Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Metode mutakhir, dosis dan hasil pengobatan medik taeniasis/ sistiserkosis, penyakit zoo-parasitik yang disebabkan Taenia solium dan Taenia saginata dibahas. Pada kasus sistiserkosis T. solium, khususnya neurosistiserkosis waktu optimal dan dosis untuk sistiserkosis dengan albendazol adalah selama 8 hari, 15 mg/kg/hari dibagi untuk dua kali sehari ditambah prednison 50 mg/hari pada pagi hari. Obat ini efektif terhadap parasit di hampir semua lokasi sebanyak yaitu 80-90% terhadap kista yang makroskopik tampak dengan cara imaging. Untuk taeniasis dosis tunggal prazikuantel, 10-15 mg/kg memberi hasil angka penyembuhan lebih dari 90%. Efek samping ringan seperti nausea, sakit kepala dan perut dapat ditemulan. Evaluasi terapi dengan obat dilakukan berdasarkan evaluasi klinik, radiologi dan serologi. Di Papua (=Irian Jaya) sembilan kasus dengan diagnosis kemungkinan neurosistiserkosis, sero-positif, telah diterapi dengan albendazol, 1200 mg dosis tunggal selama 15 hari. Ditambah dengan prednison, tiga kali sehari 1 tablet, 5 mg selama 7 hari. Setelah setahun 6 kasus masih tetap sero-positif. Pada waktu yang sama prazikuantel, 1200 mg, dosis tunggal diberikan kepada sepuluh pasien selama 15 hari dengan prednison, 3 kali sehari 1 tablet, 5mg selama 7 hari. Setelah setahun 5 kasus masih tetap sero-positif. Kedua-duanya, albendazol dan prazikuantel, adalah obat yang efektif terhadap taeniasis dan sistiserkosis dengan efek samping ringan. Terapi simptomatik diberikan bilamana dianggap perlu. (Med J Indones 2005; 14:253-7)

Recent methods, doses and results of medical treatment on taeniasis/cysticercosis, a zoo-notic parasitic disease caused by Taenia solium and Taenia saginata are discussed. In cases of cysticercosis T. solium, especially neurocysticercosis the optimal length and dose of albendazole is a course of 8 days with doses of 15 mg/kg/day divided in two times added by 50 mg/day of prednisone in the morning. The drug is effective in almost any location of the parasites for 80-90% of macroscopic cysts seen by imaging studies. For taeniasis a single dose of praziquantel, 10-15 mg/kg achieves cure rates of more than 90%. Side effects such as nausea, headache and abdominal pain are mild. Evaluation of drug treatment is done by clinical, radiological and serological evaluation. In Papua (=Irian Jaya) nine cases with suspected neurocysticercosis, serologically positive, were treated with 1200 mg single dose albendazole for 15 days. Prednisone tablets, three times daily one tablet, 5 mg during 7 days were added. After one year 6 cases were still serologic positive. At the same time praziquantel, 1200 mg, single dose was given to ten cases during 15 days and prednisone tablets, 3 times daily one tablet, 5 mg during 7 days. After one year 5 sero-positive cases were still found. Albendazole and praziquantel are both effective drugs for taeniasis and cysticercosis, with minor side effects. In addition symptomatic treatment should be given if necessary. (Med J Indones 2005; 14:253-7)"
Medical Journal Of Indonesia, 14 (4) October December 2005: 253-257, 2005
MJIN-14-4-OctDec2005-253
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Taeinia saginata dan Taeinia solium ditemukan di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berkembang. Kedua jenis
cacing pita ini hidup dalam rongga usus halus. Hospes perantaranya adalah ternak dan babi. Gejala-gejala berat
ditemukan bilamana T. solium menginfeksi sistim saraf pusat. Kasus-kasus dengan kejang epilepsi dan perilaku
abnormal sering ditemukan di daerah endemis. Di Mexico diantara 68.754 sampel serum manusia 0,06-2,97%
ditemukan positif untuk cysticercosis. Rupa-rupanya ada hubungan antara angka sero-prevalensi yang tinggi dengan
tingkat keadaan sosio-ekonomi yang rendah. Di berbagai negara di Amerika Latin ditemukan prevalensi antara 0,1-
8,7%, sedangkan prevalensi berkisar antara 0,05-10,4% di Asia dan Afrika. Di Indonesia taeniasis/sistiserkosis terutama
ditemukan di tiga provinsi yaitu Sumatera Utara, Bali dan Irian Jaya (Papua). Sejumlah kasus juga ditemukan di
Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat. Di Indonesia prevalensi
taeniasis/sistiserkosis berkisar antara 1,0-42,7%. Prevalensi tertinggi ditemukan di Irian Jaya. Tidak banyak laporan
mengenai sistiserkosis pada ternak di dunia, termasuk Indonesia. Pengumpulan data epidemiologi seperti tentang
prevalensi dan distribusi diperlukan supaya program penanggulangan berhasil. Disamping itu perlu dilakukan
penyuluhan kesehatan di masyarakat pada tiap program penaggulangan
Prevalence and distribution of Taeniasis and Cysticercosis. Taenia saginata and Taenia solium are found through
the whole world, especially in developing countries. These tapeworms live in the small intestines of humans. Cattle and
pigs are the intermediate animal hosts. Serious signs and symptoms are found if T. solium is infecting the central
nervous system. Cases with epileptic seizures and abnormal behavior are often found in endemic areas. In Mexico
among 68.754 human serum samples 0,06-2,97% were found positive for cysticercosis. Apparently there was an
association between high sero prevalence rates and low socio-economic conditions. In several countries in Latin
America, prevalences were between 0,1-8,7%, whereas prevalences between 0,05-10,4% were detected in Asia and
Africa. In Indonesia taeniasis/cysticercosis are mostly found in three provinces i.e. North Sumatra, Bali and Irian Jaya.
Cases were also discovered in North Sulawesi, Southeast Sulawesi, East Nusa Tenggara and West Kalimantan. The
prevalences of taeniasis/cysticercosis in Indonesia were between 1,0-42,7%. The highest prevalence rate was in Irian
Jaya (Papua). Not many reports are available for cysticercosis in cattle and in pigs in the world, including Indonesia.
The collection of epidemiological data such as on prevalence rates and distribution are needed for a successful control
program. In addition community health education should be implemented in control programs."
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Pembinaan Lingkungan Pemukiman ; Universitas Indonesia. Fakultas Kedokteran, 2001
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony William Brian Iskandar
"Pendahuluan: Taeniasis, infeksi cacing pita Taenia spp., merupakan penyakit yang masih endemik di beberapa daerah di Indonesia. Data prevalensi taeniasis Taenia solium di Kabupaten Sumba Barat Daya, Propinsi Nusa Tenggara Timur belum tersedia, sedangkan masyarakatnya diketahui memiliki ternak babi dan mempunyai kebiasaan mengonsumsi daging yang tidak matang, yang dapat meningkatkan risiko paparan terhadap larva T. solium. Uji serologi menggunakan metode ELISA diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan pemeriksaan mikroskopis, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosis taeniasis T. solium. Studi ini bertujuan mendapatkan seroprevalensi taeniasis T. solium di sebuah desa di Kabupaten Sumba Barat Daya, beserta hubungan usia dan jenis kelamin terhadap positivitas IgG anti-rES33.
Metode: Sebanyak 110 sampel plasma diperiksa menggunakan metode ELISA untuk mendeteksi kadar antibodi IgG anti-rES33, yang dinyatakan dalam satuan absorbansi densitas optik (OD). Data usia dikelompokkan ke dalam 2 kategori (anak dan dewasa) dan 4 kategori (5-10, 11-20, 21-35, dan >35 tahun). Hasil: Seroprevalensi taeniasis T. solium pada sampel Desa Karang Indah ditemukan sebesar 17,3%. Hasil IgG anti-rE33 positif ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada kelompok anak-anak (26,4%) dibandingkan dewasa (8,8%) (p=0,014), dengan seroprevalensi tertinggi (25,6%) pada kelompok usia 5-10 tahun. Kelompok perempuan secara signifikan memiliki seroprevalensi yang lebih tinggi (23,8%) dibandingkan laki-laki (8,5%) (p=0,036).
Kesimpulan: Usia dan jenis kelamin berhubungan signifikan dengan seroprevalensi taeniasis T. solium pada sampel Desa Karang Indah. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme terkait usia dan jenis kelamin yang menyebabkan perbedaan tersebut.
......Introduction: Taeniasis, a tapeworm infection caused by adult Taenia species, can be found endemic in several regions in Indonesia. Data on prevalence of Taenia solium taeniasis in Southwest Sumba Regency, East Nusa Tenggara is not available, even though most of its residents work as pig farmers and consume undercooked pork, which may increase exposure to T. solium larvae. Serologic test using ELISA method was found to be more sensitive and specific than miroscopic examination, thus useful for diagnosing T. solium taeniasis. The purpose of this study was to determine the seroprevalence of T. solium taeniasis in one of the villages in Southwest Sumba Regency, as well as its association with age and gender.
Methods: A total of 110 plasma samples were examined using ELISA method to detect the concentration of anti-rES33 IgG, expressed in optical density (OD). Subjects were divided into age groups of 2 (children and adults) and 4 categories (5-10, 11-20, 21-35, and >35 years old).
Results: Seroprevalence of T. solium taeniasis was found to be 17.3%. Seroprevalence was significantly higher among children (26.4%) compared to adults (8.8%) (p=0.014), the highest being in the 5-10 year-old category (25.6%). Seroprevalence was also higher among females (23.8%) compared to males (8.5%) (p=0.036).
Conclusion: Age and gender were significantly associated with the seroprevalence of T. solium taeniasis in the samples from Karang Indah Village. Further research is needed to determine mechanisms related to age and gender which cause this association."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arkananta Imannuelito Rahadyan
"Latar Belakang. Taenia solium merupakan parasit yang dapat mengakibatkan taeniasis dan sistiserkosis, tergantung pada fase parasit saat menginfeksi. Manusia diketahui merupakan host definitif dari parasit ini. Sebagai salah satu area endemik filariasis limfatik dan cacing yang ditularkan melalui tanah, Sumba Barat Daya memiliki kualitas sanitasi dan pola hidup higienis yang masih buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dari pemberian pengobatan masal untuk filariasis limfatik pada seroprevalensi taeniasis dan sistiserkosis. Metode. Studi ini merupakan studi pre dan post dengan menggunakan data sekunder yang sebelumnya telah diambil oleh tim peneliti filariasis, Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Terdapat 70 partisipan lokal yang terlibat pada penelitian ini. Pada tahun 2016, tim peneliti mengambil sampel darah sebelum melakukan pemberian pengobatan masal berupa albendazol (400 mg) dan dietilkarbamazine (6 mg/kg Berat Badan), dosis tunggal. Satu tahun kemudian, tim peneliti mengambil darah pada partisipan yang sama. Antibodi IgG terhadap rekombinan rES33 (untuk taeniasis) dan rT24H (untuk sistiserkosis) diukur dengan ELISA. Hasil kemudian dibandingkan diantara dua titik waktu. Usia dan jenis kelamin dianalisis sebagai faktor pemberat potensial.
Hasil. Satu tahun setelah pemberian pengobatan masal, seroprevalensi positif menurun dari 42.9% menjadi 21.4% untuk Taenia solium taeniasis (P = 0.003) dan dari 47.1% menjadi 22.9% untuk sistiserkosis (P = 0.001). Studi ini juga menemukan penurunan yang signifikan dari kasus positif pada peserta laki-laki (P < 0.0001), tetapi tidak pada perempuan. Prevalensi sistiserkosis pada anak-anak (P = 0.008) dan orang dewasa (P = 0.049) juga berkurang secara signifikan. Dalam kasus taeniasis, hanya orang dewasa yang menunjukan serokonversi yang signifikan (P = 0.021). Kesimpulan. Pemberian obat masal albendazol dan dietilkarbamazin sitrat dosis tunggal pada pasien Taenia solium taeniasis atau sistiserkosis dapat menurunkan kasus seroprevalensi positif pada kedua infeksi.
......Background: Taenia solium is a parasite that can cause taeniasis and cysticercosis, depending on the stadium of the invading parasite at the time of infection. Humans are known to be the definitive and intermediate hosts of this parasite. As one of the endemic areas for lymphatic filariasis (LF) and soil-transmitted helminths, Sumba Barat Daya has poor sanitation and hygienic behavior. This study aimed to investigate the effect of mass drug administration for LF on the seroprevalence of taeniasis and cysticercosis. Metode: This study is a pre and post study using secondary data previously collected by the filariasis research team, Department of Parasitology, Faculty of Medicine, University of Indonesia. There were 70 local participants involved in this study. In 2016, the research team took blood samples before administering a single dose of albendazole (400 mg) and diethylcarbamazine (6 mg/kg body weight). One year later, the blood of the same participants were collected. IgG antibodies against recombinant antigens rES33 (for taeniasis) and rT24H (for cysticercosis) were measured by ELISA. The results were then compared between the two time points. Age and gender were analyzed as potential confounders.
Result: One year after the mass treatment, the positive seroprevalence decreased from 42.9% to 21.4% for Taenia solium taeniasis (P = 0.003) and from 47.1% to 22.9% for cysticercosis (P = 0.001). This study also found a significant reduction of positive cases in male participants (P < 0.0001), but not in females. The cysticercosis prevalence in children (P = 0.008) and adults (P = 0.049) were significantly reduced as well. In the case of taeniasis, only adults showed significant seroconversion (P = 0.021). Conclusion: Mass Drug Administration in a single dose of albendazole and diethylcarbamazine to patients with Taenia solium taeniasis or cysticercosis can reduce positive seroprevalence cases in both infections."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizal Subahar
"Daerah Jayawijaya, termasuk Kecamatan Wamena dan Assologaima, adalah daerah yang hiperendemis penyakit taeniasis/sistiserkosis. Dikatakan bahwa taeniasis/sistiserkosis adalah penyakit yang disebut penyakit rumah tangga yaitu suatu penyakit dengan karakteristik sebagai berikut: sering dijumpai lebih dari 1 anggota keluarga di suatu rumah tangga yang terinfeksi penyakit tersebut. Tujuan studi ini adalah mendapat gambaran taeniasis/sistiserkosis pada keluarga yang tinggal di satu komplek perumahan (silimo) dan mengetahui distribusi penderita sistiserkosis yang tinggal bersama penderita taeniasis (adult worm carriers). Telah dilakukan studi terbatas terhadap adanya antibodi terhadap antigen Taenia solium dan tes ELISA-coproantigen. Tes imunoblot menggunakan glikoprotein yang dimurnikan (GP) yang bertindak sebagai antigen Taenia solium. Antibodi anti-sistiserkosis yang terdeteksi sebesar 51.7% dari 89 sampel serum manusia. Angka seroprevalensi ini pada keluarga di Kecamatan Wamena (68.4%, 26/38) lebih tinggi dibandingkan di Kecamatan Assologaima (35.3%, 18/51), pada laki-laki (61.2%, 30/49) lebih banyak yang terinfeksi dari perempuan (40.0, 16/40). Disamping itu ELISA-coproantigen yang terdeteksi positif sebesar 2.4% (3/42) hanya ditemukan pada keluarga di Assologaima, sedangkan pada 5 keluarga di Kecamatan Wamena maupun Assologaima ditemukan anggota keluarga seropositif tanpa adanya individu coproantigen positif di rumah komplek masing-masing. Di daerah hiperendemis taeniasis/sistiserkosis seorang dapat terinfeksi oleh keluarganya yang tinggal bersama di silimo maupun mendapat infeksi ini dari keluarga lain. Semua penderita taeniasis mengkontaminasi lingkungan.

Taeniasis/cysticercosis among family members in villages of Jayawijaya District, Papua. The area of Jayawijaya, including the Subdistricts of Wamena and Assologaima, is a hyperendemic area of taeniasis/cysticercosis. The disease is considered as a household disease because often if one family member is infected with the disease we can also expect other family members with the same disease. The aim of this study is to obtain data on the condition of taeniasis/cysticercosis in families living in a complex of houses (silimo) and to know the distribution of cysticercosis patients living together with taeniasis patients (adult worm carriers). A limited study was conducted using a test on the detection of antibodies against antigen Taenia solium and the ELISA-coproantigen test. The immunoblot test used purified glycoproteins (GP) as a Taenia solium antigen. Antibodies anti-cysticercosis were detected in 51.7% of 89 human sera samples. The seroprevalence of families in Wamena (68.4%, 26/38) was higher in comparison with that in Assologaima (35.3%, 18/51), men (61.2%, 30/49) were more infected than women (40.0, 16/40). In addition positive ELISA-coproantigen was found in 2.4% (3/42) of the families in Assologaima, whereas in 5 families in Wamena as well as in Assologaima family members were found seropositive without an individu with coproantigen positive in their families living in their respectively silimo?s. In hyperendemic areas of taeniasis/cysticercosis one can be infected by his family living in the same complex of houses as well as by other families. All adult worm carriers are contaminating the whole environment."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan RI. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan ; Asahikawa Medical College. Department of Parasitology ; Universitas Indonesia. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, 2005
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library