Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Anggrina Khalistha Dewi
"Background: VP6 protein is an intermediate layer on rotavirus outer capsid shell which is the major structural protein and play an important role in replication cycle. VP6 protein is a conserved region that can induce immune response as target protein of T cell with cross-reactive epitopes within another genotypes.
Objectives: This research conducted to determine the molecular characterization of rotavirus VP6 recombinant protein of Indonesia strain, and to determine the clone and expression of VP6 protein in Escherichia coli BL21 for development of rotavirus vaccine.
Methods: Rotavirus RNA was extracted from clinical sample of R55 and R10 strains that having correlation with genotipes I and II rotavirus. RNA samples were amplified with RT-PCR reaction and produced 1194 bp amplicon, and sequencing reaction were conducted to confirm and analyze the molecular characterization of VP6 protein in bioinformatics. VP6 gene as insert and pQE-80L plasmids as vector were double restricted and then ligated by ligation enzyme. Product of ligation were transformed to E.coli Top 10 competent cells and the clones were selected to get the recombinant plasmids which bearing VP6 gene. The recombinant plasmid than subcloned to E.coli BL21 competent cells and induced by IPTG and its pellets were loaded directly onto SDS-PAGE, approximately 45 kDa protein was observed on the SDS-PAGE. The protein was analyzed using Western-blotting.
Results: Level of amino acids homology from R55 and R10 rotavirus strain compared with vaccine strains and vaccine candidate strains showed high level of homology, with the conserved regions of T-cell epitopes. R55 strain having close relativity with genotype I while R10 strain having close relativitywith genotype II. there are the same level of hydrophobicity between R55 and R10 which indicated as surface proteins or as a hydrophilic protein. The differences of secondary structure between R55 and R10 in amino acids position of 149-152 and 341-349. The VP6 cloned obtained from E.coli Top 10 with pQE-80L plasmid. The profile of expressed VP6 recombinant protein from R55 and R10 strains in SDS-PAGEshowed the different intensity of protein between induced condition with IPTG and non-induced condition, indicated that VP6 protein might be successfully expressed.The Western-Blot assay showed the same result between the cell that induced and non-induced, but it still need another confirmation.
Conclusion: The resultof molecular characterization from VP6 recombinant protein and the cloned of VP6 gene that obtained from R55 and R10 rotavirus strains of Indonesia could beapplied as a preliminary study to develop rotavirus candidate vaccine based on subunit vaccine.

Latar belakang: Protein VP6 rotavirus adalah protrein struktural utama yang berperan penting selama replikasi, danmerupakan bagian yang paling lestaridan memiliki potensi dalam menstimulasi respon imun, yaitu sebagai protein target yang dapat menstimulasi sel T, dan memiliki epitop yang cross-reactive di antara genotipe rotavirus lainnya, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai vaksin.
Tujuan: Untuk mengetahui karakterisasi molekular protein VP6 rotavirus strain Indonesia, serta pengklonaan gen dan ekspresi protein VP6 pada Escherichia coli BL21 untuk pengembangan vaksin rotavirus.
Metode: RNA rotavirus R55 dan R10 diperoleh dari ekstraksi sampel klinis. RNA tersebut kemudian diamplifikasi dengan reaksi RT-PCR dan menghasilkan amplikon 1194 bp yang selanjutnya disekuensing untuk konfirmasi dan mengetahui karakterisasi molekular protein VP6 secara bioinformatika. Gen VP6 sebagai sisipan dan plasmid pQE-80L sebagai vektor direstriksi ganda dengan enzim restriksi dan diligasi menggunakan enzim ligasi. Produk ligasi ditransformasikan pada sel kompeten E.coli Top 10 dan diseleksi klon pembawa plasmid rekombinan. Plasmid rekombinan yang mengandung gen VP6 ditransformasikan ke sel kompeten E.coli BL21. Ekspresi protein dilakukan dengan induksi IPTG. Hasil ekspresi dianalisis dengan SDS-PAGE dan dikonfirmasi dengan Uji Western Blot.
Hasil: Sekuen asam amino gen VP6 rotavirus strain Indonesia R55 dan R10 memiliki tingkat homologi yang tinggi dengan epitopyang lestari bila dibandingkan dengan strain vaksin dan kandidat vaksin rotavirus; strain R55 lebih dekat kekerabatannya dengan rotavirus genotipe I, strain R10 lebih dekat kekerabatannya dengan rotavirus genotipe II. Sekuen VP6 rotavirus strain R55 dan R10 menunjukkan tingkat hidrofobisitas yang sama, hal ini mengindikasikan sejenis protein permukaan atau protein yang bersifat hidrofilik. Hasil analisa struktur sekunder pada strain R55 dan R10 menunjukkan adanya perbedaan pada posisi asam amino 149-152 dan 341-349. Telah didapatkan klon pQE-80L yang mengandung gen VP6 dari strain R55 dan R10. Ekspresi protein VP6 pada SDS-PAGE menunjukkan adanya perbedaan intensitas pita protein antara sel E. coli yang diinduksi IPTG dengan yang tidak diinduksi, mengindikasikan protein VP6 diduga berhasil diekspresikan. Konfirmasi ekspresi protein menggunakan Western-Blot menunjukkan hasil yang sama antara sel yang diinduksi dengan yang tidak diinduksi, namun hasil ini perlu dikonfirmasi lebih lanjut.
Kesimpulan: Hasil karakterisasi molekular protein VP6 rekombinan dan pengklonaan gen VP6 dari rotavirus strain Indonesia R55 dan R10 dapat dikembangkan sebagai studi awal pada pengembangan vaksin subunit berbasis protein VP6 rekombinan. Namun untuk tahap ekspresi protein rekombinan VP6 perlu optimasi lebih lanjut."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Anggrina Khalistha Dewi
"Latar belakang: Protein VP6 rotavirus adalah protrein struktural utama yang berperan penting selama replikasi, dan merupakan bagian yang paling lestari dan memiliki potensi dalam menstimulasi respon imun, yaitu sebagai protein target yang dapat menstimulasi sel T, dan memiliki epitop yang cross-reactive di antara genotipe rotavirus lainnya, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai vaksin.
Tujuan: Untuk mengetahui karakterisasi molekular protein VP6 rotavirus strain Indonesia, serta pengklonaan gen dan ekspresi protein VP6 pada Escherichia coli BL21 untuk pengembangan vaksin rotavirus.
Metode: RNA rotavirus R55 dan R10 diperoleh dari ekstraksi sampel klinis. RNA tersebut kemudian diamplifikasi dengan reaksi RT-PCR dan menghasilkan amplikon 1194 bp yang selanjutnya disekuensing untuk konfirmasi dan mengetahui karakterisasi molekular protein VP6 secara bioinformatika. Gen VP6 sebagai sisipan dan plasmid pQE-80L sebagai vektor direstriksi ganda dengan enzim restriksi dan diligasi menggunakan enzim ligasi. Produk ligasi ditransformasikan pada sel kompeten E.coli Top 10 dan diseleksi klon pembawa plasmid rekombinan. Plasmid rekombinan yang mengandung gen VP6 ditransformasikan ke sel kompeten E.coli BL21. Ekspresi protein dilakukan dengan induksi IPTG. Hasil ekspresi dianalisis dengan SDS-PAGE dan dikonfirmasi dengan Uji Western Blot.
Hasil: Sekuen asam amino gen VP6 rotavirus strain Indonesia R55 dan R10 memiliki tingkat homologi yang tinggi dengan epitop yang lestari bila dibandingkan dengan strain vaksin dan kandidat vaksin rotavirus; strain R55 lebih dekat kekerabatannya dengan rotavirus genotipe I, strain R10 lebih dekat kekerabatannya dengan rotavirus genotipe II. Sekuen VP6 rotavirus strain R55 dan R10 menunjukkan tingkat hidrofobisitas yang sama, hal ini mengindikasikan sejenis protein permukaan atau protein yang bersifat hidrofilik. Hasil analisa struktur sekunder pada strain R55 dan R10 menunjukkan adanya perbedaan pada posisi asam amino 149-152 dan 341-349. Telah didapatkan klon pQE-80L yang mengandung gen VP6 dari strain R55 dan R10. Ekspresi protein VP6 pada SDS-PAGE menunjukkan adanya perbedaan intensitas pita protein antara sel E. coli yang diinduksi IPTG dengan yang tidak diinduksi, mengindikasikan protein VP6 diduga berhasil diekspresikan. Konfirmasi ekspresi protein menggunakan Western-Blot menunjukkan hasil yang sama antara sel yang diinduksi dengan yang tidak diinduksi, namun hasil ini perlu dikonfirmasi lebih lanjut.
Kesimpulan: Hasil karakterisasi molekular protein VP6 rekombinan dan pengklonaan gen VP6 dari rotavirus strain Indonesia R55 dan R10 dapat dikembangkan sebagai studi awal pada pengembangan vaksin subunit berbasis protein VP6 rekombinan. Namun untuk tahap ekspresi protein rekombinan VP6 perlu optimasi lebih lanjut.
Latar belakang: Protein VP6 rotavirus adalah protrein struktural utama yang berperan penting selama replikasi, dan merupakan bagian yang paling lestari dan memiliki potensi dalam menstimulasi respon imun, yaitu sebagai protein target yang dapat menstimulasi sel T, dan memiliki epitop yang cross-reactive di antara genotipe rotavirus lainnya, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai vaksin.
Tujuan: Untuk mengetahui karakterisasi molekular protein VP6 rotavirus strain Indonesia, serta pengklonaan gen dan ekspresi protein VP6 pada Escherichia coli BL21 untuk pengembangan vaksin rotavirus.
Metode: RNA rotavirus R55 dan R10 diperoleh dari ekstraksi sampel klinis. RNA tersebut kemudian diamplifikasi dengan reaksi RT-PCR dan menghasilkan amplikon 1194 bp yang selanjutnya disekuensing untuk konfirmasi dan mengetahui karakterisasi molekular protein VP6 secara bioinformatika. Gen VP6 sebagai sisipan dan plasmid pQE-80L sebagai vektor direstriksi ganda dengan enzim restriksi dan diligasi menggunakan enzim ligasi. Produk ligasi ditransformasikan pada sel kompeten E.coli Top 10 dan diseleksi klon pembawa plasmid rekombinan. Plasmid rekombinan yang mengandung gen VP6 ditransformasikan ke sel kompeten E.coli BL21. Ekspresi protein dilakukan dengan induksi IPTG. Hasil ekspresi dianalisis dengan SDS-PAGE dan dikonfirmasi dengan Uji Western Blot.
Hasil: Sekuen asam amino gen VP6 rotavirus strain Indonesia R55 dan R10 memiliki tingkat homologi yang tinggi dengan epitop yang lestari bila dibandingkan dengan strain vaksin dan kandidat vaksin rotavirus; strain R55 lebih dekat kekerabatannya dengan rotavirus genotipe I, strain R10 lebih dekat kekerabatannya dengan rotavirus genotipe II. Sekuen VP6 rotavirus strain R55 dan R10 menunjukkan tingkat hidrofobisitas yang sama, hal ini mengindikasikan sejenis protein permukaan atau protein yang bersifat hidrofilik. Hasil analisa struktur sekunder pada strain R55 dan R10 menunjukkan adanya perbedaan pada posisi asam amino 149-152 dan 341-349. Telah didapatkan klon pQE-80L yang mengandung gen VP6 dari strain R55 dan R10. Ekspresi protein VP6 pada SDS-PAGE menunjukkan adanya perbedaan intensitas pita protein antara sel E. coli yang diinduksi IPTG dengan yang tidak diinduksi, mengindikasikan protein VP6 diduga berhasil diekspresikan. Konfirmasi ekspresi protein menggunakan Western-Blot menunjukkan hasil yang sama antara sel yang diinduksi dengan yang tidak diinduksi, namun hasil ini perlu dikonfirmasi lebih lanjut.
Kesimpulan: Hasil karakterisasi molekular protein VP6 rekombinan dan pengklonaan gen VP6 dari rotavirus strain Indonesia R55 dan R10 dapat dikembangkan sebagai studi awal pada pengembangan vaksin subunit berbasis protein VP6 rekombinan. Namun untuk tahap ekspresi protein rekombinan VP6 perlu optimasi lebih lanjut.

Background: VP6 protein is an intermediate layer on rotavirus outer capsid shell which is the major structural protein and play an important role in replication cycle. VP6 protein is a conserved region that can induce immune response as target protein of T cell with cross-reactive epitopes within another genotypes.
Objectives: This research conducted to determine the molecular characterization of rotavirus VP6 recombinant protein of Indonesia strain, and to determine the clone and expression of VP6 protein in Escherichia coli BL21 for development of rotavirus vaccine.
Methods: Rotavirus RNA was extracted from clinical sample of R55 and R10 strains that having correlation with genotipes I and II rotavirus. RNA samples were amplified with RT-PCR reaction and produced 1194 bp amplicon, and sequencing reaction were conducted to confirm and analyze the molecular characterization of VP6 protein in bioinformatics. VP6 gene as insert and pQE-80L plasmids as vector were double restricted and then ligated by ligation enzyme. Product of ligation were transformed to E.coli Top 10 competent cells and the clones were selected to get the recombinant plasmids which bearing VP6 gene. The recombinant plasmid than subcloned to E.coli BL21 competent cells and induced by IPTG and its pellets were loaded directly onto SDS-PAGE, approximately 45 kDa protein was observed on the SDS-PAGE. The protein was analyzed using Western-blotting.
Results: Level of amino acids homology from R55 and R10 rotavirus strain compared with vaccine strains and vaccine candidate strains showed high level of homology, with the conserved regions of T-cell epitopes. R55 strain having close relativity with genotype I while R10 strain having close relativity with genotype II. there are the same level of hydrophobicity between R55 and R10 which indicated as surface proteins or as a hydrophilic protein. The differences of secondary structure between R55 and R10 in amino acids position of 149-152 and 341-349. The VP6 cloned obtained from E.coli Top 10 with pQE-80L plasmid. The profile of expressed VP6 recombinant protein from R55 and R10 strains in SDS-PAGE showed the different intensity of protein between induced condition with IPTG and non-induced condition, indicated that VP6 protein might be successfully expressed. The Western-Blot assay showed the same result between the cell that induced and non-induced, but it still need another confirmation.
Conclusion: The result of molecular characterization from VP6 recombinant protein and the cloned of VP6 gene that obtained from R55 and R10 rotavirus strains of Indonesia could be applied as a preliminary study to develop rotavirus candidate vaccine based on subunit vaccine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrata, Bernard
"Sex hormone binding globulin (SHBG) adalah glikoprotein plasma yang mengangkut hormon seks steroid dan meregulasi aksesnya pada sel sasaran. Konsentrasi pada plasma manusia 10-73 nmol/l. Produk variasi alel SHBG telah diidentifikasi pada plasma manusia. Umumnya frekuensi alel normal dan alel varian adalah 0.9 dan 0.1, tetapi distribusinya sangat bervariasi di antara populasi dari berbagai negara. SHBG yang dikode oleh alel varian ketika dianalisis dengan elektroforesis gel poliakriiamid terpisah menjadi tiga pita (triple banded) dengan berat molekuI (BM) yang berbeda (56,52,49 kDa), sedangkan SHBG normal terpisah hanya dua pita (double handed) dengan BM 52 kDa dan 49 kDa.
Selanjutnya dalam tesis ini masing-masing subunit tersebut disebut SHBG varian dan SHBG normal. Sui L.M.. dkk. meneliti konsentrasi SHBG normal dan SHBG yang mengalami deglikosilasi dengan transfornasi jamur Pichia pastoris. Pada SHBG yang mengalami deglikosilasi konsentrasi SHBG yang didapat lebih rendah dibandingkan dengan SHBG normal. Apakah pada SHBG varian yang mengalami glikosilasi atau penambahan oligosakarida konsentrasi SHBG yang dihasilkan seharusnya lebih besar dari pada SHBG normal, masih perlu diteliti lebih lanjut.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memeriksa variasi subunit SHBG pada pria dewasa Kaukasia sehat dan implikasinya terhadap konsentrasi SHBG. Variasi subunit SHBG diperiksa dengan cara elektroforesis dan Western blot, sedangkan konsentrasi SHBG dianalisis dengan immunoradio metric assay (IRMA).
Hasil dan Kesimpulan: Dari keseluruhan sampel, tujuh puluh tujuh persen (20 orang) mempunyai jumlah dua pita (SHBG normal), rata-rata konsentrasi SHBG: 31,82 nmol/l. Sedangkan 23 % (6 orang) mempunyai jumlah tiga pita (SHBG varian), dengan rata-rata konsentrasi SHBG: 23,83 nmol/l. Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara konsentrasi SHBG varian dengan SHBG normal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T3160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trimartani Koento, supervisor
"ABSTRACT
Alar defects generally mandate replacement of the entire unit. The nasal alar unit is highly contoured, has a free margin, and contributes to the external nasal valve. Many methods exist to reconstruct the ala, including local nasal flaps, skin grafts, composite auricular grafts, and pedicle flaps. In most instances, however, consistent results require a cartilage subsurface framework to resist the forces of contraction and provide a stable external valve and provide a scaffold for contour
Main Outcome Measures Observer's and patient's rating of the final results, patient's rating of breathing and level of self-consciousness, and medical record review of complications. Most aesthetic outcomes were excellent to good. Breathing from the reconstructed side can be returned to preoperative status in most of these patients.
Staged reconstruction of the nasal ala using free cartilage grafts, interpolated cheek or forehead and mucosal flaps when necessary, result in a highly aesthetic and functional outcome in most patients. "
2017
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Dora Auliataria
"ABSTRAK
Latar belakang: Mikrotia merupakan kelainan perkembangan telinga luar dengan variasi kelainan struktur anatomi daun telinga. Variasi kelainan anatomi telinga tengah pada mikrotia dan angka kejadian kelainan anatomi telinga tengah pada pasien mikrotia telah banyak dilaporkan. Data penelitian variasi anatomi pasien mikrotia tersebut diperlukan untuk memprediksi kelainan anatomi telinga tengah berdasarkan derajat klinis kelainan telinga.
Tujuan: Mengetahui hubungan kelainan subunit telinga luar dengan skor Jahrsdoerfer pada pasien mikrotia Metode: Dilakukan penelitian cross sectional menggunakan data retrospektif derajat mikrotia, gambaran CT Scan dan pemeriksaan audiologi (BERA dan audiometri nada murni) di Departemen THT FKUI/RSCM sebanyak 38 pasien mikrotia.
Hasil: Subjek penelitian mikrotia didapatkan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (65,8%) dengan rerata usia 12,3 ± 8,1 tahun. Kelainan telinga tengah berdasarkan skor Jahrsdoerfer terbanyak adalah kelainan kompleks maleus inkus (72,3%). Gangguan pendengaran terbanyak adalah tuli konduktif (63,1%). Berdasarkan uji korelasi jika jumlah subunit telinga semakin besar maka skor Jahrsdoerfer akan konsisten meningkat menyesuaikan dengan jumlah subunitnya.
Kesimpulan: Evaluasi subunit telinga sangat penting dalam evaluasi dan tatalaksana pasien mikrotia.

ABSTRACT
Background: Microtia is a developmental disorder with a variety of abnormalities of the outer ear anatomical structures. Variations of anatomical abnormalities of the middle ear in microtia and the incidence of middle ear anatomical abnormalities in microtia patients have been reported. The research data is needed to predict the variations in the anatomy of the middle ear abnormalities which are based on the degree of clinical disorders.
Objective: To determine the relationship of auricle subunit with Jahrsdoerfer score on microtia patients Methods: Cross-sectional study using retrospective data of microtia patients, CT Scan and audiological examination (BERA and pure tone audiometry) in the Department of Otolaryngology Faculty of Medicine / RSCM on 38 microtia patients.
Results: Study found male patients more frequent than female (65.8%) with a mean age of 12.3 ± 8.1 years. Most frequent middle ear abnormalities based on Jahrsdoerfer is malleus incus complex disorder (72.3%). Most frequent hearing loss is conductive hearing loss (63.1%). Based on correlation test if the greater auricle subunit value consistently increased with Jahrsdoerfer score.
Conclusion: Evaluation of ear subunit is essential in the evaluation and management of patients with microtia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wuryantari
"ABSTRAK
Latar belakang: Zoonosis malaria telah menjadi perhatian komunitas kesehatan dunia setelah adanya laporan kasus di Sarawak pada tahun 2004. Penyakit ini disebabkan oleh parasit malaria satwa primata Plasmodium knowlesi dengan inang alami Macaca fascicularis dan M. nemestrina. Baku emas diagnosis parasit malaria masih berdasarkan pada identifikasi mikroskopik. Selain membutuhkan keahlian yang tinggi, teknik ini terkadang sulit menentukan spesies parasit bila terjadi infeksi campuran dan parasitemia yang sangat rendah. Belakangan diusulkan DNA barcoding, suatu metode identifikasi menggunakan penanda gen sitokrom c oksidase subunit I COI DNA mitokondria untuk spesiasi. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengembangkan metode identifikasi spesies parasit menggunakan gen COI sebagai penanda molekul dan mengungkap dasar molekul transmisi zoonosis parasit malaria dengan mempelajari peran gen penyandi protein DARC Duffy Antigen Receptor for Chemokines dan DBP Duffy Binding Protein yang berhubungan dengan invasi sel darah merah.Metode: Verifikasi potensi barcode COI sebagai penanda identifikasi spesies parasit malaria dilakukan dengan studi in-silico, sedangkan validasi penggunaan barcode COI dilakukan dengan analisis sensitivitas dan spesifisitas. Teknologi molekuler PCR-Sequencing dilakukan untuk mengaplikasikan barcode COI pada penapisan parasit malaria di populasi manusia dan satwa primata, serta identifikasi variasi genetik gen penyandi protein DARC dan DBP terutama pada daerah pengikatan ligan parasit dan reseptor inang.Hasil: Studi in-silico menunjukkan bahwa DNA barcoding berpotensi sebagai penanda identifikasi parasit malaria. Primer yang dirancang mengamplifikasi daerah COI sepanjang 670 pb berhasil mengidentifikasi parasit malaria dengan sensitivitas 1 ndash; 3 parasit/ l. Pada penapisan parasit malaria di populasi manusia di Kalimantan Tengah ditemukan 3,34 78/2309 kasus malaria, di mana dua diantaranya adalah kasus malaria knowlesi, yang secara statistik berbeda bermakna bila dibandingkan dengan mikroskopik 2,82 dan 18S rRNA 1,82 . Pada daerah yang sama, penapisan parasit malaria di populasi satwa primata, ditemukan 52,01 168/323 sampel orangutan dan 23,25 10/43 sampel monyet Macaca positif malaria. Spesies parasit yang ditemukan pada orangutan adalah P. species tipe parasit ovale, P. species tipe vivax-cynomolgi, P. species tipe vivax-hylobati dan P. species tipe malariae-inui, sedangkan pada monyet Macaca meliputi P. knowlesi, P. coatneyi, P. inui, juga P. spesies tipe malariae-inui, spesies parasit yang sama ditemukan di orangutan. Studi ini juga menemukan keanekaragaman genetik pada gen penyandi protein Duffy Antigen Receptor for Chemokines manusia maupun satwa primata dan Duffy Binding Protein parasit malaria yang memainkan peran penting dalam invasi parasit malaria.Kesimpulan: Barcode COI dapat secara spesifik dan sensitif mengidentifikasi spesies parasit malaria dan dapat diaplikasikan sebagai alat identifikasi zoonosis malaria. Terdapat variasi genetik gen penyandi protein Duffy Antigen Receptor for Chemokines dan Duffy Binding Protein yang berhubungan dengan invasi sel darah merah.

ABSTRACT
Background Zoonotic case of malaria had just come to the attention of public health communities after the Sarawak study in 2004. Zoonotic malaria is caused by Plasmodium knowlesi, primarily a simian malaria parasite in wild long tail macaque Macaca fascicularis and pig tail macaque M. nemestrina as the reservoir hosts. The diagnosis of malaria parasites has mainly relied on the microscopic examination. However, this method is labor intensive, requires an experienced microscopist and difficult in identifying mixed infections in very low parasitemia cases. Recently, DNA barcoding system, which is based on the PCR amplification of a short and highly conserved region of mitochondrial cytochrome c oxidase sub unit I COI has shown to be an invaluable tool for diagnosing and differentiating the species of wide range of organisms. This study was aimed to develop identification tools of malaria parasite by using mtDNA COI gene as a molecular marker and reveal the molecular basis of zoonotic malaria by identifying the genetic variation of protein coding gene of DARC Duffy Antigen Receptor for Chemokines and DBP Duffy Binding Protein that are related to receptor ligand interaction in red blood cell invasion.Methods In silico study was carried out for verifying the potential of DNA barcoding based on the mtDNA COI gene sequence as a marker identification. Sensitivity and specificity analyses were carried out to validate the use of DNA barcoding for medical diagnosis of parasitic infection. Molecular technology of PCR Sequencing was carried out for screening malaria parasit in human and non human primate population and identifying the genetic variation within protein coding gene of DARC and DBP. Results We have initiated a study to explore the use of DNA barcoding for malaria parasite diagnosis through in silico study. We have thus designed primers spanning a 670 bp fragment of the 5 rsquo region of COI gene that could detect parasite isolates as low as 1 3 parasite per l. DNA barcode was used to detect malaria parasite in human population in Central Kalimantan. Of the 2309 subjects, 78 3.34 subjects were malaria positive of which two samples were determined as P. knowlesi infection. The detection rate of COI barcode was significantly higher as compared to microscopic 2.82 and 18S rRNA 1.82 analyses. Of the 366 non human primate samples that include 323 orangutan and 43 macaque 168 orangutan were found to be positive for either P. species ovale type, P. species vivax cynomolgi type, P. species vivax hylobati type and P. species malariae inui type. In macaque, 10 samples were positive for P. knowlesi, P. coatneyi, P. inui and P. species malariae inui type similar to that found in orangutan. The study has also found genetic variation in both human and non human primates Duffy Antigen Receptor for Chemokines and malaria parasite Duffy Binding Protein.Conclusions The study showed that mtDNA COI can be used to diagnose malaria parasites at very low parasitemia level and applied as a diagnosis tool for identification of zoonotic malaria. There is genetic variation in both human and non human primates Duffy Antigen Receptor for Chemokines and malaria parasite Duffy Binding Protein as major determinants for the invasion of malaria parasite."
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Intan Gabriella Lusiana
"Corynebacterium diphtheriae penyebab utama penyakit difteri, ditandai dengan peradangan pada saluran pernapasan atas yang menyebabkan kesulitan bernapas, pembengkakan kelenjar getah bening di sekitar leher dan dapat berujung kematian. Faktor virulensi paling utama penyebab infeksi ini adalah toksin. Subunit toksin B (toxB) berperan dalam memfasilitasi perlekatan subunit toksin A ke sel inang. Perubahan struktur pada toxB menyulitkan terjadinya pengenalan terhadap antibodi, ditambah faktor virulensi lain sehingga infeksi difteri tetap terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi. Analisa mutasi sekuen toxB diperoleh melalui DNA sekuensing kemudian dianalisis dengan SeqScape 7.0 dan Bioedit. Selanjutnya untuk analisis level mRNA toksin digunakan Real-time PCR dan analisis toksisitas toksin menggunakan kultur sel vero kemudian hasil dibandingkan dengan isolat standar ATCC 13812. Gen toxB memiliki satu mutasi pada sembilan isolat, tetapi mutasi tersebut tidak mengubah asam amino. Peningkatan level ekspresi dan toksisitas toksin, ditemukan pada pasien yang mengalami gejala klinis berat dan kematian. Silent mutation yang terjadi pada gen toxB tidak berpengaruh terhadap peningkatan kasus difteri. Walaupun efek toksisitas lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan level ekspresi toksin, tetapi sinergi keduanya akan memperberat gejala yang dialami pasien dan berpotensi meningkatkan risiko penularan dan kematian pada pasien

Corynebacterium diphtheriae was the main cause of diphtheria, indicated with upper respiratory tract inflammation which cause difficulty breathing, swollen lymph nodes around neck, and deadly. The main virulence factor causing infection is toxin. Toxin B subunit (toxB) contributes in facillitating the adhesion between toxin A and the host cell. The structure alteration of toxB complicates antibody recognition, paired with other virulance factors thus diphtearea infection still occurs even after immunization. toxB mutation sequence analysis obtained through DNA sequencing which analyzed with SeqScape 7.0 and Bioedit. Furthermore, Real-time PCR was used to analyze mRNA toxin levels and vero cell culture was used to analyze the toxin toxicity, then the result were compared with standard isolate ATCC 13812. toxB gene had one mutation in nine isolates, but the mutation did not change the amino acid. Increased toxin expression and toxicity levels were found in patients with severe clinical symptoms and death. Silent mutation that occured in toxB gene did not affect diphtheria case increase. Although the toxicity effect is lower than toxin expression level increase, their synergy will exacerbate patient symptoms and potentially increase the risk of transmission and death."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwiarto Mursyidan Farindarmawan
"Industri manufaktur saat ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks, termasuk peningkatan permintaan produk dan persaingan global yang semakin ketat. Untuk tetap kompetitif dan meningkatkan efisiensi serta produktivitas, adopsi teknologi menjadi keharusan. Salah satu inovasi penting adalah penerapan sistem pengemasan otomatis. Sistem ini memungkinkan proses pengemasan produk secara otomatis tanpa campur tangan manusia, yang secara signifikan dapat meningkatkan kecepatan, ketepatan, dan efisiensi pengemasan sekaligus menekan biaya produksi. Penelitian ini berfokus pada pengembangan subunit alat pemindah botol obat sebagai bagian dari sistem pengemasan otomatis. Tahapan penelitian meliputi studi literatur, penentuan spesifikasi motor stepper yang sesuai, dan perancangan subunit pemindah botol obat. Proses manufaktur rangka dan pengujian pembebanan dilakukan untuk memastikan kekuatan dan keandalan subunit yang dikembangkan. Analisis hasil manufaktur mengungkapkan defleksi maksimum dan faktor keamanan yang dicapai sesuai dengan standar ASME STS-1 tahun 2016 mengenai Steel Stacks. Evaluasi kesalahan dilakukan untuk memahami dan meminimalkan potensi kegagalan sistem. Akhirnya, penelitian ini menyajikan kesimpulan dari hasil uji coba dan menawarkan saran untuk pengembangan lebih lanjut.

The manufacturing industry is currently facing increasingly complex challenges, including rising product demand and intense global competition. To stay competitive and enhance efficiency and productivity, adopting cutting-edge technology is essential. One crucial innovation is the implementation of automated packaging systems. These systems enable product packaging processes to be conducted automatically without human intervention, significantly increasing packaging speed, precision, and efficiency while reducing production costs. This study focuses on the development of a medicine bottle transfer subunit as part of an automated packaging system. The research stages include a literature review, determination of suitable stepper motor specifications, and the design of the medicine bottle transfer subunit. The manufacturing process and load testing were conducted to ensure the strength and reliability of the developed subunit. Manufacturing analysis revealed the maximum deflection and safety factors achieved according to the ASME STS-1 2016 standard regarding Steel Stacks. Error evaluation was performed to understand and minimize potential system failures. Finally, this research presents conclusions from the trials and offers suggestions for further development."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Identifikasi nyamuk sebagai vektor penyakit bagi manusia
dengan pendekatan morfologi memiliki banyak keterbatasan karena karakteristik nyamuk yang susah dibedakan hingga tingkat spesies. Pendekatan molekuler dengan gen mitokondria sitokrom c oksidase subunit 1 (mtCOI) sebagai penanda molekuler (DNA barcode) diketahui memiliki potensi untuk dijadikan sistem identifikasi universal. Penelitian bertujuan mengembangkan penggunaan gen mtCOI sebagai DNA barcode untuk identifikasi spesies nyamuk. Penelitian dilakukan di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, selama sembilan bulan. Gen mtCOI diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan primer LCO 1490 dan HCO 2198. Sejumlah 16 sekuen barcode gen mtCOI nyamuk sepanjang 648 pb diperoleh dengan teknik sequencing. Hasil BOLD-IDS dan BLASTn menunjukkan tingkat kemiripan sampel sebesar 97--100% dengan database. Analisis filogenetik menunjukkan setiap spesies dapat membentuk cluster dengan spesies kerabatnya. Rata-rata perbedaan sekuen interspesifik lebih tinggi 9 kali dibandingkan rata-rata variasi sekuen intraspesifiknya, mengindikasikan keunggulan gen mtCOI sebagai DNA barcode. Hasil penelitian berhasil menyumbangkan 4 pustaka DNA barcode spesies nyamuk Anopheles, yaitu An. Kochi, An. sundaicus, An. subpictus, dan
iv
An. maculatus. Penambahan jumlah sampel yang lebih banyak, terutama untuk anggota genus Anopheles diperlukan untuk menguji efektifitas dan validasi gen mtCOI sebagai DNA barcode universal."
Universitas Indonesia, 2008
S31520
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koespriyandito
"Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya hasil simetrisasi bibir teknik operasi Fisher dibandingkan dengan teknik operasi Tennison-Randall, Millard dan Mohler berdasarkan studi dengan level of evidence (LOE). Penelitian ini adalah sebuah tinjauan sistematis dengan penelusuran basis data dari Google Scholar, Cochrane, Pubmed, ScienceDirect dan hand searching. Dilakukan seleksi studi dengan kriteria populasi celah bibir satu sisi tanpa sindrom, intervensi mencakup teknik operasi Fisher, dengan pembanding teknik operasi Tennison-Randall, Millard dan atau Mohler, keluaran simetrisasi bibir sesuai kriteria Steffensen dan studi sejak tahun 2012. Didapatkan total 255 studi dengan 4 studi terpilih memiliki desain studi uji klinis terkendali dan kohort tidak acak. Keempat studi terpilih membandingkan dengan teknik operasi Millard dan Mohler, tidak ada studi yang membandingkan dengan teknik operasi Tennison-Randall. Studi terpilih dilakukan analisis risk of bias (ROB), telaah kritis, analisis data dan sintesis kualitatif. Penilaian risiko bias dilakukan dengan Cohchrane risk of bias 2 dan ROBINS-I didapatkan risiko bias rendah pada keempat studi. Telaah kritis dilakukan dengan kriteria grading of recommendation, assessment, development and evaluation (GRADE) didapatkan nilai akhir yang rendah. Analisis data dari keempat studi didapatkan heterogenitas yang tinggi sehingga tidak dilanjutkan dengan metaanalisis. Keempat studi menilai keluaran kriteria Steffensen secara kuantitatif, pada satu studi terdapat perbedaan signifikan antara Fisher dengan Millard di mana hasil teknik operasi Millard lebih asimetris pada rasio tinggi bibir, tinggi vermilion dan lebar dasar hidung, tetapi perbedaan tersebut tersebut terlalu kecil untuk diamati orang awam. Pada keempat studi didapatkan kesimpulan yang sama pada penilaian subjektif kriteria Steffensen, keempat studi mengamati hasil simetrisasi teknik operasi Fisher lebih baik dibandingkan teknik lainnya. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa hasil simetrisasi bibir teknik operasi Fisher lebih baik dibandingkan teknik operasi Millard dan Mohler. Penelitian ini tidak dapat menjawab perbandingan hasil simetrisasi bibir antara teknik operasi Fisher dengan teknik operasi Tennison-Randall. Hasil tersebut memiliki implikasi terhadap praktik berupa mendukung diterapkannya teknik operasi Fisher pada pasien dengan celah bibir satu sisi. Dukungan tersebut dapat dituangkan dalam kebijakan seperti rekomendasi panduan praktik klinis dengan kekuatan yang lemah

The purpose of this research is to learn the lip symmetry results of the Fisher operative technique compared to the Tennison-Randall, Millard and Mohler operative techniques based on studies with the highest level of evidence (LOE). This research is a systematic review, inspecting the database from Google Scholar, Cochrane, Pubmed, ScienceDirect and also hand searching. Selection of studies was carried out with the criteria of a unilateral cleft lip population without syndrome, interventions included Fisher's operative technique, with comparison of Tennison-Randall, Millard and or Mohler operative techniques, lip symmetry outcome according to Steffensen's criteria and studies since 2012. A total of 255 studies were obtained with 4 studies selected having randomized clinical trial and non-randomized cohort study design. The four selected studies compared Fisher with Millard and Mohler operative techniques, none of the studies compared with the Tennison-Randall operative technique. Selected studies were evaluated for risk of bias (ROB), critical appraisal, data analysis and qualitative synthesis. The risk of bias assessment was carried out using the Cohchrane risk of bias 2 and ROBINS-I obtaining low risk of bias in all four studies. Critical review was carried out using the grading of recommendations, assessment, development and evaluation (GRADE) with a low final score. Data analysis from all four studies obtained high heterogeneity so it was not followed up with a meta-analysis. The four studies measured the Steffensen criteria quantitatively, in one study there was a significant difference between Fisher and Millard in that the results of Millard's operative technique were more asymmetric in the ratio of lip height, vermilion height and base width of the nose, but these differences were too small to be observed by the layman. In all four studies, the same conclusion was reached on the subjective criteria assessment of Steffensen, all four studies observed the lip symmetry results of the Fisher operation technique were better than other techniques. The results of this study concluded that the results of the Fisher operative technique's lip symmetry results were better than the Millard and Mohler operative techniques. This study cannot answer the comparison of lip symmetry results between Fisher's operative technique and Tennison-Randall's operative technique. These results have implications for daily practice that supports for the application of Fisher's operative technique to patients with unilateral cleft lip. Such support can be implemented in policies such as clinical practice guidelines recommendations with weak strength"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library