Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhamad Febriansyah
Abstrak :
Skripsi ditulis dilatarbelakangi oleh pengajuan para pemegang polis asuransi PT Adisarana Wanaartha yang mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pengajuan ini merupakan dampak ketidakpercayaan dari proses likuidasi yang sedang dijalani oleh PT Adisarana Wanaartha akibat pencabutan izin usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan. Status badan hukum perusahaan asuransi dalam likuidasi menjadi pertanyaan besar apakah secara hukum perusahaan asuransi dapat dimohonkan PKPU oleh para kreditornya, pula apakah kreditor dapat langsung memohonkan PKPU ke Pengadilan Niaga atau ada prosedur lain yang wajib dilakukan sebelum memohon PKPU, ini menjadi masalah pertama dalam pengajuan PKPU oleh pemegang polis PT Adisarana Wanaartha yang akan dibahas oleh penulis. Kewenangan pengajuan permohonan PKPU berdasarkan pasal 223 UUK-PKPU memberikan hak eksklusif kepada Menteri Keuangan untuk mengajukan PKPU kepada perusahaan berizin khusus khususnya perusahaan asuransi. Kewenangan ini beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan lewat pasal 55 UU OJK dan dikuatkan kembali di Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian jo. Pasal 52 ayat (1) POJK Nomor 28 Tahun 2015. Diketahui bahwa pemohon PKPU tersebut bukanlah OJK melainkan dua orang pemegang polisnya, hal ini menjadi masalah utama yang akan dibahas dan dianalisis dalam penelitian ini dimana apakah mereka para pemegang polis mempunyai kedudukan hukum bertindak sebagai pemohon PKPU untuk perusahaan asuransi PT Adisarana Wanaartha. Dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 21/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Jkt.Pst menyatakan menolak permohonan para pemgang polis PT Adisarana Wanaartha, penulis akan menganalisis apakah pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang Kepailitan dan PKPU ......The background of this thesis was written by the submission of insurance policy holders of PT Adisarana Wanaartha who filed an Application for Postponement of Debt Payment Obligations to the Central Jakarta Commercial Court. This submission is the result of distrust from the liquidation process currently being undertaken by PT Adisarana Wanaartha due to the revocation of its business license by the Financial Services Authority. The status of an insurance company legal entity in liquidation is a big question whether legally an insurance company can be filed for PKPU by its creditors, also whether creditors can directly apply for PKPU to the Commercial Court or are there other procedures that must be carried out before applying for PKPU, this is the first problem in filing PKPU by PT Adisarana Wanaartha policyholders which the author will discuss. The authority to submit PKPU applications based on article 223 UUK-PKPU gives the Minister of Finance the exclusive right to submit PKPU to specially licensed companies, especially insurance companies. This authority is transferred to the Financial Services Authority through article 55 of the OJK Law and is reinforced in Article 50 paragraph (1) of the Insurance Law jo. Article 52 paragraph (1) POJK Number 28 of 2015. It is known that the PKPU applicant is not the OJK but two of the policyholders, this is the main problem that will be discussed and analyzed in this study where do the policyholders have legal standing to act as applicants PKPU for the insurance company PT Adisarana Wanaartha. In the decision of the Central Jakarta Commercial Court Number 21/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Jkt.Pst stated that it rejected the application of PT Adisarana Wanaartha's policyholders, the author will analyze whether the considerations of the Panel of Judges of the Commercial Court are in accordance with the existing laws and regulations. applicable in the field of Bankruptcy and PKPU
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shania Khairunnisa
Abstrak :
Tidak ada satupun ketentuan dalam hukum kepailitan Indonesia yang menyatakan Akta Perdamaian yang merupakan hasil homologasi perjanjian perdamaian dapat diamandemen yang dilakukan diluar pengadilan. Namun ditemukan beberapa kasus dimana hal ini terjadi. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana ketentuan hukum yang berlaku mengenai amandemen akta perdamaian di Indonesia serta tinjauan kesesuaian putusan hakim pada kasus amandemen akta perdamaian terhadap teori dan hukum kepailitan yang berlaku dan bagaimana perbandingan ketentuan mengenai amandemen akta perdamaian dalam hukum kepailitan Indonesia dan Amerika. Permasalahan ini dijawab dengan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa amandemen akta perdamaian diluar pengadilan tidak dapat dilakukan, walaupun tidak diatur secara khusus dalam UU Kepailitan dan PKPU. Argumentasinya ditinjau dari urgensi peran pengadilan dalam proses pengesahan akta perdamaian dan berdasarkan penafsiran sistematis antara Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 285 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU. Sehingga keberadaan akta perdamaian hasil amandemen di luar pengadilan tidak mengikat bagi debitor dan kreditor. Selanjutnya terhadap hasil perbandingan, hukum kepailitan Amerika membenarkan dan mengatur adanya amandemen akta perdamaian dan pembatalan perjanjian perdamaian bersifat opsional, sebaliknya Indonesia tidak mengatur dan melarang adanya amandemen akta perdamaian karena akan menghilangkan sanksi pembatalan akta perdamaian berupa dijatuhkannya status pailit bagi debitor. Saran Penulis terhadap isu ini adalah untuk memberikan pengaturan yang jelas dalam hukum kepailitan Indonesia tentang amandemen akta perdamaian, baik melalui perubahan UU yang sudah ada atau melalui pembentukan peraturan pelaksana. ......There is no single provision in the Indonesian bankruptcy law which states that the accord can be amended outside the court proceeding. However, there are several cases where this is happened. The issues discussed in this research are how the applicable legal provisions regarding the amendment of the accord in Indonesia as well as a review of the suitability of the judge’s decisions in the accord amendment case against the prevailing bankruptcy law and theories also the comparison of the provisions regarding the issue in Indonesian and America bankruptcy law. These problems are answered with a normative juridical research method. The results of this study indicate that the amendment of the accord outside the court proceeding cannot be carried out, although it is not specifically regulated in the Law. The argument is viewed from the urgency of the court proceeding for homologation of accord and based on a systematic interpretation between Article 1320 of the Civil Code and Article 285 paragraph (2) of the Bankruptcy Act. So that the existence of the amended accord outside the court proceeding is not binding. On the comparison results, the US bankruptcy law justifies the amendment of the accord and the cancellation of the accord is optional, on the contrary, Indonesia does not regulate and prohibits the amendment of the accord because it will eliminate the effect of sanctions for cancellation of the accord which is imposition of bankruptcy status for debtors. The author’s suggestion on this issue is to provide clear regulations in the Indonesian bankruptcy law regarding amendments to accord, either through amendments of existing laws or through the formation of implementing regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shania Khairunnisa
Abstrak :
Tidak ada satupun ketentuan dalam hukum kepailitan Indonesia yang menyatakan Akta Perdamaian yang merupakan hasil homologasi perjanjian perdamaian dapat diamandemen yang dilakukan diluar pengadilan. Namun ditemukan beberapa kasus dimana hal ini terjadi. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana tindakan amandemen akta perdamaian di Indonesia ditinjau dari value- based theory oleh Donald Korobkin serta bagaimana perbandingannya dengan penerapan dan ketentuan antara hukum kepailitan dan PKPU di Indonesia dan Amerika Serikat. Permasalahan ini dijawab dengan metode doktrinal. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa amandemen akta perdamaian homologasi diluar pengadilan di Indonesia tidak sesuai dengan nilai value-based theory. Selanjutnya terhadap hasil perbandingan, hukum kepailitan Amerika membenarkan dan mengatur adanya amandemen akta perdamaian dan pembatalan perjanjian perdamaian bersifat opsional, sebaliknya Indonesia tidak mengatur dan melarang adanya amandemen akta perdamaian karena akan menghilangkan sanksi pembatalan akta perdamaian berupa dijatuhkannya status pailit bagi debitor. Saran Penulis terhadap isu ini adalah untuk memberikan pengaturan yang jelas dalam hukum kepailitan Indonesia tentang amandemen akta perdamaian, baik melalui perubahan UU yang sudah ada atau melalui pembentukan peraturan pelaksana. ......There is no single provision in the Indonesian bankruptcy law which states that the accord can be amended outside the court proceeding. However, there are several cases where this is happened. The issues discussed in this research are how the amendment of the accord in Indonesia viewed based on value-based theory by Donald Korobkin and also the comparison of the provisions regarding the issue in Indonesian and America bankruptcy law. These problems are answered with doctrinal method research. The results of this study indicate that the amendment of the homologated accord outside the court in Indonesia is not in accordance with the value-based theory. Furthermore, in comparison to the results of the comparison, American bankruptcy law justifies and regulates the amendment of the peace deed and the cancellation of the peace agreement is optional, whereas Indonesia does not regulate and prohibits the amendment of the accord because it will eliminate the sanction of cancelling the accord in the form of imposing bankruptcy status for the debtor. The author's suggestion on this issue is to provide a clear regulation in Indonesian bankruptcy law regarding the amendment of the accord, either through amendments to existing laws or through the establishment of implementing regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadine Valenia Narulita Hanggarjati
Abstrak :
Dalam kondisi keuangan yang berdampak pada ketidakmampuan seseorang atau suatu badan hukum dalam memenuhi kewajiban berupa pembayaran utang, maka Debitor dapat mengajukan suatu upaya berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara sukarela (voluntary petition). Pengajuan permohonan PKPU secara sukarela ini merupakan suatu bentuk itikad baik Debitor dalam melunasi utang-utangnya kepada Para Kreditor. Terlebih apabila dalam permohonan PKPU tersebut juga dilampirkan suatu rencana perdamaian berupa penawaran jadwal pembayaran dan nominal utang yang akan dibayarkan, maka sudah seharusnya dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lain halnya dengan pengajuan permohonan PKPU yang diajukan secara sukarela oleh PT Duta Adhikarya Negeri, putusan ini ditolak karena pembuktian yang tidak sederhana. Hal ini disebabkan oleh bukti surat yang memperlihatkan keberadaan utangnya berupa copy dari fotocopy. Namun pada faktanya, bukti-bukti tersebut telah diakui dan tidak dibantah oleh pihak Kreditor. Pada penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian yaitu yuridis normatif yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Penulis akan meneliti pertimbangan Majelis Hakim yang kurang cermat dalam memperhatikan substansi dari permohonan PKPU. Dalam UUK-PKPU tidak secara rinci diatur mengenai pembuktian sederhana dalam perkara PKPU, melainkan diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Mengingat bahwa dikabulkannya suatu PKPU dapat memberikan kepastian hukum berupa kesempatan pada Debitor untuk melaksanakan kewajibannya dalam PKPU serta rencana perdamaian, maka sudah seharusnya pengadilan berfokus pada keberadaan utang yang ada pada bukti-bukti yang telah diakui oleh Para Kreditornya sehingga tidak terbantahkan dan menjadi sah di persidangan serta dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) UUK-PKPU. ......In a financial condition that affects the inability of a person or a legal entity to fulfill obligations in the form of debt payments, the Debtor may submit a legal remedy in the form of a voluntary petition. Submitting a PKPU application voluntarily is a form of the Debtor's good faith in paying off his debts to Creditors. Especially if the PKPU request is also attached with a reconciliation plan in the form of offering a payment schedule and the amount of the debt to be calculated, then it should have been granted as stipulated in Article 225 paragraph (2) Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment obligations. Unlike the case with PT Duta Adhikarya Negeri submitting a PKPU application voluntarily, this decision was rejected because the evidence was not simple. This is caused by documentary evidence that reveals the existence of the debt in the form of a copy of the photocopy. However, in fact, this evidence has been acknowledged and not disputed by the creditors. In this study, the author uses research methods which is normative juridical which produces descriptive analytical data. The author will analyze the considerations of the Panel of Judges which are incomprehensive in paying attention to the substance of the PKPU petition. The UUK-PKPU does not stipulate in detail regarding simple proof in PKPU cases, instead it is regulated in the Decree of the Chief Justice of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 109/KMA/SK/IV/2020 concerning Enforcement of the Handbook for Settlement of Bankruptcy Cases and Suspension of Obligations for Payment of Debt. Given that the granting of a PKPU can provide legal certainty in the form of an opportunity for the Debtor to carry out debt payment obligations in the PKPU as well as a composition plan, then it should be more focusing on the existence of the debts on evidence that has been acknowledged by the Creditors so that they cannot be disputed and become valid in court and granted as regulated in Article 225 paragraph (2) UUK-PKPU.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library