Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nova Diana
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan: Mengetahui efektifitas nepafenac dibandingkan dengan prednisolon asetat terhadap derajat inflamasi bilik mata depan, skala nyeri (visual analogue scale), dan ketebalan makula sentral pasca vitrektomi pada pasien rhegmatogenous retinal detachment (RRD). Metode: Penelitian ini adalah prospektif, uji klinis acak tersamar tunggal membandingkan dua kelompok, yaitu yang mendapat tetes mata prednisolon asetat 1% dan tetes mata nepafenac 0,1% selama 4 minggu pasca vitrektomi. Sebanyak 46 subyek RRD dirandomisasi menjadi dua kelompok. Dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK), tekanan intraokuler (TIO), dan pemeriksaan status oftalmologis lainnya. Pasca vitrektomi, dilakukan pemeriksaan derajat inflamasi bilik mata depan, skala nyeri, ketebalan makula sentral, TIO dan TPDK pasca vitrektomi pada 1 hari, 1 minggu, 2 minggu, dan 4 minggu. Hasil: Inflamasi bilik mata depan pada follow up 1 minggu lebih rendah pada kelompok prednisolon asetat (sel +2) dibandingkan kelompok nepafenac (sel +3) namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik (p>0.05). Pada follow up 2 dan 4 minggu, tidak ada perbedaan bermakna inflamasi bilik mata depan antara kedua kelompok. Skala nyeri (VAS) tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok pada setiap follow up (p>0,05). Median ketebalan makula sentral pada kelompok nepafenac yaitu 206 μm (rentang 131-299) dan pada kelompok prednisolon asetat yaitu 208 μm (rentang 129-451) pada follow up 1 hari (p>0.05). Pada follow up 4 minggu, tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p>0.05). Simpulan: Nepafenac 0,1% memiliki kemampuan yang sama dengan prednisolon asetat dalam mengatasi inflamasi bilik mata depan, skala nyeri, dan mempertahankan ketebalan makula sentral pasca vitrektomi.
ABSTRACT Purpose: Comparing the efficacy of postoperative topical nepafenac 0,1% with prednisolon acetate 1% as anti-inflammatory agents in eyes undergoing pars plana vitrectomy. Method: This is prospective, single blind, randomized single center clinical study. A total of 46 eyes from 46 subjects undergoing vitrectomy surgery. The subjects were randomized to receive either topical nepafenac 0.1% (23 eyes) or prednisolon acetate 1% (23 eyes). Eyes were evaluated for day 1 postoperative and 1-, 2-, and 4-week. Grading of anterior chamber inflammation was using the standardized classification. Grading of ocular pain was done using Visual Analogue Scale (VAS). Central macular thickness was measured using optical coherence tomography (OCT). Result: Anterior chamber inflammation of grade 2 (range 1-4) noted in prednisolon acetate group and grade 3 (range 0.5-4) in nepafenac group at day 1 (p>0.05). During the follow up, both group nepafenac and prednisolon acetate did not have a significant difference related to the grade of anterior chamber inflammation (p> 0.05). Pain perception was not significant different in both group (p > 0.05). The nepafenac and prednisolon acetate groups had median central macular thickness of 206 μm (range 131-299) and 208 μm (range 129-451) at 1 day (p> 0.05). At 4 week, there was no statistically significant difference in the mean central macular thickness between the nepafenac group (174.9 ±30.7 μm) and nepafenac group (185.5 ± 50.1 μm) (p> 0.05). Conclusion: Postoperative topical nepafenac was equal to prednisolon acetate in reducing postoperative inflammation in eyes undergoing pars plana vitrectomy.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Gilbert W.S.
Abstrak :
Terdapat banyak laporan mengenai biaya-efektifitas di bidang ilmu penyakit mata, tetapi laporan biaya-efektifitas vitrektomi antara bius lokal dibandingkan bius umum belum ditemukan di literatur nasional/internasional. Penelitian ini bermanfaat untuk pengambil kebijakan, penyedia jasa kesehatan dan asuransi. Untuk menjawab hal ini, peneliti melakukan penelitian kohort retrospektif di dua rumah sakit dengan jumlah 100 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Efektifitas dihitung sebagai perbaikan tajam 2 skala logMAR atau lebih, dan biaya dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dan dikonfirmasi dengan surat keterangan yang berwenang. Hasil yang diperoleh adalah dibutuhkan biaya sebesar Rp. 23.959.000,- untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 32% dengan bius umum. Sebesar Rp. 15.950.200,- diperlukan untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 80 % dengan bius lokal. Interpretasi data ini butuh kehatian-hatian, juga untuk diterapkan secara umum (extrapolation). Penghematan biaya yang terjadi adalah sebesar 50,21% dengan bius lokal dibandingkan bius umum. Faktor yang berpengaruh secara multivariat terhadap perbaikan setelah operasi dan biaya adalah lamanya retina lepas (RR 1.85) bila lepas < 4 minggu, dan bius lokal (RR 2.58). Waktu tunggu (antara pertama kali berobat hingga dioperasi) lebih singkat di bius lokal (p 0.00) dan tindakan membrane peeling lebih banyak di bius lokal (p 0.00) merupakan dua hal yang berbeda bermakna. Dapat disimpulkan bahwa operasi vitrektomi untuk retina lepas dapat dilakukan dengan bius lokal dengan efektifitas lebih baik dan biaya lebih sedikit.
There were reports on cost-effectiveness in ophthalmology, but so far none of report on cost-effectiveness of vitrectomy between local and general anesthesia for rhegmatogenous retinal detachment, either in national or international journal. Meanwhile, this report is beneficial for health policy decision maker, health provider and insurance. To answer this limitation, we conduct retrospective cohort study in two hospitals with 100 subjects that fulfill inclusion and exclusion criteria. Effectiveness was visual acuity improvement in two or more logMAR scale after vitrectomy, and units cost data were given by both hospitals. The amount of Rp. 23.959.000,- was needed to achieve effectiveness 32% in general anesthesia. The amount of Rp. 15.950.200,- was needed to achieve effectiveness 80% in local anesthesia. These data interpretation and extrapolation should be done cautiously. There is cost-minimization 50,12% when doing vitrectomy under local versus general anesthesia. Multivariate analysis of effectiveness and cost showed that variables of detachment duration if less than 4 weeks (RR 1.85) and of local anesthesia (RR 2.58) were contributing for better surgical outcome. Shorter waiting time (time needed for surgery after diagnosed), and more membrane peeling done in local anesthesia group were different variabels (p 0.00) between two groups significantly. As conclusion, vitrectomy for rhegmatogenous retinal detachment can be done under local anesthesia with higher effectiveness and lower cost.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2013
D1412
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salmarezka Dewiputri
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan tesis ini adalah membandingkan pemberian metilprednisolon oral dengan plasebo terhadap insiden dan derajat membran epiretina pasca vitrektomi pars plana pada ablasio retina regmatogen. Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Empatpuluh enam mata yang memenuhi kriteria inklusi dirandomisasi untuk mendapatkan metilprednisolon oral atau plasebo. Keluaran primer adalah insiden dan derajat membran epiretina yang dinilai pada 4 minggu dan 8 minggu pasca vitrektomi dengan menggunakan spectral domain Optical Coherence Tomography. Empat minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 58,8 % pada kelompok plasebo. Delapan minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 56,2 % pada kelompok plasebo. Empat minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 60 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 40 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo didapatkan 60 % derajat 0; 10 % derajat 1; dan 30 % derajat 2. Delapan minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 40 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 60 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo 55,6 % derajat 0; 11,1 % derajat 1; dan 33,3 % derajat 2. Simpulan penelitian ini adalah insiden dan derajat membran epiretina antara kedua kelompok baik pada 4 minggu ataupun 8 minggu tidak berbeda bermakna secara statistik. Insiden membran epiretina pada kelompok metilprednisolon cenderung lebih rendah daripada kelompok plasebo.
ABSTRACT The purpose of this study was to compare oral methylprednisolone and placebo toward the incidence and severity of epiretinal membrane post pars plana vitrectomy in rhegmatogenous retinal detachment. The study design was double-blind randomized controlled clinical trial. Fourty-six subjects who met inclusion criteria were randomized to receive oral methylprednisolone and placebo within 14 days. Primary output was incidence and severity of epiretinal membrane, measured by spectral domain Optical Coherence Tomography at 4 and 8 weeks post vitrectomy. Four weeks after vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 58,8 % in methylprednisolone group and placebo group, respectively. Eight weeks post vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 56,2 % in methylprednisolone group and placebo group, respectively. At 4 weeks the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 60%, 0%, 40% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, in placebo group were 60%, 10%, 30% in grade 0, 1, and 2 respectively. Eight weeks postvitrectomy the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 40%, 0 %, 60% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, at placebo group were 55,6 %, 11,1 %, and 33,3 % in grade 0, 1, and 2 respectively. In conclusion, there were no significant differences in incidence and severity of epiretinal membrane at 4 and 8 weeks among 2 groups (p> 0.05). Oral methylprednisolone had a tendency to lower the incidence of epiretinal membrane compared to placebo.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gladys
Abstrak :

Proliferative vitreoretinopathy  (PVR) pada ablasio retina rhegmatogen (ARR) menurunkan tingkat keberhasilan anatomis dan fungsional. Transforming growth factor-β (TGF-β) merupakan pro-fibrotik yang berperan penting dan dapat menjadi target terapi dan masih belum ada data mengenai TGF-β3 pada PVR. Penelitian ini bertujuan menguji kadar TGF-β2 dan TGF-β3 pada kasus PVR A dan B.  Penelitian ini berdesain potong lintang pada pasien ARR PVR A dan B yang menjalani vitrektomi di RSCM Kirana. Sampel vitreus diambil intra-operasi dan diperiksa di protein total, TGF-β2 dan TGF-β3 dengan metode ELISA. Didapatkan 20 sampel; 10 mata untuk PVR A dan 10 untuk PVR B. Tidak didapatkan perbedaan bermakna untuk karakteristik kedua grup maupun berdasarkan TGF-β2 dan TGF-β3. Secara umum didapatkan level TGF-β2 yang lebih tinggi pada PVR A dan B namun tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,05). Didapatkan korelasi negatif (Spearman r-0,468)  antara TGF- β2 dengan TGF- β3 pada seluruh grup PVR (p=0,037) namun tidak didapatkan korelasi yang signifikan per grup PVR. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara TGF- β2 dan TGF- β3 dengan primary attachment rate. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara TGF- β2 dan 3 pada ARR yang terjadi sebelum atau sesudah 14 hari namun ditemukan tren rasio TGF- β2/protein total yang semakin rendah 14 hari pasca ARR Studi ini merupakan studi pertama yang membandingkan kadar TGF- β2 dan TGF- β3 pada pasien dengan PVR A dan B. Secara tren, ditemukan kadar TGF-β2 yang lebih tinggi pada ARR dengan PVR  B dibanding A dan kadar TGF-β3 yang lebih rendah pada ARR dengan PVR B dibanding A. ......Proliferative vitreoretinopathy (PVR) in rhegmatogenous retinal detachment (RRD) reduces anatomical and functional success rate. Transforming growth factor-β (TGF-β) is a pro-fibrotic that plays an important role and can be a therapeutic target and there is still no data on TGF-β3 in PVR. This study aims to examine the levels of TGF-β2 and TGF-β3 in cases of PVR A and B. This study used cross-sectional design in ARR PVR A and B patients who underwent vitrectomy at RSCM Kirana. Vitreous samples were taken intra-operatively and examined for total protein, TGF-β2 and TGF-β3 using ELISA. A total of 20 samples were obtained; each 10 eyes for PVR A and 10 for PVR B. There were no significant differences in the characteristics of the two groups or based on TGF-β2 and TGF-β3. In general, higher TGF-β2 levels were found in PVR A and B but there was no significant difference (p>0.05). A negative correlation (Spearman r-0.468) was found between TGF-β2 and TGF-β3 in all PVR groups (p=0.037) but no significant correlation was found per PVR group. There was no significant difference between TGF-β2 and TGF-β3 with primary attachment rate. There was no significant difference between TGF-β2 and 3 in ARR that occurred before or after 14 days, but a trend was found in the ratio of TGF-β2/total protein that was getting lower ≥14 days after ARR. This study is the first study to compare TGF-β2 and TGF-β3 levels in patients with PVR A and B. In terms of trend, higher TGF-β2 levels were found in ARR with PVR B compared to A and lower TGF-β3 levels in ARR with PVR B compared to A.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seivilia Artanti
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan pada pemberian midriatika injeksi epinefrin intrastroma kornea dengan intrakamera pada vitrektomi pars plana. Sebelum vitrektomi dilakukan pengukuran diameter pupil serta diameter pupil optimal yang diperoleh. Ketebalan sentral dan densitas kornea diukur menggunakan spekular mikroskop Non Conrobo Konan sebelum vitrektomi, saat follow-up 1 hari dan 1 minggu paska vitrektomi. Perbedaan bermakna p=0.015 untuk delta perubahan diameter pupil kelompok injeksi epinefrin intrastroma dibandingkan kelompok intrakamera. Rerata mean pada injeksi epinefrin intrakamera terhadap Central Corneal Thickness CCT awal, 1 hari dan 1 minggu terdapat perbedaan bermakna p = 0.041. Delta diameter pupil pada pemberian injeksi epinefrin intrastroma lebih lebar dibandingkan dengan intrakamera pada vitrektomi pars plana. Ketebalan CCT 1 minggu setelah tindakan pada injeksi epinefrin intrastroma kornea lebih rendah dibandingkan dengan intrakamera.
ABSTRACT
This thesis is to determine the effectiveness and safety of intrastromal epinephrine injection with intracameral injection on pars plana vitrectomy. The measurement of pupil diameter was done before vitrectomy and optimal pupil diameter is obtained. Central corneal thickness CCT and Endothelial Cell Density ECD were measured using a specular microscope Non Conrobo Konan before vitrectomy, at follow up 1 day and 1 week after vitrectomy. Optimal pupil diameter no significant difference p 0.05 . The difference was significant p 0.015 for the delta changes in pupil diameter intrastromal epinephrine injection group compared to the group intracameral. Average mean in epinephrine injection group intrakamera the initial CCT, 1 day and 1 week there is a significant difference p 0.041. Delta pupil diameter in epinephrine injection intrastromal wider than intracameral injection. CCT thickness 1 week after the epinephrine corneal intrastromal injection is lower than intracameral injection.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library