Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Damayanti Athiah Wardana
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembinaan anak yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Tangerang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lembaga yang melakukan pembinaan bagi anak yang terpidana melakukan tindak pidana kekerasan seksual ialah Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan dibantu oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pembinaan anak di LPKA Kelas I Tangerang tidak sepenuhnya dibantu oleh Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Serang dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan kebijakan internal LPKA Kelas I Tangerang. Pembinaan bagi anak yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual juga tidak dibedakan dari anak yang melakukan tindak pidana lain, dan pembinaan khusus hanya akan diadakan ketika muncul hal yang sifatnya darurat. ...... This study aims to determine the rehabilitation development of juvenile sex offenders in the Youth Correctional Center (LPKA) Tangerang. The results showed that the criminal prosecution of juvenile sex offenders should be referred to the Law No. 11 Year 2012 on Children Criminal Justice System. Institutions which are providing supervision for children who are convicted of a criminal act of sexual violence is the Agency is assisted by the Special Child and Community Advisors. Rehabilitation development of children in LPKA Tangerang is not fully accompanied along by Social Counsellor (Pembimbing Kemasyarakatan) from The Central Penitentiary (Bapas) Serang due to limitation of human resources and internal policies of LPKA Tangerang. Guidance for juvenile sex offenders inside LPKA Tangerang is no different from children who commit other crimes, and special guidance will only be held when it appeared the nature of the issue a child has is an emergency.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64515
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Agustina Pandia
Abstrak :
ABSTRAK
Sebagai seorang individu yang belum matang, anak mempunyai kecenderungan untuk meniru apa yang mereka terima dari luar tanpa disaring lebih dahulu. Anak yang kurang/tidak memperoleh kasih sayang,asuhan,bimbingan dalam pengembangan sikap perilaku serta pengawasan dari orang tua mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang kurang sehat, melakukan perbuatan menyimpang bahkan perbuatan melanggar hukum dan adakalanya terpaksa diajukan ke muka pengadilan karena telah melakukan tindak pidana. Salah satu kejahatan yang Hilalmigiti oleh anak adalah kekerasan seksual, di mana yang menjadi korban dari kekerasan seksual ini adalah anak juga. Menyikapi hal tersebut penulis tertarik untuk mengambil permasalahan mengenai “Pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan atas tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak”. Lingkup permasalahan yang penulis teliti adalah : 1)faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan, 2)hambatan-hambatan yang dialami dan upaya mengatasinya, 3)serta bagaimana bentuk sanksi dan apakah hakim telah memberikan perlindungan terhadap anak.Di Indonesia telah berlaku UU No.3/1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No.23/2002 tentang Perlindungan AnakMelalui dua ketentuan inilah hakim antara lain mendasarkan penjatuhan putusan dalam perkara anak,selain tentunya dengan ketentuan lainnya. Hakim harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak, dimana kekerasan seksual telah mengakibatkan trauma dan rusaknya masa depan korban,namun dari sisi pelaku masa depan dan hak-haknya juga harus diperhatikan.Disinilah ungkapan “pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan” harus diwujudkan oleh hakim sebagai harapan dari masyarakat untuk memberikan keadilan. Penulis melakukan penelitian yuridis normatif yang disajikan secara kualitatif, ternyata didapati kesimpulan bahwa hakim dalam menyikapi ketentuan pidana minimum khusus dalam UU Perlindungan Anak adalah kembali menggunakan aturan umum yakni KUHP,oleh karena hakim menganggap sanksi pidana minimum 3 tahun dalam UU Perlindungan Anak tidak mewakili kepentingan terbaik bagi anak, pedoman pemidanaan perlu segera diatur secara tegas dan jelas dalam KUHP yang akan datang, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan adalah dapat berupa pidana penjara atau tindakan (kasus per kasus).
ABSTRACT
As an individual who has not been mature,children have a tendency to imitate what they receive from outside without filtered previously. Children who are less / not get affection, care, guidancein the development of behavior and attitude control of the parentseasy trail in the flow of the association community the less healthy, to act deviate even act against the law and sometimes forced to face a court asked to do because it was a crime. One of the crimes committed by children is sexual violence, in which victims of sexual violence is also a child. That the authors are interested to take the problems on "The judges decision is throwing up in the crime o f sexual violence committed by children against children". The scope of the problems that the author is thorough: 1) factors into consideration in the judge dropping decision, 2) barriers experienced and overcome the effort, 3) and how the form of sanctions and whether the judge has given the protection of children. Indonesia has been in effect on the Law No.3/1997 on Children's Court and Law No.23/2002 on Child Protection. Through the provision of two judges, among others, this is the base throwing decision in the matter of children, in addition of course to the other provisions. Judges must consider the best interests of the children, where sexual violence has resulted in trauma and damage to the future victims, but from the side of the future and their rights also must be considered. Is the expression "the court as the last fortress of justice" must be transformed by the judge as expectations of the people to give justice. Author juridical non-native research presented in qualitative, conclusion was found that the judge in the criminal provisions in the minimum special Child Protection Act is again using the general rule that the Penal Code, because the judge considered criminal sanctions minimum 3 years in the Child Protection Law does not represent the best interests of the children, sentencing guidelines need to be set explicitly and clearly in the Penal Code which will come, and form of sanctions that can be a form of imprisonment or criminal action (cases per case).
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26088
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Agustina Pandia
Abstrak :
ABSTRAK
Sebagai seorang individu yang belum matang, anak mempunyai kecenderungan untuk meniru apa yang mereka terima dari luar tanpa disaring lebih dahulu. Anak yang kurang/tidak memperoleh kasih sayang,asuhan,bimbingan dalam pengembangan sikap perilaku serta pengawasan dari orang tua mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang kurang sehat, melakukan perbuatan menyimpang bahkan perbuatan melanggar hukum dan adakalanya terpaksa diajukan ke muka pengadilan karena telah melakukan tindak pidana. Salah satu kejahatan yang Hilalmigiti oleh anak adalah kekerasan seksual, di mana yang menjadi korban dari kekerasan seksual ini adalah anak juga. Menyikapi hal tersebut penulis tertarik untuk mengambil permasalahan mengenai “Pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan atas tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak”. Lingkup permasalahan yang penulis teliti adalah : 1)faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan, 2)hambatan-hambatan yang dialami dan upaya mengatasinya, 3)serta bagaimana bentuk sanksi dan apakah hakim telah memberikan perlindungan terhadap anak.Di Indonesia telah berlaku UU No.3/1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No.23/2002 tentang Perlindungan AnakMelalui dua ketentuan inilah hakim antara lain mendasarkan penjatuhan putusan dalam perkara anak,selain tentunya dengan ketentuan lainnya. Hakim harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak, dimana kekerasan seksual telah mengakibatkan trauma dan rusaknya masa depan korban,namun dari sisi pelaku masa depan dan hak-haknya juga harus diperhatikan.Disinilah ungkapan “pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan” harus diwujudkan oleh hakim sebagai harapan dari masyarakat untuk memberikan keadilan. Penulis melakukan penelitian yuridis normatif yang disajikan secara kualitatif, ternyata didapati kesimpulan bahwa hakim dalam menyikapi ketentuan pidana minimum khusus dalam UU Perlindungan Anak adalah kembali menggunakan aturan umum yakni KUHP,oleh karena hakim menganggap sanksi pidana minimum 3 tahun dalam UU Perlindungan Anak tidak mewakili kepentingan terbaik bagi anak, pedoman pemidanaan perlu segera diatur secara tegas dan jelas dalam KUHP yang akan datang, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan adalah dapat berupa pidana penjara atau tindakan (kasus per kasus).
ABSTRACT
As an individual who has not been mature,children have a tendency to imitate what they receive from outside without filtered previously. Children who are less / not get affection, care, guidancein the development of behavior and attitude control of the parentseasy trail in the flow of the association community the less healthy, to act deviate even act against the law and sometimes forced to face a court asked to do because it was a crime. One of the crimes committed by children is sexual violence, in which victims of sexual violence is also a child. That the authors are interested to take the problems on "The judges decision is throwing up in the crime o f sexual violence committed by children against children". The scope of the problems that the author is thorough: 1) factors into consideration in the judge dropping decision, 2) barriers experienced and overcome the effort, 3) and how the form of sanctions and whether the judge has given the protection of children. Indonesia has been in effect on the Law No.3/1997 on Children's Court and Law No.23/2002 on Child Protection. Through the provision of two judges, among others, this is the base throwing decision in the matter of children, in addition of course to the other provisions. Judges must consider the best interests of the children, where sexual violence has resulted in trauma and damage to the future victims, but from the side of the future and their rights also must be considered. Is the expression "the court as the last fortress of justice" must be transformed by the judge as expectations of the people to give justice. Author juridical non-native research presented in qualitative, conclusion was found that the judge in the criminal provisions in the minimum special Child Protection Act is again using the general rule that the Penal Code, because the judge considered criminal sanctions minimum 3 years in the Child Protection Law does not represent the best interests of the children, sentencing guidelines need to be set explicitly and clearly in the Penal Code which will come, and form of sanctions that can be a form of imprisonment or criminal action (cases per case).
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37197
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Livi Elizabeth
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dan menjelaskan bagaimana peraturan hukum hak atas pemulihan bagi perempuan yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual melalui skema Dana Bantuan Korban. Dana Bantuan Korban merupakan sebuah bentuk kompensasi dari negara bagi korban tindak pidana kekerasan seksual apabila pelaku tidak dapat memberikan ganti rugi dalam bentuk restitusi. Restitusi atau ganti rugi dalam bentuk uang yang diberikan oleh pelaku kepada korban merupakan sebuah upaya untuk memulihkan hak korban tetapi tak serta merta korban bisa dapatkan. Dengan menggunakan Feminist Legal Method yang melihat pada pengalaman perempuan sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual, maka penelitian ini akan memakai empat putusan tindak pidana kekerasan seksual terkait restitusi. Penelitian ini juga memperlihatkan bagaimana korban perempuan sebagai korban seringkali semata-mata hanya dianggap sebagai saksi untuk mendakwa korban bukan sebagai korban dari perlakuan pelaku. Penelitian ini juga akan menganalisis bagaimana peran hukum di Indonesia terhadap pemenuhan hak korban tindak pidana kekerasan seksual dan implikasi dari adanya Dana Bantuan Korban di Indonesia. Lebih lanjut, penelitian juga dilakukan dengan menelaah serangkaian peraturan perundang-undangan dan wawancara dengan para narasumber terkait Dana Bantuan Korban untuk memperoleh data-data. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan skema Dana Bantuan Korban yang sejalan dengan Feminist Legal Theory sebagai hasil perjuangan hak perempuan dan reformasi hukum bagi perempuan. Oleh sebab itu, dengan adanya Dana Bantuan Korban diharapkan dapat membantu para korban perempuan yang seringkali tidak bisa mendapatkan hak atas pemulihan. ......This research was conducted with the aim of providing an understanding of and explaining how the law regulates the right to recovery for women who are victims of crimes of sexual violence through the Victim Trust Fund scheme. The Victim Trust Fund is a form of compensation from the state for victims of crimes of sexual violence if the perpetrators are unable to provide compensation in the form of restitution. Restitution or compensation in the form of money given by the perpetrator to the victim is an attempt to restore the victim's rights, but the victim does not necessarily get it. By using the feminist legal method, which looks at the experiences of women as victims of sexual violence, this research will use four decisions for sexual violence crimes related to restitution. This research also shows how female victims are often only seen as witnesses to indict victims, not as victims of the perpetrator's treatment. This research will also analyze the role of the law in Indonesia in fulfilling the rights of victims of sexual violence and the implications of the existence of a Victim Trust Fund in Indonesia. Furthermore, research was also carried out by examining a series of laws and regulations and conducting interviews with sources related to The Victim Trust Fund to obtain data. In addition, this research also shows that The Victim Trust Fund scheme is in line with feminist legal theory as a result of the struggle for women's rights and legal reforms for women. Therefore, with the existence of The Victim Trust Fund, it is hoped that it can help female victims, who often unable get their right to recovery.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Nurfadlillah
Abstrak :
Keadilan restoratif merupakan pendekatan yang dilakukan dalam penyelesaian perkara dengan partisipasi aktif dari korban maupun pelaku untuk mencapai kesepakatan penyelesaian yang adil sehingga tidak ada lagi pengulangan tindak pidana yang dilakukan pelaku dan pemenuhan kebutuhan korban yang telah diterapkan pendekatannya di Indonesia melalui Sistem Peradilan Pidana Anak yang tercantum pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tidak semua perkara anak dapat diterapkan pendekatan keadilan restoratif, salah satu syaratnya adalah tindak pidana yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana kesusilaan serius. Negara Selandia Baru dan Australia menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam hal penyelesaian perkara pada kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak, bentuk penerapannya keduanya menggunakan model keadilan restoratif konferensi keluarga, mediasi antara pelaku-korban dan bentuk lingkaran. Dalam praktiknya di Indonesia, banyak kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak menggunakan pendekatan keadilan restoratif, hasil dari penerapan keadilan restoratifnya sendiri bukan selalu berdamai namun anak dapat dikenakan pidana tindakan atau pidana dengan syarat sebagai bentuk wujud dari penerapan keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penulisan ini akan menganalisis bagaimana penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam hal penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak. ......Restorative justice is an approach employed in resolving cases with active participation from both the victim, offender, community leader, and restorative justice facilitator to achieve a fair agreement that prevents the repetition of criminal acts by the offender and fulfills the needs of the victim. This approach has been implemented in Indonesia through the Juvenile Criminal Justice System Act, as stated in Article 5, paragraph (1) of Law No. 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System. Not all cases involving children can be subjected to restorative justice; one of the requirements is that the committed crime should not be a serious sexual offense. New Zealand and Australia have implemented the restorative justice approach in resolving cases of sexual violence committed by minors, utilizing the restorative justice model of family conferences, mediation between the offender and victim, and circle processes. In practice in Indonesia, many cases of sexual violence committed by children have been addressed using the restorative justice approach. The outcome of implementing restorative justice is not always reconciliation, but rather the child may face punitive measures or conditional punishment as a form of restorative justice emphasizing restoration. By employing a normative juridical research method, this paper aims to analyze the application of the restorative justice approach in resolving cases of sexual violence committed by minors.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriel Maranatha
Abstrak :
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur bahwa Pengadilan harus merahasiakan informasi yang memuat identitas dari Saksi dan/atau Korban dalam putusan atau penetapan pengadilan. Merahasiakan informasi mengenai identitas korban tindak pidana kekerasan seksual merupakan hal yang penting sebagai wujud pengejawantahan dari hak pelindungan korban atas kerahasiaan identitas. Tulisan ini akan menganalisis bagaimana penerapan pengadilan dalam merahasiakan informasi dari identitas korban tindak pidana kekerasan seksual dalam putusan pengadilan. Dengan menggunakan metode penilitian doktrinal, Tulisan ini juga bertujuan untuk melihat perbandingan pengaturan mekanisme publikasi putusan antara Indonesia dengan Hongaria dan Italia, terkhusus dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual. Untuk memperdalam analisis, penulis mewawancari dua narasumber, yaitu Marc van Opijnen selaku Peneliti Publikasi Putusan dalam Uni-Eropa dan Marsha Maharani selaku Peneliti Isu Kekerasan Seksual dari Indonesia Judicial Research Society. Temuan dari tulisan ini adalah putusan-putusan yang tidak melakukan pengaburan informasi identitas tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia. Sayangnya, putusan tersebut dipublikasi dalam situs web Direktori Putusan Mahkamah Agung yang dapat diakses oleh umum yang makin mencederai hak pelindungan korban atas kerahasiaan identitasnya. Selain itu, temuan dari tulisan ini adalah ketiadaan pengaturan mekanisme yang mendetail yang dapat ditempuh oleh korban terhadap putusan pengadilan yang tidak merahasiakan identitas dirinya. Adapun ketiadaan pengaturan mekanisme ini dapat berkaca dari pengaturan yang ada di Hongaria dan Italia untuk menciptakan penanganan tindak pidana kekerasan seksual, dalam hal pengaburan informasi identitas korban dalam putusan pengadilan, yang berasas kepentingan terbaik bagi korban. ......The Statute Law Number 12 of 2022 concerning Sexual Violence Criminal Acts stipulates that the Court must maintain confidentiality of information containing the identities of Witnesses and/or Victims in court decisions or determinations. Maintaining the confidentiality of information regarding the identity of victims of sexual violence crimes is crucial as a manifestation of the right to protect the victim's identity. This paper will analyze how the courts implement the confidentiality of information regarding the identity of victims of sexual violence crimes in court decisions. Using the doctrinal research method, this paper also aims to compare the regulations on the publication mechanisms of judgments between Indonesia, Hungary, and Italy, specifically in cases of sexual violence crimes. To deepen the analysis, the author interviewed two informants, namely Marc van Opijnen as a Researcher on Court Decisions Publication in the European Union and Marsha Maharani as a Researcher on Sexual Violence Issues from the Indonesia Judicial Research Society. The findings of this paper reveal that some court decisions in Indonesia do not obscure the identities of victims of sexual violence crimes. Unfortunately, these decisions are published in website Direktori Putusan Mahkamah Agung, which is accessible to the public, thereby compromising the right to protect the victim's identity. Additionally, the paper found a lack of detailed mechanisms that victims can pursue against court decisions that do not maintain the confidentiality of their identities. The absence of these mechanisms can be reflected in the regulations in Hungary and Italy concerning the handling of sexual violence crimes, specifically in obscuring the identities of victims in court decisions, based on the best interests of the victim.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library