Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Luh Putu Listya Paramita
Abstrak :
Latar belakang. Penegakan diagnosis demam tifoid masih sulit dilakukan jika hanya menggunakan gejala klinis. Dibutuhkan skor klinis untuk dapat menegakkan diagnosis di awal dengan tepat. Variabel pada skor Nelwan merupakan data yang dapat diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik sehingga dapat membantu penegakan diagnosis secara dini. Penelitian nilai dignostik skor Nelwan untuk mendiagnosis demam tifoid belum pernah dilakukan sebelumnyaTujuan. Mendapatkan nilai titik potong dan nilai diagnostik skor Nelwan dalam penegakkan diagnosis demam tifoid dewasaMetode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan pendekatan uji diagnosis. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dari pasien poliklinik, IGD, dan rawat inap RSUP Persahabatan, RSUD Budhi Asih, RSUD Tanggerang Selatan, RS Hermina Ciputat, RS Metropolitan Medical Center dan Puskesmas di daerah Jakarta. Kriteria inklusi adalah pasien dengan keluhan demam selama 3-14 hari, mempunyai keluhan saluran cerna, dan bersedia mengikuti penelitian. Diagnosis demam tifoid didapatkan melalui kultur darah, kultur swab rektal dan PCR. Nilai titik potong skor Nelwan ditentukan berdasarkan kurva Receiver Operating Characteristic ROC . Titik potong tersebut kemudian dianalisis dan didapatkan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif NDP , nilai duga negatif NDN , rasio kemungkinan positif RKP dan rasio kemungkinan negatif RKN .Hasil. Selama penelitian didapatkan 233 sampel dengan proporsi demam tifoid 4,72 . Titik potong skor Nelwan yang optimal adalah 10 dengan AUC 71,3 95 IK 65,9 - 88,7 . Skor Nelwan dengan nilai cut off 10 memiliki sensitivitas 81,8 , spesifisitas 60,8 , nilai duga positif 9,3 , nilai duga negatif 98,5 , rasio kemungkinan positif 2,086, rasio kemungkinan negatif 0,299.Kesimpulan. Skor Nelwan dengan titik potong 10 dapat digunakan sebagai screening pasien dengan klinis demam tifoid.Kata kunci : skor Nelwan, demam tifoid. ......Background. Typhoid fever can be complicated to diagnose if only clinical signs and symptoms are used. By using clinical scores, we can provide an early diagnosis precisel. Variables in Nelwan Scores are derived from history taking and physical examination. Evaluation of diagnostic value of Nelwan score has never been done before.Objectives. To get the cut off point and the diagnostic value of Nelwan score in diagnosing typhoid fever in adult patients.Methods. This study is a diagnostic test with a cross sectional method, involving subjects with fever 3-14 days and gastrointestinal complaints from policlinic, emergency department and hospital ward in Persahabatan Hospital, Budhhi Asih Hospital, South Tanggerang Hospital, HerminaCiputat Hospital, MMC Hospital, Jatinegara and Gambir Primary Health Centre. Diagnosis are confirmed by blood culture, rectal swab culture, and PCR. Cut off analysis was performed using Receiver Operating Characteristic ROC curve and diagnostic value was then analyzed to generate sensitivity, specificity, predictive value and a likelihood ratio.Result. This study involving 233 subjects with a proportion of typhoid fever is 4,72 . The optimal cut off point of Nelwan score is 10 with AUC 71,3 95 IK 65,9 - 88,7 . This cut off point has sensitivity 81,8 , specificity 60,8 , PPV 9,3 , NPV 98,5 , LR 2,086, and LR - 0,299.Conclusion. Nelwan score with cut off point 10 has a good diagnostic value as a screening tool for patients with typhoid fever clinical presentationKeywords :Nelwan score, typhoid fever
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57648
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Rusli
Abstrak :
Scope and Method of Study: Typhoid and paratyphoid fever are still a major problem in developing countries viewed from epidemiological, laboratory, as well as clinical aspects. Reliable laboratory diagnosis is the blood culture. However, failure of the blood culture occurs, due to the bactericidal effect of blood (phagocytes, complement, and specific and nonspecific antibodies, among others). Microbiologists are challenged to improve the blood culture by adding sodium polyanethol sulphonate (SPS) in the media. SPS is capable to inactivate the blood bactericidal effect, is an effective anticoagulant, non-toxic to most pathogens, stable to high temperature, acid and alkaline solutions, and is water-soluble. The objective of this study is to compare bile culture plus 0.05% SPS to conventional bile culture for the growth of salmonella in blood. The result was evaluated by the rate of growth in both cultures after 1 minute, 4 hours and 12 hours (logarithmic phase). The number of organisms was calculated from growth on nutrient agar plates when the range-of growth were 30-300 colonies per 0.1 ml inoculum, and the dilution of both cultures. Findings and Conclusions: Fifty isolates representing five species of salmonellae has been tested and showed that the number of organisms per ml in the SPS bile culture was not significantly different compared to conventional bile culture. In conclusion, the SPS bile culture is the same as conventional bile culture for the growth of S. typhi, S. pa-atyphi A, B, C, and S. typhimurium in blood from healthy humans, with a blood-broth ratio of 1: 10.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58503
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lili Musnelina
Abstrak :
Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menggunakan disain deskriptif mengenai alternatif pengobatan demam tifoid pada 182 pasien anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta. Kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan terhadap Salmolella typhi. Hasil lain menunjukkan bahwa seftriakson merupakan salah satu antibiotika alternatif yang menjanjikan bagi pengobatan demam tifoid anak.
The Pattern of the Use of Antibiotics in the Treatment of Children with Typhoid Fever in Fatmawati Hospital Jakarta, 2001-2002. This study was a retrospective study using a descriptive design on the treatment of typhoid fever involving 182 children at Fatmawati Hospital Jakarta. Chloramphenicol was still the drug of choice againts Salmolella typhi. It was also shown that ceftriaxone was an alternative drug used rather frequently for typhoid fever in children.
Institut Sains dan Teknologi Nasional; Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia ; Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ; Rumah Sakit Fatmawati Jakarta, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, T. J.
Abstrak :
ABSTRACT


As most often advocated, treatment of intestinal bleeding caused by typhoid fever is by conservative means. Although it requires meticulous and intensive care, treatment by surgery is rarity Four cases which are treated by surgery was reported and was decided upon after failure of conservative treatment. The fourth cases had resections of the distal ileum extended to a right hemicolectomy.

The histopathologic examination of the all cases, revealed alcerative plaques of Peyer's patches in the distal ileum and caeceum, confirming the diagnosis of typhoid fever.

1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarso Brotosoetarno
Abstrak :
ABSTRAK
Demam tifoid dan paratifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman golongan Salmonella. Penyakit ini disebut pula demam enterik, tifus, dan paratifus abdomen. Paratifoid biasanya lebih ringan perjalanannya dan menunjukkan gambaran klinis yang sama seperti tifoid atau menyebabkan enteritis akut. Kedua jenis penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting, terutama di negara-negara yang sedang berkembang baik ditinjau dart segi epidemiologi, segi diagnosis laboratoriumnya serta kelengkapan dart laboratorium kliniknya. Hal ini berhubungan erat pula dengan keadaan sanitasi dan kebiasaan higiene yang kurang memuaskan.

Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar klinis dan ditopang oleh diagnosis laboratorium. Pemeriksaan jumlah leukosit pada penderita demam tifoid kurang dapat menyokong diagnosis kliniknya. Walaupun menurut literatur pada demam tifoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leukopenia tidak sering dijumpai. Pada sebagian besar kasus demam tifoid, jumlah leukosit pada darah tepi masih dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu, pemeriksaan jumlah leukosit kurang dapat menyokong diagnosis klinis demam tifoid.

Sejak ditemukannya uji serologi Widal lebih kurang 80 tahun yang lalu, uji ini mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dan masih luas dipergunakan di negara-negara yang sedang berkembang. Uji serologi ini didasarkan atas pemeriksaan adanya antibody dalam serum penderita akibat infeksi oleh kuman Salmonella. Tetapi akhir-akhir ini kegunaan uji serologi Widal masih banyak diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini disebabkan adanya berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil uji Widal, antara lain : keadaan gizi penderita, nengobatan dengan antibiotika, pernah mendapat vaksinasi Typhus Paratyphus A-Paratyphus B ( TAB ) atau infeksi sebelumnya, saat pengambilan darah, dan sebagainya.

Dalam upaya untuk meningkatken perawatan penderita tersangka demam tifoid diperlukan suatu hasil pemeriksaan laboratorium sedini mungkin, untuk menyokong penegakkan diagno sis klinisnya. Adapun jenis pemeriksaan laboratorium yang dapat lebih menyokong diagnosis klinis demam tifoid adalah menemukan kuman Salmonella dengan cara mengisolasikannya dari darah, urin, tinja atau cairan badan lainnya. Frekuensi dapat ditemukannya kuman dari darah, urin, tinja ataupun cairan badan lainnya berhubungan dengan patogenesis penyakit. Pada permulaan penyakit lebih mudah ditemukan kuman dalam darah, baru pada stadium selanjutnya dalam tinja, kemudian dalam urin?
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pirtha Agus Isnanti
Abstrak :
Rumah Sakit Fikri Medika Dan Rumah Sakit Proklamasi Program Pelayanan Karawang Sehat Tahun 2016 Skripsi ini membahas utilisasi rawat inap kasus typhoid fever pada RS. Fikri Medika dan RS. Proklamasi Program Pelayanan Karawang Sehat tahun 2016 berdasarkan variabel demografi (jenis kelamin, umur, status perkawinan), PPK I (asal rujukan), spesialisasi pelayanan, diagnosis, lama hari rawat dan biaya perawatan berdasarkan komponennya. Desain penelitian ini adalah kuantitaif bersifat deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan rata-rata biaya perawatan yang signifikan antara RS. Fikri Medika dan RS. Proklamasi dan komponen yang berkontribusi adalah pemeriksaan dokter dan obat. Pola utilisasi di kedua rumah sakit sama pada variabel jenis kelamin, status perkawinan, spesialisasi pelayanan dan lama hari rawat. Berdasarkan umur, diagnosis dan PPK I (asal rujukan) terdapat perbedaan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada pola utilisasi, sehingga disarankan kepada program perlunya audit medis dan biaya untuk mencagah fraud dan abuse, meningkatkan kualitas dan kualifikasi sumber daya manusia untuk meningkatkan review utilisasi serta bagi rumah sakit agar mengklaimkan biaya sesuai dengan cinical pathway tarif yang disepakati.
This study discusses the utilization of inpatient case of typhoid fever in hospital Fikri Medika and hospital Proklamasi, Karawang Sehat Service Program 2016 based on demographic variables (gender, age, marital status), basic health services (origin of referral), service specialization, diagnosis, length of stay and maintenance cost by component. The design of this research is quantitative descriptive with cross sectional study design. The results of this study indicate a significant difference in mean maintenance costs between hospitals Fikri Medika and Proklamasi and components that contribute are physician examinations and drug. The utilization patterns in both hospitals are the same in the gender variables, marital status, service specialization and length of stay. Based on age, diagnosis and basic health services (referral origin) there are differences. There are significant differences in utilization patterns, so it is advisable to the program for medical audits and fees for fraud and abuse prevention, improving the quality and qualifications of human resources to improve the utilization review and for hospitals to claim costs in accordance with agreed cinical pathway rates.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S69750
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurleny Sutanto
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Demam tifoid merupakan penyakit endemic di Indonesia. Salah satu masalah utama dalam penanggulangan penyakit ini adalah belum adanya cara diagnosis pemasti yang dapat diandalkan, terutama untuk pengelolaan penderita. Saat ini laboratorium Mikrobiologi FKUI sedang mengembangkan suatu cara diagnosis dengan menggunakan protein membran luar (PML) S.typhi. Untuk itu diperlukan PML dalam jumlah banyak, sehingga perlu dicari cara isolasi yang cepat,mudah dan efisien. Dicoba 2 cara isolasi yaitu menggunakan dapar Hepes dan dinatrium hidrofosfat (Na2HPO4). Kuman dikultur selama 18-24 jam dalam medium kaldu nutrien yang ditambahkan ekstrak ragi 0,2% dan glukosa 1,257 Dengan sentrifugasi 1400xg sus.pensi 1/1000 volume kuman dipanen pada -lase "late logarithmic" dan disonikasi. Pemisahan protein membran Iuar dan protein membran dalam dilakukan dengan sentrifugasi 100.000>:g, selanjutnya dilakukan elektroforesis pada SDS-PAGE untuk membandingkan profil proteinnya. Karakterisasi protein tersebut dilakukan dengan "Western blot". Hasil dan kesimpulan: Jumlah protein yang dihasilkan dengan menggunakan dapar Na2HPO4 rata-rata 0,084x10-7 ug per sel kuman,sedangkan ekstraksi dengan menggunakan dapar Hepes menghasi l kan protein rata--rata 0, 051X10-7 ug per sel kuman. Profil protein pada SDS-PAGE dapat dilihat dengan jelas pada konsentrasi protein 50 ug/ml untuk ekstraksi PML menggunakan dapar Hepes dan 30 ug/ml dengan Na2HPO4. Fraksinasi pada SDS-PAGE dengan kedua cara diatas memperlihatkan pita-pita protein dengan berat molekul antara 26-116 kDA dengan pita protein mayor terletak antara 36-38 kDa . Hasil "Western blot" menggunakan serum pasien tifoid dan serum kelinci yang telah diimunisasi kuman S.typhi menunjukkan adanya reaktivitas yang kuat dengan protein 38 kDa. Tidak ditemukan reaksi silang dengan serum kelinci yang diimmunisasi dengan kuman S.paratyphi A atau B. Dari hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa isolasi PML dengan menggunakan dapar Na.2HP04 lebih cepat,mudah dan praktis karena prosedurnya lebih singkat. Selain itu ektraksi cara ini lebih efisien dare pada cara Hepes karena jumlah protein yang diperoleh lebih banyak, dan dibLLtuhkan jumlah yang lebih sedikit.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windi Haryani
Abstrak :
Berdasarkan data WHO, Tifoid merupakan penyakit yang membebani 11-20 juta perkasus per tahun, yang mengakibatkan sekitar 128.000-161.000 kematian per tahun.Begitu pun dengan yang terjadi di RS Tugu Ibu, kasus Tifoid merupakan salah satupenyakit terbanyak di RS tersebut. Kasus demam tifoid pada anak di RS Tugu Ibumenjadi salah satu kasus yang terbanyak di untuk penyakit anak pada Instalasi RawatInap tahun 2007. Dengan dasar tersebut pihak RS Tugu Ibu menegakkan ClinicalPathway kasus tifoid anak. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran input, proses,output, variasi dan kendala yang dihadapi ketika implementasi Clinical Pathway.Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif yaitu menelaah data yang berasal daritagihan, serta kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam. Hasil panelitianmenunjukan variable input secara garis besar sudah mendukung, namun untuk pendanaanbelum ada alokasi khusus. Faktor proses, kurang terlibatnya komite medik pada awalpembentukan, kurangnya komitmen dari DPJP, serta kurang tertibnya evaluasi menjadisalah satu kekurangan. Pada faktor output, masih ditemukan variasi pada Lama HariRawat LHR, pemeriksaan penunjang serta pemberian obat, dari perbedaan output varian tersebut akan berpengaruh terhadap tagihan pasien. Kendala yang dihadapi diantaranya adalah kurangnya sosialisasi, tingkat kepatuhan yang masih kurang, sertaperbedaan dalam cara mendiagnosa pasien. Pada factor outcome, untuk variable statuspulang pasien tidak ada perbedaan, karena semua pasien Tifoid anak yang dirawat, statuspulangnya sama yaitu sembuh atau atas persetujuan dokter. Varian yang adamenyebabkan terjadinya selisih pada jumlah outcome, antara tagihan yang tindakan yangsesuai Clinical Pathway dengan tagihan yang riil sekitara 91,80. Selisih tersebutdiakibatkan penggunaan alat kesehatan Rp 76.809 169,17, tindakan Rp 24.273 113,12, penggunaan obat-obatan Rp1.566 100,69, Pemeriksaan visite dokter sebesar Rp 47.400 91,22, administrasi sebesar Rp 136.000 90,04, sertapemeriksaan penunjang sebesar Rp 150.313 61,49. ...... WHO estimated 11 20 million people get sick from typhoid and between 128 000 and161 000 people die from it every year. So happened with Tugu Ibu Hospital, Typhoidcase is one of the most diseases in the hospital. Cases of typhoid fever in children in TuguIbu Hospital became one of the most cases in for childhood illnesses in InpatientInstallation in 2007. That rsquo s the reason for the Tugu Ibu Hospital build a Clinical Pathwayfor pediatric typhoid. This study aims to get an overview of inputs, processes, outputs,variations and constraints which faced when implementing Clinical Pathway. Thisresearch used quantitative method process from the billing, and qualitative by conductingin depth interview. The results showed that input variables have been supported, but forfunding there is no special allocation. From the process variables, lack of involvement ofthe medical committee at the beginning of the formation, lack of commitment from DPJP,and less orderly evaluation become one of the shortcomings. In the output factor, anyvariation in Length of Stay LOS, supported test and medication. From the difference ofoutput will influence to patient bill. Obstacles encountered consist of lack of socialization,lack of compliance level, and differences to diagnose patients. In Outcome factor, there is no difference for discharge status variable, because all patientswith Typhoid children, has cured for discharge status.The variation happened came from the outcomes factor, between Clinical Pathway ruleand real bills of 91,80. The difference is caused by medical equipment used Rp 76.809 169.17, Rp 24,273 113.12, Rp1.566 100,69 medication, physician check doctor rsquo visit Rp 47,400 91, 22, administration and accommodation of Rp 136,000 90.04, and other test of Rp 150,313 61.49.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50559
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widia Puspa Hapsari
Abstrak :

Penelitian menganalisis impelementasi Clinical Pathway (CP) Typhoid fever melalui deskripsi utilisasi pelayanan serta tagihannya pada periode sebelum dan sesudah implemenatsi CP. Studi dilakukan di RS PMI Bogor bertujuan untuk mengeksplor siklus pembuatan CP serta utilisasi pelayanan kesehatan yang diberikan sehingga menimbulkan tagihan. Metode kualitatif digunakan untuk menjelaskan tahapan dalam pembuatan CP dan metode kuantitatif digunakan untuk mengeksplor utilisasi layanan dan tagihan yang ditimbulkan serta melihat signifikansi implementasi CP terhadap utilisasi pelayanan dan billing. Simulasi INA-CBG dilakukan akibat temuan dalam penelitian. Data berasal dari sistem informasi rumah sakit, billing dan rekam medis. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada signifikansi/perubahan pada utilisasi pelayanan secara statistik p-value >0.05 antara kelompok pada periode sebelum dan sesudah implementasi CP melalui Uji T dan Uji non parametrik Mann-Whitney U dengan tingkat kepercayaan 95%. Namun secara substansi terjadi perubahan tagihan pasca implementasi clinical pathway Typhoid fever dari Rp. 4,269,051 meningkat menjadi Rp. 5,225,384. Setelah dilakukan penyesuaian obat yang berfungsi terapeutik dan simtomatik terhadap Typhoid fever, maka total tagihan menjadi Rp. 4,771,016 dan meningkat menjadi Rp. 5,959,796. Proses pencatatan diagnosis di dalam rekam medis menjadi isu di RS PMI Bogor. Adanya potensi undercode yang mempengaruhi severity level kasus INA-CBGs (A-4-14), rumah sakit berpotensi kehilangan sebesar Rp. 485,200 hingga Rp. 1,450,400.


This research elaborated Typhoid fever Clinical Pathway (CP) implementation which were described using service utilization and the incurred billing before and after the implementation of CP. Study was conducted in PMI hospital Bogor and aimed to explore CP development cycle and the later service utilization delivered and hence, the incurred billing from each period (before and after CP implementation). Qualitative method was used to explore stages in CP development and quantitative method was used to explore the significance of CP implementation to service utilization and the billing. INA-CBGs grouping simulation was conducted due to a research finding. Data were derived from hospital information system, billing, and medical records. Study resulted in no significance of service utilization before and after CP implementation and it was predicted using T-test and Mann-Whitney U test showing p-value >0.05. However, changes in billing substantially changed from IDR 4,269,000 to IDR. 5,225,384. Adjustment was done by excluding drugs other than for therapeutic and symptomatic pursposes resulting in the increment of billings (e.g. IDR. 4,771,016 before and IDR. 5,959,796 after CP implementation). Simulation through INA-CBGs grouping showed that there were potential undercoding from higher severity level of Typhoid fever case (A-4-14). Hospital might subsequently lose IDR 485,200 up to IDR.1,450,400 each case reimbursed.

2019
T54055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>