Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S7648
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Onghokham
Abstrak :
Socioeconomic history of Chinese Indonesian in Java, Indonesia; collected articles
Depok: Komunitas Bambu, 2005
951 ONG r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Komunitas Bambu, 2008
305.8 PEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Groeneveldt, W. P. (Willem Pieter), 1841-1915
Depok: Komunitas bambu, 2018
959.8 GRO n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nio, Joe Lan
Jakarta: Keng Po, 1961
305.895109 NIO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Widiatmo
Abstrak :
https://lib.ui.ac.id/unggah/skripsi/127258#:~:text=Diaspora%20Tionghoa%20merupakan,dalam%20Politik%20Global. ......The Chinese diaspora is one of the oldest and largest diaspora communities that are dispersed all over the globe. The Chinese Diaspora is widely perceived as a transnational actor who contributes significantly to the advancement of China's national interests. However, in reality China's approach to these communities is often different and seems inconsistent, both in policy and in the definition of the Chinese Diaspora itself. Therefore, this paper attempts to map out China's approach and view of the Chinese Diaspora from time to time, in particular region of Southeast Asia. This literature review uses a taxonomic method by reviewing 42 academic works that is categorized into three main themes: 1) global migration, 2) identity construction, and 3) China's foreign policy towards the Chinese Diaspora. The author then finds that not all existing literature views and portrays the Chinese Diaspora as an agent or instrument for China's foreign interests. In this case, the Chinese Diaspora is also seen as a multidimentional and diverse subject, and has its own experiences. The Chinese diaspora is then not always viewed as an actor, agent, or instrument for the interests of China or its host-society state in Global Politics.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dhyah Utami
Abstrak :
Gue dan lu ialah dua pronomina persona dialek Melayu Betawi yang secara etimologis berasal dari bahasa lisan Tionghoa dialek Hokkian, yaitu goa dan lu yang masing-masing bermakna `aku' dan `engkau'. Karena pada kedua kata tersebut terkandung makna dan sifat persaudaraan atau persahabatan, kedua pronomina persona tersebut dapat digunakan secara resiprokal oleh penutur dan petutur untuk menunjukkan keakraban di antara mereka. Setakat ini, banyak pengguna pronomina gue dan lu yang tidak mengetahui asal-muasal kedua pronomina tersebut. Bagi sebagian orang, gue dan lu bukan merupakan bentuk pronomina yang santun sehingga tidak patut digunakan. Namun, kedua pronomina tersebut kerap digunakan pada media massa, terutama televisi. Penelitian ini ditujukan untuk melihat ada atau tidaknya penggunaan pronomina gue dan lu pada kelompok responden dosen dan responden kelompok mahasiswa. Di samping itu, penelitian ini juga dilakukan untuk melihat bagaimana penilaian kepatutan penggunaan pronomina gue dan lu pada dua kelompok responden, yaitu responden kelompok dosen dan responden kelompok mahasiswa S1 program regular Universitas Indonesia, Depok. Dengan menggunakan parameter kekuasaan (K) dan solidaritas (S), para responden, yang bertindak sebagai penutur dan petutur, diminta menilai kepatutan penggunaan pronomina gue dan lu yang digunakan pada lingkungan keluarga dan lingkungan kampus, baik saat responden sebagai penutur maupun petutur. Di samping menggunakan parameter K dan S, pada penelitian ini juga digunakan beberapa variabel penyela yang berupa usia responden, bahasa pertama responden, dan lama tinggal responden di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pada lingkungan keluarga, diketahui bagaimana penilaian kepatutan kedua kelompok responden tersebut saat berperan sebagai anak yang menilai kepatutan penggunaan pronomina gue dan lu saat berbicara dengan anggota keluarga batih yang lain. Sementara itu, di lingkungan kampus diketahui bagaimana penilaian kepatutan kedua kelompok responden tersebut saat mereka berperan sesuai dengan status mereka di kampus, yaitu sebagai dosen dan mahasiswa, yang menilai kepatutan penggunaan kedua pronomina tersebut saat berbicara dengan anggota kampus yang sestatus. Pada penelitian ini ditemukan bahwa ketidakresiprokan penggunaan pronomina gue dan lu oleh para peserta tutur tidak harus diartikan sebagai wujud dari kurangnya keakraban (-S) di antara mereka.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T11696
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustopa
Abstrak :
Penelitian ini berangkat dari fenomena warga Tionghoa yang memeluk Islam. Tidak sebagaimana agama Hindu atau Katolik, beralihnya warga keturunan Tionghoa pada agama Islam melahirkan ragam wacana dan pendapat, terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Peralihan agama yang dilakukan sebagian komunitas ini menyisakan sejumlah persoalan terutama karena masih kuatnya kesenjangan pergaulan antara warga keturunan Tionghoa dengan warga pribumi. Sebagian orang kemudian mempertanyakan, benarkah orang-orang Tionghoa telah memeluk Islam? Meski tema dan wacana pembauran sudah jauh ditinggalkan secara akademis, namun tema ini tetap menjadi agenda bahasan sebagian warga keturunan Tionghoa yang selama ini masih mendapat sangkaan-sangkaan buruk dan perlakuan diskriminatif dari masyarakat pribumi Indonesia. Dalam kaitan dengan pembauran ini sebagian kalangan menilai, bahwa di antara media yang paling bisa mempertemukan dan mendekatkan warga Tionghoa dengan penduduk pribumi adalah dengan menjadi Muslim. Alasannya sederhana, bahwa dengan memeluk agama yang dipeluk mayoritas pribumi, warga Tionghoa dengan sendirinya akan diterima dengan baik dan juga diperlakukan secara baik dan alamiah oleh warga pribumi. Alasan demikian mengemuka karena Islam menjadikan seorang Muslim sebagai saudara bagi Muslim lainnya. Masalah kemudian muncul. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa dengan menjadi Muslim tidak serta merta warga Tionghoa diterima dan disambut dengan baik oleh warga pribumi. Sebagian memang merasa senang dan menerima dengan tangan terbuka warga Tionghoa yang sudah menjadi Muslim. Namun, sebagian warga pribumi yang lain tidak menganggap sama sekali kelslaman warga Tionghoa. Kalangan ini menilai, bahwa pasti ada sesuatu yang disembunyikan warga Tionghoa terkait dengan Islam yang mereka peluk. Sebagian warga pribumi ini lantas mencurigai dan mempertanyakan keislaman warga Tionghoa di Indonesia. Dan pihak Tionghoa sendiri terungkap, bahwa tidak semua dari warga keturunan ini memeluk Islam karena alasan dan keyakinannya pada agama tersebut. Sebagian memang memeluk Islam karena faktor hidayah (petunjuk) yang diterima orang Tionghoa yang bersangkutan. Namun, ada beberapa juga dari mereka yang memeluk Islam bukan karena alasan Islam semata, atau karakul tertarik dengan ajaran-ajarannya, tapi karena ada kepentingan lain di balik itu. Alasan yang lazim mengemuka dalam lslamnya warga Tionghoa dalam kasus ini adalah soal perkawinan, atau agar urusan dan kepentingan bisnis mereka menjadi lancar. Kerangka teori yang digunakan untuk menjelaskan masalah ini adalah teori hubungan antar suku bangsa. Teori tersebut dikembangkan oleh karena jalinan hubungan yang tercipta di antara mereka, sepanjang sejarahnya, melahirkan stereotip dan prasangka pada masing-masing pihak. Stereotip dan prasangka inilah yang kemudian dijadikan acuan penilaian masing-masing pihak dalam memandang, memahami dan mengikapi komunitas yang dianggap berbeda, yakni warga Tionghoa terhadap warga pribumi, dan warga pribumi terhadap warga Tionghoa. prasangka ini sendiri, sebagaimana diterangkan Mclemore, dilatarbelakangi oleh sejumlah factor. Di antara factor utama yang melatarbelakangi stereotip adalah transmisi budaya, pengalaman pribadi, dan identitas group atau etnosentrimse. Dan situ kemudian terlihat, bahwa ktsangsian warga pribumi terhadap keislaman warga Tionghoa dilatarbelakangi oleh kuatnya stereotip dan prasangka yang bersarang dalam kesadaran warga pribumi. Kesadaran demikian dimiliki warga pribumi dan tertanam kuat dalam budaya yang mereka miliki dan sekaligus menjadi media penilaian mereka saat berinteraksi dengan warga Tionghoa. Dengan kata lain. kesadaran yang tidak baik ini menjadi modal yang kuat bagi warga pribumi untuk menilai siapa dan bagaimana sesungguhnya warga Tionghoa, dan bagaimana pula Islam yang mereka anut. Menjelaskan pendapat Suparlan (2004), Islam dalam hal ini karenanya bukanlah media yang bisa mencairkan hubungan warga pribumi dengan warga Tionghoa. Islam dalam kerangka ini hanya menjadi media yang berpotensi menciptakan pembauran dan kedekatan warga pribumi dan Tionghoa. Menjadi Islam, dengan kata lain, tidak otomatis meneiptakan kcdekatan warga pribumi dengan etnik Tionghoa. Elemen sejati yang bisa menciptakan kedekatan dan mencairkan kebekuan hubungan warga pribumi dengan warga Tionghoa adalah pergaulan dan komunikasi yang inten di antara mereka.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Bona Ricki Jeferson
Abstrak :
Setiap warga negara memiliki kesamaan kedudukan di dalam hukum dan berkehidupan bernegara. Selain itu, setiap warga negara juga berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis. Namun bentuk-bentuk tindakan yang merugikan atau viktimisasi masih saja di alami oleh mereka yang beretnis minoritas seperti halnya etnis Tionghoa. Melalui pendekatan penelitian kualitatif dengan menambahkan proses survei terhadap mereka yang beretnis Tionghoa di Kota Jakarta menjelaskan bahwa Double victimization yang dirasakan oleh etnis Tinghoa adalah situasi atau keadaan yang membuat seseorang atau sekelompok orang etnis Tionghoa menjadi korban karena sudah diterima sebelum kejadian kejahatan terjadi. Stereotipe dan prasangka menimbulkan unsur kebencian yang dilakukan oleh kelompok lain terhadap etnis tersebut sudah tertanam di setiap benak masyarakat umum. Berdasarkan pada klasifikasi korban, maka etnis Tionghoa di katakan sebagaiĀ socially weak victims, yaitu kaum minoritas yang memiliki posisi sosial lemah dalam tatanan masyarakat dan memiliki tendensi yang cukup tinggi untuk menjadi korban ataupun dieksploitasi oleh elemen kejahatan. Stigma and Social Identity yang melekat pada mereka yang beretnis Tionghoa, sebagai mana dijelaskan oleh Goffman menciptakan sarana untuk mengelompokkan orang dan atribut pelengkap yang dianggap wajar dan alami bagi setiap anggota kelompok yang pada dasarnya merugikan mereka yang beretnis Tionghoa.
Every citizen has the same position in the law and has a state of life. In addition, every citizen also has the right to protection against any form of racial and ethnic discrimination. However, forms of harm or victimization are still experienced by those who are ethnic minorities like the Chinese. Through a qualitative research approach by adding a survey process to those of Chinese ethnicity in the City of Jakarta, it was explained that Double victimization felt by ethnic Tinghoa was a situation or situation that made a person or group of ethnic Chinese victims because they were received before the crime occurred. Stereotypes and prejudices create an element of hatred carried out by other groups towards ethnicity that has been embedded in the minds of the general public. Based on the classification of victims, Chinese are said to be socially weak victims, namely minorities who have a weak social position in the society and have a high tendency to become victims or be exploited by elements of crime. The Stigma and Social Identity inherent in those who are ethnic Chinese as explained by Goffman creates a means to classify people and complementary attributes that are considered natural and natural for each group member which basically harms those of Chinese ethnicity.
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T52100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Made Arya Suta Wirawan
Abstrak :
ABSTRAK
Di saat banyak orang Tionghoa yang sudah kokoh dengan identitas keagamaannya sebagai seorang Nasrani, Islam, dan Buddha, serta diakuinya Kong Hu Cu sebagai agama yang paling erat dengan identitas etnik orang Tionghoa di Indonesia, namun kenyataanya terdapat sebuah komunitas Tionghoa yang memilih untuk memeluk agama Hindu yang dianggap sebagai agama minoritas. Bagi sebagian besar orang, hal ini tentu menjadi pertanyaan. Selama ini publik terjerembab pada sebuah bentuk stereotipe tentang orang Tionghoa yang dianggap oportunis yakni berlindung di bawah pengaruh penguasa atau struktur dominan. Di sisi yang lain, masyarakat menilai bahwa Hindu bukan agama mayoritas sehingga sedikit banyak mempengaruhi peluang-peluang positif yang akan di raih oleh orang Tionghoa itu sendiri.

Penelitian yang bersetting di Jakarta ini ingin menjelaskan tentang alasan orang Tionghoa memilih Hindu sebagai identitas keagamaan mereka serta usaha mereka dalam mempertahankan identitas mereka ini. Selain memaparkan tentang dinamika sejarah komunitas mereka, penelitian ini juga mau menjelaskan tentang mengapa integrasi antara Tionghoa dan Hindu menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan (paling tidak untuk saat ini).
Abstract
While many Chinese people who have strong religious identity as a Christian, Islam, and Buddhism, as well as recognition of Confucianism as a religion that most closely with the ethnic identity of the Chinese in Indonesia, but in reality there is a Chinese community that chose to convert to Hinduism which is considered as a minority religion. For most people, this is certainly a question. During the public this fall on a form stereotypes about people who are considered opportunistic Tionghoa which was under the influence of the ruling or dominant structure. On the other hand, the community considered that the majority Hindu religion is not so much affect slightly positive opportunities that will be achieved by the Tionghoa itself.

This Research that takes place in Jakarta is to explain about the reason the Chinese chose their religious identity of Hindus as well as their efforts in maintaining their identity is. In addition to describing the dynamics of the history of their community, this study would also explain why the integration between the Tionghoa and the Hindu to be something difficult to do (at least for now).
2012
T30988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>