Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adisti Prafica Putri
"Latar belakang: Status epileptikus non-konvulsivus (SENK) dapat terjadi setelah status epileptikus konvulsivus (SEK). SENK yang terjadi pasca-SEK memiliki mortalitas sebesar 34,9%. Sehingga, pada keadaan penurunan kesadaran pasca-SEK harus dicurigai suatu SENK yang dibuktikan dengan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) untuk menegakkan diagnosis agar luaran pasien menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insiden SENK pasca-SEK dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang menggunakan data sekunder. Sampel di ambil dengan metode total sampling yaitu pada subjek yang mengalami penurunan kesadaran pasca-SEK dari bulan Maret 2019-Oktober 2020 di Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo) Jakarta. Penegakan diagnosis SENK menggunakan EEG dengan kriteria modified salzburg consensus criteria for non-convulsive status epilepticus (mSCNC)
Hasil Penelitian: Sebanyak 74 subjek mengalami penurunan kesadaran pasca-SEK. Median usia 46 (18-80) tahun dengan dominasi perempuan. Median frekuensi bangkitan epileptik saat SEK sebanyak 4(1-30) kali, SEK terjadi selama 1-5 menit pada 73% subjek. Median derajat kesadaran pasca SEK skala koma Glasgow (SKG) 11(5-14). Etiologi tersering adalah intrakranial (66,2%) yang terjadi akut (71,6%) akibat iskemia otak (20,3%). Riwayat epilepsi didapatkan pada 36,5% subjek. Insiden SENK dari Maret 2019 – Oktober 2020 sebesar 33,8%. Berdasarkan kriteria mSCNC, SENK definit 24%, sebesar 12% masing-masing berupa bangkitan epileptiform > 2,5Hz dan aktivitas ritmik disertai evolusi spasiotemporal. Sementara possible SENK 56% dengan gambaran tersering berupa aktivitas ritmik tanpa fluktuasi. Pada subjek yang tidak SENK didapatkan gambaran EEG abnormal sebanyak 87,3% dengan gambaran nonepileptiform berupa perlambatan (71,4%). Tidak terdapat perbedaan demogarafi dan klinis bermakna pada kedua kelompok, namun pada kelompok SENK didapatkan median usia lebih tua (52 vs 44 tahun). Sedangkan pada kelompok tidak SENK, lebih banyak didapatkan riwayat epilepsi (44,9%) dibandingkan kelompok SENK (20%) (p = 0,035). Analisa multivariat menunjukkan risiko mengalami SENK saat tidak memiliki riwayat epilepsi adalah sebesar 3.259 kali (p = 0,040; IK95% 1,053-10,091).
Kesimpulan: Insiden SENK didapatkan sebesar 33,8%. Berdasarkan kriteria mSCNC, definit 24%, sebesar 12% masing-masing berupa bangkitan epileptiform > 2,5Hz dan aktivitas ritmik disertai evolusi spasiotemporal. Sementara possible SENK 56% dengan gambaran tersering berupa aktivitas ritmik tanpa fluktuasi. Pasien tanpa riwayat epilepsi, memiliki resiko sebesar 3,259 kali mengalami SENK pasca-SEK.

Background: Nonconvulsive status epilepticus (NCSE) may occur following convulsive status epilepticus (CSE), with the mortality rate of 34.9%. Therefore, in persistent loss of consciousness following CSE, NCSE must be considered and electroencephalography (EEG) should be performed to ensure the diagnosis and improve the outcome. This study aimed to describe the incidence of NCSE following CSE and its associated factors.
Methods: This was a cross-sectional study using secondary data of every subjects with loss of consciousness following CSE from March 2019 to October 2020 in Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta. The diagnosis of NCSE was performed using modified Salzburg consensus criteria for non-convulsive status epilepticus (mSCNC).
Results: There were 74 subjects with loss of consciousness following CSE. The median age of 46 (18-80) years predominantly female. The median frequency of seizure at CSE was 4 (1-30) times and occurred for 1-5 minutes in 73% of subject. The median degree of consciousness following CSE Glasgow Coma Scale (GCS) 11 (5-14). The most common etiology was related to intracranial etiology (66.2%) that occurs in acute (71,6%) due to cerebral ischemia (20.3%). A history of epilepsy was found in 36.5% subject The incidence of NCSE from March 2019 to October 2020 was 33.8%. Based on mSCNC criteria, the definite NCSE was 24%, 12% respectively was epileptiform discharge >2.5 Hz and rhythmic activity with spasiotemporal evolution. The possible NCSE was 56 % with the most common EEG finding was rhythmic activity without fluctuation. In group NCSE, there was abnormal EEG 87.3% with non-epileptiform in form of slowing. There were no significant demographic and clinical differences in two group, but in NCSE group the median age was older (52 vs 44 years). Meanwhile, in the non NSCE group, there was more history of epilepsy (44.9) than NCSE group (20%) (p=0.035). Multivariate analysis showed the risk of NCSE when no history of epilepsy was 3.259 times (p = 0,040; IK95% 1,053-10,091).
Conclusion: The incidence of NCSE following CSE was 33.8%. Based on mSCNC criteria, the definite NCSE was 24%, 12% respectively was epileptiform discharge >2.5 Hz and rhythmic activity with spasiotemporal evolution. The possible NCSE was 56 % with the most common EEG finding was rhythmic activity without fluctuation. Subjects without history of epilepsy had 3.259 higher risk to develop NCSE following CSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Maria Loho
"ABSTRAK
Latar belakang : Status epileptikus non konvulsif SENK dapat disebabkan oleh kelainan metabolik akut dan ditandai dengan penurunan kesadaran dengan atau tanpa bangkitan konvulsif motorik. Abnormalitas gambaran elektroenesfalografi EEG dapat menggambarkan derajat kerusakan otak. Pemeriksaan EEG pada ensefalopati metabolik secara umum di Indonesia belum rutin dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran EEG, angka kejadian abnormalitas EEG, gambaran klinis, dan prevalensi SENK pada ensefalopati metabolicMetode penelitian: Desain penelitian potong lintang deskriptif pada pasien ensefalopati metabolik di Instalasi Gawat Darurat, ruang rawat intensif, dan ruang rawat biasa RSUPN Cipto Mangunkusumo selama bulan Agustus-November 2016 Pemeriksaan EEG menggunakan EEG portable. Pasien dimasukan sebagai sampel apabila berusia >18tahun, didiagnosis ensefalopati metabolik oleh TS penyakit dalam, dapat dilakukan perekaman EEG. Pasien dieksklusi apabila terdapat defisit fokal neurologis pada pemeriksaan fisik dan terdapat riwayat epilepsi sebelumnya. Diagnosis SENK ditegakan dengan menggunakan kriteria Salzburg.Hasil: Di antara 34 orang subjek ensefalopati metabolik, didapatkan angka kejadian abnormalitas EEG 100 . Gambaran epileptiform ditemukan 41,2 dan gambaran non epileptiform 91,2 . Gambaran non epileptiform yang didapat meliputi: 28 subjek dengan perlambatan fokal, 3 subjek perlambatan umum, 5 subjek dengan gelombang trifasik, dan 1 subjek dengan gambaran burst suppression. Prevalensi SENK pada ensefalopati metabolik sebesar 61,8 . Mayoritas subjek dengan diagnosis SENK memiliki derajat SKG 3-8 dan dengan etiologi ensefalopati metabolik multipel.Kesimpulan: Seluruh pasien ensefalopati metabolik ditemukan kelainan EEG. Mayoritas abnormalitas EEG berupa pelambatan fokal. Prevalensi SENK pada ensefalopati metabolik cukup tinggi. Ensefalopati metabolik dengan SENK memiliki SKG yang lebih rendah dan memiliki etiologi lebih dari satu.

ABSTRACT
Background Non Convulsive Status Epileptic NCSE could caused by acute metabolic disorder that indicated by unconsciousness with or without motoric convulsive seizure. EEG abnormality could reflect the severity of brain injury. NCSE among metabolic encephalopathy has not been reported in Indonesia. This study was aimed to find the rate and pattern of EEG abnormality, clinical signs, and prevalence of NCSE in metabolic encephalopathy. Method Cross sectional descriptive study was applied in metabolic encephalopathy patient at emergency room, intensive care unit, and ward Cipto Mangunkusumo National Hospital during August November 2016. Inclusion criteria were 18 years old, diagnosed as encephalopathy metabolic by internist, and underwent the EEG examination. Patient excluded if they had neurologic focal deficit or history of seizure. NCSE was diagnosed by Salzburg criteria.Result Among 34 metabolic encephalpathy subject, the rate of EEG abnormality was 100 . The pattern of abnormality including 41,2 epileptiform and 91,2 non epileptiform pattern. The non epileptiform patten including 28 subject with focal slowing pattern and 3 with general slowing pattern, 5 subject had triphasic wave, and 1 subject had burst suppression. Prevalence of NCSE in metabolic encephalopathy was 61,8 . Majority of NCSE group had Glasgow Coma Scale between 3 8 and caused by multiple metabolic causes. Conclusion Rate of abnormality found in metabolic encephalopathy was 100 . Majority of the abnormality was focal slowing pattern. Prevalence of NCSE in metabolic encephalopathy was high. NCSE group tends to have lower GCS and caused by more than one etiology of encephalopathy. Keywords electroencephalography metabolic encephalopathy non convulsive status epilepticus"
2016
T55594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Aulia Qurotaayun
"Latar Belakang Status epileptikus adalah kondisi kegawatdaruratan Neurologi yang dapat terjadi pada anak. UKK Neurologi IDAI menerbitkan Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus IDAI 2016 agar terdapat keseragaman tata laksana serta menghindari over dan underteatment. Tujuan Mengkaji dan mengevaluasi penerapan Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus UKK Neurologi IDAI 2016 dan variabel yang memengaruhi tata laksana status epileptikus oleh dokter spesialis anak di Indonesia. Metode Metode penelitian menggunakan studi potong lintang dengan instrumen penelitian berupa kuesioener daring yang berisi 16 pertanyaan kesesuaian tata laksana, dengan total skor 21. Penelitian dilakukan selama bulan Oktober 2023. Respondens merupakan dokter spesialis anak di Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Hasil Rerata skor kesuaian tata laksana status epileptikus dari 129 subjek adalah 11,68 dari 21,00. Rentang skor subjek adalah 2,00 hingga 19,00. Proporsi dokter spesialis anak yang mengetahui rekomendasi adalah 97,3% dan yang pernah mendapatkan sosialisasi adalah 82,9%. Signifikansi uji komparatif rerata skor kesesuaian kategori usia <41 tahun, 41-60 tahun, >60 tahun adalah p=0,071, kategori tahun kelulusan ≤10 tahun dan >10 tahun p=0,04, kategori tempat kerja klinik/praktik pribadi, rumah sakit tipe B/A dan rumah sakit tipe C/D adalah 0,309, kategori lokasi kerja kota madya dan kabupaten adalah p=0.279, serta kategori riwayat sosialisasi dan tidak p=0,139. Terdapat perbedaan kemampulaksanaan rekomendasi tata laksana antara lokasi kerja praktik/klinik pribadi dan rumah sakit sebesar p=0,287 dan rumah sakit tipe B/A dan rumah sakit tipe C/D sebesar p=0,013, serta berdasarkan tempat kerja sebesar p=0,798. Kesimpulan Terdapat perbedaan rerata skor kesesuaian rekomendasi tata laksana yang secara statistik bermakna pada kategori tahun kelulusan ≤10 tahun dan >10 (p=0,04), serta perbedaan kemampulaksanaan rekomendasi di rumah sakit tipe B/A dan rumah sakit tipe C/D (p=0,013).

Introduction Status epilepticus is a neurological emergency condition that can occur in children. Indonesian Pediatric Society (UKK Neurologi IDAI) issued the IDAI 2016 Recommendations for the Management of Status Epilepticus to ensure consistent management of status epilepticus. Objective To assess and evaluate the implementation of the UKK Neurologi IDAI 2016 Recommendations for the Management of Status Epilepticus and the variables influencing the management of status epilepticus by pediatric specialists in Indonesia. Method The research methodology used a cross-sectional study design with an online questionnaire as the research instrument, consisting of 16 questions on the appropriateness of management, with a total score of 21. The research was conducted in October 2023. The respondents were pediatric specialists in Indonesia who are members of the Indonesian Pediatric Society (IDAI). Results The mean score of compliance with the managementguuidelines recommendations based on workplace in hospital type B/A and hospital type C/D (p=0.013). guidelines for status epilepticus from 129 subjects is 11.68 out of 21.00. The range of subject scores is from 2.00 to 19.00. The proportion of pediatric specialists who are aware of the recommendations is 97.3%, and those who have received training is 82.9%. The significance of the comparative test for the mean scores of compliance in the age categories <41 years, 41-60 years, and >60 years is p=0.071. p=0.04 For the categories of years since graduation ≤10 years and >10 years, p=0.309. for the categories of workplace in clinics/private practice, hospital type B/A, and hospital type C/D, p=0.795 for the categories of working location in rural and urban area, and p=0.139 for the categories of history of training and no training. The difference in the implementation of management guideline recommendations based on working location with a significance of p=0.287 in clinic/private practice and hospitals, and p=0.013 in hospital type B/A and hospital type C/D. The difference in the implementation of management guideline recommendations based on workplace with a significance of p=0.798 in rural and urban area. Conclusion There is a statistically significant difference in the mean scores of compliance with the management guideline recommendations in the categories of years since graduation ≤10 years and >10 years (p=0.04), and difference in the implementations of management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffri Harisman
"Latar belakang: Status epileptikus non konvulsif (SENK) dapat ditemukan pada
cedera kepala sedang-berat (CKS-B). Timbulnya kejang pascatrauma dapat
memperberat cedera otak yang sudah terjadi, sehingga dapat mempengaruhi luaran.
Gejala klinis SENK tidak spesifik, sehingga membutuhkan pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) dalam penegakkan diagnosis. Penelitian ini bertujuan
mengetahui angka kejadian SENK, faktor yang mempengaruhi, gambaran demografi
(usia, jenis kelamin dan luaran), gejala klinis, gambaran pencitraan dan EEG pada
pasien CKS-B dengan SENK.
Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan sampel
terdiri dari data primer, yaitu semua CKS-B dari bulan Juli-Desember 2019 secara
consecutive sampling dan data sekunder, yaitu subjek CKS-B dengan klinis kecurigaan
SENK dari bulan Januari 2017-Juni 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSUPNCM), Jakarta. Penegakkan diagnosis SENK dilakukan melalui
kriteria modified salzburg consensus criteria for non convulsive status epilepticus
(mSCNC).
Hasil penelitian: Sebanyak 39 sampel CKS-B masuk ke dalam penelitian yang terdiri
dari 14 data primer dan 25 data sekunder. Sebanyak 19 dari 39 sampel terdiagnosis
SENK. Proporsi insiden SENK pada CKS-B dari Juli-Desember 2019 sebesar 21,4% (3
dari 14 sampel). Pada kelompok SENK didapatkan usia lebih tua, laki-laki lebih banyak
dari perempuan (3:1) dan kecelakaan lalu lintas sebagai mekanisme utama. Manifestasi
klinis SENK, antara lain penurunan kesadaran (23,1%), agitasi psikomotor (12,8%),
delirium (5,1%) dan gangguan persepsi (5,1%). Lobus frontal dan SAH merupakan
daerah lokasi cedera dan patologi terbanyak. Hanya didapatkan 2 sampel dengan kriteria
definit SENK dan selebihnya possible SENK. Sebagian besar bangkitan SENK berasal
dari lobus temporal. Analisis multivariat menunjukkan lokasi cedera lobus temporal
bermakna berhubungan dengan kejadian SENK (p = 0,036, OR 11,45 (95% IK 1,17-
111,6).
Kesimpulan: Proporsi insiden SENK pada CKS-B di RSUPNCM sebesar 21,4%.
Penurunan kesadaran merupakan gejala klinis SENK terbanyak. Lobus temporal
merupakan faktor yang berhubungan terhadap kejadian SENK.

Background: Non convulsive status epilepticus (NCSE) can be accounted by moderatesevere
traumatic brain injury (TBI). Posttraumatic seizure can aggravate the previous
injury and produce poor outcome. Electroecephalography (EEG) was employed as
diagnostic tool because unspecified clinical symptoms. This study was aimed to find
incidence proportion, associated risk factors, demographic profiles (age, gender,
outcome), clinical symptoms, imaging and EEG patterns of NCSE in moderate-severe
TBI patients.
Method: Cross-sectional design was applied ini this study. Data is consist of primary
data which include all moderate-severe TBI since July-December 2019 by consecutive
sampling and secondary data which include moderate-severe TBI since January 2017-
June 2019 with highly suspicious NCSE symptoms in Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta. EEG was employed as diagnostic tool by using modified salzburg consensus
criteria for non convulsive status epilepticus (mSCNC) as a criteria.
Result: Of 39 samples, 19 moderate-severe TBI samples (14 primary data, 25
secondary data) were diagnosed as NCSE. Incidence proportion of NCSE from July-
December 2019 is 21,4% (3 from 14 samples). Older age, man gender, traffic accident
and worse outcome are the most common NCSE demographic profiles. Loss of
consciousness (23,1%) is a main symptom, followed by psychomotor agitation (12,8%),
delirium (5,1%) dan perception disturbance (5,1%). Frontal lobe and SAH are
consecutively as the most common injury location and pathologic finding. Only 2
samples have definite NCSE diagnosis and the remaining as possible NCSE. Most of
NCSE discharges were originated from temporal lobe. Temporal lobe injury location
has significance relation toward SENK occurance (p = 0,036, OR 11,45 (95% CI 1,17-
111,6).
Conclusion: Incidence proportion of NCSE in moderate-severe TBI is 21,4%. Loss of
consciousness is the most finding symptoms. Temporal lobe is a factor relates to NCSE
occurance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Ridski Harsono
"Latar belakang: Status epileptikus konvulsivus (SEK) merupakan kegawatdaruratan epilepsi dengan angka mortalitas yang tinggi dengan berbagai faktor yang memengaruhi. Keluaran pasien dengan SEK di Indonesia belum banyak diteliti, namun berdasarkan studi pendahuluan, didapatkan angka mortalitas yang cukup tinggi dibandingkan studi lainnya.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan disain kohort prospektif untuk mengentahui keluaran kesintasan pasien SEK selama 30 hari yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada bulan Januari 2019-Oktober 2020. Penyajian data kesintasan dilakukan dengan menggunakan kurva Kaplan-meier dan dilanjutkan dengan analisis kesintasan menggunakan analisis cox-regression baik univariat maupun multivariat.
Hasil: Terdapat 196 pasien dengan 200 episode SEK, dengan 61,5% disebabkan oleh etiologi intrakranial, 28,5% oleh etiologi ekstrakranial, dan 10% oleh putus/kurang dosis OAE. Tingkat kesintasan 30 hari pasien SEK di RSCM secara umum adalah 56%. Kesintasan pada kelompok etiologi ekstrakranial (43,8%) lebih buruk dibandingkan etiologi intrakranial (55,3%) (p=0,220; HR=1,303(0,843 – 2,016)). Berdasarkan analisis univariat, faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan adalah jenis kelamin, frekuensi bangkitan kejang, tingkat kesadaran dan SKG selama periode SEK, perubahan dari SEK menjadi SENK, riwayat epilepsi, jumlah komorbid, jumlah obat anti epilepsi (OAE) yang diberikan, penggunaan agen anestesi, terjadinya SER dan SESR, adanya komplikasi dan jumlah komplikasi, terjadinya komplikasi hipotensi dan/atau gagal nafas, serta lama perawatan di rumah sakit. Sedangkan berdasarkan analisis multivariat, faktor yang memengaruhi kesintasan adalah riwayat epilepsi, jumlah komorbid, ada tidaknya komplikasi, dan adanya komplikasi gagal nafas atau penggunaan ventilator.
Kesimpulan: Tingkat keisntasan 30 hari pasien SEK pada penelitian ini rendah. Etiologi ekstrakranial memiliki tingkat kesintasan yang lebih buruk. terdapat 15 faktor lain yang memengaruhi kesintasan pasien dengan SEK.

Background: Covulsive status epilepticus (CSE) is an epileptic emergency with high mortality rate and has various influencing factors. The outcome of patient with CSE in indonesia has not been widely studied, and based on pre-eliminary study, the mortality rate was quite high compared to previous studies.
Methods: This prospective cohort study determine 30 days outcome of CSE patients that admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital in January 2019–October 2020. Overall survival rates for CSE and between 2 groups are presented by Kaplan-meier curve, then continued with a survival analysis using univariate and multivariate cox-regression analysis.
Results: A total of 196 patient with 200 episode of CSE, with 61,5% due to intracranial etiology, 28,5% by extracranial etiology, and 10% by OAE withdrawal. Overall 30 days survival rate for CSE patients at RSCM are 56%. The survival rate in extracranial etiology group (43,8%) was worse than intracranial etiology group (55,3%) (p=0,220; HR=1,303(0,843 – 2,016)). In univariate analysis, factors that influence survival are gender, seizure frequency, level of consciousness and GCS, evolution from CSE to NCSE, epilepsy history, number of comorbids and anti-epileptic drugs (AED), use of anesthetics agents, the occurrence of refractory status epilepticus and super refractory status epilepticus, the presence and number of complications, the occurrence of hypotension and/or respiratory failure, and the hospital length of stay. Whereas in multivariate analysis, factors that influenced survival rate were history of epilepsy, number of comorbidities, the presence of complications, and the presence of respiratory failure or ventilator use.
Conclusion: Thirty days survival rates of CSE patients in this study was low. Extraxranial etiology has lower survival rates. There are 15 factors that influence survival rates in patient with CSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Dewina Pratiwi
"Latar belakang: Status Epilepticus Severity Score (STESS) merupakan instrumen untuk memprediksi luaran pasien status epileptikus (SE) sebelum dilakukan tata laksana. Status Epilepticus Severity Score sudah divalidasi sebelumnya di Swiss dengan nilai cut-off > 4. Instrumen ini adalah instrumen sederhana, dan dapat digunakan dengan cepat, pada pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang perawatan intensif. Tujuan utama penelitian ini untuk menilai validitas dan reliabilitas STESS yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Tujuan tambahan adalah untuk melihat hubungan antara nilai STESS dengan luaran pada 24 jam, 48 jam, hari ke 7, hari ke 30, dan akhir perawatan pasca-SE ditegakan.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Juni 2020 hingga November 2020. Penelitian ini menggunakan disain potong-lintang prospektif dan dilakukan penilaian secara serial untuk melihat luaran pada 24 dan 48 jam pertama, hari ke-7, 30 dan akhir perawatan. Luaran yang dinilai adalah hidup dan mati. Kriteria inklusi adalah pasien SE konvulsivus yang belum mendapatkan tata laksana kejang. Kuesioner STESS telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas STESS Bahasa Indonesia (STESS-INA). Selanjutnya ditentukan nilai titik potong STESS dengan menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) dan menilai Area Under Curve (AUC) terhadap titik potong yang ditentukan. Setelah itu dilakukan analisa statistik berdasarkan titik potong tersebut terhadap luaran pasien pada 24 dan 48 jam, hari ke-7 dan 30, serta akhir perawatan. Luaran yang dinilai dalam bentuk pasien hidup atau meninggal.
Hasil: Didapatkan 17 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil uji validitas interna STESS-INA untuk tiap item didapatkan koefisien korelasi 0,484 hingga 0,702 dengan nilai Cronbach’s Alpha 0,71. Pada studi ini didapatkan mortalitas adalah sebesar 23%. Berdasarkan kurva ROC, didapatkan nilai titik potong 4. Nilai AUC STESS-INA pada akhir perawatan 96,2% dengan menggunakan nilai titik potong STESS > 4. Nilai STESS-INA > 4 berhubungan bermakna dengan luaran kematian pada akhir perawatan (p=0,006).
Kesimpulan: STESS-INA merupakan instrumen valid dan reliabel. Nilai STESS-INA > 4 berhubungan bermakna terhadap luaran kematian pada akhir perawatan.

Background: STESS in an instrument to predict the outcome of a status epilepticus (SE) patient before being managed. STESS has been validated before in Swiss with a cut-off point of ≥4. This simple instrument can be used quickly for patients in the ER and ICU. The goal of this research is to assess the validity, reliability of STESS Indonesia version (STESS-INA) and to evaluate the association of score of STESS-INA and outcome on 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day, and at the last day of hospitalization.
Method: Research was being done at RSUPN Cipto Mangunkusumo on June 2020 to November 2020. STESS was translated to Indonesia version (STESS-INA) followed by validity and reliability evaluation. STESS-INA was assessed when patient is being diagnosed with SE before being managed, then being observed on the first 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day and the last day of hospitalization. Predictive value of STESS-INA was being assessed by Receiver Operating Character (ROC) with the cut-off point at the most optimal sensitivity and specificity followed by assess the correlation between STESS-INA cut-off point and the outcome on 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day, and at the last day of hospitalization. The outcome was live/deceased.
Result: There were 17 patients in this study. The results of the internal validity test obtained a correlation coefficient of STESS-INA was 0.484 to 0.702. Internal consistency reliability test with Cronbach’s Alpha was 0.71. The mortality rate of these study was 23%. The AUC value of STESS-INA at the end of hospitalization was 96.2 with cut-off point >4. In this study, STESS-INA with cut-off point 4 has significantly associated with outcome at the last day of hospitalization (p = 0.006).
Conclusion: STESS-INA is a valid and reliable instrument in predicting outcome at the end of hospitalazation. STESS with a cut-off >4 was associated with mortality at the last day of hospitalization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library