Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Rusli Alwies
Abstrak :
Para ahli ilmu pengetahuan sosial terutama para antropolog pada umumnya sependapat, bahwa "There are no peoples however primitive without religion and magic" (tidak ada bangsa bagaimanapun primitifnya, yang tidak memiliki agama dan magi) (Malinowski 1954:17). Karenanya berbagai pendapat muncult tentang keberadaan dan makna agama di tengah kehidupan masyarakat manusia (Ali 1976:138). Hal demikian menunjukkan bahwa agama adalah: A sets of beliefs, practices, and institution which men have evolved in various societies, so far asa they can be understood, as responses to those aspects of their life and situation which are believed...(Seperangkat kepercayaan, praktek-praktek dan pranata-pranata yang dikembangkan oleh manusia dalam berbagai masyarakat. Biasanya sejauh yang dapat mereka mengerti, sebagai tanggapan-tanggapan kepada aspek-aspek dari situasi kehidupan yang dipercayai manusia itu sendiri...(Parsons 1972:89)). Pembahasan tentang fungsi dan makna agama (kepercayaan) dalam kehidupan umat manusia sangat luas cakupannya, sehingga banyak pandangan dan pendapat yang dikemukakan. Diantaranya seperti yang disimpulkan oleh Sigmund Freud (dalam Erich Fromm 1988: 10) Keberadaan agama berawal dari ketakberdayaan manusia dalam melawan kekuatan-kekuatan alam, yang ada di luar diri manusia, dan karena manusia belum mampu mempergunakan segenap rationya untuk menjelaskan kekuatan-kekuatan apa dibelakang gejala alam tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T47
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiyono
Abstrak :
The Social Stratification of Sundanese-Indonesian Phonetic InterferenceThis study is focused on Sundanese-Indonesian phonetic interference and their co-variation with social variables such as class, age, and using of Sundanese compared to Indonesian. The data was collected on two main styles, i.e., simple text reading and word list reading. The identifying of phonetic realization in respondent speech assisted by the CECIL software. To claim that interference is coming from Sundanese, neither from another languages, the study takes Weinreich's criteria of bilingualism that emphasize using of both languages in active interaction. In other word, the understanding without speaking bilingual treated as nonbilingual speaker. It is very important because there are too many speakers who are using Arabic in Islamic ritual but they never use Arabic in daily conversation. The selected respondent was Sundanese and Indonesian speaker only. The study find out that at least three of the social features have a strong correlation to the interference. The lowest interference level placed by the young speaker (second generation) with high education and with high frequency to speak in Indonesian than Sundanese. The middle position placed by the young speaker with lowest education level and speak in Sundanese more frequently than Indonesian. The other side placed by the first generation with at least middle education level. Between three main positions above spread the speakers with combination of social features, but the high to middle position dominated by the first generation and the middle to lowest level interference dominated by the second generation. This finding accepted by T-Student analysis on 95% significant degree.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Defianti
Abstrak :
ABSTRAK
Stasiun adalah tempat untuk menunggu kereta yang ramai digunakan oleh orang-orang sejak zaman kolonial Belanda. Pada tanggal 21 Mei 1873 Belanda membangun sebuah stasiun yang bernama stasiun Willem I di wilayah Selatan Semarang, yaitu Ambarawa. Di dalam stasiun ini terdapat beberapa fasilitas seperti ruang tunggu penumpang, loket tiket, toilet, gerbong kereta, bentuk lantai dan letak fasilitas yang terbagi menjadi dua yaitu untuk golongan Eropa dan pribumi. Hal tersebut membuktikan adanya jejak stratifikasi sosial sebagai jurang pemisah kelas sosial masyarakat pada masa itu. Penelitian ini menggunakan teori poskolonialisme milik Bhaba dan teori relasi kekuasaan milik Max Weber, dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif. Keberadaan stasiun yang berubah menjadi museum ini merupakan bukti kekuasaan dan kemampuan Belanda membangun jalur kereta dan stasiun di jalur pegunungan yang sulit untuk dilewati oleh kereta biasa. Benda cagar budaya ini dirawat dan dilestarikan agar langgeng dan abadi.
ABSTRACT
Train station is a place for passangers to wait for the train which have been used by people since the Dutch colonial era. On May 21, 1873 the Dutch built a train station called Willem I station in south Semarang area which is Ambarawa. In this station there are several facilities such as passenger waiting rooms, ticket counters, toilets, floor tiles, the wagon from train and the location of facilities which are divided into two, namely for European and East Indies groups. This proved that there was a trace of social stratification as a gap between the social class of the community at that time. This was related to the power relations carried out by the Dutch government towards the Dutch East Indies people.This research use Bhabas postcolonialism theory and Max Webers theory of power relations, by using a qualitative approach and descriptive method.The existence of the station that turned into a museum is a testament to the power and ability of the Dutch to build railroad lines and stations on mountainous trails that were difficult for ordinary train to pass. These cultural heritage objects are preserved to stand for the time being.
2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Amelia Pektra
Abstrak :
Penelitian ini membahas relasi antara perempuan, mahar dan stratifikasi sosial yang tercermin dalam naskah peraturan perkawinan di Bengkulu. Korpus penelitian ini adalah naskah Peraturan Bimbang dalam Negeri Bangkahulu berkode Ml.144. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai kedudukan perempuan dalam penetapan mahar perkawinan pada naskah Peraturan Bimbang dalam Negeri Bangkahulu. Berkaitan dengan itu, penelitian ini bertujuan untuk memaparkan relasi antara perempuan, mahar dan stratifikasi sosial yang berlaku pada tahun 1882 dan mendeskripsikan pandangan masyarakat Bengkulu mengenai peraturan perkawinan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analitis dan teknik studi pustaka serta pendekatan sosiologi untuk mengkaji keterkaitan ketiga unsur tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat aturan yang bersifat mengikat antara perempuan, mahar, dan stratifikasi sosial dalam masyarakat Melayu Bengkulu yang tercermin dalam naskah. Besaran mahar juga dipergunakan sebagai tanda atau simbol status sosial perempuan dalam masyarakat. Konsep tersebut masih berlaku di masyarakat Melayu-Bangkahulu hingga saat ini. Namun, terdapat pergeseran stratifikasi sosial dalam penentuan mahar.  Pada masa lalu besaran mahar didasarkan pada garis keturunan, sedangkan saat ini pendidikan dan pekerjaan perempuan menjadi faktor penentu.
This study discusses the relationships between women, dowry and social stratification that are reflected in the text of marriage regulations in Bengkulu. The corpus of this research is Peraturan Bimbang dalam Negeri Bangkahulu manuscript code Ml.144. This study aims to describe the relations between women, the dowry and the social stratification that prevailed at that time, namely 1882 and describe the views of Bengkulu society regarding marital regulations. This study uses descriptive analytical methods and literature study techniques and sociological approaches to examine the interrelation of these three elements. Based on these results, it can be concluded that there are binding rules between women, dowry and social stratification in the Bengkulu Malay community which are reflected in the text. Furthermore, the amount of dowry is also used as a sign or symbol of women's social status in society. The concept is still valid in the Malay-Bangkahulu Society to this day. However, there is a displacement value of social stratification in determining dowry. In the past, dowry depends on nobility, whereas now depends on education and profession of the women.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Abdulsyani
Abstrak :
Contents: 1. Konsep dan definisi sosiologi. 2. Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan. 3. Individu dan masyarakat. 4. Kebudayaan. 5. Struktur sosial.
Jakarta: Bumi Aksara, 2012
301 ABD s(1);301 ABD s(2);301 ABD s(2);301 ABD s(2);301 ABD s(2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Payung Bangun
Abstrak :
Sebelum memasuki uraian-uraian yang dengan langsung bersangkut paut dengan judul pengkajian dirasakan ada baiknya kalau terlebih dahulu diberikan gambaran selintas pandang mengenai kepustakaan yang telah pernah ada tentang masyarakat yang dijadikan sasaran utama pengkajian ini. Hal ini karena pengkajian ini bukan pengkajian yang pertama mengenai masyarakat tersebut rielainkan telah banyak orang mendehuluinya. Selain itu, banyak atau sedikit, hasil-hasil pengkajian terdahula ada gunanya dan menolong dalam melakukan pengkajian ini. Kepustakaan mengenai Karo yang beredar dan dapat dibaca oleh umum sampai sekarang pada umumnya kebanyakan ditulis oleh atau didasarkan pada catatan-catatan dari orang asing, seperti orang Belanda, Jarman, Inggris, Belgia, Amerika dan lain-lain.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1981
D1585
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasrifin Tahara
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini mengkaji bagaimana stereotipe direproduksi oleh kelompok kaomuwalaka terhadap orang Katobengke sebagai kelompok papara dalam berbagai kesempatan. Pada masa Kesultanan Wolio, kelompok kaomu dan walaka sebagai kelas dominan melakukan distinction terhadap orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah atau didominasi. Distinction ini mengacu pada ciri-ciri yang membedakan kelompok kaomu-walaka dengan orang Katobengke sebagai proses produksi stereotipe sebagai strategi kekuasaan. Sebagai kelompok yang pernah berkuasa pada masa Kesultanan Wolio (eksekutif dan legislatif), ingin mempertahankan kekuasaan, privilese dan prestise dengan stereotipe orang Katobengke kotor dan bau, bodoh, kuat makan, lebar kaki, dan budak (batua) sebagai stereotipe yang bersifat internal. Bahkan pada saat ini, kelompok kaomuwalaka menguasai berusaha kedudukan penting dalam sistem pemerintah (walikota, camat, dan legislatif) serta pranata agama (sara kidina) Mesjid Agung Keraton yang pengangkatan pejabatnya tetap mengacu garis keturunan (kamia). Sebagai kelompok yang didominasi atau disematkan stereotipe, orang Katobengke berusaha melawan definisi yang diberikan kelompok kaomu-walaka. Bentukbentuk perlawanan terhadap kelompok kaomu-walaka berupa perlawanan terhadap sistem pengetahuan orang Wolio, resistensi lewat jalur pendidikan, resistensi dengan menggunakan simbol negara/militer, dan resistensi lewat jalur politik sebagai ruang negosiasi status orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Penelitian yang dilakukan sejak Maret 2008 hingga Oktober 2009 ini merupakan penelitian etnografi yang menekankan kasus-kasus keseharian orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Penelitian ini melingkupi penelitian arsip/pustaka dan penelitian lapangan. Metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen. Penelitian dilakukan di Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara dan meluas ke beberapa wilayah seperti Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kota Kendari, Kota Makassar, Kota Bogor, dan Jakarta. Para informan adalah tokoh adat dan tokoh agama masyarakat Buton dan Katobengke dan orang-orang yang memiliki pengalaman memberikan stereotipe bagi orang Katobengke dan orang Katobengke baik pemuda dan beberapa orang perempuan yang berhasil secara ekonomi. Temuan yang diperoleh adalah bahwa, 1) stratifikasi sosial masyarakat Buton masa kesultanan adalah sistem rank yang mengacu pada peluang untuk memperoleh kekuasaan, privilese, dan prestise sehingga menyebabkan perbedaan antar lapis sosial (kaomu, walaka, papara atau orang Katobengke) Stereotipe direproduksi dalam berbagai kesempatan sebagai strategi mempertahankan posisinya sebagai kelompok sosial lapis atas; 2) Orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah berusaha melawan definisi kelompok kaomu-walaka terhadap meereka sebagai upaya mobilitas status; dan 3) Secara umum, saat ini perubahan struktur sosial masyarakat Buton masih mencari pola baru; kelompok kaomu-walaka berusaha mempertahankan kekuasaan, privilese, dan prestise dengan memahami dunia sosial dengan status tradisional (kamia) masa kesultanan, sedangkan orang Katobengke memahami dunia sosial dengan status baru berdasarkan pendidikan, agama, dan politik.
ABSTRACT
This dissertation studies how the stereotypes which were reproduced by the kaomu-walaka group foward the Katobengke people as the papara group in different opportunities. In the age of Wolio Sultanate, the groups of kaomu and walaka as the dominant classes made distinction to regard the Katobengke as the low social stratification or the dominated group. This distinction refered to the characteristics which differentiated the kaomu-walaka group from the Katobengke group as stereotyped production process used as the strategic power. As a group which had ever governed in the era of Wolio Sultanate (executive and legislative), would like to defend their power, their priviledge, and their prestige against, the stereotyped Katobengke people whose characteristics internally such as: dirty, smell, eating much, wide feet, and slaves (batua). Even, today the kaomu-walaka group still occeupy the important positions in the governmental system (mayor, camat or head of sub regency administration, and legislative members), and religious institution (sara kidina) of the palace graund mosque (Mesjid Agung Keraton) whose functionaries appointed based on the hereditary position (kamia). As the dominated group or called stereotyped people, the Katobengke try to fight against the definition whic has been given by the kaomu-walaka group. The forms of resistence against the kaomu-walaka group have been done by the Katobengke people such as: resistence against the knowledge system of Wolio people, resistence against the field of education, resistence by using the state/military simbols, resistence through political field as the place of negotiation concerning the statuses/positions of Katobengke people in the Buton social structure. The research was implemented from march 2008 until october 2009. It was the ethnographical investigation emphasizing the daily cases of Katobengke people in the Buton social structure. This research covered the library and archieves studies and field work. The methods were used in data collecting, namely, interview, participant observation, and document analysis. The places of research were in South East Sulawesi Province, such as Bau-Bau city, Buton regency, North Buton regency, Kendari city, and other cities for example, Makassar, Bogor and Jakarta. The informants interviewed were the adat figures, the religions figures in both Buton and Katobengke society who could give information about the stereotypes of Katobengke people. Besides, the youth, the successful businesmen and women of the Katobengke also were interviewed to gain the information needed in the research. The data which have been obtained are as follows: 1) the social statification in the age of Buton sultanate was the rank system whis was refered to the possibility to get the power, the priviledge, and prestige, which could result in the different social stratification (kaomu, walaka, and papara or Katobengke). The stereotypes of Katobengke were reproduced in different oppotunities as the strategy to defend the position of high social strata group; 2) the Katobengke group as the low social stratification tries to resist the definition made by the kaomu-walaka group as an effort for the mobilty of status; and 3) Generally speaking, nowadays the change of social structure in Buton society is still looking for a new pattern (model), the kaomu-walaka group has tried to defend its own power, its own priviledge, and its own prestige by rethinking its social world with its traditional status (kamia) in the former sultanate period, while the Katobengke group understands its social world with a new status based on an achiaved status through an element of competition in education, religion, and politics, to occupy a given position in Buton society.
Depok: 2010
D1194
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Rudito
Abstrak :
Seperti yang sudah diuraikan dalam bab ini. Skripsi ini beusaha untuk menunjukkan salah satu aktivitas penyelenggaraan pendidikan pesantren, terutama dalam hal peranan individunya dalam rangka melaksanakan hak serta kewajibannya yang harus dilakukan dan yang tidak harus dilakukan di dalam lingkungn lembaga pesantren khususnya tim Assyafiiyah.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1984
S12686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Pribadi Sutiono
Abstrak :
Dalam menghadapi perlawanan kaum nasionalis Guomindang, Mao Zedong pada awal perjuangannya sudah melihat potensi yang dimiliki oleh masyarakat Cina, yaitu terbaginya masyarakat dalam berbagai kelas. Dari kelas--kelas yang ada di Cina, Mao Zedong kemudian membaginya menjadi dua kelas yang besar, yaitu kelas revolusioner dan kelas yang tidak revolusioner (yang cenderung memihak lawan). Penbagian Mao Zedong atas kelas-kelas itu bertitik tolak dari teori-teori Marxisme-Leninisme ditambah dengan situsi keadaan Cina saat itu. Oleh Mao Zedong, kelas-kelas revolusioner ini dimanfaatkannya untuk mendapatkan jumlah massa pengikut Partai komunis Gongchandang guna menjalankan revolusi melawan partai Nasionalis Guomindang. Mao Zedong menganggap bahwa revolusi dapat dijalankan hanya bila dipimpin oleh kelas -kelas revolusioner yang dipimpin oleh kelas Proletar. Meskipun demikian, Mao Zedong telah membuat suatu kesalahan yang cukup memberatkan untuk suatu teori. Mao Zedong beberapa kali membuat suatu pernyataan yang bertentangan dengan situasi atau metode yang sebenarnya dijalankan olehnya. Hal ini merupakan suatu kelemahan dari teori revolusi yang dibuatnya. Meskipun demikian hal ini juga merupakan bentuk dari kepraktisan Mao Zedong dalam menyesuaikan situasi yang ada di Cina. Dengan analisis kelas masyarakat di Cina ini, Mao Zedong telah berhasil memenangkan pertikaian antara Partai Komunis dengan Partai Nasionalis pada saat itu. Dan hal ini membuktikan bahwa Mao Zedong telah berhasil memanfaatkan situasi Cina saat itu dan dengan bertolak dari teori Marxisme-Leninisme yang dipahaminya.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Saptari
Abstrak :
Dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan yang sistematis dan dapat diperoaya, mengenai aspek tertentu dart slam semesta yang re_lat if bertahan lama ( seperti yang dirumuskan dalam bal. 9 di atas), setiap kegiatan ilmiah pada langkah akhirnya hams memiliki suatu kesimpulan tertentn. Berkenaan dengan itu, suatu kesimpulan hares bisaberdiri di luar kegiatan itu juga. Dengan begitu peneliti a_kan lebih omampu untuk senetral mungkin, members penilaian terhadap renaana yang dibuat sebelumnya, berikut pelaksanaannya dan tora_khir, basil yang diperoleh, Apakah dalam pelaksanaan telah terjadi penyimpangan atau tidak, terutama dart masalah dan kerangka konsep_tual ? Sejauh mans basil yang didapat menoapai apa yang dituju, yai_n gambaran mengenai suatu sistim budaya tertentu dan pengaruh a_danya pelapisan social. Sehubungan dengan itu, saga akan mengulang lagi seosra serba singkat, langkah berpikir Aibalik kerangka konaeptualnya. Kula-hula masalah yang saga pilih ins dilatar belakangi oleh beberapa pengandaian dasar. Pertama, adalah pengandaian bahwa setiap sis_tim budaya tidak berada dalaa kehampian melainkan selalu didukung oleh suatu sistim sosial yang terwujud dalam bentuk kesafuan social
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1981
S12900
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>