Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evi Sovilawati
"Senyawa Benzodlazepin dalain bidang pengob.atan biasariya digunakan
untuk anti ansietas, hipnotik sedatif, anti konvulsi, dan lain—lain.
Tetapi sering kali obat-obat senyawa mi pemakaiannya disalah gunakan,
mlssinya digunakan dalam takaran yang berlebihan, sehingga menimbulkan
keracunn,, dan kadang—kadang kematian.
*
Karena sering kali terjadl penyalah gunaan obat golongan ml, maka
kami inencoba untuk mencarl cara Isolasi yang terbaik dan sederhana dan
obat dalam unin, dilanjutkan dengan penentuan secara kualitatif dan
kuantitatif, yang dapat rnemberikan hasil yang memuaskan.
Cara—cara isolasi yang dicoba diarnbh1 dari 4 bush pustaka, •dhrnana
tercantum cars isolasi, balk untuk senyawa Benzodiazepin, inaupun untuk
senyawa lain yang sifatnya sama.
Dari percobaan—percobaan yang dilakukan, ternyata cars isolasi
dengan menggunakan alat Extrelut dan cars isolasi dengan menggu.nakan
sedlaan Charcoal dapat digunakan untuk penetapan kualltatif. Untuk penetapan
kuantitatii' beluin dapat dilakukan, karena obat dalam urin pads
percobaan ml tidak terdeteksl pada pemeriksaan secara spektrofotornetri,
sementara pads pexneriksaan senyawa Benzodiazepin yang digunakan sebagal
zat standart, seperti Diazepanmm dan Chiordiazepoxydufli dapat terdeteksi
dengan balk secara spektrofotometri."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1984
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummu Hani
"ABSTRAK
Latar belakang: Selama beberapa hari setelah persalinan, retensio urin dengan distensi kandung kemih adalah fenomena yang umum terjadi. Jika pasien tidak dapat berkemih spontan dalam waktu 4 jam setelah bersalin, besar kemungkinan bahwa dia mengalami Retensio Urin Post Partum RUPP . Di beberapa tempat pengukuran residu urin dilakukan 4 jam post partum, sementara di tempat lain dilakukan 6 jam post partum. Ketidakseragaman waktu pengukuran ini akan mempengaruhi diagnosis, tata laksana, serta prognosis. Waktu pengukuran yang lebih lama akan menyebabkan kandung kemih akan terisi lebih banyak urin, sehingga akan terdistensi dalam waktu yang lebih lama, sehingga waktu pemulihan akan lebih lama.Objektif: Diketahuinya lama pemulihan dan volume residu urin pada kelompok pasien dengan retensio urin pasca persalinan dengan beda waktu pengukuran,Desain penelitian dan metode: Penelitian ini menggunakan desai uji klinis acak di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUD Karawang bulan Maret-Desember 2017. Perermpuan pasca salin dengan risiko retensio urin pasca persalinan, bersedia mengikuti penelitian, dan terdiagnosis retensio urin dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diukur residu urinnya dalam 4 jam, kelompok kedua dalam 6 jam. Pasien lalu diberikan tatalaksana retensio urin sesuai protokol RSUPNCM dan dicatat waktu pulihnya.Hasil: Karakteristik pasien pada kedua kelompok dianggap setara. Median lama pemulihan pasien retensio urin yang diukur residu urin 4 jam adalah 30 jam, berbeda 21 jam dengan pasien yang diukur resiudnya 6 jam, yaitu 51 jam p

ABSTRACT
Introduction Few days after delivery, urinary retention with bladder distention commonly happens. If patient unable to void spontaneously 4 hours after delivery, most likely she will develops post partum urinary retention PPUR . In some hospitals, the urinary residual volume was measured at 4th hour, other measures at 6th hour post delivery. This will affects the diagnosis, management, and prognosis. The longer the measurement will make the bladder filled with much more urine volume, thus the bladde will be distended in longer period, so the recovery time will be prolonged.Objective To know the differrence of recovery time and the urinary residual volume between group of patient with different time of urinary residual collecting.Study design and methode A randomized controlled trial was held at Cipto Mangunkusumo central general hospital and central Karawang hospital between March and Desember 2017. Post partum women with urinary retention risks, willing to contribute to the trial, and diagnosed as post partum urinary retention were divided into 2 groups. Urinary residual volume was meassured in 4th hour and 6th hour in each group. Patient then treated according to RSCM guideline, and the time of recovery was documented.Result Both group have similar characteristic. The median length of recovery in the group which the urinary residual was measured in 4th hour was 30 hours, 21 hours shorter than 6th hour group, 51 hours p 0.001 . The median of urinary residual volume of the 4th hour group was 600 ml, 400 ml lesser than the 6th hour group, 1000 ml p 0.001 Conclussion time of recovery are shorter in the 4th hour group and the urinary residual volume are less in the 4th hour group compared to the 6th hour group.Keywords post partum urinary retention, urine residual, urinary residual collecting time"
Depok: 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aynita Halim
"[ABSTRAK
Latar belakang: Berdasarkan data riskesdas 2013, prevalensi batu saluran kemih di Indonesia adalah 0,6 persen. Batu saluran kemih disebabkan oleh beberapa faktor; lingkungan kerja panas dan BJ Urin. Sebagian pekerja dapur RS X Tangerang mengeluh lingkungan kerja yang panas berlebihan sehingga berkeringat dan data medical check up tahun 2014 tidak ada pemeriksaan urin sehingga gambaran status kesehatan pekerja akibat lingkungan panas tidak dapat diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan kerja panas dengan kristalisasi urin pada pekerja dapur RS X Tangerang.
Metode: Rancangan penelitian yang digunakan adalah kros seksional. Pengumpulan data dilakukan di RS X Tangerang dari bulan Januari sampai Maret 2015, dengan menggunakan kuesioner, wawancara, pemeriksaan tanda vital responden sebelum dan sesudah kerja, pemeriksaan urinalisa sebelum dan sesudah kerja serta pengukuran suhu lingkungan kerja dengan menggunakan alat area heat stress monitor Quest Stemp 36 dan perhitungannya berdasarkan Indeks Suhu Bola Basah. Berdasarkan metode total populasi dan setelah mempertimbangkan faktor eklusi dan inklusi didapatkan sampel sebanyak 105 orang.
Hasil: Prevalensi kristal urin ditemukan sebesar 6,7% pada pemeriksaan urin sebelum kerja dan 10,5% sesudah kerja. Lingkungan kerja panas tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan terjadinya kristalisasi urin pada pekerja (p=0,316). BJ urin mempunyai hubungan yang bermakna dengan terjadinya kristalisasi urin (p<0,05), dimana risiko untuk terjadinya kristalisasi urin meningkat 1,8 kali sesudah kerja. Faktor risiko lain seperti umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, Indeks Masa Tubuh, kebiasaan makan dan minum, masa kerja, lama kerja, dan jenis pekerjaan tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05).
Kesimpulan: Lingkungan kerja panas dan faktor risiko lainnya tidak berhubungan dengan terjadinya kristalisasi urin pada pekerja di bagian dapur RS X Tangerang. BJ Urin responden berhubungan dengan terjadinya kristalisasi urin baik pada pemeriksaan urin sebelum dan sesudah kerja, Ini berarti sebelum kerja responden sudah dehidrasi, mungkin karena kurang minum atau paparan panas sebelumnya. Ditambah lingkungan kerja panas kepekatan urin meningkat, karenanya dianjurkan pekerja mengkonsumsi cairan minimal dua liter perhari.

ABSTRACT
Background: According to 2013 Riskesdas data, the prevalence of urinary tract calculus in Indonesia is 0.6%. Several factors like temperature of working environment and urine specific gravity contribute to the formation of urinary tract calculus. Some of kitchen workers in the hospital X Tangerang complain about their hot working environment which caused them to sweat excessively and medical check-ups data in 2014, there was no urine examination so that an overview of health status of workers due to hot environment can‟t be obtained.This study aims to determine the relationship between hot working environment and urine crystallization on the kitchen workers of hospital X Tangerang
Methods: The research used a cross-sectional design. Data collection was done in Hospital X Tangerang from January to March 2015 using questionnaire, interview, and vital signs examination of the respondents before and after work, urine examination before and after work. Environment temperature was measured using area heat stress monitor Quest Stemp 36 and the calculation was done based on WBGT (Wet Bulb Globe Temperature Index). Using total population methods after considering the inclusion and exclusion factors, we acquired 105 people as samples.
Result: The prevalence of urinary crystals was 6. 7% on urine samples before work and 10.5% after work. The relationship between hot working environment and the formation of crystals in the urine was not significant in the kitchen workers (p>0.316). Urine specific gravity has a significant relationship to the formation of crystals in the urine (p<0.05) in which the risk of the crystals formation increase 1,8 time after work. The other risk factors such as age, sex, hospital sheet, body mass index, eating and drinking habits, tenure, long working, and type of work showed no significant relationship (p>0.05).
Conclusion: Hot working environment and the other risk factors are not related to urine crystallization in the kitchen workers of Hospital X Tangerang. Urine specific gravity is related to the formation of crystals in the urine before and after work. This means, before working respondents already dehydrated, probably due to lack of drinking or heat exposure before. Hot working environment increases urine concentration. It‟s recommended for workers to consume at least two liters of fluid perday., Background: According to 2013 Riskesdas data, the prevalence of urinary tract calculus in Indonesia is 0.6%. Several factors like temperature of working environment and urine specific gravity contribute to the formation of urinary tract calculus. Some of kitchen workers in the hospital X Tangerang complain about their hot working environment which caused them to sweat excessively and medical check-ups data in 2014, there was no urine examination so that an overview of health status of workers due to hot environment can‟t be obtained.This study aims to determine the relationship between hot working environment and urine crystallization on the kitchen workers of hospital X Tangerang
Methods: The research used a cross-sectional design. Data collection was done in Hospital X Tangerang from January to March 2015 using questionnaire, interview, and vital signs examination of the respondents before and after work, urine examination before and after work. Environment temperature was measured using area heat stress monitor Quest Stemp 36 and the calculation was done based on WBGT (Wet Bulb Globe Temperature Index). Using total population methods after considering the inclusion and exclusion factors, we acquired 105 people as samples.
Result: The prevalence of urinary crystals was 6. 7% on urine samples before work and 10.5% after work. The relationship between hot working environment and the formation of crystals in the urine was not significant in the kitchen workers (p>0.316). Urine specific gravity has a significant relationship to the formation of crystals in the urine (p<0.05) in which the risk of the crystals formation increase 1,8 time after work. The other risk factors such as age, sex, hospital sheet, body mass index, eating and drinking habits, tenure, long working, and type of work showed no significant relationship (p>0.05).
Conclusion: Hot working environment and the other risk factors are not related to urine crystallization in the kitchen workers of Hospital X Tangerang. Urine specific gravity is related to the formation of crystals in the urine before and after work. This means, before working respondents already dehydrated, probably due to lack of drinking or heat exposure before. Hot working environment increases urine concentration. It‟s recommended for workers to consume at least two liters of fluid perday.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sadiah
"ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi ampisilin dalam urin menggunakan metoda kromatografi lapisan tipis dan di analisa secara spektrofotodensitometri. Metoda analisa ini mempunyai batas kepekaan 10 ug/ml dengan cairan pengelusi: Aseton Toluen - Air - Asam Asetat (650 100 100 25) dan larutan penampak noda ninhidriri dalam etanol yang membeni kan bercak berwarna Ungu dan RF 0.37 dengan syarat perebutan kurva baku pada setiap lempeng KLT yang akan dianalisa. Metoda analisa ini telah di pergunakan untuk menentukan bioavailabilitas relatif kaplet Ampisilin dan beberapa parameter farmalokinetikriya. Penentuan parameter farmakokinetik dii akukan terhadap urin kumulatif dari 6 orang sukarelawan sehat setelah pemberian dosis tunggal peroral 500 mg kaplet sampel dan pembanding dengan sedang waktu pemberian satu minggu. Urin sukarelawan di kumpulkan pada selang waktu 0 - 1, 1 - 2, 2 3 - 4, 4- 5, 5 -- 6, 6 - 8, 8 - 12, 12 -18, 18 - 24 jam dan disimpan pada - 20 derajat celcius sampai saat analisa dilakukan. Jumlah ampisilin yang di ekskresikan dalam urin kumul atif 24 jam untuk kaplet sampel dan pembanding setelah pamberian dosis tunggal peroral 500 mg berturut turut 37.89 ± 4.66 X dan 39.72 ± 4.57 X dan bioavaliabilitas relatifnya 95.547 X - Tetapan kecepatan eliminasi kaplet sampel dan pembanding berturut-turut 12.45 + 3.941 jam -1 dan 13.201 ± 2.346 jam -1 Waktu paruh untuk kaplet sample dan pembanding berturut turut 0.105 0..041 jam dan 069 + 0L021 jam dari Parameter farmakokinetik yang diperoleah di simpul kan kaplett sampel mempunyai bi oavailabilitas yang cukup baik dan kaplet pembanding."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Hardjadinata
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosiana Waicang
"Inkontinensia urin setelah operasi BPH adalah hilangnya kontrol terhadap buang air kecil karena salah satu katup yang mengontrol urin diangkat bersamaan dengan prostat, apabila katub ini diangkat kemungkinan terjadi kerusakan sraf dan otot sehingga menyebabkan inkontinensia setelah operasi prostat. Inkontinensia urin dapat menyebabkan masalah fisik, psikologis, sosial dan ekonomi sehingga mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian inkontinensia urin setelah operasi prostat. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dengan pendekatan deskriptif korelatif, dan teknik consecutive sampling pada 90 responden. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara Usia dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,063, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan antara obesitas dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,020, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan anatara jenis operasi dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,038, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan antara volume prostat dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,038, ! = 0,05), terdapat hubungan signifikan antara lama operasi dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,036, ! = 0,05) dan tidak terdapat hubungan signifikan antara waktu operasi dengan kejadian inkontinensia urin (p-value 0,925, ! = 0,05). Pada hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa jenis operasi berhubungan paling dominan dengan kejadian inkontinensia urin nilai OR yang terbesar yaitu (2,39) (95% CI: 0,955-5,988). Diharapkan tenaga keperawatan dapat meningkatkan pemahaman melalui pemberian informasi atau pendidikan kesehatan terkait dengan pencegahan inkontinensia urin umumnya generasi muda khususnya pada generasi tua di Kota Jayapura.

The increase in the life expectancy of the Indonesian population reaching the age of 66.2 years has contributed to an increase in the number of elderly people ( Aging Structured Population ). The aging process causes health problems in the elderly, one of which is urinary incontinence. Urinary incontinence is a bladder sphincter defect or neurological dysfunction that causes loss of control over urination. Urinary incontinence can cause physical, psychological, social and economic problems that affect the quality of life of the elderly. This study aims to identify factors associated with urinary incontinence in patients after prostate surgery at the Urology Polyclinic, Jayapura Hospital in 2023. This study used a cross-sectional design, correlative descriptive approach, and consecutive sampling technique in 90 post-prostate post-operative patients at the polyclinic. Jayapura Hospital Urology. The results showed that there was no significant relationship between age and the incidence of urinary incontinence ( p-value 0.063,! = 0,05) , there is a significant relationship between obesity and urinary incontinence ( p-value 0.020,! = 0,05) , there is a significant relationship between the type of operation and the incidence of urinary incontinence ( p-value 0.038,! = 0,05), there is a significant relationship between Prostate Volume and the incidence of Urinary Incontinence ( p-value 0.038,! = 0,05) , there is a significant relationship between the length of operation and the incidence of urinary incontinence ( p-value 0.036,! =0,05) and there was no significant relationship between operating time and urinary incontinence ( p-value 0.925,! = 0,05). The results of the multivariate analysis showed that the type of surgery was most dominantly related to the incidence of Urinary Incontinence with the largest OR value (2.39) (95% CI: 0.955-5.988). It is hoped that nursing staff can improve understanding through providing information or health education related to the prevention of Urinary Incontinence in general for the younger generation, especially the older generation in Jayapura City. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Larasati
"Latar Belakang: Gangguan berkemih dalam kehamilan dapat mempengarui kualitas dari hidup seorang ibu hamil. Akan tetapi, Sampai saat ini belum didapatkan data mengenai hubungan paritas dan trimester kehamilan dengan kejadian gangguan berkemih di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan berbagai gangguan kejadian berkemih yang terjadi selama kehamilan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode potong lintang. Subjek pada penelitian ini adalah ibu hamil yang berkunjung ke Puskesmas Cempaka Putih dan Puskesmas Johar Baru menggunakan metode consecutive sampling pada Juli 2019 sampai Desember 2019. Data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengisian daftar harian berkemih, kuesioner Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis (QUID) dan penilaian indeks sandvik.
Hasil: Didapatkan sebanyak 279 ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan multiparitas berhubungan dengan terjadinya inkontinensa tekanan pada wanita hamil (P= 0,045, OR 2,59, CI 95% 1,002-6,73), tetapi tidak bermakna pada variabel yang lain (primipara dan nulipara dengan inkontinensia tekana; multipara, primipara dan nullipara dengan inkontinensia desakan, gangguan frekuensi dan nokturia; trimester kehamilan dengan inkontinensia tekanan, desakan, gangguan frekuensi dan nokturia) (P>0,05). Prevalensi inkontinensia tekanan yang terjadi pada kehamilan sebesar 11,1%, dimana pada trimester I,II,III yakni 12,7%, 12,4%, 10,9%. Prevalensi inkontinensia desakan yang terjadi pada kehamilan sebesar 5,0%, dimana trimester I,II,III yakni 4,6%, 2,8%, 8%. Prevalensi gangguan frekuensi yang terjadi pada kehamilan sebesar 75,6%, dimana trimester I,II,III yakni 67,3%, 74,7%, dan 79,1%. Prevalensi nokturia yang terjadi pada kehamilan 86% ,dimana pada trimester I,II,III, yakni 81,6%, 83,5%,dan 89,2%. Indeks keparahan inkontinensia urin terbanyak dalam kehamilan adalah pada tingkat ringan (93,3%) dan sedang (6,7%).
Kesimpulan: Adanya hubungan yang bermakna antara multiparitas dengan terjadinya inkontinensia tekanan pada wanita hamil. Dilakukan penelitian selanjutnya untuk menilai faktor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap gangguan berkemih pada ibu hamil dengan cakupan dan subjek yang lebih luas.

Background: Low urinary tract symptoms in pregnancy can affect the quality of life for a pregnant woman. However, until now there has been no data regarding the relationship between parity and trimester of pregnancy with the incidence of urinary disorders in Indonesia.
Objective: Analyzing the factors associated with various Low urinary tract symptoms has occur during pregnancy.
Methods: This research is an observational analytic study with cross sectional method. The subjects in this study were pregnant women who visited the Cempaka Putih Health Center and Johar Baru Health Center using the consecutive sampling method from July 2019 to December 2019. Data collected in the form of obstetric history through interviews, bladder dairy, Questionnaire for Urinary Incontinence Diagnosis (QUID) Indonesian version and index sandvik
Results:Obtained as many as 279 pregnant women who met the inclusion and exclusion criteria. Obtained multiparity associated with the occurrence of pressure incontinence in pregnant women (P = 0.045, OR 2.59, 95% CI 1.00-6.73), but not significant in other variables (primipara and nulipara with stress incontinence; multipara, primipara and nullipara with urge incontinence, frecuency and nocturia; trimester with stress incontinence, urge incontinence, frecuency and nocturia) (P> 0.05). The prevalence of stress incontinence that occurs in pregnancy is 11.1%, where in the I, II, III trimesters that is 12.7%, 12.4%, 10.9%. The prevalence of urge incontinence that occurs in pregnancy is 5.0%, where I, II, III trimesters are 4.6%, 2.8%, 8%. The prevalence of frequency that occur in pregnancy is 75.6%, where I, II, III trimesters are 67.3%, 74.7%, and 79.1%. The prevalence of nocturia that occurs in pregnancy is 86%, where in the I, II, III trimesters, ie 81.6%, 83.5%, and 89.2%. The highest severity index in urinary incontinence in pregnancy was mild (93.3%) and moderate (6.7%).
Conclusion: There is a significant relationship between multiparity with the occurrence of stress incontinence in pregnant women. It is recommended to have further research to study other factors that may influence low urinary tract symptoms on pregnant women with broader scope and subjects background
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Estetika
"Infeksi saluran kemih (ISK) pada anak memiliki manifestasi klinis yang tidak khas dan bervariasi sehingga sulit terdiagnosis secara dini. Biakan urin memerlukan waktu hingga lima hari sehingga dapat menyebabkan keterlambatan terapi serta tingginya komplikasi ISK pada anak. Kelainan urinalisis yang saat ini digunakan masih memiliki spesifisitas yang rendah. Penelitian ini merupakan studi diagnostik NGAL urin, kelainan urinalisis, dan kombinasi keduanya, khususnya pada anak usia 2–5 tahun. Penelitian dilakukan menggunakan desain potong lintang pada anak dengan tersangka ISK, yaitu anak dengan salah satu gejala ISK (demam lebih dari 380C, muntah, diare, sakit pinggang, atau gejala lokal saluran kemih) disertai kelainan urinalisis (leukosituria, dan/atau nitrit positif dan/atau leukosit esterase positif) yang berusia 2–5 tahun dan dirawat di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Uji diagnostik pemeriksaan NGAL urin, kelainan urinalisis, dan kombinasi keduanya dibandingkan dengan biakan urin sebagai baku emas. Kombinasi ketiga kelainan urinalisis berupa leukosituria, nitrit dan leukosit esterase positif memiliki sensitivitas 38,1% dan spesifisitas 94,9%. NGAL urin diketahui memiliki sensitivitas 85,7% (IK95%: 63,6–96,9%), spesifisitas 74,3% (IK 95%: 57,8–86,9%), positive predictive value 64,3% (IK95%: 50,6–75,9%), dan negative predictive value 90,6% (IK95%: 76,9–96,5%) pada anak dengan minimal satu kelainan urinalisis. Pemeriksaan NGAL urin hanya meningkatkan spesifisitas kelainan urinalisis berupa leukosituria saja dan tidak meningkatkan spesifisitas pada yang telah memiliki tiga kelainan urinalisis. NGAL urin tidak dianjurkan untuk meningkatkan spesifisitas urinalisis dalam diagnosis ISK pada anak usia 2–5 tahun. Gabungan tiga kelainan urinalisis tanpa NGAL urin sudah memiliki spesifisitas yang baik. Perlu dilakukan penelitian biomarker lain yang dapat mendiagnosis dini ISK dengan lebih baik.

Urinary tract infection (UTI) in children has unspecific clinical manifestations leading to difficulties in its early diagnosis. Using urine culture as the gold standard for diagnosing urinary tract infection may need five days to know and may lead to delayed treatment and high complication rates. Urinalysis abnormalities are used to diagnose UTI early but still have low specificity. This study evaluated the diagnostic value of using urinary NGAL, urinary abnormalities, and their combinations, especially in children aged 2–5 years old. This cross-sectional diagnostic study was conducted in children aged 2–5 years old who were suspected to have UTI (fever more than 380C, vomit, diarrhea, abdominal pain, flank pain, or local UTI symptoms with abnormalities in urinalysis including leukocyturia and/or positive nitrite and/or positive leukocyte esterase) who were hospitalized at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. The diagnostic test was performed to urinary NGAL, urinary abnormalities, and their combination compared with urine culture as the gold standard for UTI diagnosis. Combination of urinary abnormalities (leukocyturia, positive nitrite, and positive leukocyte esterase) can have sensitivity 38.1% and specificity 94.9%. Urinary NGAL has sensitivity 85.7% (IK 95%: 63.6–96.9%), specificity 74.3% (IK 95%: 57.8–86.9%), positive predictive value 64.3% (IK 95%: 50.6–75.9%), and negative predictive value 90.6% (IK 95%: 76.9–96.5%). Combination of urinary NGAL and urinary abnormality can only increase specificity urinalysis which only shows leukocyturia from 74.3% to 97.4% but not increase specificity of three urinary abnormalities. Urinary NGAL is not recommended to increase urinalysis specificity to make early diagnosis of UTI in children aged 2–5 years old. The three combination of urinalysis abnormalities without urinary NGAL have had a good specificity. Further research about other biomarkers to make early diagnosis of UTI in children is needed."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Yulia Nastiti
"Latar Belakang. Mortalitas akibat sepsis di ICU masih cukup tinggi meskipun telah semakin cepatnya diagnosis dan perbaikan perawatan suportif dan angkanya semakin meningkat dengan insiden acute kidney injury yang merupakan bagian dari disfungsi organ akibat sepsis. Asam askorbat dikatakan dapat memperbaiki disfungsi organ disebabkan efeknya yang sinergis terhadap patofisiologi sepsis. Peranan asam askorbat dalam menurunkan disfungsi organ masih kontroversial. Penelitian ini ingin menganalisis efek pemberian asam askorbat intravena terhadap perbaikan fungsi ginjal pada pasien sepsis/ syok sepsis yaitu dengan melihat efek terhadap kadar urin neutrophil gelatinase associated lipocalin (uNGAL), produksi urin dan balans kumulatif.
Metodologi. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan desain penelitian uji acak terkontrol, dilakukan pada pasien usia > 18 tahun dengan sepsis berdasarkan kriteria sepsis-3 yang masuk ICU dalam 6 sampai 24 jam pascaresusitasi setelah diagnosis sepsis. Kriteria penolakan yaitu pasien dengan gangguan ginjal kronik dengan hemodialisis, kelainan batu ginjal, dengan masalah ginjal dalam 3 bulan terakhir. Pasien akan dikeluarkan apabila diberikan kortikosteroid dan mendapatkan terapi pengganti ginjal dalam < 72 jam observasi. Penelitian dilakukan di ICU Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada April 2019-Juli 2019. Sebanyak 33 sampel dirandomisasi secara randomisasi sederhana dan dikelompokan menjadi kelompok perlakuan (18 sampel) dan kontrol (15 sampel). Data demografik dasar dicatat saat masuk ICU. NGAL urin (ng/mL) diperiksa pada jam 0, 24, 48 dan 72 setelah terapi. Produksi urin (ml/kg/jam) dan balan kumulatif (L) dicatat pada jam 24, 48 dan 72 setelah terapi. Analisis statistik dengan uji Mann Whitney untuk data numerik dengan persebaran tidak normal, uji T independen untuk data dengan persebaran normal dan uji Fisher untuk data kategorik perbandingan antara kedua kelompok intervensi. Analisis multivariat untuk pengukuran serial menggunakan generalized estimating equations (GEE) untuk membandingkan antara kedua kelompok dalam waktu pengukuran yang berulang. Nilai signifikansi dengan nilai p < 0,05.
Hasil. Tidak terdapat perbedaan pada kadar NGAL urin, produksi urin, balans kumulatif antara dua kelompok di setiap jamnya.
Kesimpulan. Pada penelitian ini pemberian asam askorbat intravena tidak mempunyai efek terhadap kadar NGAL urin, produksi urin, balans kumulatif.

Background. Sepsis-related mortality in intensive care unit (ICU) remains despite improved diagnostic technology and supportive treatment. Acute kidney injury, one of frequent organ dysfunctions in sepsis, increases risk of mortality. Ascorbic acid could improve organ dysfunction because its direct effect on sepsis pathophysiology. The role of ascorbic acid on improving organ dysfunction remains controversial. This study wished to analyze the effects of intravenous ascorbic acid on kidney function improvement among septic patients by evaluating urine neutrophil gelatinase associated lipocalin (uNGAL), urine output and cumulative fluid balance.
Method. This study was randomized controlled trial held in Cipto Mangunkusumo Hospital from April to July 2019. The inclusion criteria were adult patients aged > 18 years who met sepsis-3 criteria and were admitted to the ICU within 6-24 h after resuscitation and sepsis recognition. The exclusion criteria were patients with hemodialysis-dependent chronic kidney disease, kidney stones or other kidney problems within last 3 months. The drop out criteria were patients underwent renal replacement therapy in the ICU and given corticosteroid less than 72 h after recruitment. Subjects were randomized using simple randomization and divided into two groups with treatment (18 subjects) and control (15 subjects). Baseline demographic data was recorded on the first day. Daily measurements of urine NGAL (ng/ mL) was started as baseline level and continued at 24, 48 and 72 h after treatment. Urine output (ml/kg/h), cumulative fluid balance (L) was recorded at at 24, 48 and 72 h after treatment. Comparison between both groups was analysed by using Mann Whitney test (not normally distributed data), T independent test (normally distributed data) for numerical data and Fisher test for categorical data. Multivariate analysis using generalized estimating equations was used for serial measurement analysis. Level of significant was determined at p-value <0.05.
Result. There were no significant differences in uNGAL, urine output, cumulative fluid balance between the two groups at each hour respectively.
Conclusion. This study showed that intravenous vitamin CMultin administration had no effect on urine NGAL, urine output, cumulative fluid balance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Alida Roswita
"Penyakit ginjal dengan berbagai manifestasinya memerlukan berbagai pemeriksaan penunjang untuk melengkapi data penderita. Pada umumnya pemeriksaan penunjang ini digunakan sebagai alat bantu diagnostik, untuk melihat hasil penanggulangan/pengobatan penderita, dan untuk mengikuti perjalanan penyakit. Salah satu pemeriksaan penunjang untuk membedakan kelainan ginjal glomeruler dan tubular adalah analisa protein urin menggunakan tehnik sodium dodecyl sulfate polyacrylamid gel electrophoresis (SDS-PAGE). Dengan pemeriksaan ini dapat dibedakan pola ekskresi protein pada kelainan ginjal glomeruler, tubuler, atau campuran keduanya. β-N-acetylglucosaminidase (β-NAG) adalah enzim yang dibentuk oleh lisosom sel tubulus proksimal dan dilepaskan ke dalam urin. Karena itu dianggap lebih spesifik untuk menentukan adanya kelainan tubulus dibandingkan dengan tes lainnya seperti β2-mikroglobulin.
Pada penelitian ini kami mencari hubungan antara pola ekskresi protein dan aktivitas β-NAG dalam urin penderita dengan berbagai kelainan ginjal. Hasil menunjukkan adanya peningkatan β-NAG pada kasus-kasus dengan pola ekskresi protein tubuler dan campuran. Dua kasus (4,17%) dengan pola glomeruler memberikan hasil aktivitas β-NAG yang meningkat; kasus ini adalah sindroma nefrotik dan hipertensi. Pada sindroma nefrotik dengan proteinuria glomeruler non-selektif memang pernah dilaporkan adanya peningkatan β-NAG yang diduga berasal dari serum. Peningkatan β-NAG pads kasus hipertensi pada penelitian ini, tidak diketahui mekanismenya.

Protein Pattern And Β-Nag Activity In The Urine From Patients With Several Different Kidney AbnormalitiesKidney disease and its manifestation require different kind of laboratory tests to complete the data of the patients. In general, these tests are used as a diagnostic aid, and also in monitoring the therapy and the progress of the disease. It is important to differentiate between glomerular and tubular disorders. Sodium dodecyl sulfate polyacrylanude gel electrophoresis (SDS-PAGE) is one of the techniques that can be used to differentiate these abnormalities by looking at the protein excretion pattern in the urine. For renal tubular disorder, the determination of β-N-acetylglucosaminidase (β-NAG) is a useful test to detect the alteration of the tubular apparatus. This test is more specific than the others, such as β2-microglobulin, because β-NAG is produced by the lysosomes of the cells of proximal tubules.
The aims of our study is to find a correlation between urine protein excretion pattern and β-NAG activity, and the abnormalities of the kidney. We found that β-NAG activity was increased in patients with tubular and mixed type pattern of proteinuria. The increased activity of this enzyme was also seen in 2 patients (4.7%) with glomerular pattern; one with nephrotic syndrome and the other with hypertension. In nephrotic syndrome with non-selective proteinuria, it is conceivable that some of the urine β-NAG was plasma origin. In hypertension, the mechanisme of the increasing of β-NAG activity in the urine is still unknown."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>