Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ria Herdjuntari
"ABSTRAK
Tinja adalah salah satu limbah rumah tangga yang dapat menimbulkan masalah lingkungan. Tetapi di samping itu sebenarnya tinja mempunyai potensi yang baik bila digunakan sebagai pupuk tanaman kerena mengandung unsur N, P, dan K cukup tinggi. Dalam rangka pemanfaatan sedimen tinja sebagai pupuk, telah dilakkukan percobaan pemupukan jagung hibrida dengan sedimen tinja dan pupuk NPK. Hasil percobaan ini dievaluasi dengan mengukur 4 parameter pertumbuhan jagung. Pertumbuhan vegetatif tanaman jagung dievaluasi dengan mengukur tinggi tanaman, dan diameter batang, sedangkan pertumbuhan generatifnya dengan menimbang berat basah tongkol tanpa kelobot dan berat kering tongkol tanpa kelobot. Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sedimen tinja dapat dipakai untuk memupuk tanaman jagung, walaupun tongkol jagung yang dihasilkannya tidak seberat tongkol jagung yang dipupuk dengan pupuk NPK."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Victor
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraini Irma Susanti
"[ABSTRAK
Latar belakang. Kolitis infeksi adalah proses inflamasi pada usus besar yang disebabkan oleh infeksi bakteri patogen, seperti Shigella, Salmonella, E.coli, dan Campylobacter. Dibuktikan dengan pemeriksaan kultur tinja, tetapi biayanya cukup mahal, perlu waktu dan tidak selalu tersedia di semua fasilitas kesehatan. Rekomendasi WHO jumlah lekosit lebih dari 10 per LPB untuk Shigella disentriae dengan klinis disentri dan merupakan indikasi pemberian antibiotika. Sering ditemukan anak diare dengan lekosit kurang dari 10/LPB tetapi hasil kultur positif bakteri patogen. Mencari hubungan jumlah lekosit tinja dengan kejadian diare yang disebabkan infeksi bakteri patogen yang memerlukan terapi antibiotika.
Tujuan. Mengetahui prevalensi, sebaran bakteri patogen, nilai leukosit mikroskopik tinja pada anak dengan kolitis infeksi bakteri. Mengetahui hubungan leukosit tinja dengan kultur tinja dan pola sensitivitas antibiotika pada kolitis infeksi bakteri.
Metode. Penelitian deskriptif dengan metode potong lintang dan uji diagnostik untuk menilai sensitivitas hitung leukosit tinja untuk mendiagnosis kolitis infeksi bakteri. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari bulan Januari- Juni 2015.
Hasil. Dari 45 subjek penelitian ditemukan kultur positif pada 19 subjek (42,2%). Bakteri terbanyak yang ditemukan adalah E.coli (79%), Salmonella sp. (10,5%), dan C.difficille (10,5%). Pada titik potong ROC ditemukan nilai lekosit >8 per LPB dengan sensitivitas 0,654 dan spesifisitas 0.632. E.coli masih memperlihatkan sensitivitas cukup tinggi terhadap kloramfenikol dan siprofloksasin tetapi tidak terhadap sefiksim. Salmonella sp. sensitif terhadap kloramfenikol, sefiksim, dan seftriakson, sedangkan C. difficile sensitif terhadap Seftriakson.
Simpulan. Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 19 (42,2%) subyek penderita diare hasil kultur tinja positif bakteri patogen dan pada titik potong ROC ditemukan nilai lekosit > 8 per LPB dengan sensitivitas 65.4% dan spesifisitas 63.2%. Pada pola sensitivitas antibiotika, E.coli sensitif terhadap kloramfenikol dan siprofloksasin dan Salmonella dan C.difficile sensitif terhadap seftriakson.

ABSTRACT
Background. Infective colitis is an inflammatory process in the colon caused by pathogenic bacterial infection, such as Shigella, Salmonella, E.coli, and Campylobacter. Diagnosis is made by fecal culture, but the cost is relatively expensive, time-consuming, and not readily available in every health facility. WHO recommends that fecal leukocyte more than 10 per HPF for the diagnosis of Shigella disentriae with clinical symptom of dysentriae and indicated for antibiotic treatment. Often there are diarrheic children with leukocyte less than 10/HPF but the culture is positive for pathogenic bacteria. This study would like to look for the relationship between fecal leukocyte and incidence of diarrhea caused by pathogenic bacteria infection that requires antibiotic therapy.
Objective. To study the prevalence, distribution of pathogenic bacteria, leukocyte count in fecal microscopic test in children with bacterial infective colitis. To study the relationship between fecal leukocyte and fecal culture with sensitivity pattern of antibiotics in bacterial infective colitis.
Methods. Descriptive, cross-sectional study and diagnostic test to study the sensitivity of fecal leukocyte count in diagnosing bacterial infective colitis. Study was performed in the Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, from January to June 2015.
Results. From 45 study subjects, positive culture was found in 19 subjects (42.2%), and the most common bacteria were E.coli (79%), Salmonella sp. (10.5%), and C. difficille (10,5%). At the ROC we found leukocyte count >8 per HPF as cutoff point with 0.654 sensitivity and 0.632 specificity. E. coli still showed relatively high sensitivity to chloramphenicol and ciprofloxacin, but not to cefixime. Salmonella sp. were sensitive to chloramphenicol, cefixime, and ceftriaxone, while C. difficile were sensitive to ceftriaxone.
Conclusion. In this study there were 19 (42.2%) subjects with diarrhea, with positive fecal culture for pathogenic bacteria. At the ROC cutoff point we found leukocyte count > 8 per HPF with 65.4% sensitivity and 63.2% specificity. On the antibiotic sensitivity pattern, E. coli was sensitive to chloramphenicol and ciprofloxacin, while Salmonella dan C.difficile were sensitive to ceftriaxone, Background. Infective colitis is an inflammatory process in the colon caused by pathogenic bacterial infection, such as Shigella, Salmonella, E.coli, and Campylobacter. Diagnosis is made by fecal culture, but the cost is relatively expensive, time-consuming, and not readily available in every health facility. WHO recommends that fecal leukocyte more than 10 per HPF for the diagnosis of Shigella disentriae with clinical symptom of dysentriae and indicated for antibiotic treatment. Often there are diarrheic children with leukocyte less than 10/HPF but the culture is positive for pathogenic bacteria. This study would like to look for the relationship between fecal leukocyte and incidence of diarrhea caused by pathogenic bacteria infection that requires antibiotic therapy.
Objective. To study the prevalence, distribution of pathogenic bacteria, leukocyte count in fecal microscopic test in children with bacterial infective colitis. To study the relationship between fecal leukocyte and fecal culture with sensitivity pattern of antibiotics in bacterial infective colitis.
Methods. Descriptive, cross-sectional study and diagnostic test to study the sensitivity of fecal leukocyte count in diagnosing bacterial infective colitis. Study was performed in the Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, from January to June 2015.
Results. From 45 study subjects, positive culture was found in 19 subjects (42.2%), and the most common bacteria were E.coli (79%), Salmonella sp. (10.5%), and C. difficille (10,5%). At the ROC we found leukocyte count >8 per HPF as cutoff point with 0.654 sensitivity and 0.632 specificity. E. coli still showed relatively high sensitivity to chloramphenicol and ciprofloxacin, but not to cefixime. Salmonella sp. were sensitive to chloramphenicol, cefixime, and ceftriaxone, while C. difficile were sensitive to ceftriaxone.
Conclusion. In this study there were 19 (42.2%) subjects with diarrhea, with positive fecal culture for pathogenic bacteria. At the ROC cutoff point we found leukocyte count > 8 per HPF with 65.4% sensitivity and 63.2% specificity. On the antibiotic sensitivity pattern, E. coli was sensitive to chloramphenicol and ciprofloxacin, while Salmonella dan C.difficile were sensitive to ceftriaxone]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almer Zaidan Basyir Kiat
"Sistem pengolahan lumpur tinja yang baik mutlak diperlukan untuk menciptakan kondisi sanitasi yang ideal serta masyarakat yang sehat. Di area DKI Jakarta, total cakupan layanan sistem pengolahan air limbah domestik hanya mencapai 22,43% pada tahun 2021. IPLT Duri Kosambi merupakan salah satu IPLT di DKI Jakarta yang memiliki kapasitas desain 900 m3 /hari. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengevaluasi sistem pengolahan konvensional pada IPLT Duri Kosambi dan memeberikan saran optimasi berdasarkan hasil evaluasi untuk mencapai hasil efluen yang memenuhi baku mutu. Evaluasi yang dilakukan mencakup parameter desain dan metode operasional, dengan parameter uji yang mencakup padatan total, padatan volatil, BOD5, COD, fecal coliform, pH, suhu, dan oksigen terlarut. Beberapa hasil yang diperoleh mencakup penyisihan padatan total dan volatil sebesar 92,82% dan 97%, penyisihan fecal coliform sebesar 1,82 log removal pada saringan & aerobic digester dan 3,52 log removal pada kolam stabilisasi. Permasalahan desain dan metode operasional mencakup level daya aerator kolam fakultatif yang melebihi batas, penempatan saluran outlet, ketiadaan media filter pada bak pengering lumpur, endapan lumpur pada kolam anaerobik dan fakultatif, kerusakan peralatan, serta filtrat bak pengering lumpur yang tidak diresirkulasi. Optimasi yang disarankan berupa penggunaan aerator sesuai kebutuhan oksigenasi, penempatan ulang saluran inlet dan outlet, revitalisasi media filter, serta pelaksanaan metode operasional yang sesuai standar.

A good sludge treatment system is essential to create ideal sanitation conditions and a healthy community. In the DKI Jakarta area, the total coverage of domestic wastewater treatment systems only reached 22.43% in 2021. IPLT Duri Kosambi is one of the wastewater treatment facilities in DKI Jakarta with a design capacity of 900 m3 /day. The aim of this research is to evaluate the conventional treatment system at IPLT Duri Kosambi and provide optimization suggestions based on the evaluation results to achieve effluent that meets quality standards. The evaluation includes design parameters and operational methods, with test parameters including total solids, volatile solids, BOD5, COD, fecal coliform, pH, temperature, and dissolved oxygen. Some of the results obtained include the removal of total and volatile solids by 92,82% and 97%, respectively, fecal coliform removal by 1,82 log removal in the screening & aerobic digester, and 3,52 log removal in the stabilization pond. Design and operational problems include the facultative pond aerator power level exceeding the limit, incorrect placement of outlet channels, absence of filter media in the sludge drying bed, sludge deposits in anaerobic and facultative ponds, equipment damage, and the non-recirculation of filtrate from the sludge drying bed. The suggested optimization measures include using aerators according to oxygenation needs, repositioning inlet and outlet channels, revitalizing filter media, and implementing operational methods that adhere to the standards."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Tri Ayudia
"Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan pengolahan air limbah yang dirancang hanya menerima dan mengolah lumpur tinja yang berasal dari sistem setempat yang diangkut melalui sarana pengangkutan lumpur tinja. Lumpur tinja yang dihasil tersebut tentu harus diolah terlebih dahulu agar sesuai dengan baku mutu yaitu, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 68 Tahun 2016 Tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Namun demikian, dalam proses pengolahan air limbah ini, tidak dapat dihindari kemungkinan terlepasnya pencemar udara mikrobiologis (bioaerosol) ke udara sekitar. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sumber pencemar, mengetahui total bakteri dan jamur di udara serta perbedaan konsentrasi bakteri dan jamur pada musim kemarau dan musim hujan, dan meninjau faktor lingkungan (suhu, kelembaban, dan Kecepatan angin) yang mempengaruhi konsentrasi. Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau dan hujan dengan masing-masing lima hari pengambilan dan dilakukan di empat titik pada IPLT Kalimulya Depok (unit bak pengisian, digester anaerob, pemekat lumpur, dan biofilter aerob-anaerob). Dari hasil penelitian, rata-rata konsentrasi bakteri pada musim kemarau yaitu unit bak pengisian sebesar 243±265 CFU/m3, pemekat lumpur sebesar 155±326 CFU/m3, digester anaerob sebesar 154±157 CFU/m3, dan biofilter aerob anaerob sebesar 76±122 CFU/m3. Sedangkan pada musim hujan konsentrasi bakteri yaitu unit bak pengisian sebesar 33±24 CFU/m3, pemekat lumpur sebesar 25±62 CFU/m3, biofilter aerob-anaerob sebesar 21±20 CFU/m3, dan digester anaerob sebesar 16±13 CFU/m3. Kemudian pada musim kemarau, konsentrasi jamur pada pemekat lumpur sebesar 516±554 CFU/m3, unit bak pengisian sebesar 364±202 CFU/m3, digester anaerob sebesar 340±181 CFU/m3, dan biofilter aerob-anaerob sebesar 231±201 CFU/m3. Sedangkan pada musim hujan konsentrasi jamur pada unit bak pengisian sebesar 58±39 CFU/m3, pemekat lumpur sebesar 55±33 CFU/m3, digester anaerob sebesar, 36±32 CFU/m3, dan biofilter aerob-anaerob sebesar 32±23 CFU/m3. Sehingga, diketahui konsentrasi bakteri tertinggi ditemukan pada unit bak pengisian pada musim kemarau dan terendah pada digester anaerob pada musim hujan. Konsentrasi jamur tertinggi ditemukan di pemekat lumpur pada musim kemarau dan terendah pada biofilter aerob-anaerob pada musim hujan. Konsentrasi bakteri dan jamur berada dibawah standar baku mutu. Sedangkan korelasi antara faktor lingkungan terhadap konsentrasi bakteri dan jamur ditemukan di beberapa tempat dan terdapat juga perbedaan konsentrasi bakteri dan jamur pada musim kemarau dan musim hujan.

Sewage Treatment Plants (STPs) are wastewater processing systems that are designed to process only stool mud received from local systems of stool mud transport. The stool mud received must be processed so that it abides to the standard of quality according to the Regulation of the Minister of the Environment Number 68 Year 2016 concerning Domestic Wastewater Quality Standards. However, in the treatment process, there is a probability for a microbiological air pollutant (bioaerosol) to be produced that cannot be avoided. This research aims to analyze the source of pollution, the total amount of bacteria and fungi in the air, the difference of bacteria and fungi concentration between the dry and rainy season, and observe the environmental factors (temperature, humidity, wind speed) that affects bacteria and fungi concentration. This research was done during the dry and rainy season, each for a 5 day period in four observation points at the Kalimulya Depok STP (filling unit, anaerobic digester, mud concentrator and aerobic-anaerobic biofilter). The results of this research shows that the average bacteria concentration during the dry season is 243±265 CFU/m3 at the filling unit, 155±326 CFU/m3 at the mud concentrator, 154±157 CFU/m3 at the anaerobic digester, and 76±122 CFU/m3 at the aerobic-anaerobic biofilter. During the rainy season, the average bacteria concentration is 33±24 CFU/m3 at the filling unit, 25±62 CFU/m3 at the mud concentrator, 21±20 CFU/m3 at the aerobic-anaerobic biofilter, and 16±13 CFU/m3 at the anaerobic digester. The average fungi concentration during the dry season is 516±554 CFU/m3 at the mud concentrator, 364±202 CFU/m3 at the filling unit, 340±181 CFU/m3 at the anaerobic digester, and 231±201 CFU/m3 at the aerobic-anaerobic biofilter. As for the rainy season, the average fungi concentration is 58±39 CFU/m3 at the filling unit, 55±33 CFU/m3 at the mud concentrator, 36±32 CFU/m3 at the anaerobic digester, and 32±23 CFU/m3 at the aerobic-anaerobic biofilter. It can be seen that for the bacteria concentration, its highest value occurs at the filling unit during the dry season while its lowest value occurs at the anaerobic digester during the rainy season. For the fungi concentration, its highest value occurs at the mid concentrator during the dry season while its lowest value occurs at aerobic-anaerobic biofilter during the rainy season. The bacteria and fungi concentration values lie below the standard of quality. There are several correlations between environmental factors and the bacteria and fungi concentration values in some of the observed locations. There is also a difference between the bacteria and fungi concentration during the dry season and the rainy season.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Shara
"Anaerobic digester merupakan unit limbah menjadi energi yang dapat mengurangi masalah limbah organik dan menghasilkan energi berupa biogas namun membutuhkan waktu yang lama dan menghasilkan produksi biogas yang kurang optimal. Oleh karenanya dilakukan prapengolahan untuk mengatasinya. Pengujian BMP dilakukan selama 39 hari pada suhu 35±1°C untuk melihat pengaruh prapengolahan kimiawi dengan penambahan 0,1mol/L dan 0,04mol/L NaOH terhadap produksi biogas dan biodegradibilitas lumpur tinja. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa NaOH sebagai alkali dalam prapengolahan kimiawi tidak menunjukkan kinerja yang optimal jika diterapkan pada lumpur tinja. Penambahan NaOH tidak mengoptimalkan pembentukan biogas dan metana kumulatif. Produksi biogas dari sampel tanpa prapengolahan sebesar 5,99 ml sedangkan untuk dosis 0,1 mol/L dan 0,04 mol/L masing-masing memproduksi 5,01 dan 2,06 ml biogas selama 39 hari. Produksi kumulatif metana tanpa prapengolahan sebesar 11,79 mlCH4/gVS dan untuk penambahan 0,1mol/L dan 0,04mol/L masing-masingnya 11,36 dan 6 mlCH4/gVS. Namun, prapengolahan dapat meningkatkan biodegradibilitas dengan meningkatkan efisiensi pengurangan VS dan COD sebesar 76,76% dan 40,91% untuk dosis 0,1 mol/L dan 48,72% dan 75,45% untuk dosis 0,04mol/L. Persentase pengurangan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan lumpur tinja tanpa prapengolahan dengan persen pengurangan untuk VS dan COD sebesar 40,91% dan 66,67%.

Anaerobic digester is waste to energy unit that not only overcome organic waste problem but also produce energy in the form of biogas. However, anaerobic digestion process need a long retention time and biogas produced is not optimal so pretreatment prior to anaerobic process is necessary. BMP assay conducted in 39 days at 35±1°C to investigate effects of chemical pretreatment on biogas production and biodegradability of faecal sludge. Results shows that NaOH as alkali reagen in chemical pretreatment did not give an optimal results. Unpretreated sludge produce 5,99 ml biogas and addition of 0,1mol/L and 0,04mol/L NaOH produce 5,01 ml and 2,06 respectively. Chemical pretreatment also can not increase the cumulative methane yield (CMY). CMY of unpretreated sludge is 11,79 mlCH4/gVS and for pretreated sludge of 0,1mol/L and 0,04 mol/L are 11,36 dan 6 ml CH4/gVS respectively. Although chemical pretreatment can not increase biogas production and CMY, it can inrease the biodegradability of faecal sludge. Efficiency of VS and COD reduction of 0,1 mol/L are 76,76% and 40,91%; and for 0,04 mol/L are 48,72% and 75,45%. Meanwhile the reduction of VS and COD of unpretreated faecal sludge are 40,91% and 66,67% which less than the pretreated faecal sludge.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S65709
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohmatun Inayah
"ABSTRAK
Volume lumpur tinja yang harus dikelola oleh Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) akan meningkat seiring dengan peningkatan frekuensi penyedotan lumpur tinja melalui program Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi produksi metana lumpur tinja berdasarkan kerutinan penyedotan tangki septik. Sembilan sampel diambil dari Kelurahan Pademangan Barat-Jakarta Utara, Kelurahan Kemanggisan-Jakarta Barat, dan Kelurahan Kukusan-Depok dengan tingkat kerutinan penyedotan setiap 1-3 tahun, 3-10 tahun, dan >10 tahun. Uji Biochemical Methane Potential (BMP) dilakukan selama 7 minggu dengan perbandingan Volatile Solid (VS) substrat dan inokulum sebesar 1:2. Hasil analisis menunjukkan bahwa lumpur tinja mampu memproduksi metana pada rentang 142-242 ml CH4/ gr VS. Adapun lumpur tinja dengan frekuensi pengurasan tangki septik pada rentang 1-3 tahun memiliki potensi yang cenderung lebih tinggi dibandingkan lumpur tinja dengan frekuensi penyedotan lebih dari 3 tahun. Optimalisasi pemanfaatan tingginya potensi ini dapat dilakukan melalui penerapan teknologi pengolahan lumpur tinja Anaerobic Digester (AD) pada skala IPLT.

ABSTRACT
The volume of septage that must be managed by Septage Treatment Plant (IPLT) will increase with increasing frequency of septage desluding through Scheduled Septage Desludging Program (LLTT). This study was conducted to determine the methane potential production of septage at various frequency ranges septic tanks desludging. Nine samples were taken from Kelurahan Pademangan Barat-Jakarta Utara, Kelurahan Kemanggisan-Jakarta Barat, and Kelurahan Kukusan-Depok with frequency of desludging every 1-3 years, 3-10 years, and >10 years. Tests were conducted using Biochemical Methane Potential (BMP) Assay methods for 7 weeks by ratio Volatile Solid (VS) substrate to inoculum 1: 2. The result showed that the septage has specific methane yield in the range of 142-242 ml CH4 / g VS. Septage with frequency desludging septic tank in the range of 1-3 years have higher potential than septage with the frequency of desludging over 3 years. Optimizing the utilization of this high potential can be done through the application of septage treatment technology by Anaerobic Digester (AD) in IPLT scale."
2016
S65131
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firda Fairuza
"Latar belakang. Kolestasis terkait sepsis (KTS) masih merupakan permasalahan medis di negara berkembang disebabkan tingginya morbiditas, mortalitas dan lama rawat. Inflamasi usus akibat disfungsi sawar usus diduga berperan dalam KTS sehingga perlu dibuktikan perannya terhadap terjadinya KTS. Inflamasi dan permeabilitas mukosa usus dapat dinilai melalui kadar kalprotektin dan alfa-1 antitripsin (AAT) pada tinja.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara terjadinya KTS pada sepsis neonatorum dengan inflamasi dan gangguan permeabilitas usus yang dinilai dengan peningkatan kadar kalprotektin dan α-1-antitripsin dalam tinja. Metode. Studi kohort prospektif di ruang rawat inap Perinatologi dan Neonatal Intensive Care Unit Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode Juni 2012- Oktober 2013. Delapan puluh neonatus diambil secara consecutive sampling dari 271 subjek proven sepsis yang dirawat pada periode studi ini, terbagi menjadi 2 kelompok (KTS dan sepsis tidak kolestasis) masing-masing 40 subjek. Dilakukan pemeriksaan kadar kalprotektin dan AAT tinja.
Hasil penelitian. Tidak ditemukan perbedaan antara KTS dan sepsis tidak kolestasis dalam ekskresi kalprotektin tinja [KTS vs. sepsis tidak kolestasis, median (rentang) 104,4 (25 sampai 358,5) vs. 103,5 (5,4 sampai 351) μg/g; p = 0,637] dan alfa-1 antitripsin tinja [median (rentang) 28 (2 sampai 96) vs. 28 (2 sampai 120) mg/dL; p = 0,476). Tidak ditemukan peningkatan bermakna kadar kalprotektin tinja dengan nilai p = 0,63 (IK 95% 0,4 sampai 3,6) dan kadar AAT tinja dengan nilai p=0,152 (IK 95% 0,4 sampai 3,3).
Simpulan. Kadar kalprotektin dan alfa-1 antitripsin tinja tidak terbukti dapat memprediksi kejadian KTS pada sepsis neonatorum. Tidak ada bukti proses inflamasi usus yang terjadi pada KTS melalui peningkatan permeabilitas paraselular usus. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai patogenesis inflamasi usus yang terjadi melalui peningkatan permeabilitas trans-selular dan kerusakan enterosit usus pada KTS.

Background. Sepsis-associated cholestasis (SAC) remain a medical problem in developing countries due to high morbidity, mortality and length of hospital. Intestinal inflammation as the causes of intestinal barrier dysfunction are suspected play a role in SAC, so it is necessary to prove its contribution to SAC. Intestinal inflammation and increased permeability were assessed through faecal calprotectin and alpha-1 antitrypsin (AAT) concentrations.
Objective. To determine the association between SAC in sepsis neonatorum with intestinal inflammation and permeability were assessed through increased faecal calprotectin and AAT levels.
Methods. This was cohort prospective study at Perinatologi and Neonatal Intensive Care Unit Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital during June 2012 to October 2013. Eighty neonates were obtained by consecutive sampling, of which 271 proven sepsis hospitalized in this period, devided 2 groups (SAC and non cholestasis sepsis) respectively 40 subjects. Faecal calprotectin and AAT concentrations was measured.
Results. There was no significant association between SAC and faecal calprotectin excretion [SAC vs. non cholestasis sepsis, median (range) 104.4 (25 to 358,5) vs. 103.5 (5.4 to 351) μg/g; p = 0.637] and faecal AAT [median (range) 28 (2 to 96) vs. 28 (2 to 120) mg/dL; p = 0.476). Increased faecal calprotectin (CI 95% 0.4 to 3.6; p = 0,63) and AAT (CI 95% 0.4 to 3.3; p=0.152) did not differ significantly between the two groups.
Conclusions. Faecal calprotectin and alpha-1 antitrypsin concentrations is not associated with SAC in sepsis neonatorum. There is no evidence of intestinal inflammation causes increased paracellular intestinal permeability in SAC. Further research is needed on the pathogenesis of intestinal inflammation in SAC which may result in increased intestinal permeability by transcellular and enterocyte damage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laila Fitria
"Kontaminan yang paling sering dijumpai pada makanan adalah bakteri. Bakteri dapat berasal dari berbagai sumber di lingkungan, termasuk dari tinja manusia dan hewan yang tertular ke dalam makanan karena perilaku penjamah makanan, pencucian peralatan yang tidak bersih, dan penggunaan air pencuci yang berulang kali. Salah satu tempat pengolahan makanan yang mendapat perhatian adalah Kantin FKM UI, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa air bilasan dan piring makan yang tersedia di kantin tersebut telah terkontaminasi bakteri Coliform dan Faecal Coliform. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menurunkan jumlah bakteri kontaminan pada air bilasan dan piring makan dari kantin tersebut dengan cara penambahan asam cuka dengan volume tertentu ke dalam air bilasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan asam cuka sebanyak 9 ml pada 2 liter air bilasan hingga mencapai pH 4 berhasil menurunkan jumlah bakteri selain E. coli pada air bilasan dan pada piring makan. Sedangkan penurunan jumlah bakteri E. coli baru tampak setelah penambahan asam cuka sebanyak 90 ml pada 2 liter air bilasan hingga mencapai pH 3. Namun hal tersebut dianggap bias, karena keterbatasan teknik pemeriksaan bakteri dengan Total Plate Count yang sangat mengandalkan kemampuan penaamatan visual.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati efek penambahan asam cuka dalam air bilasan terhadap penurunan E. coli dengan menggunakan metode pemeriksaan laboratorium yang lebih khusus (menggunakan media selektif untuk pertumbuhan E. coli)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Hendri Amirudin Anwar
"IPLT Depok adalah unit pelaksana teknis instalasi pengolahan lumpur tinja pada dinas kebersihan dan pertamanan Kota Depok. Volume tinja yang masuk ke IPLT Depok per hari berjumlah minimal 60 m3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi biogas dari limbah tinja dari IPLT Depok dengan menggunakan reaktor anaerob skala laboratorium kapasitas 5 liter tipe batch dengan pengaduk tipe internal mechanical mixing. Nilai potensi biogas terbaik adalah 30,9 liter biogas per kg TS, dinilai kurang berpotensi karena jauh dibawah literatur yang diketahui nilainya 250-300 L biogas/ kg TS (Xu Yang,2012) atau 380 L biogas/ kg TS (Polprasert,1989). Komposisi biogas terbaik terjadi pada reaktor 2 yaitu 68,83 % metana.Efisiensi penyisihan nilai COD terbaik adalah 32,5%.

IPLT Depok is an fecal waste treatment technical unit plant in Depok cleanliness and landscaping service. Total minimum volume of feces daily get in IPLT Depok is 60 m3. This study aims to determine the potential of biogas from sludge from IPLT Depok using 5 liter capacity laboratory-scale anaerobic batch reactor with internal type mechanical stirrer mixing. The best value of the biogas potency is 30.9 liters of biogas per kg TS, it is considered less potential because the value is below the known literature value is 250-300 L biogas / kg TS (Xu Yang, 2012) or 380 L biogas / kg TS (Polprasert, 1989) . The best composition of biogas is occurred in reactor 2, it has 68.83% metana. The best efficiency of COD removal value is 32.5%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42295
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>