Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andreas Aditya Salim
"ABSTRAK
President Joko Widodo has a clear vision & mission to transform Indonesia to be a maritime axis. He firmly reaffirm that Indonesia is a strong maritime country and its people should enjoy the great benefits from its sea resources. Fisheries is one of the biggest marine living resources that significantly contribute economic benefits to Indonesian people. Nonetheless, the flaws on the laws has created is advantage to Indonesian people, in particular, fisherman. The genuine link obligation under article 91 UNCLOS is intend to ensure a fishing vessel is socially and economically attached to its owner, so that its utilization will bring profits. Ironically, ship registration system under the government regulation number 51 year 2002(GR 51/2002) on shipping give a space for a false document being used in ship registration process. It creates a condition where a foreign fishing vessel owners can operateits vessel in Indonesian waters, under the name of Indonesian people or company, eventhough the transfer of ownership is not done. The result is, the utilization of the vessel is for the greatest benefit of the real owner and not for the Indonesian people. Indonesian government should revise the GR 51/2002 to protect the interest of its people."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2016
340 UI-JURIS 6:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Marman Saputra
"Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 dan berlakunya UNCLOS 1982 telah mempengaruhi penggunaan laut untuk kepentingan ekonomi dan pertahanan Indonesia, termasuk penerapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen Indonesia. Di satu sisi, UNCLOS 1982 memberikan manfaat bagi pembangunan nasional yang meningkatkan luas wilayah yurisdiksi nasional. Ini berarti bahwa Indonesia dapat mengambil keuntungan di ZEE dan landas kontinen. Di sisi lain juga meningkatkan kerentanan karena wilayah yang semakin luas. Teori Seapower tentang karakteristik kekuatan negara maritim dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis kegagalan Indonesia menjadi negara maritim.
Penelitian ini dibagi menjadi dua aspek, aspek fisik dan aspek kebijakan. Menurut Alfred T. Mahan bahwa ada enam karakteristik kekuatan negara maritim, yaitu geografi, posisi wilayah, jumlah dan karakter penduduk, karakter nasional dan karakter pemerintah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia gagal menjadi negara maritim, karena minimnya sumber pendukung dari Seapower yaitu minimnya armada niaga, kekuatan angkatan laut, serta pangkalan dan pelabuhan, dan lemahnya kebijakan maritim Indonesia.

The Declaration of Djuanda on December 13th 1957 and the entry into force of UNCLOS in 1982 have influenced the use of the sea for economic and defense interests of Indonesia, including the application of Exclusive Economic Zone (EEZ) and the continental shelf of Indonesia. On one hand, the 1982 UNCLOS provides benefits for national development which increases the extent of national jurisdiction. This also means that Indonesia can take advantages in the ZEE and the continental shelf. On the other hand it also increases vulnerability because of the vast marine area. The Seapower theory about the characteristics of maritime power in this study is used to examine and analyze the failure of Indonesia as a maritime state.
The study is divided into two aspects, the physical aspects and the aspects on policy. According to Alfred T. Mahan, there are six characteristics of maritime state. They are geography, position of the region, number and character of population, national character and character of the government. This study concludes that Indonesia has failed to become maritime state, due to the lack of supporting power as Seapower factors such as the limitation of trade shipping, the limited force of the navy, the limitation of bases and sea ports, and the weakness of Indonesian maritime policy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Anthony Darmawan Mulya
"Tesis ini membahas mengenai pengaturan Rezim Hukum Negara Kepulauan Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tantangan dan hambatannya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan kajian normatif. Penelitian ini akan difokuskan pada pembahasan ketentuan-ketentuan yang menyangkut implementasi rezim negara kepulauan dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang sesuai secara keseluruhan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Meskipun demikian, beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut masih ada yang belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, sehingga perlu direvisi. disamping itu perlu pengaturan hak hak dan kewajiban kapal perang, kapal pemerintah asing yang dioperasikan untuk tujuan komersial (niaga) dan tujuan bukan komersial ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Lebih lanjut Pembangunan bidang hukum rezim hukum negara kepulauan Indonesia hendaknya merupakan upaya untuk mengintegrasikan kebijakan-kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam laut, khususnya sumber daya ikan, penelitian ilmiah dan alih teknologi kelautan.

This thesis is reviewing Archipelagic States Regime of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea and Its Implementation in Indonesia. This research uses a qualitative approach with normative methodology. The outcome of this research shows that he results of this study indicate that Indonesia has had legislation in accordance with the overall 1982 Law of the Sea Convention. However, some provisions in the legislation have not deal the provisions of Convention on Law of the Sea 1982, so it needs to be revised. besides that necessary arrangements rights and obligations of warships, foreign governments operated for commercial purposes (commercial) and non-commercial purposes in the legislation Indonesia. Further development of the legal regime of the Indonesian archipelagic state should be an effort to integrate policies on defense and security, management and utilization of marine resources, especially fish resources, scientific research and transfer of marine technology."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"An overlapping claim in any maritime zone requires maritime boundary delimation. Unfortunately, delimitation of maritime boundaries on continental shelf has been recognized as a complicated issue since it may create serious tensions and even armed conflicts between coastal states due to the ambiguity of international law in this area..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnaningrum
"Tesis ini membahas penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan melalui International Court of Justice (ICJ). Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pemaparan secara deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa Malaysia dapat memiliki Pulau Sipadan dan Ligitan setelah melalui proses perundingan antara Indonesia dan Malaysia melalui International Court of Justice (ICJ) berdasarkan keberadaannya sebagai pemilik (effectivities).

The focus of this study is dispute settlement of Sipadan and ligitan island between Indonesia and Malaysia at International Court of Justice (ICJ). This research is qualitative interpretative. The result of this study shows Malaysia had full authority of Sipadan and Ligitan island after the processed of negotiation between Indonesia and Malaysia at International Court of Justice (ICJ) based on effectivities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27319
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gulardi Nurbintoro
"The drafters of the 1982 UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) have left behind a lacunae
in terms of the regulations concerning Biodiversity in the Areas Beyond National Jurisdiction
(BBNJ). As living organisms are found in the deep seabed in areas beyond national jurisdiction,
as well as the utilization of marine genetic resources beyond national jurisdiction for commercial
purposes, States are currently deliberating on the proper regime in dealing with the management
and exploitation of the biodiversity. Some States argue that Part XI UNCLOS applies hence BBNJ
is also part of the Common Heritage of Mankind. On the other hand, some States believe that Part
VII UNCLOS applies which will allow individual States to exploit the resources in accordance with
the principle of the freedom of the high seas. Since 2004, the UN General Assembly has established
a Working Group to discuss the issue. Indonesia as a Party to UNCLOS which in general advocates
the importance of the rule of law in the oceans has the interest that the discussion in the UN
will allow developing countries, including Indonesia, to enjoy the result of the exploration and
exploitation of non-mineral resources at the bottom of the ocean.
"
University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Luisa Thamara
"ABSTRAK
Areas beyond national jurisdiction ABNJ adalah sebuah konsep terkait sebuah kawasan yang telah diakui secara universal. Konsep ini pun telah menjadi topik pembahasan pada masyarakat internasional semenjak tahun 2004 karena kawasan ini mencakup 64 laut yang mengandung ekosistem yang kaya akan biodiversitas yang berharga. Pada waktu UNCLOS masih dalam tahap perancangan, aktivitas eksplorasi dan eksploitasi di ABNJ merupakan sebuah tantangan pada sasat itu. Sehingga UNCLOS pun tidak mengandung ketentuan terkait aktivitas di ABNJ meskipun pengetahuan dan teknologi manusia telah berkembang pesat. Melihat hal ini, pembentukan sebuah peraturan pelaksana yang berdasarkan UNCLOS adalah sebuah urgensi, khususnya yang mengatur pemanfaatan ABNJ secara berkelanjutan agar biodiversitas yang ada di ABNJ terjaga secara berhati-hati dan sebaik-baiknya. Mengingat prinsip-prinsip, peraturan dan institusi yang sudah ada dan diberlakukan di ABNJ, maka sangat direkomendasikan untuk peraturan pelaksana yang hendak di rancang tidak mengandung ketentuan yang tumpang tindih dan dapat mengembangkan lebih jauh peran institusi yang ada. Sebagai negara yang memiliki kepentingan di ABNJ, penting untuk Indonesia dalam berperan pada proses perancangan rezim baru ini. Sehingga perlu untuk dikaji lebih jauh mengenai sejauh apa langkah yang dapat dilaksanakan oleh Indonesia baik di laut bebas dan the area.

ABSTRACT
Areas beyond national jurisdiction ABNJ is a concept of an area that has been universally acknowledged. It has become topic within the international community since 2004 because it contains 64 of of the ocean consisting ecosystem with rich and valuable biodiversities to mankind. Referring to the establishment of UNCLOS, the exploration and exploitation within ABNJ was a challenge at the time. Therefore, the UNCLOS seemed to be lacking in regulatory and governance towards activities in ABNJ, specifically in this particular time where technology and human knowledge have advanced. This comes an urgent need for an implementing agreement under UNCLOS, specifically address the use of ABNJ in a sustainable way to ensure that the biodiversities within ABNJ will be maintained carefully and properly. Since there are already principles that uphold the areas of ABNJ and also few existing regulations and institutions, its highly recommended that the new implementation agreement shall not contain any overlapping provisions and to also further evolve the role of institution. Indonesia, as an archipelagic state have continuously been involved in maintaining sustainable use of the ocean, including ABNJ. Therefore requires further studies on the extent of Indonesias role in ABNJ, specifically high seas and The Area. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutanto, 1950-
"ABSTRAK
Salah satu pengaruh yang paling menonjol dan bersifat langsung dengan telah diratifikasikannya United Nations Convention on the Laws of the Sea 1982 (Unclos 82) oleh Pemerintah Republik Indonesia terhadap Pertahanan Keamanan Negara (Hankamneg) di Laut adalah berkaitan dengan masalah penggunaan alur laut kepulauan Indonesia oleh kapal asing. Penggunaan alur laut kepulauan yang melintas perairan Indonesia oleh kapal asing merupakan tuntutan yang telah dipersyaratkan oleh Unclos 82. Kenyataan ini bukan merupakan pilihan yang terbaik bagi negara pantai (termasuk Indonesia) karena pada dasarnya Unclos 82 merupakan kompromi kepentingan dari berbagai negara. Terlepas dari masalah untung atau rugi, suka atau tidak suka, pada akhirnya penggunaan alur laut kepulauan ini menjadi hak bagi kapal-kapal asing yang tak dapat dielakkan, apapun alasannya.
Kewajiban Indonesia sebagai negara pantai adalah menetapkan alur laut kepulauan yang menjamin keselamatan dan keamanan bernavigasi dalam pelayaran. Bila tidak segera ditetapkan, maka konsekuensinya kapal-kapal asing cenderung memilih atau menentukan alur pelayaran sendiri-sendiri sesuai dengan persepsinya masing-masing terhadap aturan yang tercantum dalam Unclos 82. Hal ini ini tentu raja mengakibatkan kerugian bagi Indonesia, karena banyaknya alur pelayaran yang melintas kepulauan Indonesia yang tidak teratur menimbulkan kesulitan dalam
pengawasan dan pengendaliannya. Kesulitan dalam pengendalian alur laut kepulauan tersebut, pada gilirannya membawa dampak yang semakin luas terhadap masalah pertahanan kemananan negara di laut. Berdasarkan pemikiran yang demikian itulah dilakukan kajian untuk menentukan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang mengabdi kepentingan nasional, tetapi akomodatif terhadap kepentingan internasional.
Pada awalnya dilakukan identifikasi dan perumusan sebelas alur pelayaran yang melintas perairan kepulauan Indonesia yang potensial untuk diajukan sebagai ALKI. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengimplementasilcan hak dan kewajiban negara pantai secara serasi dan seimbang sesuai dengan amanat Unclos 82 itu sendiri.
Dengan menggunakan model analisis yang dikembangkan dalam tesis ini akhirnya diperoleh tiga alur pelayaran terbaik sebagai kandidat ALKI, masing-masing adalah : (1) Alur Selat Lombok - Selat Makasar - Laut Sulawesi, (2) Alur Selat Sunda - Laut Jawa - Selat Karimata - Laut Cina Selatan, (3.a) Alur Selat Leti - Laut Banda (barat Pulau Buru) - Laut Seram (timur Pulau Mangole) - Laut Maluku - Samudra Pasifik, (3.b) Laut Arafuru - Laut Banda (barat Pulau Buru) - Laut Seram (timur Pulau Mangole) - Laut Maluku - Samudra Pasifik, dan (3.c) Laut Sawu - Selat Ombai - Laut Banda (barat Pulau Buru) - Laut Seram (timur Pulau Mangole) - Laut Maluku - Samudra Pasifik.
Setelah alur laut kepulauan itu ditetapkan berdasarkan pertimbangan yang terbaikpun menurut ukuran kepentingan nasional dan kepentingan internasional, masih terbuka peluang bagi timbulnya masalah pertahanan keamanan di laut sehubungan dengan penggunaannya bagi kapal asing. Hal itu merupakan konsekuensi Iogis dari penggunaan suatu wilayah negara oleh dan untuk kepentingan negara lain. Sehubungan dengan itu perlu pula dilakukan analisis kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang (SWOT) terhadap keberadaan alur laut kepulauan yang telah ditetapkan.
Tujuan analisis SWOT tersebut adalah untuk memperkuat kekuatan dan meningkatkan pemanfaatan peluang yang ada, serta meminimalkan kelemahan dan menetralisir ancaman yang mungkin timbul. Selanjutnya untuk mengimplementasikannya secara efektif dan efisien diperlukan penerapan manajemen komponen kekuatan laut yang ada untuk mengawasi dan mengendalikan ALKI. Pada gilirannya dibutuhkan jumlah maupun kualitas kekuatan laut yang memadai, agar dapat dilakukan pengendalian ALKI secara lebih optimal sehingga pengaruh yang merugikan terhadap Hankamneg di Laut dari penggunaan laut oleh kapal asing sesuai Unclos 82 dapat diminimalkan.
"
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The regime of navigations for the straits of Mallaca (and Singapore) would be the regime of "Transit passage" as stipulated in Part III of the 1982 UNCLOS...."
DIPLU 1(1-2)2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhridho S.B.P. Susilo
"Pengaturan Konsepsi Negara Kepulauan dalam UNCLOS 1982 memberikan dasar hukum yang diakui secara internasional sekaligus serangkaian hak dan kewajiban bagi negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara Kepulauan, salah satunya Indonesia. Bagi Indonesia, pengaturan ini memperkuat dan menyempurnakan klaim yang dilakukannya pada tahun 1957 sebagai Negara Kepulauan, jauh sebelum UNCLOS 1982 ditandatangani, dan juga memberikan hakhak dan kewajiban-kewajiban pada Indonesia. Salah satu hak yang diberikan oleh UNCLOS 1982 adalah hak untuk membentuk dan menetapkan archipelagic sea lane atau alur laut kepulauan, yaitu suatu jalur yang menghubungkan antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan berfungsi untuk perlintasan kapal-kapal asing, baik kapal dagang, maupun kapal perang. Hak ini telah dilaksanakan oleh Indonesia melalui penetapan tiga ALKI yang diatur lewat PP No. 37 Tahun 2002. Mengingat pentingnya makna alur tersebut bagi Indonesia maupun dunia internasional, tidak hanya dari segi komersial, namun juga militer, maka sudah sepantasnya negara kepulauan yang bersangkutan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengamankan alur-alur tersebut dari gangguan yang mengancam baik terhadap kapal-kapal asing yang lewat disitu maupun terhadap kepentingan nasionalnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, TNI-AL yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang untuk menegakkan hukum dan mengamankan perairan Indonesia memiliki peran yang sangat besar. Dalam skripsi ini akan dibahas konsep pengamanan ALKI berdasarkan UNCLOS 1982 dan PP No.37 Tahun 2002, serta langkah-langkah dan kebijakan yang telah dilakukan TNI-AL dalam rangka pengamanan ALKI tersebut, beserta dasar hukum dan kasus terkait yang pernah terjadi di ALKI.

The incorporation of Archipelagic States Conception and Principles in the UNCLOS 1982 gives a legal basis recognized by international law as well as certain rights and obligations for those states who claim themselves to be Archipelagic State, one of them is Indonesia. For Indonesia, this incorporation strenghten dan perfects its claim as an Archipelagic State done in 1957, long before UNCLOS 1982 was signed, and also gives rights and obligations to Indonesia. One of the right that is governed by UNCLOS 1982 is the right to designate archipelagic sea lanes, a lane that connects one part of the high seas or exclusive economic zone with another part of high seas or exclusive economic zone, and functions as a passage for international ships, whether merchant or government ships or warhips. This right has been excercised by Indonesia through the designation of three archipelagic sea lanes known as 'Alur Laut Kepulauan Indonesia' or 'ALKI' as regulated in the Government Regulation Number 37 Year 2002. Considering the importence of that sea lanes for Indonesia as well as International worlds, not just commercially, but also miltary, therefore it is vital for the archipelagic state in question to take meassures to secure the sea lanes from any obstructions that can endanger foreign ships passing through the sea lanes, as well as its own national interests. In this case, the Indonesian Navy (TNI-AL), that has authorities and jurisdictions given by Indonesian laws to enforce law and security of Indonesian waters plays a big role. In this mini thesis, the concept of the security of ALKI based on UNCLOS 1982 and Government Regulation Number 37 Year 2002 will be dicussed, along with the steps and policy that has been taken by TNI-AL to secure it, as well as the legal basis and relevant cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26233
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>