Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Intan Apriliani Syaridatul Mu`minah
"ABSTRAK
DSSuperDose v.1.0 merupakan sebuah in-house Treatment Planning System (TPS) yang dikembangkan oleh Laboratorium Fisika Medis dan Biofisika (LFMB) Universitas Indonesia sebagai suatu perangkat lunak perencanaan terapi pesawat teleterapi cobalt-60. Validasi in-house TPS menjadi parameter penting dalam prosedur jaminan kualitas suatu perangkat lunak perencanaan radioterapi. Verifikasi perhitungan manual, perbandingan dengan ISIS TPS, dan pengukuran dosis serap untuk berbagai kondisi berkas dilakukan terhadap tiga unit pesawat teleterapi cobalt-60. Pengukuran dosis serap dilakukan dengan teknik penyinaran SSD tetap, menggunakan detektor bilik ionisasi di titik pengukuran pada sumbu pusat berkas pada media fantom air. Pengolahan data dan evaluasi dilakukan berdasarkan rekomendasi IAEA dalam TRS 430. Performa in-house TPS optimal untuk memberikan perencanaan terapi teknik SSD tetap pada kondisi berkas terbuka dan penggunaan tray yaitu untuk kedalaman hingga 10 cm (≤ 10 cm), dan ukuran lapangan antara 5×5 hingga 20×20 cm2, sementara untuk penggunaan wedge adalah ukuran lapangan yang lebih kecil dari ukuran dimensi fisik wedge. Perhitungan waktu penyinaran oleh in-house TPS juga menunjukkan kesesuaian yang cukup baik terhadap perhitungan waktu penyinaran oleh ISIS TPS yaitu mencapai 96 %. Dengan demikian, in-house TPS ini sudah cukup akurat sebagai suatu perangkat lunak perencanaan terapi. Akurasi perhitungan in-house TPS dipengaruhi data masukan (input) berkas TPS yang digunakan sebagai basic beam data, dan algoritma perhitungan dalam TPS

ABSTRACT
DSSuperDose v.1.0 is an in-house Treatment Planning System (TPS) developed by Medical Physics and Biophysics Laboratory (LFMB) University of Indonesia as a treatment planning software for cobalt-60 teletherapy unit. Performance validation of TPS calculation is an essensial part in quality assurance (QA) of computerized planning systems for radiotherapy. Verification through manual calculations, comparison to ISIS TPS, and measurements of absorbed dose for varied beam conditions was performed with three teletherapy units. Absorbed dose were measured at central beam axis with an ionization chamber in water phantom. Data evaluation based on IAEA recommendation in TRS 430. In-house TPS gives optimal planning for open and tray beam conditions with depth of isocenter less than 10 cm (≤ 10 cm), and field size 5×5 until 20×20 cm2, while for wedge beam conditions with field size less than the physical size of wedge. Comparison of in-house TPS and ISIS TPS demonstrated a good match of 96 %. From the results, it is concluded that in-house TPS is accurate for treatment planning software of radiotherapy. Accuration of in-house TPS affected by basic beam datas, and calculation algorithm"
2015
S60175
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Octavianus
"Tujuan: Pasien lansia memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi lemah. Kerentanan menyiratkan bahwa stresor kecil dapat memiliki implikasi negatif yang besar pada domain fisik dan psikologis pada lansia. Alat skrining G-8 dapat mengidentifikasi pasien lansia dengan kanker yang berpotensi rentan. Oleh karena itu kami memutuskan untuk menyelidiki karakteristik demografis lansia dan kegunaan G-8 yang dalam memprediksi toksisitas akut dan penambahan Overall Treatment Time (OTT) pada lansia dengan kanker yang mendapat Radioterapi (RT).
Metode: Sebuah studi prospektif observasional dilakukan. Subjek berusia ³ 60 tahun dan didiagnosis menderita kanker serta dirujuk ke Instalasi Pelayanan Terpadu Onkologi Radisi RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo. Kami menilai skor G-8 pada subjek sebelum memulai RT. Kami mencatat toksisitas akut dan OTT dan mengidentifikasi prediktor potensial, termasuk hasil G-8.
Hasil: Sejumlah 52 pasien menjadi subjek penelitian dengan usia rata-rata 67 tahun (60-81). Menurut G-8, 65% pasien berpotensi rentan. Dari seluruh subjek, 21% menderita kanker kepala leher, 29% kanker ginekologi, 23% kanker payudara, 27% kanker lainnya. Delapan puluh satu persen (81%) subjek mendapat RT dengan tujuan kuratif dan 19% untuk paliatif. Toksisitas akut ³ derajat 3 terjadi di 32 % subjek yang berpotensi lemah dan 0% subjek yang fit (p=0,007). Penambahan OTT terjadi pada 61,8% subjek berpotensi lemah dan 27,8% subjek yang fit (p=0,020). sejumlah 50% subjek tidak mengalami penambahan OTT, 29% subjek ≤ 3 hari dan 21% >3 hari (rentang penambahan OTT 1 – 40 hari). Toksisitas sangat terkait dengan jenis kelamin, lokasi kanker primer, pemberian kemoterapi konkuren, stadium saat diagnosis, penilaian skor G-8, dan dosis total RT. Skor G-8 yang lebih rendah adalah satu-satunya faktor yang berhubungan dengan penambahan OTT. Pada analisis multivariat hanya pemberian kemoterapi konkuren yang berhubungan dengan toksisitas akut ³ 3, OR 21 (95% CI 2,9 – 151,4; p=0,003).
Kesimpulan: G-8 dikaitkan dengan tingkat toksisitas ³ 3 dan penambahan OTT pada pasien lansia dengan kanker mendapat RT. Studi prospektif di masa depan yang menyelidiki apakah G8 adalah prediktor yang baik untuk luaran hasil klinis lain dan kesintasan sangat perlu dilakukan dalam konteks lokal.

Aims: Older patients at a higher risk of being frail. Frailty implies that even a minor stressor can have major negative implications on physical, psychological domains. G-8 screening tool shows good screening properties for identifying vulnerable elderly patients with cancer. We therefore decided to investigate the demographic patient characteristics and utility of G-8 associated with acute toxicity and prolonged Overall Treatment Time (OTT) in elderly cancer patients treated with Radiation Therapy (RT).
Materials and methods: A prospective observational cohort study is performed. Patients were eligible if aged 60 years or over and diagnosed with cancer and referred for RT at Department of Radiotherapy Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. We use the G-8 questionnaire at consecutive patients before starting RT. We recorded acute toxicity and prolonged OTT and identified potential predictors, including the G-8 score.
Results: We investigated 52 patients with a median age of 67 years. From all those subjects, 21% had head and neck cancers, 29% gynaecology cancers, 23% breast cancers, 27% other cancers. Eighty one percent subjects were treated for curative-intent and 19% for palliative RT. According to the G8 score, 65% of the patients were potentially frail. Toxicity grade ≥3 was observed among 32% subjects who were potentially frail according to the G8 and 0% of subject who were fit (p=0.007). Prolonged OTT was observed in 61,8% of potentially frail subject according to the G8 and 27,8 % of subject who were fit (p=0.020). For prolonged OTT 50% subjects have no prolonged OTT, 29% subjects ≤ 3 days and 21% >3 days (range 1 – 40 days prolonged OTT). Toxicity is strongly associated with gender, type of primary cancer, chemotherapy concurrent, stagging at diagnosis, G-8 score, total dose RT. Lower G-8 score was the only factor that associated with prolonged OTT. On multivariate analysis only chemoradiation was strongly associated with toxicity grade ≥3 OR 21 (95% CI 2.9 – 151,4; p=0.003).
Conclusions: G-8 was associated with toxicity grade ≥ 3 and prolonged OTT in older patients with cancer who received RT. Future prospective studies should investigate whether the G8 is a good predictor for other relevant clinical outcomes and survival in our local settings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budiyono
"ABSTRAK
Sebagaimana kebanyakan rumah sakit di Indonesia, rumah sakit kepolisian pusat RS. Sukanto Jakarta, yang disebut juga Rumkit Polpus, saat ini tengah menghadapi masalah kekurangan tanaga, khususnya tenaga perawat. Usulan guna menambah tenaga tersebut tidak pernah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, sehingga masalah ini menjadi kronis namun tetap faktual.
Penelitian ini bertnjuan mencari penyelesaian terbaik dalam menghadapi masalah di atas dengan jalan menganalisa tingkat produktivitas waktu asuhan keperawatan pada unit rawat inap interna, yaitu besarnya prosentase pemanfaatan waktu kerja yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan langsung dan kegiatan tidak langsung. Dengan mengetahui tingkat produktivitas ini, kita dapat mengetahui apakah masalah tadi masih memungkinkan untuk diselesaikan tanpa penambahan tenaga, tapi cukup dengan melakukan efisiensi terhadap penggunaan tenaga yang ada atau dengan kata lain meningkatkan produktivitas waktu kerjanya.
Penelitian didisain secara deskriptif analitis, untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu produktivitas waktu asuhan keperawatan sebagai variabel terikat dan karakteristik perawat, ruang perawatan serta shift kerja sebagai variabel bebas. Teknik pengumpulan data secara cross sectional menggunakan metoda work sampling terhadap semua perawat yang bertugas di ruang rawat inap interna Rumkit Polpus sebagai responden. Selanjutnya analisa bivariate dilakukan menggunakan uji t dan / atau uji F (Uji Anova) dengan memakai bantuan komputer, yaitu program minitab.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa produktivitas waktu asuhan keperawatan di unit rawat inap interna hanya 56.36 %. Hal ini cukup rendah dibandingkan standar yang diharapkan. Dari bhsil uji statistik, produktivitas tersebut berhubungan dengan shift kerja, status perkawinan, kepangkatan, masa kerja, status ketenagaan dan pendidikan tambahan dari pada perawat yang bersangkutan.
Perawat-perawat yang mempunyai jabatan atruktural, yang umurnya makin tinggi, yang mempunyai masa kerja lebih lama dan yang telah mendapatkan pendidikan tambahan ternyata lebih jarang melaksanakan kegiatan langsung. Waktu kerja mereka pada umumnya lebih banyak digunakan untuk kegiatan tidak langsung atau kegiatan non fungsional yang merupakan tuntutan organisasi. Dengan demikian penulis menyarankan bahwa untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga di Rumkit Polpus adalah dengan jalan, antara lain :
1. Mengingat produktivitas perawat pada unit rawat inap interna Rumkit Polpus masih di bawah standar, maka dalam jangka pendek until mengatasi masalah tersebut adalah dengan jalan meningkatkan produktivitas yang ada Hal ini dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan pengetaluan / keterampilan, partisipasi dalam seminar / diskusi, meningkatkan motivasi kerja dan menanamkan rasa sense of belonging.
2. Melatih tenaga non medis agar dapat membantu melaksanakan kegiatan asuhan keperawatan yang sederbana dan memanfaatkan alumni SPK / Akper mink menjalani masa wajib kerja terlebih dahulu di Rumkit Polpus sebelum diangkat menjadi pegawai negeri atau bekerja pada instansi kesehatan swasta
3. Menambah jumlah perawat yang bertugas setiap hari serta mengubah proporsi perawat tersebut ke dalam dinas masing-masing shift kerja yang disesuaikan dengan beban kerja
Daftar Pustaka : 40 (1975 - 1995 )

ABSTRACT
Productivity Related Factors Of Nursing-Care-Time At "Interna" Ward Unit Of Central Police Hospital RS. Sukanto Jakarta As most of Indonesian hospitals, The Central Police Hospital RS. Sukanto in Jakarta, which is used to be named Rumkit Polpus, currently facing a problem of lacking of labor-force, especially nurses. A proposition to recruit more nurses is just never happened to fulfill the urgent need, so the problem is getting worse but still factual.
This observation is to seek the appropriate solution to handle that problem through analyzing the productivity level of nursing-care-time at interior ward unit of the hospital, that is the percentage of working-time utilization to run direct and indirect activities. By recognizing the productivity level, we could figure out whether the problem could still be accomplished without any additional nurse or would it be enough to optimize the nursing activities by using the existing nurses, or in the other word, we could improve their working time productivity.
The observation was designed in descriptive-analytical approach to find out the interconnection between two variables, those are nursing-care-time productivity as a dependent variable and nurse characteristic, caring room ( ward) and also working-shift as independent variables. Data collecting techniques in cross-sectional way, using work sampling method to measure all nurses which are stationed at the interna ward unit of Rumkit Polpus as respondents. Father more, with a support of computer assistance, which is to be called minicab program, bivariate analysis is run through t-test and I or F-test (Anova test ).
From the final outcome we could know that the productivity of nursing-care-time is only 56.36 %. 'This result is just so poor if compared toward the expected standard From the statistical analysis, the productivity was related with working-shin, marital status, job level, working time related experience, status of employment and additional courses of the nurses.
The nurses with structural positions, older age, longer working period and nurses with additional courses showed that they seldom did direct activities. Most of them spent their work-time for indirect and I or non-functional activities, that used to be a request of the organization (Rumkit Polpus ).
Facing that truth, the author recommends that if we want to handle the problem of lacking of nurses at Rumkit Polpus, we could do some actions, such as :
1. Recognize that the productivity of the nurses in interna ward unit is still under the standard, so the only effective way to solve the problem is by improving the existing productivity for now. This way could be run through improving the knowledges / skills, working motivation, attending seminars / discussions and giving a sense of belonging to the nurses.
2. Training the non-medic staff in order to enhance their capability to do simple nursing-care activities and utilizing alumni of Nursery School / Academy to do a mandatory work at Rumkit Polpus before being inaugurated to be state-employee or working at private hospital / health care institution.
3. Adding more nurses to work on daily base and changing the proportion of the nurses into their own working shift, balanced with their work load.
Bibliography : 40 ( 1975 - 1995 )
"
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enrico Susanto
"Masalah lingkungan khususnya tentang non degradable telah menjadi masalah serius, oleh karena itu diperlukan suatu solusi seperti menggunakan bahan alam sebagai penganti bahan bakar atau polimer ramah lingkungan. Serat tanaman sorgum atau Sorgum bicolor menjadi salah satu sumber yang sangat potensial untuk diolah menjadi bahan baku komposit. Tantangan utama menggunakan serat alam sebagai penguat adalah mudah menyerap air atau bersifat hidrofilik. Akibatnya ikatan antarmuka antara serat dan matriks menjadi lemah. Dengan menghilangkan kandungan lignin dan hemiselulosa yang menyelimuti serat sehingga dihasilkan serat nanokristalin selulosa yang memiliki kompatibilitas yang baik dengan matriks.
Untuk mengatasinya dilakukan berbagai perlakuan salah satunya perlakuan hidrothermal, jenis perlakuan ini lebih ramah lingkungan dari proses lainya karena hanya air yang digunakan sebagai reagen, relatif murah, mudah dan sedikit by produk. Metode yang digunakan meliputi perebusan selama 5 menit dan dilakukan masak bertekanan selama 10 menit dan 15 menit. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian SEM untuk melihat kompatibilitas antara serat dan polimer. Pengujian thermal dilakukan untuk melihat suhu kristalinitas dan suhu leleh dari komposit. Pengujian tarik dilakukan untuk melihat kekuatan mekanik dari komposit. Kondisi komposit paling optimum dari pengujian adalah pada proses pressure cooking pada 10 menit dan fiber load 5%.

Environmental problems especially about non degradable, have become a serious problem, therefore a solution such as using natural materials as fuel or ecofriendly polymers is required. Sorghum fiber or Sorghum bicolor become one of the most potential sources to be processed into composite raw materials. The main challenge of using natural fibers as reinforcement is the easy to absorb water or hydrophilic. Consequently the interface bond between the fiber and the matrix becomes weak. Removing the lignin and hemicellulose contents that envelop the fibers to produce nanocrystalline cellulose that have good compatibility with the matrix.
To overcome this a variety of treatment was done, one of those was the hydrothermal treatment, this treatment is more environmentally friendly than other processes because only water is used as reagents, relatively cheap, easy and little by product. The method used includes boiling for 5 minutes and pressure cooking for 10 minutes and 15 minutes. The SEM is done to see compatibility between fiber and polymer. Thermal test is performed to see the temperature of crystallinity and the melting temperature of the composite. Tensile test is performed to see the mechanical strength of the composite. The optimum conditions composite at the pressure cooking process at 10 minutes and fiber load 5%.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
T50362
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library