Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Riadi Wirawan
"Thalassemia b mayor adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan sintesis rantai polipeptida b yang diturunkan secara otosom resesif. Penanganan kasus dengan thalassemia b mayor berupa pemberian transfusi berulang yang akan mengakibatkan hemokromatosis. Hemokromatosis dapat terjadi pada beberapa organ tubuh termasuk pankreas. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan kadar gula darah dan angka kejadian hemokromatosis pada penderita thalassemia b mayor. Telah diperiksa kadar gula darah puasa dan kadar ferritin serum pada 115 penderita thalassemia b mayor yang berumur 10-23 tahun dari Pusat Thalassemia Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Kadar gula darah diperiksa dengan metode enzimatik sesuai dengan kriteria American Diabetes Association (ADA), kadar ferritin serum diperiksa dengan metode microparticle enzyme immuno assay (MEIA). Pada penelitian didapatkan semua kasus yang diperiksa menunjukkan hemokromatosis, 14,8% dari pada kasus disertai dengan kadar gula darah puasa terganggu dan 2,6% menujukkan adanya diabetes melitus. Penderita thalassemia b mayor yang mendapat transfusi berulang menyebabkan terjadinya hemokromatosis yang dapat mengganggu fungsi pankreas. (Med J Indones 2003; 12: 87-93)

b-thalassemia major is a disease caused by b polypeptide chain synthesis disorder which is inherited as an autosomal recessive from both parents which is marked by little or no b globin chain synthesis. Medication for b thalassemia major patients is by repeated blood transfusions, which causes hemochromatosis. Hemochromatosis can occur in various organs including the pancreas. The aim of the study was to assess the alteration of plasma glucose concentration and the hemochromatosis prevalence. Fasting plasma glucose concentration and serum ferritin examination were measured in 115 b thalassemia major patients with ages between 10-23 years who were out-patients in the Thalassemia Centre, Department of Child Health, Medical School, University of Indonesia / Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. The plasma glucose concentration examination was conducted by the GDH enzymatic method, with American Diabetes Association (ADA) criteria in the evaluation, while the serum ferritin examination was conducted with the microparticle enzyme immuno assay (MEIA) method. All patients had hemochromatosis, 14.8% of the patients had impaired fasting glucose level and 2.6% of the patients showed indications of diabetes mellitus. b thalassemia major patients who receive frequent transfusions will develop hemochromatosis that will in turn impair the pancreatic function. (Med J Indones 2003; 12: 87-93)"
2003
MJIN-12-2-AprilJune2003-87
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Riadi Wirawan
"Seratus lima belas penderita thalassemia beta mayor yang mendapatkan tranfusi rutin di Pusat Thalassemia Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia ? Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo dilakukan pemeriksaan hematologi. Didapatkan korelasi yang negatif antara besarnya limpa dengan parameter hematologi darah tepi. Hasil pemeriksaan parameter darah tepi cenderung menurun dengan membesarnya limpa dan kondisi tersebut akan membaik setelah splenektomi. Pada penelitian kami hipersplenisme dimulai pada limpa S (V ? VI). Pemeriksaan elektroforesis hemoglobin didapatkan penebalan fraksi HbF dan 90 penderita tersebut menunjukkan pola yg normal. Oleh karena itu, untuk melakukan konfirmasi elektroforesis hemoglobin perlu dilakukan dengan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin pada kedua orang tua atau pemeriksaan analisis genetik dengan teknik biomolekuler. (Med J Indones 2004; 13: 8-16)

One hundred and fifteen beta thalassemia major outpatients attending the Thalassemia Center Department of Child Health, Medical School University of Indonesia Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital for routine blood transfusion and hematology examination, participated in this study. There was a negative correlation between the size of the spleen and the peripheral blood parameters. All peripheral blood parameters tend to decrease with the enlargement of the spleen, and the condition is reversed after splenectomy. We observed that hypersplenism starts when the spleen is as big as S (V ? VI). The hemoglobin electrophoresis pattern from beta thalassemia major patients receiving repeated blood transfusion did not show a dense HbF fraction, 90 patients showed a normal hemoglobin electrophoresis pattern. A hemoglobin analysis of both parents could be useful to confirm the diagnosis of beta thalassemia major for patients receiving repeated blood transfusion. In order to get a definite diagnosis, a genetic analysis by bio molecular technique is needed. (Med J Indones 2004; 13: 8-16)"
2004
MJIN-13-1-JanMar2004-8
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Sartika
"Remaja putri thalasemia mayor mengalami berbagai masalah psikologis, emosional, dan perilaku sosial sehingga berdampak pada persepsi akan dirinya sebagai perempuan di kemudian hari nanti. Tujuan dari studi kualitatif ini adalah untuk menggali persepsi remaja putri thalasemia mayor mengenai dirinya sebagai perempuan. Desain penelitian yang digunakan adalah fenomenologi deskriptif dengan pengumpulan data melalui waancara mendalam yang menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur. Jumlah partisipan yang didapat hingga mencapai saturasi data adalah 12 orang yang menghasilkan 7 tema sebagai berikut: (1) ketakutan akan perannya sebagai perempuan tidak terpenuhi, (2) keinginan menjalani peran yang lengkap sebagai perempuan, (3) kekhawatiran akan terganggunya  pertumbuhan dan fungsi hormon, (4) adanya perasaan kurang percaya diri dalam berteman, (5) adanya perasaan yang tidak menentu sebagai remaja thalasemia, (6) merasa ada tantangan dalam melanjutkan pendidikan, dan (7) ketakutan akan adanya perlakuan yang tidak baik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan dalam pemberian asuhan keperawatan kepada remaja putri dengan thalasemia mayor, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. 

Young women with thalassemia major experience various psychological, emotional, and social behavior problems that have an impact on their perception of being a woman in the future. The purpose of this qualitative study is to explore the perceptions of thalassemia major girls regarding themselves as women. The research design used is descriptive phenomenology by collecting data through in-depth interviews using semi-structured interview guidelines. The number of participants obtained until reaching saturation of data is 12 people who produce 7 themes as follows: (1) fear of her role as a woman is not fulfilled, (2) the desire to undergo a complete role as a woman, (3) fears of disruption of growth and function of hormones, (4) a feeling of lack of confidence in making friends, (5) a feeling that uncertainty as adolescent thalassemia, (6) there are challenges in continuing education, and (7) fear of improper treatment. The results of this study are expected to provide information and input in the provision of nursing care to young women with thalassemia major to improve the quality of life."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lyana Setiawan
"Di Indonesia, thalassemia mayor merupakan salah satu masalah kesehatan karena morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi. Thalassemia mayor ditandai dengan anemia berat sejak usia anak-anak dan memerlukan transfusi teratur untuk mempertahankan kadar hemoglobin. Untuk mengurangi kebutuhan akan transfusi darah, dilakukan splenektomi. Trombosis merupakan salah satu komplikasi thalassemia yang banyak dilaporkan di berbagai negara, tetapi di Indonesia sampai saat ini belum ada laporan. Trombosit dan sistem koagulasi memegang peranan dalam patogenesis trombosis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai kelainan trombosit serta aktivasi koagulasi pada penderita thalassemia mayor yang sudah maupun yang belum di-splenektomi di Indonesia.
Desain penelitian ini potong lintang. Subyek penelitian terdiri dari 31 orang penderita thalassemia mayor yang sudah displenektomi (kelompok splenektomi) dan 35 orang penderita thalassemia mayor yang belum mengalami splenektomi (kelompok nonsplenektomi). Untuk menilai fungsi trombosit, dilakukan pemeriksaan agregasi trombosit terhadap adenosin difosfat (ADP), aktivasi trombosit dinilai dengan mengukur kadar β-tromboglobulin (β-TG), sedangkan aktivasi koagulasi dinilai dengan pemeriksaan D-dimer.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah trombosit pada kelompok splenektomi Iebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok non-splenektomi (549.260+251.662/μI vs 156.000/μl (kisaran 34.000-046.000/μl); p<0,001). Demikian pula agregasi trombosit terhadap ADP 1 pM maupun 10 pM Iebih tinggi secara bermakna pada kelompok splenektomi dibandingkan dengan kelompok non-splenektomi (1 pM: 17,3% (kisaran 1,9-104,0%) vs 5,2% (kisaran 0,5-18,2%); p <0,001 dan 10 pM: 91,2% (kisaran 27,3-136,8%) vs 55,93 + 17,27%; p<0,001). Kadar β-TG Iebih tinggi secara bermakna pada kelompok splenektomi dibandingkan kelompok non-splenektomi (178,81 + 86,3 IU/ml vs 100,11 + 40,0 IU/ml; p<0,001). Kadar D-dimer juga Iebih tinggi secara bermakna pada kelompok splenektomi dibandingkan non-splenektomi walaupun keduanya masih dalam rentang normal (0,2 μg/ml (kisaran 0,1-0,7 g/ml) vs 0,1 μg/ml (kisaran 0,1-0,8 μg/mI).
Dari hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa pada penderita thalassemia mayor di Indonesia terdapat jumlah trombosit dan fungsi agregasi yang bervariasi, sedangkan aktivasi trombosit meningkat, tetapi belum dapat dibuktikan adanya aktivasi koagulasi. Pada penderita thalassemia mayor yang sudah displenektomi didapatkan trombositosis, serta agregasi trombosit terhadap ADP dan aktivasi trombosit yang Iebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang belum di-splenektomi.

Thalassemia major is one of the health problem in Indonesia due to its high morbidity and mortality. Thalassemia major is characterized by severe anemia presenting in the first years of life and requires regular transfusions to maintain hemoglobin level. Splenectomy is performed to decrease the need for transfusion. Thrombosis is one of the complications widely reported in patients with thalassemia in many parts of the world, but until now, there had been no report on this complication in Indonesia. Platelet and the coagulation system play a role in the pathogenesis of thrombosis. The aim of this study was to obtain the pattern of changes in platelet count, function and activation level, and activation of coagulation in patients with thalassemia major patients in Indonesia.
The design of this study was cross-sectional. The subjects were 31 splenectomized and 35 non-splenectomized patients with thalassemia major. Platelet aggregation to adenosine diphosphate (ADP) was performed to assess platelet function; β-thromboglobulin level was used as marker of platelet activation, and D-dimer for activation of coagulation.
The result of this study revealed a significantly higher platelet count in splenectomized compared to non-splenectomized patients (549.260 + 251.86210 vs-156.000/μl (34.000- 46.000/μl); p<0.001). Platelet aggregation to ADP were significantly higher in splenectomized patients than non-splenectomized group, both to 1 pM (17.3% (range 1.9-104M%) vs 5.2% (range 0.5-118.2%); p<0.001) and 10 μM ADP (91.2% (range 27.3-136.8%) vs 55.93 + 17.27%; p<0.001). β-thromboglobulin level was significantly higher in splenectomized patients compared to non-splenectomized patients (178.81 + 86.3 IU/rnl vs 100.11 + 40.0 IU/ml; p<0.001). D-dimer level was also significantly higher in the splenectomized group compared to non-splenectomized group although both had values within normal range (0.2 pglml (range 0.1-0.7 μg/mI) vs 0.1 pg1ml (range 0.1-0.8 μg/ml).
We concluded that the platelet count and function were varied, while platelet activation level was increased in patients with thalassemia major in Indonesia, but activation of coagulation was not established. We also concluded that in splenectomized patients there were thrombocytosis and increased platelet aggregation to ADP and platelet activation level compared to non-splenectomized patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luszy Arijanty
"Thalassemia merupakan suatu kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal resesif. Pada thalassemia terjadi proses hemolisis, sehingga terjadi anemia kronis. Penyakit thalassemia membawa banyak sekali masalah bagi penderitanya, mulai dan kelainan darah sampai kelainan berbagai organ tubuh akibat proses penyakitnya maupun akibat usaha pengobatannya, karena penderita thalassemia berat akan memerlukan transfusi darah seumur hidupnya.
Secara klinis dibedakan antara thalassemia mayor dan thalassemia minor. Pasien thalassemia mayor umumnya menunjukkan gejala klinis yang berat, berupa anemia, hepatosplenomegali, pertumbuhan yang terhambat dan gizi kurang sampai gizi buruk. Pasien thalassemia mayor memerlukan transfusi darah terus-menerus. Gejala anemia bahkan sudah dapat terlihat pada usia kurang dari satu tahun. Bentuk heterozigot biasanya secara klinis sukar dikenal karena tidak memperlihatkan gejala klinis yang nyata dan umumnya tidak memerlukan pengobatan. Wahidiyat mendapatkan 22,7% penderita thalassemia tergolong dalam gizi baik, 64,1% gizi kurang dan 13,2% gizi buruk. Gangguan pertumbuhan pada penderita thalassemia disebabkan oleh banyak faktor, antara lain faktor hormonal akibat hemokromatosis pada kelenjar endokrin, hipoksia jaringan akibat anemia, serta adanya defisiensi mikronutrien terutama defisiensi seng. Faktor lain yang berperan pada pertumbuhan penderita thalassemia adalah faktor genetik dan lingkungan. Nutrisi merupakan faktor lingkungan yang panting dalam mempengaruhi tumbuh kembang anak. Beratnya anemia dan hepatosplenomegali menyebabkan nafsu makan menurun, sehingga asupan makanan berkurang, berakibat terjadinya gangguan gizi. Bila kadar hemoglobin dipertahankan tinggi, lebih kurang 10 g/dL, disertai pencegahan hemokromatosis, maka gangguan pertumbuhan tidak terjadi.
Alabat pemberian transfusi darah berulang dan penggunaan deferoksamin untuk kelasi besi, yang tidak teratur akan terjadi penimbunan besf. Kadar besi yang berlebihan di dalam tubuh akan diubah menjadi feritin Gangguan berbagai fungsi organ dapat teijadi bila kadar feritin plasma lebih clan 2000 ng/m2 . Kadar feritin plasma yang tinggi dapat menyebabkan penurunan kadar seng dalam darah, karena besi dan seng bersaing pads saat akan berikatan dengan transferor (binding sife), setelah diabsorpsi pads mukosa jejunum dan ileum s,g
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
- Berapa rerata kadar seng plasma pada pasien thalassemia mayor ?
- Berapa besar korelasi antara kadar seng plasma dengan kadar feritin plasma?
- Apakah terdapat korelasi antara kadar seng dengan status gizi pasien thalassemia mayor ?
TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui rerata kadar seng plasma, serta korelasinya dengan kadar feritin plasma, dan status gizi pasien thalassemia mayor di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Perjan RSCM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali
"TUJUAN: (1) Mengetahui perubahan fungsi sistolik dan diastolik serta massa ventrikel kin pada remaja dan dewasa muda penderita Talasemia mayor dibandingkan dengan remaja dan dewasa muda normal. (2) Mengetahui hubungan antara kadar feritin serum dan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri yang diperoleh dengan pemeriksaan ekokardiografi pada remaja dan dewasa muda penderita Talasemia mayor.
TEMPAT PENELITIAN: Divisi Kardiologi dan Divisi Hematologi Anak FK UI/RSCM Jakarta
SUBYEK PENELITIAN: Remaja dan dewasa muda penderita Talasemia mayor yang menjalani pemeriksaan dan transfusi rutin di Pusat Talasemia RSCM sejak bulan Agustus - Desember 2005.
METODOLOGI: Dilakukan penelitian observasional dengan rancang bangun cross sectional. Data meliputi parameter hematologis pasien Talasemma mayor dan parameter fungsi sistolik ventrikel kiri (EF dan FS), fungsi diastolik ventrikel (E, A, rasio E/A, IVRT), serta massa ventrikel kiri (LVDDi, LVDSi, LVMi) dengan menggunakan mesin ultrasonografi Sonas 4500, transduser 8 MHz. Data diolah dengan SPSS versi 10. Dilakukan uji t, analisa regresi liner dan analisa multivariat dengan regresib multiple. Nilai a yang dipakai adalah 0,05. Jumlah subyek minimal yang diperlukan adalah 28.
HASIL : Dan 32 subyek Talasemia mayor yang diperiksa, 30 subyek diikutsertakan dalam penelitian. Fungsi sistolik dan diastolik Talasemia mayor lebih rendah dibanding kontrol dan perbedaan ini secara statistik bermakna. Rerata EF Talasemia mayor dan kontrol masing-masing adalah 66,1% (SB 4,9) dan 71,6% (SB 5,6) ; p < 0,0001. Rerata FS 36,0% (SB 3,7) dan 39,8% (SB 5,5) ; p = 0,003. Rerata rasio E!A Talasemia mayor dan kontrol masing-masing 2,14 (SB 0,4) dan 1,83 (SB 0,3); p = 0,002. Massa ventrikel kin Talasemia mayor secara bermakna lebih berat dibanding kontrol. Rerata LVMi (g/m2) Talasemia mayor dan kontrol masing-masing 111,1 (SB 30,8) dan 75,4 (SB 14,5); p < 0,0001. Dengan regresi linier sederhana dan regresi multipel dijumpai hubungan yang cukup kuat dan bermakna antara fungsi diastolik ventrikel kiri (rasio FA) dengan kadar feritin serum (r = 0,71;p < 0,0001).
KESIMPULAN: Fungsi sistolik dan fungsi diastolik remaja dan dewasa muda penderita Talasemia mayor telah mulai mengalami perubahan dan abnormalitas. Massa ventrikel kin remaja dan dewasa muda penderita Talasemia mayor lebih berat dari pada orang normal. Semakin tinggi kadar feritin serum semakin besar kemungkinan penderita Talasemia mayor untuk menderita gangguan fungsi diastolik.

OBJECTIVES: To detect the left ventricular systolic and diastolic functions and mass alteration among adolescents and young adults with Thalassemia major compared to those of normal adolescents and young adults, and to find out the relationship between serum ferritin level and left ventricular functions which are obtained from echocardiography examination.
SETTING: Division of Pediatric Cardiology and Hematology Department of Child Health, Medical Faculty, Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta
SUBJECTS: Adolescents and young adults with Thalassemia major whose got blood transfusion in Thalassemia Center Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta between August to December 2005.
METHODS: A cross-sectional study was conducted. The data includes the Thalassemia major patients' hematology data, left ventricular systolic function (EF and FS), and diastolic function (A, E, F/A ratio, IVRT), mass (LVDD1, LVDSi, LVMi) by using an ultrasonography Sonos 4500, transducer 8 MHz. That data were processed with SPSS version 10. The t test, liner regression and multiple regression analysis were performed. Statistical significant was assumed with a 0.05. The minimal number of subjects needed was 28.
RESULTS: Out of 32 Thalassemia major patients, 30 were enrolled to study. Left ventricular systolic and diastolic function of Thalassemia major patients were lower than the control and it was statistically significant.[ EF 66.1% (SD 4.9) and 71.6% (SD 5.6); p < 0.0001, FS 36.0% (SD 3.7) and 39.8% (SD 5.5); p = 0.003, E/A 2.14 (SD 0.4) and 1.83 (SD 0.3); p = 0.002], respectively. Left ventricular mass of Thalassemia major patients was greater than control, and it was statistically significant [LVMi (g/m2) 111.1 (SD 30.8) and 75.4 (SD 14.5); p < 0.0001], respectively. Linier and multiple regression analysis showed that there was significant and powerful relation between left ventricular diastolic function (E/A ratio) and serum ferritin ( r = 0.71; p < 0.0001).
CONCLUSION: The systolic and diastolic functions of adolescents and young adults with Thlassemia major have started to alter and abnormalities. The left ventricular mass of adolescents and young adults with Thalassemia major more than heavier that of a normal person. The higher the level of serum ferritin is, the more likely it is for Thalassemia major patient to suffer from diastolic abnormalities."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Taufik
"Pendahuluan: Beta thalassemia mayor (BTM) merupakan kelainan sintesis rantai beta globin yang menyebabkan penderitanya harus menjalani transfusi berulang untuk mempertahankan kadar hemoglobin. Hal tersebut dapat menyebabkan hemokromatosis di berbagai organ yang dapat menyebabkan komplikasi, termasuk diabetes melitus (DM). Terapi kelasi besi ditujukan untuk mengurangi hemokromatosis dan mencegah komplikasi, namun seringkali penderita tidak patuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kepatuhan terapi kelasi terhadap kejadian DM pada pasien BTM. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong-lintang. Tingkat kepatuhan terapi kelasi ditentukan menggunakan Morisky Medication Adherence Scale – 8 (MMAS-8), sementara data pemeriksaan laboratorium terkait DM (kadar glukosa darah sewaktu, puasa, dan 2 jam postprandial) didapatkan dari rekam medis. Subjek penelitian adalah penderita BTM di Pusat Kesehatan Ibu & Anak (PKIA) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kiara yang bersedia mengisi kuesioner dan memiliki data pemeriksaan laboratorium terkait. Analisis data dilakukan dengan Uji One- Way ANOVA dan Uji T Tidak Berpasangan. Hasil: Dari 50 penderita BTM yang menjadi subjek penelitian, sebagian besar (74%) memiliki tingkat kepatuhan terapi kelasi yang rendah. Ditemukan 1 (2%) subjek yang memiliki kondisi prediabetes. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tingkat kepatuhan terapi kelasi terhadap kadar glukosa darah sewaktu (p = 0,843, n = 35), kadar glukosa darah puasa (p = 0,776, n = 17), maupun kadar glukosa darah 2 jam postprandial (p = 0,863, n = 17). Kesimpulan: Tingkat kepatuhan terapi kelasi tidak berhubungan dengan kejadian DM yang ditentukan melalui kadar glukosa darah sewaktu, puasa, dan 2 jam postprandial
Introduction: Beta thalassemia major (BTM) is a disorder of beta globin chain synthesis that causes sufferers to undergo repeated transfusions to maintain hemoglobin levels. This can cause hemochromatosis, and in various organs can cause complications, including diabetes melitus (DM). Iron chelation therapy is intended to reduce hemochromatosis and prevent complications, but often sufferers do not comply. The purpose of this study was to determine the relationship of the level of adherence of chelation therapy to the occurence of DM in BTM patients. Method: This research is a cross-sectional study. The level of chelation therapy adherence was determined using the Morisky Medication Adherence Scale - 8 (MMAS-8), while laboratory examination data related to DM (random, fasting, and two hours post-prandial plasma glucose level) were obtained from medical records. The subjects were BTM sufferers at the Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) Kiara Hospital who were willing to fill out questionnaires and have relevant laboratory examination data. Data analysis was performed with One-Way ANOVA and Independent T-Test. Results: From BTM sufferers who were the subjects of the study, the majority (74%) had a low level of chelation therapy adherence. One (2%) subject were found to have prediabetes. No significant relationship was found between the level of chelation therapy adherence to random blood glucose levels (p = 0.843, n = 35), fasting blood glucose levels (p = 0.776, n = 17), and 2 hours post-prandial blood glucose levels (p = 0.863 , n = 17). Conclusion: The level of chelation therapy adherence is not related to the occurence of DM which is determined through random, fasting, and two hours post- prandial plasma glucose level."
Depok: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nora Sovira
"Akumulasi rantai globin-α berlebihan pada membran SDM thalassemia-β mayor menyebabkan hemolisis, eritropoiesis tidak efektif dan anemia kronik sehingga memerlukan transfusi sel darah merah (SDM) terus menerus. Transfusi rutin dan hemolisis mengakibatkan besi bebas sebagai radikal bebas dan membentuk radikal peroksil lipid di membran SDM sehingga memperberat hemolisis. Antioksidan α-tokoferol menghambat pembentukan radikal peroksil lipid tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai peran α-tokoferol terhadap hemolisis dan stres oksidatif. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda pada thalassemia-β mayor usia 5–18 tahun yang mendapat transfusi dan kelasi besi rutin di Pusat Thalassemia RSUP dr.Ciptomangunkusumo Kiara. Intervensi plasebo dan α-tokoferol diberikan selama empat minggu. Suplementasi α-tokoferol berdasarkan rekomendasi Institute of Medicine (IOM), 4–8 tahun 200 mg/hari; 9–13 tahun 400 mg/hari; 14–18 tahun 600 mg/hari. Penilaian penanda hemolisis menggunakan haptogobin (Hp), hemopeksin (Hx) dan fragilitas osmotik SDM. Penanda stres oksidatif yaitu MDA, GSH, GSSG, rasio GSH/GSSG dan α-tokoferol. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebelum dan setelah diberikan plasebo/α-tokoferol, sesaat sebelum transfusi SDM. Analisis uji t-tidak berpasangan untuk melihat perbedaan antara kelompok studi dan uji korelasi untuk melihat hubungan antara variabel.
Pada bulan Desember 2016 hingga Juli 2017, 40 subjek mampu menyelesaikan penelitian, 20 subjek kelompok plasebo dan 20 subjek kelompok α-tokoferol. Nilai rerata Hp lebih besar pada kelompok α-tokoferol (3,01 mg/dL) dibandingkan kelompok plasebo (1,08 mg/dL), secara statistik berbeda bermakna (p = 0,021). Nilai rerata kadar Hx dan persentase hemolisis SDM tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok studi (p > 0,05). Tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok α-tokoferol dan plasebo untuk kadar MDA (1,003 nmol/L dan 1,07 nmol/L), GSH (5,81 µM dan 6,15 µM), GSSG (1,77 µM dan 1,86 µM) dan rasio GSH/GSSG (1,29 dan 1,31), (P > 0,05).
Antioksidan α-tokoferol dapat mengurangi hemolisis dan secara tidak langsung memperbaiki kadar Hp pada thalassemia-β mayor, akan tetapi tidak mampu memengaruhi stres oksidatif.

The accumulation of excess unmatchedα-globin chains in the red blood cell membrane of β-thalassemia major leads to hemolysis, ineffective erythropoiesis and chronic anemia which needs multiple red blood cell transfusion. Routine transfusions may lead to iron overload as free radical in the red blood cell membrane, resulting clinically as severe hemolysis. Alpha-tocopherol as an antioxidant has been known as a potent scavenger of hydroxyl lipid radical.
The aim of this study was to evaluate the effects of α-tocopherol in hemolysis and oxidative stress on the red cell membrane in β-thalassemia major. This randomized double-blind, placebo-controlled study was done in β-thalassemia major patients range aged 5–18 years old who regularly had transfusion and receiving iron chelating agents at Thalassemia centre, Kiara Ciptomangunkusumo Hospital. All subjects were randomized to receive either α-tocopherol or placebo orally for 4 weeks. Subjects in the experimental group received α-tocopherol, the doses based on the recommendation from Institute of Medicine (IOM) as follows: 200 mg/day for 4–8 years old; 400 mg/day for 9–13 years old; 600 mg/day for 14–18 years old. Laboratory analysis for hemolysis variables were haptoglobin, hemopexin, osmotic fragility test. Oxidative stress and antioxidant variables were MDA, GSH, GSSG, GSH/GSSG ratio, and α-tocopherol. All variable were evaluated before 4 weeks and after consuming α-tocopherol or placebo, just before they received a blood transfusion. The statistical analysis results using independent t-test and correlation test.
During December 2016–July 2017, 40 subjects completed the study, they were 20 subjects in the placebo group and 20 subjects in the α-tocopherol group. There was significant enhancement of haptoglobin mean level in the α-tocopherol group (3.01 mg/dL) compared to placebo (1.08 mg/dL), (p = 0.021). The mean level of hemopexin and the percentage of RBC hemolysis did not significantly different in both groups, (p > 0.05). We also did not find any significantly different in mean level of MDA (1.003 nmol/L and 1.07 nmol/L), GSH (5.81 µM and 6.15 µM), GSSG (1.77 µM and 1.86 µM) and GSH/GSSG ratio (1.29 and 1.31), (p > 0.05) for the α-tocopherol and placebo groups.
The effects of α-tocopherol may improve hemolysis and haptoglobin level indirectly in β-thalassemia major, but there was no significant role in oxidative stress."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>