Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Ginanjar
"Sindrom koroner akut berkontribusi pada tingginya angka morbiditas dan mortalitas terkait kasus penyakit kardiovaskular, dengan salah satu penyebab mortalitas tertinggi yaitu STEMI(ST Elevation Myocardial Infarction). Keterlambatan penanganan pasien STEMI menjadi penyebab tingginya mortalitas dan kejadian MACE (Major Adverse Cardiac Event), serta berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan.Program CODE STEMI diciptakan dengan harapan dapat menyelesaikan keterlambatan ini serta meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan program CODE STEMI terhadap kualitas pelayanan pasien dengan STEMI di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.Metode yang digunakan adalah metode operasional secara kuantitatif dan kualitatif dengan desain kohort retrospektif. Data kuantitatif didapatkan dari telaah dokumen dengan jumlah sampel 207 pasien (135 kelompok CODE STEMI, 72 kelompok Non CODE STEMI), sedangkan data kualitatif didapatkan dari wawancara mendalam dengan sepuluh informan penelitian. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan uji Mann whitney (Door to balloon time, total biaya RS, lama rawat) dan chi square (kejadian Mortalitas dan MACE). Hasil penelitian menunjukan terdapat perbaikan yang bermakna untuk door to balloon time, total biaya dan lama rawat pasien STEMI pada pasien yang ditangani dengan CODE STEMI. Selain itu terdapat kecenderungan penurunan angka kejadian MACE dan mortalitas setelah diterapkan program CODE STEMI. Baik pihak rumah sakit maupun pasien mengaku puas dengan program CODE STEMI tersebut. Program ini terbukti memiliki efikasi, efektivitas, optimalitas, akseptibilitas, legitimasi, dan ekuitas yang baik serta memenuhi prinsip-prinsip manajemen yang baik untuk sebuah program pelayanan. Kesimpulan penelitian ini adalah program CODE STEMI berpengaruh baik terhadap kualitas pelayanan pasien dengan STEMI di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Acute coronary syndrome contributes to high rates of morbidity and mortality associated with cardiovascular disease, with one of the highest causes of mortality is STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction). Delay in the management of STEMI patients is a cause of high mortality and the incidence of MACE (Major Adverse Cardiac Event), as well as affecting healthcare quality. This delay may be solved by the CODE STEMI program. This study aims to determine the effect of the implementation of the CODE STEMI program on the quality of healthcare services with patients with STEMI at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. The method used was an observational method using quantitative and qualitative approach with a cross sectional design. Quantitative data were obtained from a medical records with a sample of 207 patients (135 CODE STEMI groups, 72 Non-CODE STEMI groups), while qualitative data were obtained from in-depth interviews with ten research informants. Data analysis was performed quantitatively by Mann Whitney test (Door to balloon time, total hospital costs, length of stay) and chi square test (Mortality and MACE events). The results of the study shows a significant reduction in terms of door to balloon time, total cost, and length of stay of STEMI patients treated with CODE STEMI. In addition, there is a decreasing tendency of the incidence of MACE and mortality after the application of the CODE STEMI program. Both the hospital and the patient said they were satisfied with the CODE STEMI program. This program is proven to have a good efficacy, effectivity, optimality, acceptability, legitimation, and equity. It also met the required principles of good management for healthcare program. The conclusion of this study is that the CODE STEMI program has a good impact on the healthcare quality of patients with STEMI in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prijander L.B Funay
"Latar Belakang:Keterlambatan penanganan pasien STElevation Myocardial Infarction(STEMI)menjadi penyebab tingginya mortalitas dan kejadian MACE (Major Adverse Cardiac Events). Di Indonesia, pasien pasien STEMI sering mengalami keterlambatan penanganan. Upaya yang dapat dilakukan di fasilitas kesehatan dengan kemampuan Primary Percutaneous Coronary Intervention(PCI) adalah mencapai reperfusi tepat waktu pasien STEMI. Berbagai strategi dilakukan untuk mencapai reperfusi tepat waktu diantaranya dengan menerapkan program CODE STEMI. Program CODE STEMI merupakan notifikasi STEMI melalui sistem panggilan tunggal yang dapat mempercepat waktu reperfusi pasien STEMI di rumah sakit.
Tujuan:Mengetahui pengaruh penerapan program CODE STEMI terhadap Door to Balloon Time (D2BT) dan MACE pasien STEMI yang menjalani PrimaryPCI di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Metode:Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada 255 rekam medis pasien STEMI yang menjalani PrimaryPCI di RSUPN Cipto Mangunkusumo sebelum penerapan program CODE STEMI (2015-2016) dan sesudah penerapan program CODE STEMI (2017-2018). Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan uji Mann whitney untuk D2BT dan chi square untuk MACE.
Hasil:Terdapat 111 pasien pada kelompok Non CODE STEMI dan 144 pasien pada kelompok CODE STEMI. D2BT berkurang bermakna 110 menit dari 275 (99-2356) menit pada kelompok Non CODE STEMI menjadi 165 (67-1165) menit pada kelompok CODE STEMI (p <0.001). Kejadian MACE (48,4% vs 51,6%; p = 0,120), gagal jantung (46,6% vs 42 %; p = 0,288), syok kardiogenik (27% vs 19,4%; p = 0,152), aritmia (12,6% vs 6,2%; p = 0,079), stroke (4,5% vs 5,6%; p = 0,705) dan angka mortalitas (7,2% vs 3,5%; p = 0,179) sama antara kedua kelompok.Kejadian infark berulang dan PCI ulang berkurang bermakna pada kelompok CODE STEMI (4,5% vs 0,7%; p = 0.047, 2,7% vs 0,0%; p = 0.047).
Simpulan:Program CODE STEMI memperbaiki D2BT. Program CODE STEMI tidak menurunkan kejadian MACE.

Background: Delay in the management of ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)patients is a cause of high mortality and the incidence of Major Adverse Cardiac Events (MACE).In Indonesia, STEMI patients often experience delays in treatment. Efforts that can be made in health facilities with Primary PercutaneousCoronary Intervention(PCI)capability are achieving timely reperfusion of STEMI patients. Various strategies were carried out to achieve timely reperfusion including implementationthe CODE STEMI program. The CODE STEMI program is a STEMI notification through a single call system that can speed up the reperfusion time of STEMI patients in the hospital.
Objective:To determine the effect of the implementation of the CODE STEMI program on Door to Balloon Time (D2BT) and MACE of STEMI patients undergoing Primary PCI at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital Jakarta.
Methods: This was a retrospectivecohort study on 255 medical records of STEMI patients undergoing Primary PCI at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital before the application of the CODE STEMI program (2015-2016) and after the application of the CODE STEMI program (2017-2018). Data analysis was performed quantitatively by Mann Whitney test for D2BT and chi square for MACE
Results:There were 111 patients in the Non CODE STEMI group and 144 patients in the CODE STEMI group. D2BT decreased significantly 110 minutes from 275 (99-2356) minutes in the Non CODE STEMI group to 165 (67-1165) minutes in the CODE STEMI group (p <0.001). MACE events (48.4% vs 51.6%; p= 0.120), heart failure (46.6% vs 42%; p = 0.288), cardiogenic shock (27% vs 19.4%; p = 0.152), arrhythmia (12.6% vs 6.2%; p = 0.079), stroke (4.5% vs 5.6%; p = 0.705) and mortality rate (7.2% vs 3.5%; p = 0.179 ) were similar between the two groups. The incidence of reinfarction and repeated PCI was significantly reduced in the CODE STEMI group (4.5% vs 0.7%; p = 0.047, 2.7% vs 0.0%; p = 0.047).C
onclusions:The CODE STEMI program reduces D2BT. The CODE STEMI program did not reduce the overall MACE incidence but reduced the incidence of reinfarction and repeated PCI of STEMI patients undergoing Primary PCI at Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Fahmi
"Aktivitas fisik merupakan secondary prevention yang dapat menurunkan angka kematian dan re-admission pada pasien STEMI. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan aktivitas fisik pasien STEMI pasca peawatan. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Sebanyak 150 pasien STEMI dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien STEMI pasca perawatan memiliki aktivitas fisik ringan (85%). Faktor-faktor yang berhubungan dengan aktivitas fisik pasien STEMI pasca perawatan adalah usia (p=0,002), jenis kelamin (p=0,0001), lama hari pasca rawat (p=0,032), penyakit penyerta (p=0,015), depresi (p=0,003), self-efficacy (p=0,0001), dan dukungan sosial (p=0,0001). Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan adalah self-efficacy dengan nilai OR 44,471 (CI:95%=8,816; 224,323). Penelitian ini dapat dikembangkan untuk membuat program rehabilitasi jantung berbasis komunitas sehingga meningkatkan aktivitas fisik pasien STEMI pasca perawatan.

Physical activity is a secondary prevention in reducing mortality and re-admission in STEMI patients. The purpose of this study was to identify factors related to physical activity of after discharge STEMI patients. This study uses a cross sectional method. A total of 150 STEMI patients were selected using a purposive sampling technique. The results showed that the majority of after discharge of STEMI patients have mild physical activity (85%). Factors related to physical activity of after discharge STEMI patients were age (p = 0.002), sex (p = 0.0001), length of day after treatment (p = 0.032), comorbidities (p = 0.015), depression ( p = 0.003), self-efficacy (p = 0.0001), and social support (p = 0,0001). Multivariate analysis showed the most dominant factor is self-efficacy with OR 44.471 (95% CI = 8.816; 224.323). This research can be developed to create a community-based cardiac rehabilitation program that increases the physical activity of after discharge STEMI patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T54033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abhirama Nofandra Putra
"ABSTRAK

PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Belakangan ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara konsentrasi PCSK9 saat admisi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Sebanyak 239 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan konsentrasi PCSK9 pada saat admisi. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Terdapat 28 (11,7%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Akan tetapi, analisis kesintasan tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara konsentrasi plasma PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Saat dibandingkan antara tertil 3 dengan tertil 2 konsentrasi PCSK9 didapatkan hazard ratio 1,466 (95%IK 0,579-3,714) serta antara tertil 1 dengan tertil 2 didapatkan hazard ratio 1,257 (0,496-3,185). Dari penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara konsentrasi plasma PCSK9 saat admisi dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Belakangan ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara konsentrasi PCSK9 saat admisi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Sebanyak 239 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan konsentrasi PCSK9 pada saat admisi. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Terdapat 28 (11,7%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Akan tetapi, analisis kesintasan tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara konsentrasi plasma PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari. Saat dibandingkan antara tertil 3 dengan tertil 2 konsentrasi PCSK9 didapatkan hazard ratio 1,466 (95%IK 0,579-3,714) serta antara tertil 1 dengan tertil 2 didapatkan hazard ratio 1,257 (0,496-3,185). Dari penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara konsentrasi plasma PCSK9 saat admisi dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 30 hari pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.


ABSTRACT
PCSK9 is a molecule that regulates blood LDL cholesterol level. Recent evidences suggest that PCSK9 may also have other independent mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which all may play a role in the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Previous advances in the management of STEMI had succeed in increasing survival. However, some STEMI patients still experienced adverse outcomes eventhough they already received optimal management in accordance with the guidelines. PCSK9 may have a role in the residual risk that those patients have. However, our knowledge regarding this association between plasma PCSK9 level and MACCE in STEMI is still limited. The aim of this study is to evaluate the association between plasma PCSK9 level during admission with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. In total, 239 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for PCSK9 level. PCSK9 level was measured with ELISA.  MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. There were 28 study participants who experienced MACCE in 30 days. However, survival analysis did not show a significant association between plasma PCSK9 level and MACCE in 30 days. The hazard ratio for MACCE between the third tertile and the second tertile of plasma PCSK9 level was 1.466 (95%CI 0.579-3.714) and between the first tertile and the second tertile was 1.257 (95%CI 0.496-3.185). There was no significant association between plasma PCSK9 level during admission and 30 days MACCE in STEMI patients treated with primary PCI.

"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Fajarwati
"STEMI masih menjadi penyebab kasus kematian utama di Indonesia. Di Jakarta, angka kejadian STEMI meningkat setiap tahunnya. IKP primer merupakan tindakan utama untuk penanganan STEMI, namun tidak mengatasi penyebab terjadinya oklusi. Pengetahuan pencegahan sekunder diperlukan untuk mencegah terjadinya restenosis sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup setelah IKP primer.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan pencegahan sekunder dengan kualitas hidup pada pasien STEMI Pasca IKP Primer. Desain penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan potong lintang cross sectional. Responden terdiri dari 60 pasien STEMI pasca IKP Primer yang dipilih melalui teknik consequtive sampling. Instrumen yang digunakan Maugerl Cardiac Prevention Questionnare MICRO-Q dan Seattle Angina Questionaire-7 SAQ 7.
Hasil penelitian menunjukkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan pencegahan sekunder dengan kualitas hidup pada STEMI pasca IKP primer p=0,662; =0,05. Namun, pengetahuan pencegahan sekunder penting untuk tetap diperlukan sabagai salah satu komponen yang dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien STEMI pasca IKP primer.

STEMI is one a leading cause of death cases in Indonesia. In Jakarta, the incidence of STEMI increases anually. Primary PCI is the main treatment eventhough it is not the causes of occlusion. Secondary prevention knowledge is needed to prevent the occurrence of restenosis so it can improve quality of life after primary PCI.
This research has purpose to know the relationship between knowledge level about secondary prevention and quality of life in STEMI patient after Primary PCI. This is analytic with cross sectional approach. Respondents consisted of 60 STEMI patients post Primary PCI selected through concequtive sampling technique. The instrument is the Maugerl Cardiac Prevention Questionnare MICRO Q and Seattle Angina Questionaire 7 SAQ 7.
The results showed no correlation between knowledge level and quality of life in STEMI after primary IKP p 0,662 0,05. However, secondary prevention knowledge is important to remain as one of the components that can improve quality of life in STEMI post primary IKP.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bietris Warisyu
"schemic Heart Disease merupakan salah satu penyebab kematian paling umum di dunia dan frekuensinya terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini menjadi tantangan yang besar bagi seorang Ners dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Praktik ilmu keperawatan yang berkualitas harus diimbangi dengan pembuktian secara Evidence Base Nursing (EBN) karena EBN bisa menjadi landasan dalam melaksanakan peran pemberi asuhan, pendidik, peneliti, dan innovator yang profesional. Praktik residensi telah memberikan pengalaman dan menambah pengetahuan residensi tentang keperawatan kardiovaskular. Penerapan teori Lydia Hall: Care, Core, dan Cure dilakukan oleh residensi pada 30 kasus resume dan satu kasus kelolaan yaitu pada pasien dengan STEMI. Peran peneliti telah dilakukan dengan menerapkan EBN tentang penerapan Slow Deep Breathing Relaxation Exercise (SDBRE) setelah chest tube removal pada pasien yang menjalani CABG di Ruang Intermediate Ward Bedah. Penerapan SDBRE didapatkan efektif dalam menurunkan nyeri setelah chest tube removal. Peran Inovasi dilakukan dengan menyusun protokol Munro Scale untuk mencegah kejadian Perioperative Related Pressure Injury pada pasien Bedah jantung. Munro Scale didapatkan mampu mendeteksi adanya resiko Pressure Injury, mudah dipahami oleh perawat, dan mudah dilaksanakan oleh perawat kamar bedah dalam perawatan. Namun sebaiknya follow up pengkajian Munro Scale dilakukan di ruangan ICU bedah, IW Bedah, dan Rawat Inap.

Ischemic Heart Disease is one of the most common causes of death in the world and its frequency continues to increase every year. This is a big challenge for a nurse in health services in Indonesia. Quality nursing practice must be balanced with Evidence Based Nursing (EBN) evidence because EBN can be the basis for carrying out the role of professional caregivers, educators, researchers, and innovators. Residency practice has provided experience and increased residency knowledge about cardiovascular nursing. The application of Lydia Hall's theory: Care, Core, and Cure was carried out by residencies in 30 resume cases and one managed case, namely in patients with STEMI. The role of researchers has been carried out by applying EBN regarding the application of Slow Deep Breathing Relaxation Exercise (SDBRE) after chest tube removal in patients undergoing CABG in the Intermediate Ward of Surgery. The application of SDBRE was found to be effective in reducing pain after chest tube removal. The role of innovation is carried out by compiling the Munro Scale protocol to prevent Perioperative Related Pressure Injury in cardiac surgery patients. The Munro Scale was found to be able to detect the risk of Pressure Injury, easily understood by nurses, and easily implemented by operating room nurses in treatment. However, follow-up studies of the Munro Scale should be carried out in the surgical ICU, IW Surgery, and Inpatient rooms."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Ginanjar
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Birry Karim
"Latar belakang: Inflamasi memegang peranan penting dalam IMA-EST, terutama kejadia cedera reperfusi. Kolkisin merupakan sediaan obat anti inflamasi, yang dapat menekan inflamasi saat terjadi cedera reperfusi. Kami menilai keefektivan dari pemberian kolkisin pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dalam menekan cedera reperfusi.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis, tersamar ganda, dengan plasebo, yang dilakukan multisenter di dua rumah sakit di Jakarta dengan fasilitas IKPP dari Desember 2022 hingga April 2023. Pasien IMA-EST yan menjalani IKPP diberikan dosis muat kolkisin 2 mg, kemudian dosis pemeliharaan 2x0,5 mg selama 2 hari, dan amilum pada kelompok plasebo. Pasien diamati kejadian cedera reperfusi berupa TIMI flow, kejadian aritmai, syok dan aritmia akibat reperfusi.
Hasil: Sebanyak 77 subyek IMA-EST dengan rerata usia 55.2 ± 9.9 tahun menjalani IKPP. 37 subyek mendapat kolkisin, 40 subyek mendapat placebo. Kebanyakan subjek ialah laki-laki (77.5%), menderita 3 vessel disease (44,1%), oklusi di LAD ( 53,2%). Pemberian kolkisin tidak berhasil menurunkan kejadia cedera iskemia reperfusi (51.5% vs. 42.4%; p = 0.437). Analisi komorbiditas ( hipertensi, gagal ginjal, diabetes mellitus, dan obesitas) dan hasil angiografi ( jumlah pembuluh darah coroner yang sakit, diameter pembuluh darah, dan lokasi penyumbatan yang menyebabkan IMA-EST) tidak berhasil menunjukkan kemaknaan secara statistic. Kejadian efek samping sama pada kedua kelompok (21.6% vs. 15%).
Kesimpulan: Pemberian kolkisin pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP tidak berhasil menurunkan kejadian cedera reperfusi.

Background: Inflammation plays a role in ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI), especially in reperfusion injury (RI). Colchicine, an anti-inflammatory drug, can suppress inflammation during RI. We assessed the effectiveness of administering colchicine to STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) in suppressing RI events.
Methods: This study was a randomized, double-blind, placebo-controlled clinical trial conducted in a multicenter manner at two hospitals in Jakarta with IKPP facilities from December 2022 to April 2023. STEMI patients that underwent PPCI received 2 g of colchicine as a loading dose and a maintenance dose of 0.5 g every 12 hours for two days or amylum at a similar dose. Patients were observed for RI events (low-flow thrombolysis in myocardial infarction (0–2) during angiography procedure, reperfusion arrhythmia, cardiogenic shock, or persistent chest pain).
Results: Seventy-seven STEMI patients with a mean age of 55.2 ± 9.9 years underwent PPCI. Of these patients, 37 received colchicine, and 40 received a placebo. Most subjects were male (77.5%), suffered three-vessel disease (44.15%), and occlusion in left anterior descending coronary artery (53.24%). Colchicine was found to fail to reduce the incidence of ischemia-RI (51.5% vs. 42.4%; p = 0.437). Analysis of comorbidities (hypertension, chronic kidney disease, diabetes mellitus, and obesity) and angiography results (vessel disease, lesion diameter, and culprit artery) failed to demonstrate a statistical difference in RI. Side effects were similar in the colchicine and placebo groups (21.6% vs. 15%).
Conclusion: Colchicine administration in STEMI patients undergoing PPCI failed to reduce RI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Hendra
"ABSTRAK
Latar belakang: PCSK9 merupakan protein yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan. Polimorfisme R46L gen PCSK9 diketahui memiliki efek proteksi terhadap risiko kardiovaskular. Pada pasien infark miokard, prevalensi pembawa karier mutan R46L sebesar 2,14%. Dalam observasi pasien infark miokard akut didapatkan proporsi pasien yang memiliki kesintasan yang panjang. Polimorfisme R46L gen PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam mempertahankan kesintasan pasien-pasien tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara polimorfisme R46L gen PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Metode: Sebanyak 601 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan polimorfisme R46L gen PCSK9 pada saat admisi. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up melalui telepon. Hasil: Tidak ditemukan varian mutan (GT dan TT) polimorfisme R46L gen PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP sehingga analisa hubungan polimorfisme R46L gen PCSK9 terhadap luaran kardioserebrovaskular mayor tidak dapat dilakukan. Kesimpulan: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP di RS Jantung Harapan Kita, tidak ditemukan varian mutan R46L gen PCSK9. Analisa hubungan polimorfisme R46L gen PCSK9 terhadap luaran kardioserebrovaskular mayor tidak dapat dilakukan.

ABSTRACT
Background: PCSK9 is a protein molecule that regulates serum LDL cholesterol level. Recent data suggest that PCSK9 activity may also work through other mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which may contribute to the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Advances in the management of STEMI have succeeded in increasing survival. Polymorphism R46L of PCSK9 gene has been known to have protective effect on cardiovascular risks. In patients with myocardial infarction, the prevalence of R46L mutation carriers was 2.14%. In the longterm observation of acute coronary syndrome patients, a proportion of patients experienced longer survival. Polymorphism R46L of PCSK9 gene may play a role in longterm survival. Objective: The aim of this study is to evaluate the association between plasma polymorphism R46L of PCSK9 gene with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. Methods: In total, 601 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for polymorphism R46L of PCSK9 gene. MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. Results: In this study, no polymorphism R46L of PCSK9 gene was detected. Therefore, its association with MACCE could not be further analysed. Conclusion: There was no polymorphism R46L of PCSK9 gene detected in STEMI patients treated with primary PCI. The analysis of its association with MACCE could not be conducted."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyani Risma Sanggul
"Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST/ ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) adalah bagian dari sindrom koroner akut yang berat dan menetap akibat oklusi total arteri koroner sehingga diperlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya. Tindakan revaskularisasi dilakukan dalam 12 jam onset serangan angina pektoris dan didapatkan elevasi segmen ST yang menetap atau ditemukan Left Bundle Branch Block (LBBB). Tatalaksana Intervensi Koroner Perkutan primer lebih disarankan dibandingkan fibrinolisis. Penelitian mengenai mortalitas selama 3 tahun pada pasien pasca STEMI dengan IKP primer belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan waktu pengamatan selama 3 tahun. Populasi studi adalah adalah semua pasien diagnosis STEMI dengan terapi IKP primer berusia ≥ 18 tahun dan keluar rawat hidup Tahun 2011-2012 di RSJPD Harapan Kita. Kriteria inklusi sampel adalah pasien didiagnosa STEMI dan keluar rawat dalam keadaan hidup 01 Januari 2011- 31 Desember 2012 dan Pasien STEMI yang berusia ≥ 18 tahun dengan total sampel sebanyak 466 orang. Data pasien diperoleh dari Jakarta Acute Coronary Syndromes (JACS) dan rekam medis. Analisis data dilakukan dengan Stata 12. Pada analisis multivariat dengan menggunakan uji cox regression time independent, didapatkan pasien STEMI dengan IKP primer yang tidak teratur kontrol memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kontrol teratur ( Adj HR = 5,7 ; 2,447 ? 13,477 ; p value = 0,0001). Pasien STEMI yang DM memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan tidak DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 - 6,150; p value = 0,034). Pasien STEMI dengan kelas killip II memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kelas killip I (Adj HR = 2,31 ; 0,99 ? 5,363 ; p value = 0,05). Model estimasi risiko hazard: H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]. Keteraturan kontrol, diabetes mellitus dan kelas killip admisi memengaruhi risiko mortalitas pasien STEMI dengan IKP primer di RSJPD Harapan Kita.

ST -Segment Elevation Myocardial Infarction ( STEMI ) is a part of the heavy acute coronary syndromes and settled due to total occlusion of the coronary arteries that required immediate revascularization to restore blood flow and myocardial reperfusion as soon as possible . Revascularization performed within 12 hours of onset of angina pectoris and ST segment elevation obtained were settled or discovered Left Bundle Branch Block ( LBBB ) . Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) Procedures more advisable than fibrinolysis. The purpose of this study to determine the factors that affect the risk of 3 years mortality and resulted in a scoring system STEMI patients with primary IKP based on demographic and clinical patients at the Hospital Cardiovascular Harapan Kita . This study used a retrospective cohort design with observation time for 3 years . The study population was is all STEMI patients with a diagnosis of PPCI ≥ 18 years old and alive at discharge at 2011-2012 in RSJPD Harapan Kita . The inclusion criteria were patients diagnosed STEMI alive at discharge at January 2011 - December 2012 and STEMI patients ≥ 18 years old with a total sample of 466 people . Data obtained from the patient Jakarta Acute Coronary Syndromes ( JACS ) and medical records . Data analysis was performed with Stata 12. In multivariate analysis using Cox regression test time independent , STEMI patients with PPCI who irregular control have a higher mortality risk than regular controls ( Adj HR = 5.3 ; 2.345 to 13.026 ; p value = 0.0001 ) . STEMI patients with DM have a higher mortality risk than not DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 to 6,150 ; p value = 0,034 ) . STEMI patients with killip class II had a higher mortality risk than Killip class I ( Adj HR = 2,31 ; 0,991 to 5,363 ; p value = 0,035 ) . Hazard risk estimation model : H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>