbiditas, mortalitas, kualitas hidup yang buruk, intoleransi latihan dan risiko rawat inap yang lebih tinggi. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di RSUP Persahabatan periode Maret 2023. Subjek penelitian didapatkan dari pasien PPOK stabil yang datang ke poliklinik asma dan PPOK RSUP Persahabatan. Setelah memenuhi kriteria, dilakukan pengumpulan data klinis, pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan spirometri dan DLCO. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan 84 subjek penelitian. Hasil penelitian ini mendapatkan proporsi hipertensi pada pasien PPOK stabil sebesar 60,7%. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai faal paru pasien PPOK (derajat GOLD), derajat beratnya PPOK klinis (grup A, B, C dan D), merokok (indeks brinkman) dan usia pasien PPOK dengan hipertensi. Sedangkan lama menderita PPOK dan nilai DLCO tidak didapatkan hubungan yang bermakna. Kesimpulan : Proporsi hipertensi pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan sebesar 60,7%. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai faal paru pasien PPOK (derajat GOLD), derajat beratnya PPOK klinis (grup A, B, C dan D), merokok (indeks brinkman) dan usia pasien PPOK dengan hipertensi.

Background : Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) currently is the third leading cause of death in the world. The most frequent cause of death in COPD patients is cardiovascular disease. Hypertension is a comorbid that is often found in COPD patients. In COPD patients, systemic inflammation occurs which can lead to increased vascular stiffness and hypertension. COPD patients with comorbid cardiovascular disease/hypertension have higher rates of morbidity, mortality, poor quality of life, exercise intolerance and risk of hospitalization. Methods : This research is a cross-sectional study conducted at National Respiratory Center Persahabatan Hospital in March 2023. The study subject were stable COPD patient and admitted to asthma and COPD clinic of Persahabatan Hospital. Clinical data, vital signs, spirometry and DLCO tests were collected. Results : There were 84 subjects participating in this study. The results of this study found that the proportion of hypertension in stable COPD patients in RSUP Persahabatan was 60.7%. There was a significant relationship between the lung function of COPD patients (GOLD degree), severity of clinical COPD (groups A, B, C and D), smoking (brinkman index), and age with hypertension. While there was no relationship between how long COPD diagnose, and DLCO. Conclusion : This study found that the proportion of hypertension in stable COPD patients is 60.7%. There was a significant relationship between the lung function of COPD patients (GOLD degree), severity of clinical COPD (groups A, B, C and D), smoking (brinkman index), and age with hypertension."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Uyainah ZN
"ABSTRAK
Tes bronkodilatasi adalah tes untukmelihat responsivitas saluran nafas terhadap bronkodilator.Spirometri merupakan pemeriksaan yang sangat penting dalam menilai derajat obstruksi saluran nafas pasien. Di samping data-data lain seperti riwayat penyakit, rekam medis sebelumnya, riwayat keluarga dan pekerjaan, pemeriksaan fisik, dan kesan klinis, data spirometri juga memiliki andil dalam menentukan diagnosis dan terapi pasien."
Bandung : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran, 2016
616 CHEST 3:4 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syamurijal Baharuddin
"Spirometri dirancang untuk mengidentifnkasi dan menilai abnormalitas fungsionai system pernafasan. Pajanan hazard inhalan di tempat kerja dapat menimbulkan respons iritan, iibrotik, alergik, infeksius, karsinogenik, dan sistemik bagi manusia. Beberapa iritan dapat saja tidak memberikan efek sistemik karena respons iritan lebih besar daripada efek sistemik manapun, sementara beberapa di antaranya dapat memberikan efek sistemik yang bermakna setelah penyerapan. Pajanan debu-debu mineral terkait dcngan pnoses terjadinya obstzuksi aliran udara kronik, yang mungkin juga dimediasi oleh dust-induced fibrosis pada saluran- saluran napas yang kecil. Di sisi lain, asap rokok memegang peranan sawat panting dalam proses terjadinya inflamasi dan memegang peran utama dalam patogcncsis PPOK.
Pada penclitian ini dianalisis hasil spirometri Karyawan PT X yang terpajan debu di area penambangan dan pemrosesan nikel untuk daerah kerja di dalam Plan! Site yang diasuransikan berpajanan debu lebih tinggi dan daerah kerja di luar Plan! Site yang diasumsikan berpajanan debu lebih rendah. Pcnelitian ini menggunakan desain cross seclional dengan analisis komparatif dengan menggunakan data rckam medik Check-up karyawan Iaki-Iaki, dengan sampel herjumlah 334.
Hasil dan kesimpulan: Secara demografis, karyawan golongan blue collar adalah dominan yakni sebesar 67,0 %. Adapun golongan white collar dan mixed masing-masing sebesar 18,9 % dan 14,1 %. Secara keseiuruhan, prcvalensi hasil spirometri abnormal (rcstriktif + obstruktit) sebesar 34,12 %. Dari uji bivariat kemudian dilanjutkan dengan uji multivariat ditemukan bahwa faktor risiko yang diperkirakan berperan terhadap gangguan faal paru obstruktif dan restriktif adalah variabel umur > 50 tahun, kebiasaan merokok, tidak berolahraga, IMT > 30,0, adanya gejala klinis saat check-up, dan masa kerja > 20 tahuu. Dari semua variabel ini, sccara statistik, disimpulkan tidak ada variabel yang memiliki kemaknaan hubungan dengan gangguan fungsi paru.

Spirometry is designed to identify and quantity functional abnormalities of the respiratory system. Exposure of occupational inhalants can result in irritant, fibrotic, allergic, infectious, carcinogenic, and systemic effects to human. Some irritants produce no systemic eject because the irritant response is much greater than any .systemic effect, while some also have significant systemic ejects following absorption Mineral dust exposure is associated with chronic obstructive airway process, which might be mediated by dust-induced fibrosis in the small airways. On the other hand, cigarette smoke plays a principal role in the inflammation process and the pathogenesis of COPD.
Spirometry results of the PT X employees who were exposed by dust in nickel mining and processing area which are devided to Plant Site area (assumed higher dust exposure) and beyond Plant Site area (assumed lower dust exposure) are anabfzed in this cross sectional study using comparative analysis method to 334 male employees ? medical check-up record.
Result and conclusion: In this study, blue collar workers group is predominant by 6720 % of total sample, while white collar group and mired group contribute 18,9 % and 14,1 %, respectively. Overall, prevalence of abnormal spirometry result (restrictive -é obstructive) was 34,12 %. By using bivariate and multivariate analysis consecutive of, it was found that risk factors presumably play important role in obstructive and restrictive lung function disorders are the following variables I age>50 years, smoking habit, no sport activities, BMl> 30, 0, presence of respirator clinical symptoms, and length of employment >20 years. This study concluded that of all these variables, none of them has a statistically significant association to lung function disorders.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T29191
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pri Utomo
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menilai fungsi paru pre dan post operasi dalam kaitannya klinik dan hemodinamik penderita MS. Pemeriksaan fungsi paru berupa kapasitas vital paksa (KVP) dan volum ekspirasi paksa detik pertama (VEPI) serta dibedakan dalam 2 kelompok, pertama kelompok fungsi paru tidak baik I buruk (KVP,VEPI < 75 % ) terdixi dari dengan TI, dan tanpa TI, sedangkan kelompok kedua, fungsi paru baik (KVP , VEPI } 75 %). Pembagian kelompok ini dihubungkan dengan klinik, hemodinamik dari pemeriksaan kateterisasi jantung.
Penelitian ini dilakukan secara retro-prospektif pada 21 penderita MS murni. 3 kasus diantaranya kombinasi dengan MT, yang berumur 33 tahun + 10.4 (15-54), terdiri dari 6 pria, 15 wanita, dimana telah dilakukan kateterisasi jantung dan spirometri serta ulangan 3-36 bulan (median 20 bulan) setelah operasi. Pada 11 kasus MS post MVR diperiksa secara dopier ekohardiografi untuk mengukur MVA dan mPA untuk dibandingkan dengan hemodinamik.
Hasilnya menunjukkan pada kasus MS pre operasi, terdapat perbedaan yang bermakna ( P < 0,05 ), kesatu antara umur 29.4 tahun + 8,1, kedua lama sakit 5.3 tahun ± 3.4 dalam kelompok fungsi paru tidak balk, dibandingkan dengan umur 42 tahun + 10.3, lama sakit 2.5 tahun ± 1.3 dalam kelompok fungsi paru baik.
Terdapat perbedaan yang bermakna ( p < 0,05 ), kesatu antara PA sistolik 70.8 mmHg + 22.9 mean 53.2 mmHg + 18.6, diastolik 39.3 mmHg + 13.5, kedua RV sistolik 68.8 mmHg ± 20.9, diastolik 9.3 mmHg (+ 4.6) dalam kelompok fungsi paru tidak balk, dibandingkan dengan PA sistolik 42.6 mmHg + 16.9 mean 31 mmHg ±12 diastolik 22 mmHg + 9, RV sistolik 46 + 11.3 diastolik 3.7 mmHg + 2, dalam kelompok fungsi paru baik.
Pada kasus MS yang disertai TI terdapat perbedaan yang bermakna (p < 0,05), kesatu antara RV diastolik 11.5 mmHg ± 3.7, kedua PA diastolik 45 mmHg + 10, ketiga PVR setinggi 10.8 HRU + 9.3 dalam kelompok fungsi paru tidak baik dengan TI dibandingkan dengan RV diastolik 3.7 mmHg } 2,PA diastolik 22 mmHg + 9, PVR sebesar 2.6 HRU +2.3 dalam kelompok fungsi paru baik ( tanpa TI ).
Fungsi paru post operasi KVP 83.7 % + 14.4 VEPI 83.6 % + 17.3 dibandingkan pre operasi KVP 68.8 % + 14.6, VEPI 67.7 % + 19.3 mempunyai perbedaan yang bermakna (p C 0.05).
Pada MS post operasi mPA 35.7 mmHg + 7.4 dan MVA 2.4 cm2 + 0.3 dibandingkan dengan pre operasi mPA 48.3 mmHg + 21, MVA 1cm2 + 0.5 masing masing mempunyai perbedaan yang bermakna ( p < 0.05 ).
Kesimpulan faktor lama sakit lebih memegang peranan dari pada umur. Lama sakit yang panjang mempunyai hubungan dengan hemodinamik dan fungsi paru yang buruk. Pada penderita MS dengan TI mempunyai tekanan diastolik RV,PA,PVR yang tinggi dan mempunyai fungsi paru yang lebih buruk. Penggantian katup mitral dapat menurunkan tekanan PA secara bermakna. Fungsi paru post operasi terdapat perbaikan yang bermakna secara umum.
"
Lengkap +
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan salah satu penyebab terbanyak batuk kronik dan menjadi faktor risiko terjadinya eksaserbasi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), menurunkan kualitas hidup dan memperparah gejala respirasi dan pencernaan. Total 40 pasien diikutkan pada penelitian ini. Pasien diambil secara konsekutif dari poliklinik asma PPOK di RSUP Persahabatan dimulai dari bulan Mei 2017. Diagnosis PPOK berdasarkan GOLD 2017 yaitu nilai spirometri VEP1/KVP pasca bronkodilator < 0.7. Diagnosis PRGE menggunakan endoskopi saluran cerna bagian atas apabila ditemukan kerusakan mukosa esofagus. Kriteria eksklusi yaitu eksaserbasi dan kelainan esofagus yang sudah diderita sebelumnya.
Metode: Penelitian ini adalah potong lintang pada pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan mulai bulan Juli sampai Nopember 2017. Sebanyak 40 pasien dipilih secara konsekutif sejak bulan Mei 2017. Pemeriksaan berupa wawancara, spirometri dan endoskopi dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mengikuti penelitian sebanyak 40. Prevalens PRGE pada PPOK adalah 40% (16/40). Tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua grup berdasarkan usia, jenis kelamin, Indeks Brinkman (IB) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Keterbatasan aliran udara yang lebih berat dan nilai spirometri pascabronkodilator yang lebih rendah memiliki kecenderungan terjadinya PRGE lebih besar walaupun secara statistik tidak bermakna. Rerata pasien berusia lanjut dan mempunyai riwayat merokok. Eksaserbasi dan skor CAT berhubungan secara bermakna (p < 0.05) dengan kejadian PRGE. Penggunaan obat-obatan PPOK seperti LABA, LAMA dan SABA tidak berubungan bermakna dengan PRGE. Gejala dada terbakar (heartburn) bermakna secara statistik (p < 0.05) sebagai tanda PRGE.
Kesimpulan: Prevalens PRGE cukup tinggi pada pasien PPOK dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pasien bukan PPOK dengan gejala dispepsia di Jakarta. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan PRGE sebagai salah satu komorbid yang penting pada PPOK. Penelitian kohort dan strategi pencegahan disarankan untuk dilakukan selanjutnya.

Background/Aim: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is one of the most common causes of chronic cough and is a potential risk factor for exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD), decreasing quality of life in COPD patients, aggravating symptoms both respiratory and gastro-intestinal. Total 40 patients were recruited consecutively from the outpatient of Asthma and COPD clinic at Persahabatan hospital Jakarta started from May 2017. The diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD) was based on the mucosal break on the esophageal lining through endoscopic examination. Exclusion criteria were COPD exacerbation and known esophageal disease.
Methods: This is a cross sectional study among stable COPD patients who visited asthma-COPD clinics at Persahabatan Hospital from July to November 2017. 40 patients were recruited consecutively started from May 2017. Interview, spirometry and endoscopy performed to all subjects who meet the inclusion criteria.
Results: A total 40 subjects were enrolled in our study. Prevalence of GERD in COPD was 40%. There was no significant difference between the two groups regarding age, sex, Index Brinkman (IB) and Body Mass Index (BMI), although in the RE group has a slightly higher BMI. More severe airflow obstruction tends to increase in GERD group although no significant statistical difference Most patients were elderly and smoker/ex. Exacerbation and CAT score were significantly associated with GERD (p<0.05). Post BD spirometry showed greater airway and severe COPD tends to also had GERD similar to results of other studies. Respiratory medication such as ICS + LABA, LAMA and SABA statistically insignificant with GERD. Heartburn as a symptom showed statistically significant to predict GERD (p < 0.05).
Conclusion: Prevalence of GERD was high in COPD patient and even higher than previously reported in general patient with dyspepsia syndrome in Jakarta. Physician should consider GERD as one of the most important comorbidities in COPD. Cohort study and preventive strategy are warranted in the future.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Ferdiansyah
"ABSTRAK
LATAR BELAKANG. Latihan yoga merupakan kombinasi unik antara gerakan yang bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan fisik dan cara bernafas serta meditasi yang dapat memberikan ketenangan pikiran. Saat ini latihan yoga yang paling sering dilakukan adalah hatha yoga yang berfokus pada postur fisik yang disebut asanas dan teknik pernapasan atau pranayama. Sasaran dari pranayama ini adalah untuk meningkatkan kapasitas dan fungsi dari sistem pernapasan. Adapun untuk menilai kapasitas fungsi paru dapat dilakukan dengan pemeriksaan uji spirometri dan Ekspansi toraks merupakan suatu metode sebagai pengembangan rongga dada tidak secara langsung menandai peningkatan ventilasi. METODE. One group Pre and Post test design terhadap subjek dewasa muda sehat dengan rentang usia 18 ndash; 40 tahun. Dilakukan intervensi berupa latihan pernapasan yoga selama 6 minggu dilakukan setiap hari selama 30 ndash; 40 menit dalam satu kelompok perlakuan. Sebelum dilakukan dan setelah dilakukan intervensi dilakukan pengukuran spirometri dan ekspansi toraks. Adapun dari nilai spirometri yang dilihat adalah VC Vital Capacity , FVC Forced Vital Capacity , FEV1 Forced Expiratory Volume in 1 Second dan untuk ekspansi toraks yang dinilai adalah batas atas , tengah, dan bawah. HASIL. Didapatkan 23 subjek dewasa muda sehat dengan rentang usia 27 ndash; 36 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Didapatkan hasil peningkatan VC P = 0.001 , FVC P = 0.02 dan FEV1 P=0.001 dimana didapatkan nilai bermakna P < 0.05 dari sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Tetapi tidak didapatkan nilai yang bermakna pada ekspansi toraks P=1.00 . SIMPULAN. Terdapat perningkatan nilai kapasitas paru pada subjek dewasa muda sehat setelah di lakukan latihan pernapasan yoga selama 6 minggu.

ABSTRACT
BACKGROUND. Yoga exercise in an unique move combinations that can increase physical healthy, breathing, and meditation that can relaxing minds.Nowadays most often yoga exercise is hatha yoga. Hatha yoga focusing on the physical posture called asanas and breathing technique called pranayama. The aim of the pranayama is to increasing breathing functions and capacity. Spirometry is the test for measuring pulmonary capacity and chest expansion is a method to measure the movement of chest that can show the increasing of pulmonary ventilation. METHODS. One group Pre and Post test design on the young healthy adults subject with age between 18 ndash 40 years. Breathing yoga exercise for 6 weeks everyday in 30 ndash 40 minutes each day as the intervention in one group. Before and after the intervention the subjects got measurement spirometry and chest expansion. From the spirometry measurement the value of VC Vital Capacity , FVC Forced Vital Capacity , FEV1 Forced Expiratory Volume in 1 Second collected and for the chest expansion measurement upper, middle and lower value that collected. RESULTS. 23 young healthy adults subjects with the range of age 27 ndash 36 years with the inclusion and exclusion criteria. The result is increasing of VC P 0.001 , FVC P 0.02 and FEV1 P 0.001 with significant differences P 0.05 before and after interventions. There is no significant differences of the chest expansion before and after interventions P 1.00 CONCLUSIONS. There was a significant differences in pulmonary capacity values in young healthy adults after 6 weeks yoga breathing exercise as the intervention. "
Lengkap +
2016
T55599
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdillah Yasir Wicaksono
"ABSTRACT
Skleroderma (sklerosis sistemik) merupakan penyakit autoimun dengan ciri fibrosis kulit dan organ viseral. Skleroderma menurunkan kualitas hidup penderitanya dan menyebabkan kematian, yang dapat diakibatkan oleh penyakit paru interstisial (ILD) sebagai manifestasi fibrotik pada skleroderma. Pemantauan ILD pada skleroderma memerlukan penilaian penanda inflamasi, termasuk di antaranya adalah laju endap darah (LED) dan kadar protein c-reaktif (CRP) darah, serta penilaian fungsi paru dengan menilai kapasitas vital paksa (KVP). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara LED dan CRP dengan KVP pada pasien skleroderma di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penelitian potong lintang dilakukan dengan mengumpulkan data dari rekam medis pasien tahun 2013-2015. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya korelasi yang signifikan antara LED dengan KVP (r=0,209; p=0,287) dan CRP dengan KVP (r=0,261; p=0,241).
ABSTRACT
Scleroderma (systemic sclerosis) is an autoimmune disease characterized by the fibrosis of skin and visceral organs. Scleroderma affects the quality of life and cause mortality, which may be caused by interstitial lung disease (ILD) as the fibrotic manifestation of scleroderma. Monitoring of ILD in scleroderma requires the evaluation of markers of inflammation, including erythrocyte sedimentation rate (ESR) and CRP level, and also evaluation of lung function by measuring forced vital capacity (FVC). The objective of this study is to determine the correlation of ESR and CRP to FVC in scleroderma patients of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. A cross-sectional study was done by gathering data from medical records of patients from year 2013-2015. The study showed that there is no significant correlation between ESR and FVC (r=0,209; p=0,287 and between CRP and FVC (r=0,261; p=0,241)."
Lengkap +
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Febriandri
"Latar belakang: Pasien bekas TB yang telah diobati akan mengalami perubahan struktur anatomi paru permanen sehingga dapat meningkatkan risiko kejadian gejala sisa. Gejala sisa yang terjadi dapat meninggalkan lesi di paru dan ekstra paru. Pada lesi paru biasanya diawali dengan perubahan struktur bronkial dan parenkim paru seperti distorsi bronkovaskuler, bronkietaksis, emfisematus dan fibrosis. Fungsi paru pada pasien 6 bulan setelah menyelesaikan pengobatan TB kategori I ditemukan nilai tes fungsi paru cenderung lebih rendah walapun sudah menyelesaikan obat anti tuberculosis (OAT) selama 6 bulan.
Metode: penelitian menggunakan metode potong lintang pada 65 pasien yang mendapatkan OAT lini I di Poli Paru RSUP persahabatan. Subjek penelitian akan menjalani pemeriksaan spirometri, DLCO, darah rutin dan HRCT toraks.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median usia subjek 45 tahun dengan usia paling muda 18 tahun dan usia paling tua 60 tahun. Jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan laki-laki sebanyak 33 subjek (51%). Sebanyak 66% subjek terdapat kelainan spirometri. Hasil spirometri dengan kelainan terbanyak yaitu gangguan restriksi dan obstruksi (campuran) pada 29 (44%) subjek, gangguan restriksi sebanyak 13 (21%) subjek, satu (1%) subjek gangguan obstruksi dan 22 (33%) subjek tidak ditemukan kelainan. Derajat lesi pada HRCT toraks menggunakan modifikasi Goddard score didapatkan derajat lesi ringan sebanyak 33 (51%), sedang 20 (31%), berat 8 (12%) subjek. Karakteristik lesi terbanyak pada parenkim paru secara berurutan fibrosis, kalsifikasi, bullae, retikuler opasitas, ground glass opacity (GGO), nodul, konsolidasi dan jamur. Lesi saluran napas yang terbanyak secara berurutan yaitu bronkietaksis, ateletaksis, dilatasi trakea. Gangguan kapasitas difusi terbanyak yaitu derajat ringan 25 (38%), moderate 22 (33%) dan berat 3 (5%). Pada penelitian ini ditemukan perbedaan bermakna antara derajat kelainan kapasitas difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks dan terdapat risiko 8,68 kali (IK 95% 2,3-32,72)..
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara derajat gangguan difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks. Penurunan fungsi paru setelah menyelesaikan pengobatan TB dapat terjadi sehingga diperlukan pemeriksaan fungsi paru dan HRCT toraks secara berkala.

Background: Former TB infection patients will experienced changes in anatomical structure of the lung. Hence, it wil increased risk of sequelae. Sequelae can occur in extra pulmonary. Lung lesions changes in the structure of the bronchial and lung parenchyma such as bronchovascular distortion, bronchietacsis, emphysema and fibrosis. Lung functions in patients 6 months after completing TB treatment found that lung function test tend to be lower even after completing treatment for 6 months.
Methods: This studi used a cross-sectional method on 65 patients whom received anti tuberculosis drugs at Lung Polyclinic, Persahabatan Hospital. Research subjects will undergo spirometry, DLCO, blood test and HRCT thorax.
Results: In this study median age of subjects was 45 years. The youngest was 18 years and oldest was 60 years. Male population was 33 (51%) subjects. Total 66% subjects have lung function impairment. Resulst of spirometry showed mixed disorder in 29 (44%) subjects, restriction disorder in 12 (19%) subjects, one subjects with obstructive disorders and 22 (33%) subjects are normal. Based on Goddard modificaion score showed mild degree in 33 (51%) subects, moderate 20 (31%) dan severe 8 (12%) subjects. The most characteristic lesions in the lung parenchymal were fibrosis, calcification, bullae, reticular opacity, GGO, nodules, consolidation and fungi. The most common airway lesions were bronchietacsis, atelectasis and trachel dilatation. The most common lung diffusion impairment is mild 25 (38%), moderate 22 (33%) and severe 3 (5%). In this study found that there was a significant difference among lung diffusion impairment and degree of lesion based on HRCT thorax with OR 8.68 (CI 95% 2.3- 32.72).
Conclusion: There was significant relationship between lung diffusion impairment and degree of lesions based on HRCT thorax. Decrease lung function after completing TB treatment can occur so that routine lung function test and HRCT thorax imaging are recommended.
"
Lengkap +
2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrawan Kantawijaya
"Jumlah lanjut usia dengan Penyakit Pam Obstruktif Kronik yang melakukan perjalanan penerbangan jarak tempuh lama seperti jemaah Haji semakin banyak. Kondisi lingkungan di ketinggian meningkatkan risiko kejadian hipoksia pada lanjut usia dengan PPOK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh latihan fisik Apolap (Aerobik, Peregangan Otot, dan Latihan Pemapasan) secara teratur pada lanjut usia dengan penyakit pam obstruktif kronik sebagai persiapan penerbangan jarak tempuh lama. Sebanyak 20 orang lanjut usia dengan diagnosis PPOK yang datang ke Poliklinik RSAU dr. Esnawan Antariksa diberikan latihan fisik Apolap tiga kali seminggu selama 4 minggu. Pemeriksaan spirometri, saturasi oksigen, dan nilai CAT dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Dari 20 responden, 17 pasien menyelesaikan peneiirian. Hasil penelitian menunjukan latihan fisik Apolap tidak menunjukan basil berma1cna pada variabel spirometri FEVI (p=O,570) dan FVC (p=0,156) dan menunjukan hasil berma1cna pada variabel saturasi oksigen (p=O,032), dan nilai CAT (p=O,OOO). Latihan fisik Apolap tidak menghasilkan perubahan yang berma1cna pada variabel spirometri (FEVI dan FVC) tetapi menghasilkan perubahan bermakna untuk variabel saturasi oksigen dan nilai CAT.

The number of elderly with Chronic Obstructive Pulmonary Disease who travel by plane in a long-haul flight like Hajj pilgrims has increased. High-altitude environment increased the risk of hypoxia in elderly patients with COPD. The aim of this study was to evaluate the influence Apolap physical exercise consists of aerobic, muscle stretching, and breathing exercise in elderly patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease as a long-haul flight preparation. A total of 20 elderly patients diagnosed wih COPD in RSAU dr. Esnawan Antariksa joined Apolap physical exercise three times a week for 4 weeks. Spirometry, oxygen saturation, and CAT values were recorded pre- and post- intervention. Out of 20 patients, 17 patients completed the study. A statistically insignificant improvement was recorded for spirometry FEV 1 (p = 0,570) and FVC (p = 0,156) meanwhile statistically significant improvement was recorded for oxygen saturation (p=O,032), and CAT value (p = 0,000)."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57659
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library