Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendri Hendriyan
Abstrak :
Penyakit malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (Plasmodium) dengan gejala klinis yang umum, yaitu demam, menggigil secara berkala dan sakit kepala. Penyebaran penyakit malaria didasarkan atas 3 (tiga) komponen utama, yaitu host, agent dan environment. Insiden penyakit malaria di Kabupaten Tasikmalaya relatif masih tinggi, walaupun upaya pemberantasan terus dilakukan salah satunya yaitu melalui program pengobatan penderita. Kasus yang ada di Tasikmalaya umumnya (95,7%) adalah malaria vivax dan dari data tahun 2001 hampir sebagian besar penderita yang diberi pengobatan radikal menjalani pengobatan lanjutan (follow up) karena pemeriksaan kedua masih positif parasit. Adanya penderita yang menjalani follow up dan yang tidak ini kemungkinan berhubungan dengan perilaku penderita dalam mengkonsumsi obat yang diberi sarana kesehatan, disamping faktor lainnya. Dengan demikian untuk mengetahui kebenaran dugaan itu maka perlu dilakukan penelitian. Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan pola makan obat dengan kesembuhan klinis malaria di Kabupaten Tasikmalaya. Desain penelitian menggunakan kasus kontrol dan yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita malaria vivax berusia >15 tahun yang diberi pengobatan radikal dan tercatat di puskesmas. Jumlah sampel seluruhnya yaitu 272 dengan perbandingan jumlah kasus dan kontrol 1:1, yaitu kasus 136 responden dan kontrol 136 responden.. Pengolahan data dilakukan dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dengan menggunakan bantuan komputer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita yang sembuh klinis malaria pada pengobatan radikal (kasus) memiliki probabilitas odds 8,140 kali memiliki riwayat pola makan obat sesuai dibanding penderita yang tidak sembuh klinis (kontrol) (95%Ci = 4,1-13,235). Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya interaksi maupun confounding antara pola makan obat dengan variabel asal daerah terjadinya infeksi dan pengalaman berobat sendiri. Dengan demikian variabel tersebut berhubungan dengan dependen variabel secara independen. Untuk lebih mengefektifkan pemberian obat kepada penderita dalam pengobatan radikal, maka perlu dilakukan intervensi berupa melibatkan peran kader dalam pengawas makan obat dan penyuluhan kepada masyarakat tentang makan obat yang benar dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan penderita yang sembuh klinis pada pengobatan radikal.
Malaria is an infectious disease caused by plasmodium parasite characterized with general clinical indications (symptoms) of fever, periodic tremble, and headache. Spreading of malaria disease is based on three main components, such as host, agent and environment. Malaria incidence in Tasikmalaya is still relatively high, although effort of fight is done continuously with curative care of patient. The cases (incident) in Tasikmalaya mostly (95,7%) is Plasmodium vivax malaria, and the data in the year 2001 showed that most of the patients received radical treatment underwent follow up treatment, since the second check up indicated parasitic positive. The fact that not all patients underwent follow up treatment might be related to patient habits in medicine intake and other factors. Therefore, to test the assumption a research needs to be done. This research aimed to find out the relationship between pattern of medicine intake habits and clinical recovery of P. vivax malaria in Tasikmalaya. The research used a case control study. The populations of the research were all patient of P. vivax malaria aged over 15 years old received a radical curative, and recorded in public health service. The numbers of samples were 272 people with the ratio of case and control of 1:1 (136 respondents of case and 136 respondents of control). The data were analyzed with univariate, bivariate, and multivariate analysis using a computer device. The results of the research showed that the clinical recovered malaria patients in radical curative were having probabilities of 8.14 times greater than regularly medicine intake compared to the clinical in-recovered patient. (95% CI=4.1--13.235). There was no interaction and confounding between medicine intake habits and the original region of infection and self treatment experience variables. Therefore, the variables independently correlated with dependent variables. To make the medicine treatment in radical curative effective, the intervention by medicine intake supervisor and mass extension on good medicine intake habits need to be done. It is hoped that the recovered clinical patients in radical curative could be increased.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T2753
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meizi Fachrizal Achmad
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara penelitian : Resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin diltubungkan dengan mutasi titik gen Pfcrt sehingga diduga menyebabkan meningkatnya efflux klorokuin dari vakuola makanan. Penelitian pada beberapa riegara secant in vivo memo rikan hasil yang berbeda pada daerah yang berbeda. Indonesia adalah salah satu negara endemik malaria dimana penggunaan klorokuin sejak lama telah memacu timbulnya resistensi dan saat ini bampir 50 % P. falcipaaum telah resisten terhadap klorokuin. Untuk menentukan apakah klorokuin masih dapat dipakai sebagai first line therapy, diperlukan analisa mutasi Plot yang berguna untuk memberikan masikan dalam kebijakan pengobatan di suatu daerah. Sampel penelitian ini adalah P. falciparurn yang didapat dari pasien yang datang berobat ke Puskesmas Kenarilang (Alor) kemudan diberi klorokuin 25 mglkgbb selama 3 hari dan dilakukan pengamatan selama 28 hari. Dan spot darah pasien, DNA P. falciparum diekstrak dengan menggunakan metode Meier dan selanjutnya dilakukan amplifikasi DNA dengan primer yang menyandi gen Pfcrt. Hasil amplifikasi dipotong dengan menggunakan enzim restriksi untuk melihaQ. adanya mutasi. Hasil dan Kesimpulan : Angka endemisitas malaria di Alor sebesar 65,9 % (1921292) dengan prevalensi malaria falsiparum sebesar 28,9 % (871292) sebagai infeksi tunggal dan 4,4 % (131292) sebagai infeksi campur. Sedangkan aagka kegagalan pengobatan sebesar 65 % (26140) dan diantaranya disebabkan oleh resistensi parasit terhadap klorokuin sebesar 56,3 % (18132). Mutasi pada kodon 76 Pfcrt memperlihatkan hubungan yang sangat bermakna dengan kegagalan pengobatan (p r 0,05). Selma penderits yang gagal dalam pengobatan (resisten) ternyata mengandung parasit yang mengalami mutasi pada gen Pfcrt sebesar 100 % (18/18). berdasarkan kriteria WHO, Alor dimasukkan ke dalam kategori "change period'. Dengan demikian penggunaan klorokuin sebagai obat pilihan pertama pada pengobatan malaria falsiparum di Alor sudah selayakrtya dievaluasi kernbali. Walaupun belum ideal, namun penggunaan terapi kornbinasi artemisin dengan amodiakuin dapat dijadikan sebagai pilihan pertama pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13679
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah tropis. Plasmodium vivax merupakan spesies penyebab malaria setelah P. falcifarum dan menyebabkan angka kesakitan yang tinggi. Akhir-akhir ini telah banyak laporan tentang parasit yang muncul kembali di dalam darah (rekurens) setelah diobati dengan klorokuin, sewaktu kadar klorokuin diperkirakan masih efektif, sehingga perlu dilakukan evaluasi efikasi klorokuin. Adanya variasi yang besar pada farmakokinetik klorokuin perlu dilakukan pengukuran kadar klorokuin dalam darah untuk membuktikan apakah rekurens disebabkan oleh parasit resisten. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian prospektif secara in vivo di daerah hiperendemik malaria, Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur terhadap 32 orang penderita malaria vivax yang diobati dengan kiorokuin dosis standar (25 mg/kg, selama 3 hari). Pasien tersebut diamati selama 28 hari terhadap parasitemia dan gejala klinis, kemudian dikonfirmasikan dengan kadar klorokuin dalam darah mereka. Hasil dan Kesimpulan: Klorokuin efektif terhadap P. vivax pada 34, 4% (11/32) penderita. Sebanyak 65, 6% (21/32) mengalami kegagalan pengobatan dalam 28 hari. Tujuh belas orang mengalami kegagalan pengobatan sewaktu kadar klorokuin melebihi atau sama dengan kadar terapeutik minimal (100 ng/ml), sehingga parasit P. vivax terbukti resisten, sedangkan pada 4 orang kadar klorokuin dalam darah tidak terukur dan tidak terbukti resisten. Dan 17 orang tersebut, 5 orang mengalami kegagalan pengobatan pada hari ke-7 atau sebelumnya. Disimpulkan bahwa angka kegagalan pengobatan klorokuin terhadap P. vivax di Nusa tenggara Timur ialah 65, 6% dan angka resistensi 53,1%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T10971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Sriwijaya
Abstrak :
Dihidroartemisinin-piperakuin (DHA-PPQ) telah digunakan secara global sebagai terapi kombinasi standar pada pengobatan malaria vivaks di Indonesia. Efikasi dan keamanan obat ini banyak dilaporkan, namun data efek samping obat terhadap jantung masih sangat terbatas. Salah satu efek samping yang patut diwaspadai adalah pemanjangan repolarisasi ventrikel yang dapat menyebabkan berkembangnya aritmia ventrikuler yang dikenal sebagai Torsade de Pointes (TdP). Pengukuran interval QT telah dijadikan standar untuk mengukur waktu repolarisasi ventrikel. Interval QT juga mewakili waktu yang dibutuhkan untuk depolarisasi dan repolarisasi ventrikel sehingga tidak selalu bisa dijadikan indikator akurat pada kelainan repolarisasi. Saat ini pengukuran interval QT digunakan sebagai standar utama penilaian efek samping obat terhadap jantung, namun menurut pemikiran sebagian ahli, pengukuran interval JT lebih akurat untuk mengukur waktu repolarisasi ventrikel, karena tidak terpengaruh oleh variabilitas durasi kompleks QRS. Interval QT dan JT dipengaruhi oleh frekuensi denyut jantung, maka dalam penelitian ini digunakan dua formula yang sudah dikoreksi terhadap frekuensi denyut jantung, yaitu formula Bazett (QTcB, JTcB) dan Fridericia (QTcF, JTcF). Penelitian before-after ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai rerata interval QTc dan JTc penderita malaria vivaks sebelum dan sesudah pemberian DHA-PPQ. Penelitian ini dilakukan pada penderita malaria vivaks yang juga diberikan primakuin (PQ) untuk mencegah kekambuhan, sehingga juga dilakukan pengukuran interval QTc dan JTc sebelum dan sesudah pemberian PQ. Subyek yang masuk dalam kriteria seleksi pada pemberian DHA-PPQ berjumlah 24 subyek, sedangkan pada pemberian PQ sebanyak 14 subyek. Pengukuran interval QT dan JT dilakukan pada data rekaman EKG penelitian utama ?Safety, tolerability, and efficacy of artesunat-pyonaridine or dihydroartemisinin-piperaquine in combination with primaquine as radical cure for P. Vivax in Indonesian Soldiers? tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pemanjangan rerata interval QTcF dibandingkan baseline yang bermakna secara statistik di D3 setelah pemberian DHA-PPQ. Pemanjangan sebesar 14,42 milidetik terjadi di D3 predose dan 20,53 milidetik di D3 postdose, sedangkan rerata pemanjangan interval JTcF yang bermakna setelah pemberian DHA-PPQ, didapatkan sebesar 13,43 milidetik di D3 postdose. Hasil penelitian pada pemberian PQ terdapat perbedaan nilai rerata interval QTcB dibandingkan baseline sebesar 19,42 milidetik. Nilai median interval QTcB di D42 predose dan D42 postdose, masing-masing sebesar 402,69 milidetik dan 399,73 milidetik, sedangkan nilai median QTcB D29 predose sebagai baseline 380,31 milidetik, dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik. Untuk rerata pemanjangan interval JTcF dibandingkan baseline diperoleh sebesar 16,50 milidetik di D42 postdose dan secara statistik bermakna.
Dihydroartemisinin-piperaquin (DHA-PPQ) has been used globally as standard combination therapies for vivax malaria treatment in Indonesia. There are accumulating reports of efficacy and safety for these drugs. However, data on cardiotoxicity are limited. One of the side effects that must be put into caution is the prolongation of ventricular repolarization which can lead to the development of ventricular arrhythmia known as Torsade de Pointes (TdP). QT interval has been the standard measurement of ventricular repolarization. However, it includes both depolarization and repolarization time, and may not always be an accurate indicator for repolarization abnormalities. Recently, many experts suggest that JT interval could be a more accurate measurement of ventricular repolarization since the variability of QRS complex duration does not affect it. QT and JT intervals are affected by heart rate, so both of them have to be corrected for the heart rate using two formulas, i.e.: Bazett (QTcB, JTcB) and Fridericia (QTcF, JTcF) formulas. This study used ?before and after? design and was aimed to find out whether there was a significant difference of QTc and JTc interval of vivax malaria patients pre and post DHA-PPQ dose. Since our patients were also given primaquine (PQ) the differences of QTc and JTc interval of vivax malaria patients pre and post PQ were also explored. The ECG record of 24 DHA-PPQ and 14 PQ treated subjects taken from ?Safety, tolerability, and efficacy of artesunat-pyonaridine or dihydroartemisinin-piperaquine in combination with Primaquine as radical cure for P. Vivax in Indonesian Soldiers? study in the 2010 year, were analyzed. The results showed significant QTcF prolongations of 14.42 ms predose and 20.53 ms postdose on D3 DHA-PPQ treatment compared to the baseline value, D1, whereas prolongations of JT interval were 13.43 ms found on D3 postdose. The results after given PQ showed mean difference of QTcB compared to the baseline value was 19.42 ms and the values of QTcB interval median were 402.69 ms and 399.73 ms for D42 predose and D42 postdose, respectively, compared to the baseline value 380.31 ms for D29 predose, and which was statistically significant. The result for JTcF interval after given PQ, showed mean difference of prolongations compared to the baseline value was 16.50 ms, statistically significant.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library