Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Andrea Maheswari Erli Putri
"Pada tahun 2020, Sephora meluncurkan kampanye The Unlimited Power of Beauty dalam tiga bentuk: film pendek, serial dokumenter, dan iklan cetak. Alih-alih menantang standar kecantikan tradisional, Sephora berupaya memberdayakan penonton melalui pola pikir bahwa setiap orang memiliki kekuatan kecantikan batin yang tidak terbatas. Berpandu studi sebelumnya tentang femvertising dan postfeminisme, menggunakan teori tata bahasa visual Kress dan van Leeuwen dan kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough, film pendek dan video dokumenter dianalisis untuk melihat bagaimana elemen visual dan auditori mereka disatukan untuk membentuk makna di dalam konteks feminisme interseksional. Meskipun elemen multimodal diimplementasikan secara koheren dengan teori tata bahasa visual dan sangat terhubung dengan setiap urutan, kampanye tersebut gagal untuk menyorot masalah feminisme interseksional dan malah memunculkan masalah sensibilitas postfeminisme. Hasil ini menunjukkan bahwa feminisme yang ditampilkan dalam kampanye ini adalah bentuk terapi individualisme yang didukung oleh neoliberalisme.
In 2020, Sephora launched The Unlimited Power of Beauty campaign in three forms: a short movie, a documentary series (docuseries), and printed advertisements. Instead of challenging traditional beauty standards, Sephora seeks to empower the audience through the mindset that everyone has the unlimited power of inner beauty. Guided by previous studies about femvertising and postfeminism, using Kress and van Leeuwen’s visual grammar theory and Norman Fairclough’s critical discourse analysis framework, the short movie and docuseries videos were analysed to see how their visual and auditory elements are put together to form a meaning within the context of intersectional feminism. Although the multimodal elements are implemented coherently to the visual grammar theory and strongly connected to each sequence, the campaign failed to address any intersectional feminism issues and instead posit an issue of postfeminism sensibility. This result suggests that the feminism shown in this campaign is a self-therapy endorsed by neoliberalism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Nataya Rizky Alifa
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan adanya unsur feminisme gelombang ketiga yang memberdayakan perempuan Jepang pasca Perang Dunia II dalam bentuk subkultur mode Harajuku Ama-Loli, dan menjelaskan pandangan pemakai mode Ama-Loli terhadap street fashion Lolita dan Ama-Loli itu sendiri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari buku atau jurnal artikel yang membahas mengenai feminisme, pemberdayaan perempuan, dan mode Lolita secara umum maupun yang dilakukan oleh Jepang, majalah-majalah lawas Jepang yang secara khusus menampilkan mode Lolita yang sudah diarsipkan secara digital, serta data informan yang diperoleh melalui wawancara personal dengan beberapa model Ama-Loli Jepang melalui sosial media. Perlu diperhatikan bahwa informasi dan umpan balik yang diperoleh melalui beberapa informan tidak dapat mewakili seluruh komunitas subkultur mode Ama-Loli di Harajuku. Penelitian ini membuktikan adanya unsur feminisme gelombang ketiga yang mendefinisikan ulang femininitas melalui pandangan perempuan dan menekankan pilihan perempuan untuk diberdayakan dalam subkultur mode Harajuku Ama-Loli.
This study aims to explain the existence of third wave feminism that empowers Japanese women post World War II in the form of the Harajuku fashion subculture Ama-Loli, and to explain Lolita street fashion and Ama-Loli through the eyes of Japanese Ama-Lolis themselves. The method used in this research is a qualitative method. The data collection technique is done by collecting data from several books or journal articles that discuss feminism, women’s empowerment, and Lolita fashion in general as well as those carried out by Japan, Japanese old magazines that specifically feature Lolita fashion that has been digitally archived, as well as informant data obtained through personal interviews with Japanese Ama-Loli models through social media. It should be noted that the feedback and input obtained through a couple informants cannot represent the entire Ama-Loli fashion subculture community in Harajuku. This study proves that there is an element of third wave feminism, which redefines femininity through the women’s point of view and how it emphasizes the women’s choice to feel empowered in the Harajuku fashion subculture, Ama-Loli."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library