Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chandrawati Hasanah
"Hiruk pikuk kehidupan ibukota menuntut perpindahan terjadi dengan cepat. Hal ini menjadikan ruang transisi sebagai ruang yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari dan membentuk ruang transit sebagai ruang yang mewadahi transisi manusia dari titik A ke titik B. Fungsi dan interioritas ruang transit merupakan konsep yang bertolak belakang. Desakan kesibukan membuat fungsi dikedepankan dibanding interioritas ruang transit. Interioritas yang tidak tersampaikan memicu perilaku seenaknya dari user seperti perilaku user pada lost space yang berakibat pada pengabaian ruang dan berakhir dengan rusaknya ruang tersebut sehingga ruang tersebut bahkan tidak mampu untuk memenuhi fungsinya. Tugas akhir ini berisi tentang usaha menggapai interioritas ruang transit untuk mencegah kecenderungan ruang transit menjadi lost space dengan memanfaatkan mekanisme pertahanan spasial.

Rush in city life demands people to move efficiently from point A to point B which makes transitional space as an unavoidable space in daily life. Function and interiority of transitional space are concepts which work in dualism, but the force of rush makes the function to be more prioritized than the interiority. Interiority which is not conveyed properly drives unintended user behaviour such as act in lost space. The act makes desertion of space which ends up with space selfdestruction. It even makes the space incapable to fulfill its function.This final project contains an effort to prevent the tendency of lost space and reach the proper interiority of transitional space by applying spatial defense mechanism."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Allya Widiaputri
"DKI Jakarta menghadapi kemacetan lalu lintas sebagai masalah utama karena pertumbuhan penduduk yang cepat dan imigrasi yang tidak terkendali. Pemerintah DKI Jakarta menerapkan dan mengembangkan berbagai inovasi untuk mengatasi masalah tersebut mulai dari angkutan umum seperti sistem bus milik swasta, dan kini DKI Jakarta akhirnya mengembangkan Mass Rapid Transition atau yang lebih dikenal dengan MRT. Pemerintah DKI Jakarta meminta PT MRT Jakarta mengembangkan konsep kawasan transit oriented development (TOD) di beberapa stasiun tahap 1 koridor selatan-utara. Transit Oriented Development (TOD) adalah kawasan perkotaan yang dirancang untuk mengintegrasikan fungsi transit dengan orang, aktivitas, gedung, dan ruang publik dengan tujuan untuk mengoptimalkan akses transportasi umum sehingga dapat mendukung daya dukung penumpang. Karena transit disorot sebagai ciri utama MRT, tentunya akan terlihat bagaimana liminalitas dilihat dan diamati di Stasiun MRT, terutama di Stasiun MRT Bundaran HI karena posisinya menjadi stasiun pertama dan stasiun terakhir di MRT Jakarta dan menjadikan Stasiun MRT terpadat dan tersibuk di Jakarta. Penelitian ini akan melakukan analisis dari observasi peneliti di Bundaran Stasiun MRT HI dan pengalaman penumpang di Bundaran Stasiun MRT HI terhadap teori liminalitas. Peneliti melakukan wawancara kepada 4 orang peserta tentang pengalamannya di Stasiun MRT Bundaran HI. Pengalaman mereka menunjukkan bagaimana mereka secara tidak sadar mengalami liminalitas melalui elemen-elemen yang ada di Stasiun MRT Bundaran HI. Stasiun MRT Bundaran HI terbukti sebagai ruang liminal karena karakteristiknya yang menentukan batas, zona pemisah, peralihan dan penggabungan.

DKI Jakarta is facing traffic congestion as its main problem due to rapid population growth and uncontrollable immigration. DKI Jakarta government implemented and developed various innovation to overcome this problem from public transportation like private-owned bus systems, and now DKI Jakarta finally develops Mass Rapid Transition or more well known as MRT. DKI Jakarta government prompted PT MRT Jakarta to develop the concept of a transit oriented development (TOD) area at several stations in phase 1 of the south-north corridor. Transit Oriented Development is an urban area designed to integrate transit functions with people, activities, buildings, and public spaces with the aim of optimizing access to public transportation so that it can support passenger carrying capacity. As transit is highlighted as the main characteristic of MRT, this will definitely how liminality is seen and observable in MRT Station, especially in Bundaran HI MRT Station for its setting of being the first station and the last station in the Jakarta MRT and cause the most crowded and busiest MRT Station in Jakarta. This study will conduct an analysis from researcher observation of Bundaran HI MRT Station and passengers’ experience in Bundaran HI MRT Station towards liminality theory. The researcher conducts an interview to 4 participants about their experience in Bundaran HI MRT Station. Their experiences show how they unconsciously experience the liminality through the elements in the Bundaran HI MRT Station. Bundaran HI MRT Station is approved to be a liminal space because of its characteristics that define the limit, the zones of separation, transition, and incorporation."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salvia Claresta Aurel
"Ruang transisi yang secara desain difungsikan untuk sirkulasi, seringkali mengalami pemaknaan ulang akibat aktivitas tubuh yang terus bergerak di dalamnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang kota tidak selalu digunakan sebagaimana dimaksudkan oleh rancangan formal, melainkan diproduksi ulang melalui interaksi sehari-hari yang bersifat situasional. Dalam konteks ini, apropriasi ruang menjadi indikator penting untuk memahami dinamika ruang kota, yakni ketidaksesuaian antara struktur spasial yang dirancang dengan realitas penggunaan ruang yang terbentuk dari tindakan, persepsi, dan kebutuhan pengguna sehari-hari. Seperti yang dibahas oleh Alexander (1965) dalam A City is Not a Tree, kota tidak bisa dipahami sebagai struktur hierarkis yang teratur sepenuhnya; melainkan sebagai sistem yang kompleks dan dipenuhi oleh lapisan aktivitas yang tidak selalu bisa diatur oleh desain.
Studi ini menggunakan kerangka pemikiran Ana Luz (2004) yang memahami ruang transisi sebagai ruang in-between, yakni ruang yang memperoleh maknanya melalui aktivitas tubuh yang melintas, berhenti, dan merespons ruang secara situasional. Diperkaya dengan teori persepsi dari Gibson (2015), yang menyatakan bahwa persepsi ruang terbentuk melalui interaksi langsung antara tubuh dan lingkungannya, terutama melalui gerakan. Untuk memahami pola gerak pengguna KRL, penelitian ini juga mengacu pada teori 7(tujuh) fase threshold oleh Boettger (2014). Di sisi lain, strategi apropriasi oleh PKL dianalisis menggunakan konsep taktik dalam praktik sehari-hari dari Michel de Certeau (1984). Studi dilakukan melalui metode kualitatif dengan pendekatan observasi, pemetaan spasial, dan wawancara informal. Studi menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara ekspektasi desain formal dengan realita praktik penggunaan ruang. Temuan ini menunjukkan bahwa ruang transisi di Stasiun Tebet telah mengalami transformasi makna menjadi ruang sosial yang aktif melalui proses apropriasi, pembacaan ritme, dan taktik spasial.

Transitional spaces, originally designed for circulation, are often reinterpreted through the continuous movement of bodies passing through them. This phenomenon demonstrates that urban space is not always used as intended by formal planning but is instead continually reproduced through situational and tactical everyday interactions. Spatial appropriation thus becomes a crucial indicator to understand the dynamics of urban space, specifically, the disjunction between formally designed spatial structures and the lived realities shaped by user actions, perceptions, and needs. This study emphasizes that the city should not be viewed merely as an orderly hierarchical structure, but as a complex system layered with activities that cannot always be dictated by design.
This study employs Ana Luz’s (2004) theoretical framework of transitional space as in-between space, wherein spatial meaning emerges through bodily acts of passing, pausing, and responding to spatial cues in situ. This perspective is reinforced by Gibson’s (2015) ecological theory of perception, which asserts that spatial understanding is not merely visual but arises through direct corporeal engagement with the environment—principally via movement. To examine user locomotion in the station context, the study draws on Till Boettger’s (2014) model of seven threshold phases. Concurrently, the adaptive strategies of street vendors are interpreted through Michel de Certeau’s (1984) theory of everyday tactics as a mode of spatial negotiation. Using a qualitative approach combining visual observation, spatial mapping, and informal interviews, the findings reveal a notable divergence between the normative logic of spatial design and the situated practices that redefine the space in use. These observations demonstrates that the transitional spaces at Tebet Station have undergone a shift in spatial meaning, evolving from neutral conduits of movement into socially activated environments through layered processes of appropriation, embodied perception, and tactical inhabitation.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library