Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arief Pratama
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesenjangan penghasilan antarpekerja disabilitas dan pekerja nondisabilitas dengan menggunakan metode dekomposisi Blinder-Oaxaca. Metode ini membagi penyebab kesenjangan penghasilan berdasarkan status Disabilitas menjadi faktor endowment yang dijelaskan oleh variabel status vertical mismatch, pendidikan, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, status kawin, status kepala rumah tangga, status kegiatan, tipe pekerjaan, lapangan pekerjaan, penggunaan teknologi digital, pengalaman kerja, keikutsertaan dalam pelatihan, dan faktor diskriminasi. Dari data Sakernas Agustus 2021, ditemukan bahwa kesenjangan penghasilan antarpekerja berdasarkan status disabilitas sebesar 17,91 persen poin. Kontribusi faktor diskriminasi lebih besar dibandingkan faktor endowment dalam menjelaskan kesenjangan penghasilan berdasarkan status disabilitas di Indonesia. Kontribusi faktor diskriminasi sebesar 7,41 persen poin (41,37 persen), sedangkan kontribusi faktor endowment sebesar 10,5 persen poin (58,63 persen).

This study aims to determine the earnings gap between disabled workers and non-disabled workers using the Blinder-Oaxaca decomposition method. This method divides the causes of the earnings gap based on disability status into endowment factors explained by the variables of vertical mismatch status, education, age, gender, place of residence, marital status, head of household status, activity status, type of work, employment, use of digital technology, work experience, participation in training, and discrimination factors. The August 2021 Sakernas data found that the income gap between workers based on disability status is 17.91 percentage points. The contribution of the discrimination factor is greater than the endowment factor in explaining the income gap based on disability status in Indonesia. The contribution of the discrimination factor was 7.41 percentage points (41.37 percent), while the contribution of the endowment factor was 10.5 percentage points (58.63 percent)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Keisya Alysha Puteri Sandiya
"Mobilitas pekerjaan adalah fenomena yang umum terjadi di pasar tenaga kerja dan terkait erat dengan kecenderungan pekerja untuk berhenti. Hal ini mengacu pada kemungkinan pekerja meninggalkan pekerjaan mereka dalam jangka waktu tertentu. Di pasar tenaga kerja Indonesia, berbagai indikator seperti mencari pekerjaan saat bekerja (Job Hunt), kesediaan untuk menerima tawaran pekerjaan lain (Job Hop), dan tanpa pelatihan di tempat kerja (Sans OJT) digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan pekerja untuk berhenti. Masalah ini dapat menyebabkan biaya organisasi dan berdampak pada produktivitas dan ekonomi. Studi ini mengeksplorasi dampak job vertical mismatch, upah, dan interaksi keduanya terhadap kecenderungan pekerja untuk berhenti bekerja di pasar tenaga kerja Indonesia, dengan menggunakan metode regresi logistik dengan data SAKERNAS dari Agustus 2021 dan 2022. Hasil analisis menunjukkan undereducated mengurangi kemungkinan berhenti bekerja, sementara overeducated justru meningkatkan. Selain itu, pekerja undereducated lebih cenderung menghindari job hop daripada job hunter, sedangkan pekerja overeducated lebih cenderung untuk job hop. Selain itu, pekerja undereducated lebih kecil kemungkinannya untuk sans OJT, sementara hal yang sebaliknya pada overeducated. Upah yang lebih tinggi secara signifikan mengurangi kemungkinan pekerja untuk berhenti bekerja, dengan upah pekerja undereducated cenderung meningkatkan. Pada tahun 2021 menunjukkan kecenderungan untuk berhenti lebih rendah, sedangkan tahun 2022 lebih tinggi, seiring pemulihan pasar tenaga kerja pasca pandemi COVID-19.

Job mobility is a prevalent phenomenon in the labor market and is closely linked to workers' tendency to quit. This refers to the likelihood of workers leaving their jobs within a specific timeframe. In the Indonesian labor market, various indicators such as job searching while employed (Job Hunt), willingness to accept other job offers (Job Hop), and without on-the-job training (Sans OJT) are used to identify workers' tendency to quit. This issue can lead to organizational costs and impact productivity and the economy. This study explores the impact of job-vertical mismatch, wage, and their interplay on workers' tendency to quit in Indonesia's labor market, using logistic regression methods with SAKERNAS data from August 2021 and 2022. The analysis shows that being undereducated reduces the likelihood of quitting while overeducated increases it. Additionally, undereducated individuals are more inclined to avoid job hopping than job hunting, whereas overeducated individuals tend to job hop more. Moreover, undereducated workers are less likely to sans OJT, while the opposite holds for overeducated workers. Higher wages significantly reduce the likelihood of workers quitting, with undereducated workers' wages increasing their tendency to quit. Overall, the results for 2021 indicate a lower tendency to quit. In contrast, by 2022, there is an increase in job mobility expectations, likely influenced by the labor market rebound due to the COVID-19 pandemic."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartato
"Optimalisasi penggunaan teknologi berperan dalam industri manufaktur agar mampu mencapai potensi produktifitas yang penuh di era ekonomi digital. Adanya transformasi teknologi digital ini dapat memberikan kontribusi besar pada struktur pendapatan pekerja industri manufaktur. Sementara itu, industri manufaktur yang merupakan leading sector perekonomian nasional dalam kurun waktu 2014 hingga 2018. Namun didominasi dengan pekerja berkarakteristik vertical mismatch (ketidaksesuaian antara tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan) yakni diatas 90 persen dan Indonesia menempati posisi tertinggi diantara negara Asia Pasifik lainnya untuk proporsi pekerja vertical mismatch. Resiko tenaga kerja yang berkarakteristik vertical mismatch, khususnya bagi pekerja overqualified adalah upah di bawah standar yang dikarenakan investasi mereka pada tingkat pendidikan tidak dipakai secara optimal. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh teknologi digital dan vertical mismatch terhadap pendapatan pekerja industri manufaktur di Indoensia menggunakan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2019. Hasil regresi linier berganda menunjukkan bahwa teknologi digital dan vertical mismatch berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan. Pekerja underqualified cenderung memperoleh pendapatan lebih besar dibandingkan mereka yang tergolong well-matched sedangkan pekerja overqualified akan dihadapkan dengan wage penalthy atau upah yang rendah. Adanya kemampuan menguasai teknologi digital seperti komputer, smartphone, dan teknologi digital lainnya mampu menambah pendapatan pekerja vertical mismatch dengan kecenderungan lebih tinggi.

Optimizing the use of technology has a role in the manufacturing industry in order to be able to reach its full productivity potential at this digital economy era. The existence of this digital technology transformation impacts on a major contribution toward income structure of manufacturing industry labors. Meanwhile, the manufacturing industry was the leading sector of the national economy from 2014 to 2018. However, it is dominated by workers with vertical mismatch characteristics (the mismatch between the level of education and the type of work) which is above 90 percent. Furthermore, Indonesia occupied the highest position among other Asia Pacific countries in terms of vertical mismatch worker proportion. The risk of labor which is characterized by a vertical mismatch, especially for overqualified workers, is wages that are below standard because their investment in education level is not used optimally. This research aims to study the effect of digital technology and vertical mismatch on the income of manufacturing industry labors in Indonesia using data from the National Labor Force Survey (Sakernas) August 2019. The results of multiple linear regression indicate that digital technology and vertical mismatch have a significant effect on income. Underqualified labors tend to earn more than those who are classified as well-matched, while overqualified labors will be faced with wage penalthy or low wages. The ability to master digital technology such as computers, smartphones and other digital technologies is able to increase the income of vertical mismatch labors with a higher tendency."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariqoh Wahyu Armadhani
"Berakhir dengan pekerjaan yang mismatch dengan kualifikasi pendidikannya atau menjadi pengangguran, kedua skenario tersebut merupakan realita yang dihadapi para pencari kerja di Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia telah mencoba untuk mendayagunakan Technical and Vocational Education and Training (TVET) untuk menjawab masalah tersebut. Namun keputusan tersebut dipertanyakan efektivitasnya mengingat kualitas sistem TVET di Indonesia yang cenderung kurang baik. Penelitian ini mencoba melihat dampak riwayat partisipasi TVET terhadap vertical mismatch dan durasi pencarian kerja yang digunakan sebagai proxy kedua skenario tersebut menggunakan SAKERNAS 2017 dan 2020. Hasil analisis Multinomial Logit Regression untuk vertical mismatch menemukan bahwa riwayat partisipasi TVET pada tingkat pendidikan tersier, khususnya melalui program pelatihan, dapat menurunkan peluang seseorang untuk mengalami vertical mismatch. Namun riwayat partisipasi pada tingkat pendidikan sekunder justru meningkatkan peluang tersebut. Lebih lanjut, analisis Cox Proportional Hazard Regression menemukan bahwa riwayat partisipasi TVET tidak memiliki pengaruh signifikan untuk memperpendek durasi pencarian pekerjaan lulusannya. Berdasarkan temuan penelitian ini, masyarakat Indonesia disarankan untuk lebih banyak berpartisipasi dan memanfaatkan program pelatihan untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan terkait vertical mismatch dan durasi pencarian kerja.

Ended up with a job that mismatches their educational qualifications or becomes unemployed, both scenarios are the reality faced by job seekers in Indonesia. The Government of the Republic of Indonesia have tried to utilize Technical and Vocational Education and Training (TVET) to address these problems. However, the effectiveness of this decision is questionable, considering the quality of the TVET system in Indonesia tends to be poor. Using SAKERNAS 2017 and 2020, this study examines the impact of the TVET participation history on vertical mismatch and job search duration. The Multinomial Logit Regression analysis results for vertical mismatch found that a history of TVET participation at the tertiary education level, mainly through training programs, can reduce a person's probability of experiencing vertical mismatches. However, TVET participation history at the secondary education level tends to increase those probability. Furthermore, the Cox Proportional Hazard Regression analysis found that TVET participation history did not significantly shorten graduates’ job searching durations. Based on the findings of this study, it is advised for Indonesians to utilize or participate in more training programs to resolve employment problems related to vertical mismatch and the duration of job searches."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library